Monday, August 25, 2008

JABATAN GEREJAWI

JABATAN GEREJAWI:
Pelayan bukan Pegawai Agama

(Acuan: Matius 9:35:38)

(1) Melihat, Merasakan dan Melayani Bersama Tuhan

Sejak dulu, Allah menyatakan kepedulian-Nya pada hidup umat manusia. Allah berfirman, “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir,…Aku tahu penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka…” (Kel 3:7-8).

Kita mengaku bahwa Allah tidak bergerak sesudah kita bergerak. Ia sudah mendahului. Tugas kita adalah melibatkan diri dalam pekerjaan-Nya. Itupun adalah karena anugerah-Nya yang melayakakan kita.

Yesus juga telah menyatakan kepedulianNya pada umat manusia dengan mengelilingi kota dan desa. Kini, dari tempat kita berada sekarang, di mana kita juga dalam penyertaan Yesus, hati kita dapat melihat keadaan dunia yang sedang mengalami kegalauan, penderitaan, penindasan, ketidakadilan. Hati Yesus tergerak oleh belas kasihan (ayat 36), tetapi orang sering tidak menyadari bahwa Yesus menghendaki agar mereka selamat dan lepas dari segala yang membelenggu mereka.

Rencana penyelamatan Yesus masih tetap berlangsung, tetapi Ia membutuhkan keterlibatan kita. Ia membutuhkan kita untuk membuat pekerjaan-Nya nyata melalui tindakan dan pelayanan kita. Ini adalah anugerah yang sangat berharga bagi kita. Karya nyata kita menolong mereka yang mendapat perhatian-Nya dengan kasih dan kepedulian adalah wujud perluasan kerajaan-Nya di dunia ini.

Kita percaya bahwa Yesus juga mengelilingi kota dan desa hingga hari ini. Mereka yang merindukan pelayan yang baik dan setia, juga mereka yang sudah jauh dari kawanan domba oleh karena bermacam penggoda. Ke tengah-tengah mereka kita diutus. Akan tetapi, Dia sudah lebih dulu di sana. Dia yang mengutus, Dia juga yang menantikan kita di sana, sekaligus Dia yang memimpin perjalanan kita ke sana. Yesus bersama kita. Dia sendiri yang memimpin. Setiap kali Ia mengutus, Ia selalu menyertai. Ia memberi jaminan, “ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa, sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20).

(2) Bersama Yesus Mengalahkan Pencobaan

Pekerja-pekerja untuk tuaian itu (ay at 38) adalah yang hidup oleh, dalam, dan dari Tuhan, sang Pemilik tuaian itu. Pelayan yang hidup oleh dan dalam Injil! Hidup dari Injil saja, membuat kita tidak lebih dari sekadar pegawai-pegawai agama yang mencari nafkah dari tugas pelayanan kita. Tetapi kita terpanggil hidup oleh dan dalam Injil, dimana hidup kita tergantung sepenuhnya dan berpadanan dengan kehendak Tuhan.

Kesetiaan kita akan panggilan mewujud dalam rasa haus kita untuk bersahabat dengan firman Tuhan. Kita akan membaca dan menggunakan Kitab Suci dengan niat yang suci pula. Sebab, tidak sedikit orang menyalahgunakan ayat-ayat Alkitab untuk mempermulus pemenuhan keinginan kedagingannya dan target rancangan sendiri.

Hidup itu sebenarnya sederhana dan mudah, serta penuh dengan kegembiraan. Hidup terasa sulit jika hanya dikuasai oleh ilusi, ambisi, cinta diri, gengsi, keserakahan, dan keliaran pikiran. Semuanya ini membuat kita kelelahan dalam berpikir dan bergerak. Tetapi keletihan seperti itu, yang serta merta diikuti dengan pudarnya semangat dan depresi bukanlah tanda-tanda bahwa kita melaksanakan kehendak Allah. Kehendak Allah terjadi dalam hidup kita ketika kita hidup dalam suasana kegembiraan rohani dan membuahkan buah-buah Roh.

Seringkali kita mengejar keinginan atau hasrat tertentu, padahal pada saat itu juga Allah mempunyai rencana yang sama sekali berbeda dari rencana kita. Kita dapat menyebut dua frustrasi utama yang mungkin terjadi dalam pelayanan, yakni: ‘waktu’ dan ‘tempat’. Barangkali ada saatnya dimana seorang pelayan merasa terlalu banyak hal untuk dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Mungkin juga seorang pelayan merasa mendapat (yang diinginkan) terlalu sedikit dalam waktu yang terlalu lama. Frustrasi ‘tempat’, misalnya, seorang pelayan terus menerus membayangkan berada di tempat lain ketika ia berada pada suatu tempat pelayanan. Atau, ketika seorang pelayan begitu senang dan betah pada suatu tempat tertentu, sehingga tidak mengharapkan berada di tempat lain. Berada di tempat lain, mungkin dianggap sebagai suatu kehilangan; dan bagi banyak orang, kehilangan bisa diangap sebagai suatu “kematian kecil”.

Dalam keadaan demikian, kita bisa tergoda mempersalahkan orang dan situasi. Padahal, selama kita masih percaya bahwa tindakan orang lain merupakan penyebab kesulitan kita saat ini, kita tidak akan berdaya untuk berubah. Dengan berusaha untuk tidak menyalahkan orang, kita bertanggungjawab terhadap hidup dan diri kita sendiri. Kita juga dapat menyerahkan rasa sakit hati kita pada sebuah altar dan memasrahkannya kepada Tuhan, sehingga diri kita dan orang lain bebas dalam rahmat Tuhan.

