Sunday, December 12, 2010

MACET TANPA GELISAH DAN GUNDAH


REFLEKSI SENIN KE-50
13 Desember 2010

Yang menanti gelisah, sementara yang dalam perjalanan merasa susah dan gundah. Itulah biasanya yang terjadi di saat kemacetan lalu lintas. Itulah yang tergambar dari wajah dan terdengar dalam percakapan melalui telpon teman-teman seperjalanan saya Sabtu lalu dari Siantar menuju Medan dengan taksi. Ada yang harus terbang ke Jakarta. Ada yang harus mengikuti pertemuan. Tapi, apa daya kemacetan lalu lintas membuat perjalanan hamapir empat jam. Padahal, perjalanan Siantar-Medan biasanya dapat ditempuh dua setengah jam dengan mobil pribadi atau taksi. Berbeda dengan dua tiga terakhir ini yang terkadang ditempuh tiga setengah sampai empat jam pada jam tertentu. Pasalnya, ada perbaikan jalan. Bukan jembatan. Yang diperbaiki sebenarnya kurang dari seratus meter. Tetapi entahlah, waktu pengerjaannya begitu lama.

Kemacetan lalu lintas tidak saja terjadi antara Siantar-Medan. Bagi penduduk kota-kota di Indonesia, ‘macet’ di jalanan sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Jakarta, misalnya, sudah puluhan tahun masalah ini tidak bisa diatasi. Jalan tol pun macet. Begitu juga kota Medan, yang jalan-jalan utamanya sudah hampir seperti kondisi Jakarta. Bahkan, kota kecil seperti Siantar pun, yang lima tahun lalu masih sangat lancar di dua jalan utama (Jln Sutomo dan Jln Merdeka), belakangan ini sudah sangat padat. Hal yang sama terjadi di jalan-jalan antar kota.

Dari pengamatan sementara sedikitnya ada tujuh faktor penyebab macetnya lalu lintas di Indonesia:

Pertama, pertambahan atau perluasan jalan yang tidak sebanding dengan pertambahan kendaraan. Mobil dan sepeda motor bertambah tiap hari, sementara ruas jalan relatif sama dari tahun ke tahun.

Kedua, angkutan kota (angkot) yang di satu segi terlalu banyak dan di segi lain perilaku para pengemudinya yang hampir semuanya tidak peduli pada pengendara lain. Para supir harus mengejar setoran. Kota Bogor, Medan, Siantar dipenuhi oleh angkutan kota.

Ketiga, perilaku para pengguna jalan yang hanya mementingkan diri sendiri dan sangat sering melanggar ketentuan berlalu-lintas yang semakin memperparah kemacetan.

Keempat, perjalanan yang tidak perlu. Mereka-mereka yang baru membeli mobil atau sepeda motor sering melakukan perjalanan yang tidak terlalu perlu tetapi hanya karena ingin mengendarai mobil atau sepeda motornya yang baru dibeli.

Kelima, penggunaan ruas jalan tertentu menjadi tempat pesta atau karena kemalangan. Anehnya (lebih tepat: sedihnya) ada yang sudah menutup jalan jauh sebelum hajatan berlangsung dan lama pula sesudahnya jalan baru dibuka kembali.

Keenam, pengaturan dan pengawasan polisi laluntas yang tidak maksimal.

Ketujuh, kurangnya perawatan jalan dan kurang cepatnya perbaikan jalan yang rusak. Jalan yang berlobang sering dibiarkan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Padahal, jika diperbaiki lebih cepat, pengerjaannya lebih mudah dan biayanya lebih murah.

Ketujuh penyebab utama ini menunjukkan bahwa banyak pihak yang terlibat langsung menciptakan kemacetan lalu lintas. Mungkin Anda sendiri termasuk dalam salah satu atau lebih dari penyebab tersebut. Ketika setiap orang memperhatikan tanggung jawabnya, kemacetan dapat diatasi.

Ada tiga kerugian terbesar dalam kemacetan lalu lintas adalah kebocoran enerji, penumpahan emisi, dan pengeruh emosi.

Bahan bakar jauh lebih boros ketika kendaraan melambat. Bahan bakar yang habis dalam satu jam berada kemacetan yang hanya dapat menempuh satu atau dua kilometer sudah bisa digunakan menempuh enampuluh kilometer atau lebih. Dengan kata lain, kemacetan lalu lintas memperparah krisis enerji atau bahan bakar.

Akibat pemborosan bahan bakar ini adalah penambahan polusi dan emisi. Udara menjadi tercemar oleh asap kenderaan yang mengganggu kesehatan dan termasuk ikut menyumbang terhadap terjadinya pemanasan global.

Secara emosional, ada orang yang tidak bijaksana menghadapi kemacetan: mulai dari yang merasa gundah, jengkel, mengutuki, berang dan sebagainya. Padahal, reaksi-reaksi demikian biasanya tidak menolong. Malahan, reaksi negatif akan menimbulkan persoalan baru. Dapat kita bayangkan kalau seorang pengemudi mobil melampiaskan amarahnya dengan menabrak pengendara sepeda motor yang menyalip. Manusia menjadi korban, kendaraan hancur, dan jalan semakin macet.

Sambil semua pihak bergerak menjalankan tanggung jawabnya mengatasi kemacetan, ketika kita sedang mengalaminya, kita tidak perlu gundah, berang atau mengutuki. Pikiran dapat dialirkan kepada hal-hal yang baik. Membaca, merencanakan dan berdoa dalam kemacetan bukan sesuatu yang terlalu suci untuk dilakukan. Apalagi, jalan ke hati, ke buku dan ke sorga tidak macet.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget