Kebanyakan persoalan di dunia ini disebabkan oleh keinginan manusia menjadi 'orang penting'.
Satu hal yang amat menyedihkan dalam kehidupan ini adalah semakin banyaknya perpecahan dan permusuhan yang terjadi mulai dari hubungan persahabatan perorangan, kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat, bahkan (ironisnya) termasuk dalam kehidupan bergereja. Ada apa di balik semua ketidakrukunan dan perselisihan ini? Salah satu penyebab utama adalah: keegoisan manusia. Jadi, karena pada dasarnya kita manusia ini cenderung ‘mementingkan diri’, maka kita harus mendisplinkan diri dan mendidik diri kita sendiri dalam kebaikan terhadap orang lain. Rasa persaudaraan dan persahabatan yang sehat tidak berkembang secara alami. Ia harus dipupuk dengan sungguh-sungguh dan dirawat dengan hati-hati sama seperti memelihara tanaman.
Hidup rukun dengan orang lain, sebenarnya harus dimulai dengan ‘rukun terhadap diri sendiri’. Artinya, menerima diri sendiri sebagaimana Tuhan kehendaki; tidak benci diri dan tidak pula melebihkan diri. Pemazmur dengan indah mengatakan begini: “Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku“ (Mzm 131:2). Hanya ketika kita tenang dan damai dalam perlindungan Tuhan, kita dapat memberi ketenangan dan kedamaian kepada orang lain, sebagai bagian tidak terpisahkan dari kerukunan. Ketika hati kita dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan, itu juga akan menular kepada sesama kita dan sekaligus menghancurkan kerukunan.
Berbicara tentang dampak buruk kebencian, kepahitan dan sakit hati, McMillen dengan sangat tepat mengatakan demikian:
Pada saat saya mulai membenci seseorang, saya menjadi budaknya. Saya tidak dapat menikmati pekerjaan saya lagi, sebab ia juga menguasai pikiran saya. Sakit hati saya menghasilkan begitu banyak ketegangan dalam tubuh saya dan saya menjadi sakit kepala sesudah bekerja beberapa jam saja. Pekerjaan yang tadinya saya nikmati berubah menjadi sesuatu yang membosankan dan melelahkan. Bahkan, hari libur atau waktu luang saja pun tidak lagi memberi ketenangan dan kesenangan kepada saya. Orang yang saya benci itu seolah-olah terus mengikuti atau ‘mengejar’ saya ke mana pun saya pergi. Saya tidak dapat lepas dari cengekeraman penjajahannya.
Sakit hati dan kepahitan yang tersembunyi telah menghancurkan kemampuan berbuat baik bahkan merusak kesehatan begitu banyak orang dari dulu hingga saat ini. Di tengah keadaan demikian, Yesus memanggil kita agar dalam segala situasi kita ‘menyangkal diri’, membuang kesombongan, membuang sakit hati dan mengusahakan perdamaian dengan semua orang. Memang ada kalanya kita seolah mengalami kebuntuan. Kita sudah berusaha dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan perdamaiaan dengan orang lain tetapi sesama kita mengeraskan hati dan sulit berdamai. Dalam situasi seperti itu kita jangan tawar hati dan menyerah. Jika kita sudah berusaha dengan sebaik-baiknya, selebihnya kita harus serahkan segalanya kepada Tuhan.
Ketidaksediaan orang lain mewujudkan kerukunan jangan sampai membawa kita terjerumus pada perangkap Iblis. Rasul Paulus menegaskan, bahwa kita perlu mengampuni “supaya Iblis jangan beroleh keuntungan atas kita” (2 Korintus 2:11). Dalam kaitan ini, Sigurd Bratlie dengan amat mengesankan pernah berkata, “Firman Tuhan menasihatkan agar kita tidak dikalahkan oleh kejahatan tetapi mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Roma 12:21). Ketika seseorang memperlakukan kita secara tidak adil atau berbuat yang tidak baik kepada kita, ia sedang melayani dalam kerjaraan Setan. Jika kita membalas yang jahat dengan yang jahat dan tetap memelihara sakit hati atau tidak mau mengampuni, pada saat itu kita sudah mulai melayani kerajaan Setan juga”.
Betapa bodohnya kita jika kita mau dipekerjakan dalam kerajaan Setan oleh karena perbuatan buruk orang lain. Baiklah kita ingat bahwa pada saat orang banyak mengutuk dan mengolok-olok Yesus di kayu salib, mereka sedang melayani Setan. Tetapi Yesus melayani Bapa, sehingga Ia dapat berdoa, “Bapa, ampunilah mereka”. Jadi, ketika kita berhadapan dengan orang yang tidak bersedia mewujudkan kerukunan, itu tidak berarti bahwa “karena kita benar maka sikap pahit kita kepada orang lain adalah benar juga.” Yang sangat perlu kita pikirkan adalah: siapa yang akan kita layani: Setan atau Allah. Layanilah Allah.
Kita amat sering dalam keadaan bahaya pada saat-saat di mana kita tahu bahwa kita benar dan pihak lain salah. Sebab, dalam situasi-situasi seperti itu kita dapat dengan mudah membenarkan diri a la Farisi (yang menganggap diri paling benar sambil menghakimi orang lain). Mungkin saja kita benar dalam hal permasalahan yang sedang mengemuka, tetapi salah dalam bersikap –melayani kerajaan Setan ketimbang kerajaan Tuhan-- dengan kesombongan bukan dengan kerendahan hati.
