Tuesday, December 28, 2010

NASI GOSONG DAN KEMESRAAN

REFLEKSI SENIN KE-52
27  Desember 2010

Untuk Senin ke-52, Senin terakhir di 2010 ini, saya ingin membagikan sebuan cerita yang saya terima baru-baru ini. Konteksnya memang Barat, tapi terbilang sarat makna yang dapat menginspirasi seluruh lapisan masyarakat.
Ketika saya masih kecil, ibu saya suka membuat makanan yang layaknya sarapan untuk makan malam. Saya ingat pada suatu malam ketika dia membuat makan malam setelah hari yang melelahkan bagi ayah. Ibu saya menyajikan telur, sosis dan roti gosong di depan ayahku. Saya menunggu untuk melihat apakah yang bakal terjadi. Namun ayah saya meraih roti gosongnya, tersenyum pada ibu saya dan menanyakan bagaimana keadaan saya di sekolah hari itu. Saya tidak ingat apa yang saya katakan malam itu. Yang saya ingat adalah bagaimana ayah saya mengolesi roti gosong itu dengan selai dan tampak menikmatinya.
Ketika saya bangkit dari meja malam itu, saya ingat bahwa ibu saya meminta maaf kepada ayah atas gosongnya roti itu. Dan saya tidak akan pernah melupakan apa yang ayah katakan: "Sayang, saya menyukai roti gosong."
Sebelum tidur malam itu, ketika saya pergi mencium ayah, saya bertanya apakah dia benar-benar menyukai roti gosong. Dia mendekap saya dalam pelukannya dan berkata, "Ibumu melakukan banyak pekerjaan yang melelahkan sepanjang hari ini. Lagi pula, sepotong roti gosong tidak dapat menyakiti siapa pun. Kau tahu, anakku, hidup ini penuh dengan hal-hal yang tidak sempurna dan orang tidak sempurna. Ayah juga bukan pemasak yang sempurna”.
Penulis cerita ini memaknai cerita tersebut sebagai berikut.

Apa yang saya pelajari selama bertahun-tahun adalah bahwa belajar menerima kesalahan-kesalahan orang lain dan memilih untuk merayakan perbedaan masing-masing adalah kunci terpenting untuk menciptakan hubungan yang sehat, bertumbuh, dan bertahan lama.
Dan itu jugalah doa saya untuk Anda hari ini. Bahwa Anda akan belajar untuk mengambil yang baik, yang buruk, dan bagian-bagian jelek dari kehidupan Anda dan meletakkannya di kaki Tuhan. Karena pada akhirnya, hanya Dialah satu-satunya yang dapat memberikan suatu hubungan di mana roti bakar tidak mampu menjadi perusak suasana.
Dengan berakhirnya tahun 2010 ini, berbagai hal bertambah dalam hidup kita. Pilihan kitalah yang menentukan apa yang kita bawa memasuki dan menjalani 2011 dengan konsekuensinya masing-masing. Kesalahan orang kepada kita pada 2010 ini kemungkinan besar( bahkan pasti) ada. Menjalani 2011 pun kita masih akan menghadapi ‘nasi gosong’ dengan berbagai bentuknya. Tugas kita ada tiga. (1) Menikmati yang ada, sejauh tidak membahayakan tubuh, roh dan jiwa demi terciptanya hubungan yang sehat, bertumbuh dan bertahan lama. (2) Melupakan masalah-masalah sepele demi yang terutama. Nasi gosong adalah masalah sepele. Istri jauh lebih berharga ketimbang sesuap nasi gosong. Manusia jauh lebih berharga ketimbang benda apa pun. Lagi pula, marah-marah karena nasi gosong membuat nasi semakin terasa lebih gosong dan sakit tenggorokan. (3) Sedapat-dapatnya, ketika kita menjalankan tugas atau pekerjaan, kita melakukannya sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Sebab dengan demikian kita mengurangi celah di mana Iblis merusak suasana dan merusak hubungan baik.



