Sunday, June 28, 2009

MINYAK HABIS 34 TAHUN LAGI?

REFLEKSI MINGGU KE-26
29 Juni 2009


Saat ini 860 juta mobil lalu-lalang memenuhi jalan-jalan di seluruh dunia. [7] Dan pertambahannya meningkat setiap tahun. Jika suatu hari China memiliki satu mobil untuk 4 orang penduduk (seperti gaya hidup Amerika sekarang), maka China akan memiliki 1,1 miliar mobil. Bayangkan, berapa banyak minyak yang akan dilahapnya. Untuk menyediakan jalan dan tempat parkir saja China membutuhkan lahan setara dengan luas pertanian padi yang ada di sana sekarang. China akan membutuhkan 99 juta barrel minyak per hari (padahal produksi minyak saat ini hanya sekitar 84 juta barrel per hari [8]). Jika ini berlanjut terus, diperkirakan minyaka dunia akan ludes 34 tahun ke depan. Kita belum bicara India yang juga berpenduduk 1 miliaran dan Indonesia yang lebih dari seperempat miliar. Jika semuanya ingin sama seperti gaya hidup Amerika, bumi ini akan punah segera.

Kendaraan bermotor ditambah dengan mesin yang menggunakan minyak merupakan penyebab polusi udara yang saat ini sudah berada pada tahap yang sangat berbahaya. Seluruh dunia menghabiskan minyak 28 miliar barel setiap tahun.[1] Amerika Utara dan Asia merupakan pengguna minyak terbesar, masing-masing 25,3 juta barrel dan 21,4 juta barrel per hari.[2] Lebih khusus lagi, Amerika dan China merupakan dua negara yang merupakan sumber polusi terbesar yang mengancam kehidupan bumi ini hingga sekarang.[3] AS, pelahap minyak terbesar dunia, menghabiskan minyak 20,4 juta barrel per hari[4] –24 persen dari total konsumsi minyak dunia setiap hari[5]; sedangkan di China terdapat beberapa kota terpolusi di dunia .[6]

Di samping mengotori udara, polusi dari kendaraan juga merupakan penyumbang terbesar terjadinya pemanasan global yang sudah sangat mengancam kehidupa saat ini.
Di samping kendaraan bermotor, peswat udara juga merupakan sumber polusi udara dan pemanasan global. Pesawat udara diperkirakan menyumbang 3.5 persen terhadap pemanasan global, yang diperkirakan akan bertambah menjadi 15 persen pada 2050[9] seiring dengan pertambahan penumpang peswat udara. Persentase warga bumi yang menumbang pesawat udara sebenarnya sangat kecil, tetapi mengakibatkan polusi udara dan pemanasan global dalam persentase yang relatif besar.
.
Masih perlu kita tambahkan dua kelompok pesawat udara yang lain. Pertama, pesawat-pesawat militer yang juga menghabiskan luar biasa banyak enerji. Kedua, pesawat atau jet pribadi milik para pebisnis atau pengusaha, politikus, selebriti, termasuk televangelis Benny Hinn. Khusus yang disebut terakhir ini, Benny Hinn, ia memiliki rumah mewah seharga 10 juta US$ (sekitar Rp. 111 miliar), ia mengadakan perjalanan dengan jet pribadi dengan pengeluaran US$ 100.000 per bulan hanya untuk jet pribadinya, ia juga memiliki dua mobil Mercedes baru.[10] (Jika Anda menganggap yang seperti itulah yang diberkati Tuhan, kita perlu berpikir ulang!).
.
Pertambahan pesawat pribadi kelihatannya akan terus melaju. Pada tahun 2006 saja ada 40.000 pesawat pribadi yang dibuat. Pesawat pribadi menyemburkan 4 ton karbondioksida setiap jamnya dan hanya membawa sedikit penumpang. Artinya rasio polusi-per-penumpang lebih tinggi dari pesawat komersial. [11]

Apa hubungannya dengan kita?