Perlu ditegaskan bahwa demi memelihara kerukunan bukanlah terutama menyangkut faktor lahiriah di mana orang saling berbasa-basi dalam menyapa satu-sama lain. Itu adalah 'kerukunan semu. Kerukunan kristiani adalah kerukunan yang dilandasi kebenaran. Kerukunan semu terjadi ketika kita hanya mengandalkan 'pendekatan psikologis' untuk menyenangkan (ego) orang sambil mengorbankan kebenaran. Dalam kekristenan, jika harus memilih antara 'kerukunan semu' dengan 'kebenaran', kita harus tegas memilih 'kebenaran', yang bisa saja mengandung konflik. Artinya, ada kalanya kita harus mengorbankan ‘kerukukan' jika kerukunan sudah tergelincir pada kerajaan Setan. Sebab dalam kerajaan setan pun ada juga ‘persahabatan’, yakni: persahabatan yang siap membabat bukan menjadi berkat.
Dalam persekutuan Gereja, mengapa perselisihan terjadi? Kata-kata Zac Poonen berikut ini kiranya boleh mengubah hidup kita:
Satu hal yang pasti, karena ‘keakuan’ masih bertahta dalam hidup kita. Kita menganggap diri kita begitu penting dan kita merasa bahwa orang lain harus menghargai kita dan selalu meminta pendapat atau nasihat kita. Kita merasa bahwa yang lain harus berperilaku dan berbuat sebagaimana kita inginkan. Kita mengharapkan orang lain bersikap baik, berhati-hati kepada kita, memperhitungkan jasa atau prestasi kita dan memuji kita. Perasaan-perasaan dan harapan-harapan seperti itu adalah bukti nyata bahwa kita tidak memahami dan menghidupi salib. Hidup kita sepenuhnya berpusat pada diri kita dan masih didominasi oleh pementingan diri.
Persekutuan Kristen yang benar tidak akan pernah dialami di antara orang percaya jika kasih salib itu tidak dijadikan sebagai dasar sikap dan perbuatan dalam hubungan mereka. ‘Persekutuan’ apa pun yang ada di dalam gereja yang terpisah dari kasih salib itu, yang ada hanyalah paguyuban sosial dan bukan persekutuan tubuh Kristus yang benar. Paguyuban sosial seperti itu juga dapat kita temukan dalam klub-klub duniawi juga. Sedihnya, banyak jemaat-jemaat dan kelompok-kelompok Kristen yang tidak lebih baik dari klub-klub duniawi.
Hidup dalam dan dengan kasih salib mewujud melalui kehidupan yang berpusat pada Kristus, kehidupan yang menyangkal diri (membuang kesombongan dan pementingan diri sendiri). Dalam kaitan dengan gembala atau pemimpin jemaat dengan anggota jemaat, secara konkret dapat disebutkan dua hal. Pertama, para pelayan gereja hendaknya tidak terutama menggunakan pendekatan psikologis kepada warga jemaatnya hanya untuk sama-sama menyenangkan. Misalnya, pelayan gereja memberi tugas memainkan musik dalam ibadah kepada orang yang sebenarnya kurang mampu memainkan musik dengan baik, padahal ada orang yang benar-benar mampu memainkan musik dengan baik. Janganlah seorang gembala atau pimpinan jemaat memberi tugas pelayanan ini hanya untuk 'mengambil hati' warga jemaat dengan mengorbankan ibadah. Contoh lain, memberi tugas berkhotbah atau memimpin kelompok Pemahaman Alkitab atau tugas pelayanan lain tertentu kepada warga jemaat hanya untuk 'mengambil hati'. Janganlah kita korbankan kehidupan bergereja hanya untuk menjalin persahabatan semu. Sebelum mendelegasikan tugas kepada warga jemaat, berilah waktu sejenak menjawab pertanyaan, "apakah pendelegasian tugas ini suara Tuhan dan demi pelayanan itu sendiri, atau untuk kepentingan diri sendiri (mengalihkan tanggung jawab, supaya yang ditugasi ini menjadi 'kawan' --bukan lawan, dan sebagainya). Gembala atau pelayan jemaat perlu melakukan 'motivation check-up'.
Kedua, semua warga jemaat hendaknya melaksanakan tugas panggilannya di dalam kehidupan bergereja sesuai dengan talenta, milik dan keberadaannya dalam keteraturan. Ya, 'dalam keteratuan'. Artinya, setiap gereja memiliki tradisi dan tata gereja masing-masing. Pelayanan ini bukanlah sekadar sarana menyalurkan hobbi atau bakat atau menampilkan diri melainkan pelayanan untuk kemuliaan Tuhan dan damai sejahtera di bumi. Ketika kita diminta untuk melakukan tugas tertentu oleh pihak gereja, beri waktu Anda bertanya 'ke dalam', apakah itu suruhan Tuhan atau hanyalah sekadar 'alat' memanfaatkan Anda untuk kepentingan yang amat dangkal.
Untuk itulah kita perlu merelakan hati kita didiami oleh Roh Tuhan, agar Ia bertahta di sana. Roh itu jugalah yang menuntun kita untuk bersikap, berkata, bertindak, menggantikan apa yang mungkin sudah kita format (terformat tanpa sadar) dan secara otomatis keluar dari dalam diri kita tanpa pertimbangan apakah itu membuahkan kebaikan atau justru menghancurkan. Sesungguhnya, Roh Tuhan senantiasa siap sedia berdiam dalam diri kita. Kini saatnya, kita sambut kehadiran-Nya. Ia sanggup mengubah hidup kita untuk kebaikan kita sendiri, jemaat dan dunia ini. Tuhan sendiri yang menebas akar keegoisan yang merasuk dan merusak kerukunan yang benar di dalam persekutuana jemaat; jika kita merelakan diri dipenuhi dan dipimpin oleh Roh Kudus.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.