Sunday, December 19, 2010

KEMBALI KE MAKNA AWAL NATAL

REFLEKSI SENIN KE-51
20 Desember 2010

Domba-domba lebih memahami peristiwa Natal pertama ketimbang para imam di Yerusalem. Hal yang sama juga terjadi sekarang.
(Thomas Merton)



DI MANA KITA BERADA?

Perayaan natal di Indonesia barangkali memiliki kekhususan dibandingkan dengan yang terjadi di seantero dunia ini. Misalnya, natal sudah dirayakan sejak awal bulan Desember yang sebenarnya masih masa minggu-minggu Advent. Bagi orang Kristen Batak, mungkin banyak di antara mereka yang mengikuti ibadah natal lebih dari sepuluh kali mulai natal kumpulan marga, kantor atau lingkungan kerja, lingkungan domisili, dan di gereja mulai natal anak-anak sekolah Minggu sampai perayaan natal tanggal 26 Desember. Karena banyaknya, bahkan ada yang merayakannya pagi atau siang hari. Di sini nyanyian ‘malam kudus’ atau dalam bahasa Batak Sonang ni bornginna i juga dinyanyikan sambil mematikan lampu dan menyalakan lilin tetapi tetap terang benderang karena di siang bolong.

Di samping itu, tidak rahasia lagi bahwa bagi sebagian orang perayaan natal tidak bisa dipisahkan dengan menu istimewa. Itu sebabnya ada yang meplesetkannya dalam bahasa Batak, yang inti dalam natal adalah sukacita karena tubu Tuhanta (kelahiran Tuhan) menjadi tu butuhanta (urusan perut). Bagi sebagian orang, Natal tidak lengkap tanpa binda (potong-memotong ternak secara bersama).

Kenyataan-kenyataan demikian dapat mengakibatkan perayaan natal hanya menyisakan sedikitnya empat hal yang tidak perlu, yakni:

(1) Sampah, baik sisa dan bungkus makanan maupun bahan dekorasi. Sisa-sisa ini menambah pekerjaan petugas kebersihan kota dan (terutama) menambah kehancuran alam semesta.

(2) Penyakit. Sebab, sejak masa latihan dan perayaan yang begitu banyak diikuti bisa membuat tubuh menjadi lelah, masuk angin (apalagi karena Desember umumnya musim hujan), dan kelebihan kolestrol. Belum lagi, bagi sebagian ibu-ibu yang karena lama menunggu di salon terpaksa malam harinya tidur telungkup supaya riasan rambutnya tidak rusak dan bisa dipakai untuk perayaan natal yang lain besok harinya. Maklumlah, di samping agak mahal biayanya juga terlalu lama menunggu di salon. Kalau tiga malam telungkup, apa tidak menyebabkan penyakit? Ada pula kaum perempuan yang mengubah rambutnya. Yang keriting diluruskan alias direbonding (untuk itu butuh lima jam). Yang rambutnya lurus dikeritingkan. Yang ubanan dicat atau disemir hitam. Yang hitam diubah menjadi warna abu-abu atau merah jambu bahkan ada juga yang berbelang-belang. Agak repot memang.

(3) Hutang. Baik hutang Panitia yang mungkin tidak berhasil mengumpulkan dana yang dibutuhkan, maupun hutang keluarga-keluarga karena pengeluarannya yang membengkak. Saya mengamati bahwa Dinas Pegadaian di beberapa tempat lebih ramai dikunjungi orang pada bulan Desember. Banyak orang menggadaikan barang-barangnya untuk biaya yang berkaitan dengan perayaan natal. Sebenarnya tidak ada hubungan perayaan natal dengan kursi atau gordin jendela baru. Tetapi bagi sebagian orang, saat natal merupakan waktu untuk membeli semua itu. Tidak salah memang, asal jangan sampai orang Kristen kehilangan sukacita dan damai pada saat perayaan ini, hanya karena faktor-faktor lahiriah.