  1. Keadaan alam ciptaan Tuhan dan milik Tuhan ini, sudah amat tercemar. Yang membuat, bukan hanya ‘mereka’ tetapi 'kita' secara keseluruhan. Sebab, semua yang kita konsumsi atau gunakan (kendaraan, pakaian, peralatan elektronik dsb) juga menyumbang terhadap polusi. Mungkin persentasenya berbeda-beda dari orang yang satu ke yang lain, tetapi pada dasarnya kita semuanya ikut bertanggungungjawab.
  2. .
  3. Sudah saatnya kita secara serius mempertimbangkan pola pikir dan pola hidup kita. Misalnya, kalau dulu jalan-jalan ke luar negeri merupakan sebuah simbol status yang dapat menjadi suatu kebanggaan, saat ini merupakan sesuatu yang perlu dihindari. Lain halnya karena tugas yang tidak bisa terelakkan. Atau, ketika usia sudah ujur, yang merupakan kesempatan terakhir. Ketika kita menumpang pesawat udara, kita ikut menambah polusi dan pemanasan global. Apalagi kalau jalan-jalan malah bukan sebuah refreshing. Saya pernah mendengar satu keluarga berbulan-bulan mempersiapkan perjalanan ke luar negeri hanhya seminggu. Selama seminggu berada di tempat yang dituju, mereka lelah, terkadang bingung dan juga sibuk mengambil foto-foto yang akan ditunjukkan kepada teman-temannya. Liburan pun berlalu tanpa sesuatu yang bermakna. Dalam hidup ini mungkin akan semakin banyak yang dapat kita lakukan, tetapi tidak semuanya perlu kita lakukan. Tidak semua yang mampu kita lakukan baik kita lakukan.
  4. .
  5. Ketika Allah menciptakan manausia pertama dan menghembuskan nafas kehidupan melalui lubang hidungnya, kandungan oksigen segar ada di situ. Allah memberi yang terbaik untuk kita dan kita dipanggil untuk memberi yang terbaik bagi sesama --di antaranya memberi kesempatan kepada sesama untuk menghirup udara segar.

Catatan:

Anda yang ingin mendalami masalah krisis ekologi saat ini, buku-buku dan website berikut merupakan beberapa di antara sekian banyak sumber yang baik.




[1] Colin Mason, The 2030 Spike: Countdown to Global Catastrophe, London: EarthScan, 2003, p. 11.
[2] The Worldwatch Institute, Vital Signs 2007-2008. The Trends That Are Shaping Our Future, New York: The Worldwatch Institute, 2007, p. 32.
[3] Per Larson, Your Will Be Done on Earth: Ecological Theology for Asia. An Ecumenical Textbook for Theological School, Hong Kong: CCA, 2004, p. 16.
[4] http://www.ecobridge.org/content/g_cse.htm, accessed 14 September 2007.
[5] The Worldwatch Institute ,Vital Signs, p. 32.
[6] UN-HABITAT, State of the World’s Cities 2006/2007, Sterling: Earthscan, 2007, p. 15.
[7] Lester R. Brown, Plan B 3.0: Mobilizing to Save Civilization, New York: W.W. Norton & Company, 2008, p. 13.
[8] Brown, Plan B 3.0, p. 13.
[9] http://www.ecobridge.org/content/g_cse.htm, accessed 14 September 2007.
[10] http://www.bible.ca/tongues-benny-hinn-ministries-fake-fraud-miracles-healing-prayer.htm, accessed 23 June 2009
[11] The Worldwatch Institute, Vital Signs, p. 70.

Sunday, June 21, 2009

H U T A N


REFLEKSI MINGGU KE-25
21/06/2009

Salah satu ancaman terbesar dalam kehidupan kita saat ini adalah penghancuran hutan dunia secara besar-besaran. Masalah kemiskinan dan hegemoni kekayaan dua-duanya ada di balik kehancuran hutan. Karena kemiskinan, banyak peladang berpindah yang menebang dan membakar hutan untuk bercocok tanam atau untuk kayu bakar. Orang-orang kaya yang umumnya tinggal di kota-kota memburu komoditi yang berkaitan langsung dengan hutan seperti minyak kelapa sawit, kacang kedele, coklat, daging sapi (untuk membesarkan sapi, hutan juga korban), perabot, kertas dan lain-lain.

Total luas hutan dunia adalah sekiar 4 miliar hektar (sekitar 1/3 dari total daratan). FAO memperkirakan (2000) hutan dunia lenyap seluas 9 juta hektar setiap tahun pada akhir decade abad ke-20 (pengurangan 2,4 persen) Dan antara 1990-2005, hutan dunia lenyap 3 persen dari total luas hutan (berkurang rata-rata 0.2 persen setiap tahun). Penebangan dan penggunaan pohon setiap tahun dalam tingkat dunia diperkirakan: 2,25 miliarton sebagai bahan bakar di negara-negara berkembang; 1,25 miliar ton untuk pembuatan kertas; belum termasuk untuk perabot, bahan bangunan dan sebagainya.

Pengurangan hutan dunia berdampak langsung sedikitnya pada perubahan iklim dan berkurangnya pasokan air tawar. Misalnya, hutan Amazon di Amerika Selatan, yang merupakan hutan terluas di dunia, merupakan sumber seperlima dari total air dunia, semakin menurun tahun demi tahun. Masalahnya bukan hanya berkurangnya hutan secara kuantitas, tetapi juga dari segi kualitas. Itu sebabnya di berbagai negara maju sekarang ini percakapan seputar hutan telah beralih dari “berapa banyak” hutan yang kita butuhkan ke “jenis hutan apa” yang masih tersisa dan yang dapat diciptakan.

Sayangnya, negara-negara maju tersebut sebenarnya mengabaikan kuantitas dan kualitas hutan. Semua Negara-negara kaya dapat memelihara hutannya sendiri tetapi mereka lebih bertanggungjawab dalam hal pemunahan hutan dunia. Edward Brown, misalnya, berkata, “Jepang tidak mungkin memelihara standar lingkungan dan ekonominya jika ia tidak mengambil sumber-sumber alam dari –dan mengekspor masalah-masalah lingkungan ke – negara lain. Jepang dapat mempertahankan hutannya, tetapi ia adalah salah satu pemeran utama pengabisan hutan di Negara-negara lain, seperti Indonesia.” Hal yang sama juga terjadi di negara-negara maju lainnya seperti Eropa, Amerika Serikat, Singapura dan sebagainya.

Di antara sekian akibat berkurangnya hutan adalah sebagai berikut:
  • Terancamnya kehidupan. Hutan ‘memelihara’ lebih dari setengah spesies dunia. Semakin berkurang hutan semakin banyak pula tumbuhan dan binatang yang punah.
    Peranan hutan sangat menentukan curah hujan. Artinya, semakin banyak pohon yang tumbang, iklim juga semakin kacau. Akibatnya, pertanian juga akan mengalami masalah.
  • Pohon-pohon adalah ‘pemakan’ alami karbondioksida (sekitar 20% karbondioksida global menjadi tanggung jawab pohon-pohon untuk ‘mengamankannya). Maka dengan berkurangnya pohon, semakin banyak karbondioksida yang tidak dapat ditangani, pemanasan global pun tidak terelakkan. Dan pemanasan global berarti ‘angsuran neraka’.

Sikap dan tindakan apa yang bisa kita lakukan sebagai orang Kristen?

1. Berangkat dari kesadaran bahwa Allah menciptakan hutan, bukan hanya untuk kebutuhan manusia (apalagi untuk ‘keinginan dan kerakusan manusia). Allah menciptakan bumi, termasuk pohon di dalamnya, karena Ia menganggapnya baik. Lagi pula, semua yang bernafas memuji Tuhan (Mzm 150:6). Ini tidak berarti bahwa kita harus menyembah pohon, sama seperti keyakinan yang pernah ada di beberapa tempat, tetapi menghormati Allah dengan menghargai ciptaan-Nya.
2. Mengaurangi segala sesuatu yang berkaitan dengan perusakan hutan baik secara langsung (menebang dan membakar) maupun tidak langsung (menggunakan secara berlebihan produk hutan, dan yang dapat merusak hutan). Singkatnya, gaya hidup perlu menjadi perhatian serius. Pakaian dan perabot secukupnya. Berkendara seperlunya. Dan sebagainya.
3. Menam pohon di lingkungan rumah, gereja, dan tempat-tempat di mana memungkinkan.

Sunday, June 14, 2009

A I R


REFLEKSI SENIN KE-24

16/6/2009


Ketersediaan air tawar dunia semakin terbatas dan pendistribusiannya juga tidak merata. Sekitar satu miliar penduduk dunia saat ini mengalami kekurangan air minum yang bersih. Masih ada air, tapi tidak bersih. The International Water Management Institute memperkirakan bahwa sekitar satu miliar penduduk akan benar-benar mengalami kekurangan air pada tahun 2025. Yang kurang bersih pun tidak tersedia! Bahkan ada yang memperkirakan 3 miliar akan menghadapi ketegangan berkaitan dengan ketersediaan air pada tahun 2025. PBB memperingatkan kemungkinan perang pada tahun 2032 untuk memperebutkan sungai sebagai sumber air.[1] Banyak yang memperkirakan bahwa perang ke depan bukan terutama memperebutkan minyak, tetapi justru memperebutkan air. Kemungkinan ini sangat terbuka khususnya di Timur Tengah.[2]

Mengapa pasokan air bersih berkurang? (1) Karena penggundulan hutan yang sudah melampaui batas, baik karena ulah mereka-mereka yang kaya dan berkuasa, maupun karena pembukaan lahan baru dengan menebang dan membakar hutan oleh para peladang berpindah. (2) Banyak sumber air yang tercemar oleh limbah dari berbagai industri. (3) Dengan mencairnya es di kutub bumi (karena pemanasan global), maka air laut pun naik yang dapat mengganggu ketersediaan air tawar.

Persentase penggunaan air dalam tingkat dunia adalah: untuk rumah tangga 8%; industri 22%, dan pertanian 70%.[3] Masalah kelangkaan air sudah semakin meningkat di 26 negara yang total penduduknya sekitar 200-300 juta . (Kekurangan air diartikan: kurang dari 1000 m3/ orang/ tahun.) Sejak awal tahun 2000, sepertiga dari total penduduk Afrika berada dalam keadaan kekurangan air. Air bersih sudah semkain menurun juga di China, India, Mexico, bagian Timur AS, Afrika Utara dan Timur Tengah. Seiring dengan berkurangnya pasokan air, hasil pertanian juga akan menurun sebagaimana sudah terjadi di sebagian besar Afrika.[4]

Dalam hal ini ada beberapa hal yang kiranya perlu kita sikapi, hindari dan lakukan dengan sepenuh hati:
  1. Air adalah pemberian Tuhan untuk kehidupan seluruh ciptaan-Nya. Seringkali kita kurang memberi perhatian pada pemberian yang sangat berharga ini. Mungkin karena kita sudah terbiasa setiap hari menggunakan air, apakah kita beli atau tidak, seolah-olah kita tidak perlu mensyukurinya, menggunakannya sebaik-baiknya, dan menjaga kelangsungannya, baik dari segi kecukupan maupun kebersihannya.

  2. Sudah saatnya kita melakukan penghematan air. Memang, sebagian dari kita yang ekonomi pas-pasan mungkin kontrol yang kita lakukan terhadap kran-kran air di rumah lebih ketat. Berbeda dengan mereka yang tidak mempersoalkan pembayaran air karena cukup uang (atau --yang lebih celaka-- mereka-mereka yang tinggal di rumah dinas, yang airnya ditanggung kantor) air banyak yang terbuang.

  3. Kita perlu memperhatikan konsumsi kita, baik makanan maupun barang-barang yang kita gunakan. “Kecerdasan Ekologi” yang disebutkan oleh Daniel Golemann (2009) hendaknya menjadi salah satu panduan kita yang hidup pada zaman ini. Kecerdasan Ekologi juga menyangkut bagaimana kita memilih makanan yanag kita konsumsi dan barang-barang yang kita gunakan. Mengurangi konsumsi daging, dapat menghemat air. Karena untuk memelihara sapi misalnya, hutan berkurang dan air yang dibutuhkan juga sangat banyak untuk menghasilkan 1 kg daging sapi saja. Lemari dan kursi kayu yang berlebihan, pakaian dsb. pasti akan menghabiskan hutan, yang ujung-ujungnya berdampak kepada berkurangnya air tawar.

  4. Yesus adalah air hidup. Tuhan juga meberikan air untuk kehidupan kita di dunia ini. Menghemat air tidak berarti bahwa kita harus mengurangi minum air. Untuk kebutuhan minum, air pasti cukup untuk kita semua. Karena itu, minumlah air sesuai anjuran pakar kesehatan untuk membuat tubuh kita sehat. Di samping mensyukurinya setiap kali kita meminumnya, kita juga hendaknya tergerak untuk menjaga ketersediaannya dan kebersihannya.




[1] Colin Mason, The 2030 Spike: Countdown to Global Catastrophe (London: EarthScan, 2003), 44-45
[2] Edward Brown, Our Father’s World. Mobilizing the Church to Care for Creation, (South Hadley: Doorlight Publications, 2006), 27
[3] I. John Mohan Razu, “Water for People, Water for Life: An Ethical (Christian) Response”, in Sam P. Mathew and Chandran Paul Martin (eds.), Waters of Life and Death. Ethical and Theological Responses to Contemporary Water Crisis, (Kashmere Gate, India: UELCI/ ISPCK, 2005), 24.
[4] Karolyn M. King, Habitat of Grace: Biology, Christianity and the Global Environmental Crisis, (Adelaide: Australian Theological Forum, 2002), 4.

Friday, June 12, 2009

NOVI DAN FINA TINAMBUNAN


Nofi Tinambunan dan Fina Tinambunan, putri kembar St. Amry T. Tinambunan/ R br Sihotang (Duri).
*********
NOFI GLORIA TINAMBUNAN (kakak) dan FINA KARISMA TINAMBUNAN (adek), lahir 10 Desember 2008. Saat ini sudah berumur 6 bulan lebih . Pertumbuhan keseharian sangat baik. Keduanya suka tertawa, sudah mengenal orang tuanya, mengeti dan mengetahui jika mau dikasih minum dan makan, suka minum air putih dari gelas bukan dari dot, tahu jika dipanggil namanya. Lebih suka dibaringkan di tempat tidur daripada digendong.

Saturday, June 6, 2009

PERSEMBAHAN DI HKBP: PERPULUHAN ATAU PERSERATUSAN?

REFLEKSI SENIN KE-23 2009
08 Juni
Perbedaan-perbedaan sebutan dan pelaksanaan penyerahan persembahan dalam kekristenan barangkali masih relevan untuk dikaji dan diuji. Kita sering mendengar sebutan persembahan minggu, persembahan bulanan, persembahan perpuluhan, persembahan syukur dan sebagainya, yang dapat saja memunculkan pertanyaan, “berapa macam bentuk persembahan dan berapa seharusnya jumlah persembahan?”

Sebenarnya, Alkitab tidak menempatkan persembahan sebagai sesuatu yang terpenting. Hal ini dapat kita mengerti, karena Tuhan tidak kekurangan apapun termasuk uang. Segala sesuatu adalah milikNya. Pada hakikatnya, pemberian persembahan merupakan bukti penyerahan diri kita kepada Tuhan, bukan bersandar pada milik kita. Itu adalah juga bagian dari kerelaan kita melayani dengan apa yang kita miliki untuk kebaikan sesama.

Sehubungan dengan itu, kita dapat melihat beberapa hal menyangkut persembahan perpuluhan di dalam Alkitab, di antaranya:

1. Persembahan perpuluhan berawal dari nazar Yakub (Kej. 28:20-22), bukan perintah Allah. Jadi, kalau mau memberi persembahan perpuluhan boleh dan baik, tetapi bukan kewajiban dari Allah, melainkan kerinduan kita.

Ada yang merujuk pada Abraham sebagai awal pemberian persembahan perpuluhan. Memang dalam Kej 14:17-20 dikatakan bahwa Abram memberikan kepada Melkisedek sepersepuluh dari harta benda yang berhasial ‘diselamatkan’ dari musuh. Tetapi agaknya hal ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar alkitabiah pemberian persembahan. Selengkapnya Kej. 14:17-20 berbunyi demikian:

Setelah Abram kembali dari mengalahkan Kedorlaomer dan para raja yang bersama-sama dengan dia, maka keluarlah raja Sodom menyongsong dia ke lembah Syawe, yakni Lembah Raja. Melkisedek, raja Salem, membawa roti dan anggur; ia seorang imam Allah Yang Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: "Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang telah menyerahkan musuhmu ke tanganmu." Lalu Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya.

2. Dalam kitab Ulangan kita menemukan dua jenis perpuluhan. Pertama, dalam Ulangan 12:6-9 dikatakan bahwa masing-masing keluarga membawa perpuluhan dan persembahan yang lain ke bait suci. Mereka bersama-sama makan dengan para imam dengan sukaria. Kedua, setiap akhir tahun ketiga, persembahan juga dibawa kepada orang-orang miskin --bukan mau menyembah orang miskin, tetapi agar mereka beroleh makanan (ayat 26-27). Hal ini bisa kita bandingan dengan Ulangan 26:12: “Apabila dalam tahun yang ketiga, tahun persembahan persepuluhan, engkau sudah selesai mengambil segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu, maka haruslah engkau memberikannya kepada orang Lewi, orang asing, anak yatim dan kepada janda, supaya mereka dapat makan di dalam tempatmu dan menjadi kenyang.” Jadi, menolong orang miskin adalah bagian dari persembahan.

Dalam kaitan ini, ada satu peringatan penting dari Tuhan Yesus sebagaimana tertulis dalam Matius 6:2:

Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang.

3. Dalam Maleaki 3:10 juga disebut tentang perpuluhan, yang tujuannya adalah untuk persediaan makanan di bait suci. ‘Curahan berkat’ yang disebutkan di situ bukan akibat dari perpuluhan itu, tetapi justru sebaliknya: seseorang dapat memberi perpuluhan karena sudah menerimanya dari Tuhan dan Ia akan terus menerus mencurahkan berkatnya yang tidak tergantung pada permintaan dan perbuatan manusia. Dengan kata lain, persembahan adalah “persembahan karena” bukan “persembahan supaya”. Kita memeberi persembahan karena kita bersyukur atas pemberian Tuhan bukan supaya Allah memberi berkat-Nya atau supaya dipuji orang seperti disebut dalam Matius 6:2 tadi.

4. Dalam Mzm. 51:19 dikatakan, “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk....” Artinya, Allah lebih melihat hati dan jiwa yang sepenuhnya berserah kepada Tuhan daripada segala bentuk persembahan bahkan dengan jumlah yang sangat besar sekalipun.

5. Yesus sendiri sangat tegas menolak segala bentuk persembahan yang tidak disertai keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Selengkapnya dalam Matius 23:23 dikatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” Hal yang sama sudah diperingatkan oleh Nabi Amos (lihat Amos 5:22 yang menyatakan bahwa Allah tidak menyukai persembahan tanpa keadilan).

6. Rasul Paulus menasihatkan demikian, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati" (Roma 12:1). Persembahan di sini melampaui yang sifatnya materi, tetapi hidup itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, persembahan tidak saja perpuluhan (10 persen dari pendapatan) tetapi perseratusan (seluruhnya diri dan kepunyaan kita). Semuanya adalah milik-Nya: hidup kita dan apa yang kita miliki. Inilah semuanya yang kita persembahkan kepadaNya. Hal ini jelas terungkap dalam nyanyian doa persembahan dalam tata ibadah HKBP yang berbunyi, “Tuhan, karuniaMu, roh dan jiwaku semua, nyawa juga hidupku, harta milikku semua, kuserahkan padaMu untuk selama-lamanya.”

Persembahan di HKBP

Dua tahun belakangan ini, di dalam Almanak HKBP dicantumkan mengenai pemberlakuan pengumpulan dan penatalayanan persembahan di HKBP, merujuk pada keputusan Sinode Agung HKBP 1970. Pada waktu itu hampir semua jemaat HKBP mengumpulkan dua kali persembahan setiap ibadah Minggu (sebelum dan sesudah khotbah berlangsung). Kemudian, bertambah menjadi 3 kali pengumpulan persembahan yang disebut dengan pesesembahan IA, IB dan persembahan II. Persembahan II seharusnya diserahkan ke kantor Pusat HKBP untuk keperluan pelayanan di lingkungan kantor pusat HKBP, Kantor distrik-distrik HKBP (termasuk para praeses), lembaga pendidikan STT HKBP, Sekolah Guru Huria, Pendidikan Diakones, Sekolah Bibelvrouw, Diakoni Sosial dan sebagainya. Biaya untuk pelayanan ini tergolong amat besar.

Seiring dengan perjalanan waktu, beberapa jemaat mengambil ‘kebijakan’ masing-masing. Tidak ada data akurat berapa jemaat yang masih menyerahkan seluruh persembahan II ke kantor pusat. Yang jelas ada beberapa jemaat HKBP yang tetap mengumpulkan tiga kali persembahan Minggu tetapi tidak sepenuhnya menyerahkan ke kantor pusat. Itu sebabnya di beberapa jemaat kita mendengar warta jemaat yang mengatakan misalnya Persembahan I Rp. 600.000, persembahan II, Rp. 51.000. Jumlah ini sebenarnya sudah ‘disesuaikan’ oleh parhalado jemaat setempat. Di salah satu jemaat HKBP di luar negeri misalnya, persembahan Minggu tetap dilakukan 3 kali. Tetapi keadaan keuangan 2008, dari sekitar 18% persembahan II –yang seharusnya diserahkan ke kantor pusat—yang diserahkan tidak sampai 2%. Keadaan ini sudah berjalan sejak lama.

HKBP ke Depan:

1. HKBP belum merumuskan dengan baik ‘teologi persembahan’ atau ‘teologi uang’. Rumusan seperti ini dibutuhkan agar jemaat-jemaat dan warga HKBP memahaminya dan memberikan persembahan sebagaimana Tuhan kehendaki. Intinya, HKBP menganut ajaran persembahan ‘perseratusan’. Artinya hidup dan semua milik orang percaya dipersembahkan kepada Tuhan. Kalau HKBP mau menekankan lagi soal perpuluhan, itu seolah-olah HKBP memberi diskon 90%. Yang penting sekarang adalah bagaimana warga jemaat melakukan yang terbaik atas dasar iman dan kasihnya kepada Tuhan. Juga, bagaiamana Gereja ‘mengelola’ persembahan itu sesuai kehendak Tuhan.