Bersama dengan Dia kita akan mampu menyisihkan keinginan hanya untuk sesuatu yang lebih tinggi nilainya. Dalam hal ini kita benar-benar membutuhkan pimpinan Tuhan.

(3) Pertolongan Tuhan dalam Ketidaklayakan Kita

Menanggapi panggilan Tuhan, Yeremia mengatakan, “Ah, Tuhan Allah! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara”. Tetapi, Allah berfirman kepada Yeremia, “Sesungguhnya, Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu” (Yer. 1:6,9)

Bukankah ini sebuah rahmat yang amat berharga? Jadinya, bukan keahlian kita berbicara yang menjadi andalan. Tetapi oleh pengurapan Tuhan, mulut kita yang sangat manusiawi dan terbatas ini dipakai sebagai alat pemberitaan firman-Nya.

Dengan demikian, andalan kita bukan ijazah kesarjanaan, pemahaman teologi, kemampuan analisis sosial (meski semua kita butuhkan) tetapi yang terpenting adalah iman, kasih, pengharapan yang mewujud dalam komitmen, penyerahan diri dan kesucian hidup.

Mungkin saja kita melihat diri amat kerdil berhadapan dengan tugas raksasa yang terbentang di depan dan tantangan yang mungkin saja menghadang. Kita bisa menjadi amat getir dan tawar hati ketika dihantui rasa khawatir akan penerimaan orang lain, khawatir akan menghadapi 'orang-orang sulit', mengeluh soal jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan, bekal jasmani yang mungkin tidak tercukupi, dan sebagainya. Kita perlu menyadari dan mengakuinya dan tidak menekan perasaan tentang semua itu. Sebab, hidup yang tidak disadari tidak layak dijalani. Yang jauh lebih penting adalah meletakkannya di altar sebagai persembahan kita kepada Tuhan. Kita percaya bahwa Tuhan melihatnya, bahkan Ia mengetahuinya jauh lebih baik daripada kita, sebab Ia sudah lama berada di tempat di mana kita melayani.

Tuhan jauh lebih besar dan dahsyat dari segala kekuatan yang ada. Hanya saja, Iblis tidak takut kepada orang percaya. Iblis tidak takut kepada kita. Iblis takut dan takluk pada Kristus yang rela tinggal di dalam diri kita.

(4) Hubungan Pelayan dan Umat: Sesama Milik Tuhan

Kebajikan akan hadir sejauh kita menyertakan kepekaan kita akan kehadiran Tuhan dan kehendak-Nya untuk menilai apa yang Tuhan inginkan dalam hidup kita. Bila ini yang mendasarinya, maka di sana ada ketaatan sejati dalam mengemban tugas pelayanan kita. Dan semangat pelayanan yang sejati itu akan terungkap dalam kehangatan, keterbukaan dan keterlibatan hidup. Sedangkan kelobaan mendatangkan kebosanan, sinisme, isolasi dan cinta diri.

Kita adalah pelayan umat, tetapi mereka bukanlah tuan kita. Kita tidak terpanggil pertama-tama menuruti dan menyenangkan hati jemaat tetapi pertama dan terutama berbuat yang berkenan kepada Tuhan. Kepada kita dipercayakan melayani domba-domba gembalaan Tuhan, anak-anak, remaja, pemuda, dewasa dan orangtua; yang sehat, lemah bahkan sakit; yang miskin dan yang kaya; dan dengan seluruh keberadaannya. Kepada kita dipercayakan tugas menyaksikan Injil dalam kata dan kehidupan konkret. Jika kotbah kita mau hidup, kita mesti menghidupi apa yang kita kotbahkan. Biarlah melalui hidup dan pelayanan kita Allah dipermuliakan dan umat diselamatkan. Kita menjalaninya dengan iman yang teguh bahwa Tuhan dekat.

Sunday, August 10, 2008

KARAKTER PELAYAN

Siapa pelayan itu jauh lebih penting daripada apa yang dapat dia lakukan. Sebab, siapa dia memberi kekuatan kepada apa yang ia lakukan. Dalam hal ini, ‘karakter’ adalah salah satu dari beberapa hal penting bagi setiap orang yang terlibat dalam pelayanan gereja. Pelayanan tanpa karakter hanyalah ‘aktivitas keagamaan’ atau malah ‘bisnis religius’.

Pendeta, misalnya, membutuhkan sikap seorang pelayan tetapi ia harus selalu ingat bahwa ia melayani Kristus melalalui pelayanan Gereja. Jika ia tidak melayani Kristus, ia akan menyakiti sebagian warga jemaat dan menyenangkan hati sebagian lagi --khususnya mereka yang memenuhi keinginannya.

Bagaimana pendeta meningkatkan hidup spiritualnya? Warren W. Wiersbe and David W. Wiersbe menawarkan yang berikut ini:

  1. Pendeta perlu mengembangkan keheningan (apa saja pun namanya seperti meditasi, kontemplasi, saat teduh dan lain-lain). Kehidupan ibadah merupakan bagian penting dalam pembangunan karakter.

  2. Terhubung dengan suatu tradisi yang baik seperti Benedictus, Franciskus Asisi, Spiritualitas Lutheran dan sebagainya.

  3. Menguji kehidupan spiritualitasnya dengan mengajukan beberapa pertanyaan penting, misalnya:
  • Apakah saya melayani dengan iman atau saya menentukan sendiri apa yang harus dicapai?
  • Apakah ibadah pribadi saya sungguh-sungguh hidup dan penuh sukacita, atau hanya sesuatu yang rutin saja?
  • Apakah keluarga saya menerima dan mendukung pelayanan atau apakah ada ketegangan. Apakah saya memberi gambaran negatif tentang keadaan pelayanan? Apakah mereka melihat saya bergembira atau betah dalam pelayanan?






ShoutMix chat widget