(4) Perselisihan. Mengapa? Orang yang lelah biasanya gampang tersinggung dan marah. Perselisihan bisa terjadi di dalam tubuh kepanitiaan Natal, di tengah keluarga dan lain-lain. Amat menyedihkan jika hal-hal inilah yang tersisa, sehingga inti natal sebagai’ sukacita dan damai sejahtera’ menjadi sirna.

Agar perayaan natal yang kita lakukan sungguh-sungguh menjadi kemuliaan Tuhan dan sukacita serta damai sejahtera bagi kita, kita perlu berpaling sejenak pada sejarah natal, bagaimana perayaan gerejawi seharusnya dilakukan, dan bagaimana merayakan natal yang bermakna.

SEJARAH PERAYAAN NATAL

Di sini perlu dilihat tradisi Timur dan tradisi Barat yang dalam kedua tradisi ini perayaan natal pada kedua tradisi ini dilaksanakan pada waktu yang sama dengan perayaan kafir pada zamannya. Juga, ada perbedaan penekanan inti atau tema perayaan sebagai berikut.

1. Tradisi Timur

Perayaan natal pertama dirayakan di Mesir (abad ke-3) dan menyusul di Galilea (tahun 360). Keduanya merayakannya pada tanggal 6 Januari. Ketika itu, pada tanggal yang sama masyarakat sekitar merayakan hari lahir Aion, dewa Yunani yang mewakili ‘waktu yang kekal’. Penekanan makna natal ketika itu ialah “kelahiran yang kekal dari Logos (Firman yang menjadi manusia).

Kemudian, menyusul lagi dirayakan di Konstantinopel (379), Antiokia (386), Mesir (430) dan Yerusalem (abad ke-6 atau ke-7). Penekanan perayaan natal pada waktu itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba.

2. Tradisi Barat

Di Barat, Natal pertama sekali dirayakan di Roma (akhir abad ke-4), yang dirayakan pada 25 Desember. Pada waktu yang sama juga ada perayaan non-kristen yaitu Pesta Sol Invictus, perayaan kelahiran ‘Dewa matahari yang tdk terkalah-kan’. Penekanan perayaan Natal ketika itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba.

Satu hal yang dapat kita garisbawahi dalam hal ini ialah persamaan waktu perayaan natal dengan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Orang-orang Kristen mau menyaksikan bahwa seorang Raja dan Tuhan yang melampaui semua raja dan tuan sudah lahir.

MAKNA AWAL PERAYAAN NATAL

Pada awalnya, perayaan natal dirayakan sedikitnya berkaitan dengan tiga hal penting sebagai berikut.

(1) Sarana Kesaksian

Seperti sudah disinggung, pada mulanya perayaan natal berlangsung bersamaan waktunya dengan perayaan kafir. Dengan demikian perayaan natal berperan sebagai sarana kesaksian kepada dunia tentang kebenaran sejarah kelahiran Yesus Kristus ke dunia ini, sekaligus mengajak kafir dalam persekutuan Kristen. Sebab, Yesus yang lahir itu adalah Juruselamat dunia.

(2) Peristiwa Liturgis

Perayaan natal tersebut menekankan peranan ibadah dan penghayatan pentingnya kedatangan Tuhan. Hal ini mengacu pada suasana seperti dalam Injil Lukas: (1) dunia dengan egoismenya; (2) Kesederhanaan kandang domba; (3) Gerak hidup yang dipimpin oleh terang cahaya bintang, yang menekankan pimpinan Tuhan dalam kehidupan.

(3) Sarana Penggembalaan

Perayaan natal dimaksudkan agar warga jemaat tidak campur atau terlibat dalam perayaan yang dilaksanakan oleh orang-orang kafir. Orang Kristen merayakan suatu peristiwa yang jauh lebih besar dari perayaan-perayaan kafir itu di gereja.

PERAYAAN NATAL YANG BERMAKNA

Menurut Konfesi Augsburg (pengakuan Iman Lutheran), pasal XV, perayaan gerejawi yang dapat dipelihara adalah:

• Yang dapat dilaksanakan tanpa berdosa
• Yang menciptakan damai dan ketertiban dalam gereja
• Bukan alat demi keselamatan
• Bukan mengambil hati Allah untuk memperoleh anugerah

Bertolak dari makna natal sebagaimana dalam awal sejarahnya dan makna perayaan gerejawi (termasuk perayaan natal) sebagaimana disebut dalam Konfesi Augsburg tadi, berikut ini ada beberapa hal yang menurut hemat saya perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian kita, yakni:

1. Hendaknyalah perayaan natal dilakukan sejak 24 Desember dan bisa dilanjutkan hingga minggu pertama Januari. Jika perayaan dilakukan sebelum natal, alangkah baiknya kalau yang dirayakan adalah ‘perayaan penyambutan natal’ atau perayaan ‘Advent’.

2. Yang menjadi penekanan adalah ibadah, perenunungan, kesederhanaan dan aksi konkret, tidak terutama kemeriahan fisik dan ‘pesta makan’. Secara khusus jemaat-jemaat yang memiliki uang banyak, perayaan natal inilah kesempatan membantu saudara-saudara kita yang berkekurangan. Pengeluaran perayaan natal ribuan dollar atau jutaan rupiah hanya untuk diri sendiri (makan, hadiah, dekorasi dsb) sudah menyimpang dari hakekat perayaan natal. Kita perlu mendidik anak-anak untuk ‘memberi’ pada masa natal, bukan malah menerima hadiah-hadiah.

3. Acara perayaan hendaknya disusun sedemikian rupa, bukan menjadi ajang pamer diri tetapi mengajak semua peserta ibadah merenungkaan makna natal. Tidak terlalu panjang atau bertele-tele, sehingga tidak ada lagi perhatian yang tersisa untuk mendengarkan kotbah atau pemberitaan firman.

4. Kelahiran Yesus adalah dalam rangka ‘Imanuel’ (Allah beserta kita) dan demi damai sejahtera. Karenanya, perayaan natal kiranya menolong kita semua menghayati kasihNya yang begitu besar dan kita sungguh-sungguh memiliki ‘damai sejahtera’ jauh dari ketegangan apalagi perselisihan pada masa-masa perayaan Natal.



Sunday, December 12, 2010

MACET TANPA GELISAH DAN GUNDAH


REFLEKSI SENIN KE-50
13 Desember 2010

Yang menanti gelisah, sementara yang dalam perjalanan merasa susah dan gundah. Itulah biasanya yang terjadi di saat kemacetan lalu lintas. Itulah yang tergambar dari wajah dan terdengar dalam percakapan melalui telpon teman-teman seperjalanan saya Sabtu lalu dari Siantar menuju Medan dengan taksi. Ada yang harus terbang ke Jakarta. Ada yang harus mengikuti pertemuan. Tapi, apa daya kemacetan lalu lintas membuat perjalanan hamapir empat jam. Padahal, perjalanan Siantar-Medan biasanya dapat ditempuh dua setengah jam dengan mobil pribadi atau taksi. Berbeda dengan dua tiga terakhir ini yang terkadang ditempuh tiga setengah sampai empat jam pada jam tertentu. Pasalnya, ada perbaikan jalan. Bukan jembatan. Yang diperbaiki sebenarnya kurang dari seratus meter. Tetapi entahlah, waktu pengerjaannya begitu lama.

Kemacetan lalu lintas tidak saja terjadi antara Siantar-Medan. Bagi penduduk kota-kota di Indonesia, ‘macet’ di jalanan sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Jakarta, misalnya, sudah puluhan tahun masalah ini tidak bisa diatasi. Jalan tol pun macet. Begitu juga kota Medan, yang jalan-jalan utamanya sudah hampir seperti kondisi Jakarta. Bahkan, kota kecil seperti Siantar pun, yang lima tahun lalu masih sangat lancar di dua jalan utama (Jln Sutomo dan Jln Merdeka), belakangan ini sudah sangat padat. Hal yang sama terjadi di jalan-jalan antar kota.