2. Sebaiknya pengumpulan persembahan dalam ibadah Minggu, hari raya gerejawi dan di ‘partangiangan’ (persekutuan PA) dilakukan sekali saja. Pengumpulan persembahan lebih baik di tempat duduk, tidak harus ke depan. Dengan sekali pengumpulan persembahan dan tidak ke depan, diharapkan jalannya ibadah akan lebih khusuk dan setiap warga jemaat memberikan persembahan terutama dengan prinsip ‘antara aku dan Dia (Tuhan)’. Tidak ada kesan unsur ‘pemaksaan’ halus. Seingat saya ada satu jemaat GKJ di Yogyakarta yang mengubah 3 kali pengumpulan persembahan menjadi sekali saja, ternyata jumlah persembahan malah lebih banyak. Perubahan 3 kali menjadi sekali, tidak dimaksudkan ‘supaya’ persembahan lebih banyak (walaupun hal itu tidak salah), tetapi agaknya sekali pengumpulan persembahan lebih praktis dan teologis.

3. Pelaksanaan lelang dalam rangka penggalangan dana seharusnya ditiadakan di dalam gereja. Dana yang terkumpul mungkin saja lebih banyak dengan cara ini, tetapi jelas sekali ada hal-hal yang tidak sehat dan tidak membangun dalam praktek lelang di gereja. Di beberapa jemaat sudah ada yang menerapkan ‘janji iman’, yang perlu dikaji dan diteladani jemaat-jemaat yang lain.

4. Ressort-ressort seharusnya mengirimkan tanggungjawabnya ke pusat. Jika persembahan Minggu hanya sekali saja, maka perlu ditetapkan berapa persen yang dikirimkan ke kantor pusat, tergantung pada kebutuhan pelayanan pusat dan keadaan jemaat-jemaat HKBP. Ada yang mengatakan bahwa persembahana tidak dikirimkan ke pusat karena pusat tidak menggunakan dengan baik atau pusat tidak berbuat apa-apa kepada jemaat. Tentu, kita berharap bahwa kantor pusat HKBP akan tetap berkomitmen sebagai ‘kantor pusat’ pelayanan, bukan tahta kekuasaan duniawi. Tetapi menahan atau tidak menerahkan persembahan yang seharusnya dikirimkan ke kantor pusat tidak dapat dibenarkan. Biarkan Pusat bertanggung jawab kepada Tuhan dan kepada Sinode Agung. Tentu kita semua berharap dan berdoa agar uang persembahan itu digunakan sesuai kehendak Tuhan.

5. Sebagian besar ressort-ressort yang mendapat berkat Tuhan lebih banyak terkesan memikirkan ressort/ jemaat sendiri. Para pelayan juga ada yang terlalu kenyang makan dan ada yang agak lapar. Ada yang berhasil deposito tapi banyak yang selalu defisit. Yang terjadi sekarang adalah: Ressort/ Jemaat A misalnya 300 KK, tetapi disitu 2 atau 3 pendeta. Mengapa? Mereka punya uang lebih banyak. Ressort/Jemaat B, 700 KK, pendeta hanya satu. Mengapa? Jemaat ‘tidak mampu’ membiayai. Kalau HKBP benar-benar satu, Ressort/jemaat A yang mempunyai lebih banyak uang sepantasnya membiayai belanja satu pendeta di ressort/ jemaat B. Ressort/ jemaat mana yang mau memulai? Di Parlilitan ada 26 jemaat pagaran, dengan anggota jemaaat sekitar 1000 KK dilayani hanya satu orang Pendeta. Mengapa? Itu tadi: Parlilitan terlilit kemiskinan. Sudah saatnya jemaat-jemaat benar-benar mempraktekkan bahwa HKBP adalah satu, termasuk dalam penatalayanan keuangan. Jemaat-jemaat yang memegang lebih banyak uang Tuhan (persembahan) dapat membiayai belanja dua orang pendeta, misalnya, di Ressort Parlilitan dan di ressort-ressort lain.

Lebih dari semua itu, uang adalah sebuah sarana, bukan tuan dan tujuan.

ShoutMix chat widget