Dari pengamatan sementara sedikitnya ada tujuh faktor penyebab macetnya lalu lintas di Indonesia:

Pertama, pertambahan atau perluasan jalan yang tidak sebanding dengan pertambahan kendaraan. Mobil dan sepeda motor bertambah tiap hari, sementara ruas jalan relatif sama dari tahun ke tahun.

Kedua, angkutan kota (angkot) yang di satu segi terlalu banyak dan di segi lain perilaku para pengemudinya yang hampir semuanya tidak peduli pada pengendara lain. Para supir harus mengejar setoran. Kota Bogor, Medan, Siantar dipenuhi oleh angkutan kota.

Ketiga, perilaku para pengguna jalan yang hanya mementingkan diri sendiri dan sangat sering melanggar ketentuan berlalu-lintas yang semakin memperparah kemacetan.

Keempat, perjalanan yang tidak perlu. Mereka-mereka yang baru membeli mobil atau sepeda motor sering melakukan perjalanan yang tidak terlalu perlu tetapi hanya karena ingin mengendarai mobil atau sepeda motornya yang baru dibeli.

Kelima, penggunaan ruas jalan tertentu menjadi tempat pesta atau karena kemalangan. Anehnya (lebih tepat: sedihnya) ada yang sudah menutup jalan jauh sebelum hajatan berlangsung dan lama pula sesudahnya jalan baru dibuka kembali.

Keenam, pengaturan dan pengawasan polisi laluntas yang tidak maksimal.

Ketujuh, kurangnya perawatan jalan dan kurang cepatnya perbaikan jalan yang rusak. Jalan yang berlobang sering dibiarkan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Padahal, jika diperbaiki lebih cepat, pengerjaannya lebih mudah dan biayanya lebih murah.

Ketujuh penyebab utama ini menunjukkan bahwa banyak pihak yang terlibat langsung menciptakan kemacetan lalu lintas. Mungkin Anda sendiri termasuk dalam salah satu atau lebih dari penyebab tersebut. Ketika setiap orang memperhatikan tanggung jawabnya, kemacetan dapat diatasi.

Ada tiga kerugian terbesar dalam kemacetan lalu lintas adalah kebocoran enerji, penumpahan emisi, dan pengeruh emosi.

Bahan bakar jauh lebih boros ketika kendaraan melambat. Bahan bakar yang habis dalam satu jam berada kemacetan yang hanya dapat menempuh satu atau dua kilometer sudah bisa digunakan menempuh enampuluh kilometer atau lebih. Dengan kata lain, kemacetan lalu lintas memperparah krisis enerji atau bahan bakar.

Akibat pemborosan bahan bakar ini adalah penambahan polusi dan emisi. Udara menjadi tercemar oleh asap kenderaan yang mengganggu kesehatan dan termasuk ikut menyumbang terhadap terjadinya pemanasan global.

Secara emosional, ada orang yang tidak bijaksana menghadapi kemacetan: mulai dari yang merasa gundah, jengkel, mengutuki, berang dan sebagainya. Padahal, reaksi-reaksi demikian biasanya tidak menolong. Malahan, reaksi negatif akan menimbulkan persoalan baru. Dapat kita bayangkan kalau seorang pengemudi mobil melampiaskan amarahnya dengan menabrak pengendara sepeda motor yang menyalip. Manusia menjadi korban, kendaraan hancur, dan jalan semakin macet.

Sambil semua pihak bergerak menjalankan tanggung jawabnya mengatasi kemacetan, ketika kita sedang mengalaminya, kita tidak perlu gundah, berang atau mengutuki. Pikiran dapat dialirkan kepada hal-hal yang baik. Membaca, merencanakan dan berdoa dalam kemacetan bukan sesuatu yang terlalu suci untuk dilakukan. Apalagi, jalan ke hati, ke buku dan ke sorga tidak macet.

Sunday, December 5, 2010

KRISTEN-MUSLIM

REFLEKSI SENIN KE-49
06 Desember 2010

Saya sangat gembira ketika menerima undangan Bapak Suyanto dan Ibu Suana untuk menghadiri acara pernikahan anaknya, Bambang Prasetya. Rasa gembira ini saya wujudkan dengan menghadirinya kemarin, 05 Desember 2010, bersama istri dan kedua anak saya. Kami dapat melihat dan mengalami bagaimana rasa sukacita Bapak Suyanto dan Ibu Suana menyambut kami. Sambil menikmati hidangan yang lezat kami sempat berbincang-bincang di sela-sela kesibukan mereka menyambut para tamu.

Kami mengenal keluarga ini delapan tahun lalu. Sejak itu kami bersahabat dan beberapa kali saling mengunjungi. Beliau tahu bahwa saya seorang Kristen dan seorang pendeta. Saya juga mengetahui beliau seorang muslim. Sejujurnya, saya tidak pernah dan tidak akan pernah mempengaruhi keluarga ini untuk menjadi Kristen. Tentu, saya tidak keberatan malah senang, jika beliau menjadi Kristen atas pilihan sendiri. Saya juga yakin, beliau tidak ada niat mempengaruhi saya untuk menjadi muslim.

Persahabatan kami terbanagun karena kami (1) Mengakui dan menghargai perbedaan agama. (2) Tidak ada agenda terselubung untuk mempengaruhi satu sama lain khususnya untuk menarik ke agama sendiri. (3) Menekankan bahwa kami adalah “sesama manusia”: yang sama-sama berharkat, sama-sama mempunyai tugas panggilan untuk membanagun persahabatan, sama-sama merindukan kedamaian, mempunyai tanggung jawab saling menolong. Jadi, ketika kami bersalaman, yang bertemu bukan terutama tangan Kristen dan tangan Muslim, tetapi tangan sesama manusia; sesama manusia yang adalah sama-sama ciptaan Allah yang sama.

Atas dasar itu pulalah persahabatan saya terbangun dengan beberapa penganut agama Islam lainnya, seperti Keluarga Pak Sardoyo dan Ibu Iyah di Yogyakarta, Keluarga Pak Sanimin di Medan, Keluarga Pak Suryono di Pematangsiantar dan lain-lain. Persahabatan sebagai ‘sesama manusia’ tanpa dipisahkan oleh perbedaan.

Sebagai seorang Kristen dan pendeta, hubungan seperti ini bukanlah mengingkari tugas panggilan saya di bidang missi Kristen. Sebab, tugas panggilan Kristen bukan ‘mengkristenkan’ orang lain, melainkan terutama untuk ‘mengasihi’ sesama manusia. Memberitakan Injil, bukan terutama melalui kata-kata, apalagi hanya menjelaskan isi Alkitab, melainkan melalui perbuatan dan tingkah laku yang mengalir dari kasih Kristus. Tugas seorang Kristen bukan pula menetapkan seseorang masuk sorga atau tidak. Itu adalah sepenuhnya hak Tuhan Yesus. Memang, menjadi tugas panggilan Kristen juga untuk menyambut penganut agama lain menjadi Kristen, jika itu pilihan sadar mereka. Yang jelas, tidak ada unsur pemaksaan dan tanpa iming-iming duniawi.

Kehadiran sahabat-sahabat muslim ini, tidak menggantikan sahabat-sahabat yang Kristen, melainkan 'perluasan'. Perluasan yang melintas tembok sempit ras, etnis, agama, dan sebagainya.Ungkapan 'seribu sahabat terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak' benar adanya. Memang menyedihkan karena terkadang persahabatan dengan penganut agama lain justru lebih baik ketimbang sesama Kristen. Hanya saja, jika kita sudah berbuat sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya, tapi ada saja orang yang memusihi kita, dari kita tidak akan dituntut apa-apa.

Rindu melihat dunia yang lebih damai dan toleransi umat beragama tidak hanya tertulis dalam dokumen dan bergema dalam ruang seminar, tetapi terbukti tumbuh mekar di seantero bumi.



ShoutMix chat widget