Wednesday, December 30, 2009

KEPERGIAN GUS DUR



Gus Dur telah pergi kepada pencipta dan pemiliknya (Rabu, 30 Desember 2009) pada usia 69 tahun.
Ketokohan beliau tidak diragukan. Pemikiran-pemikirannya dan kehidupannya sendiri telah memberi sumbangan yang sangat berarti dalam kehidupan berbangsa dan kehidupan antar umat beragama di Indonesia.
Kiranya Tuhan menganugerahkan penghiburan kepada keluarga Bapak KH Abdurrahman Wahid dan memberi kekuatan untuk melanjutkan keteladanan beliau pada hari-hari yang akan datang.

Monday, December 28, 2009

PASRAH TANPA MENYERAH

REFLEKSI SENIN KE-52
28 DESEMBER 2009



Lebih dari seribu orang anak dibaptis tanggal 26 Desember 2009 lalu, hanya di lingkungan HKBP. Ada satu pertanyaan mengganjal: “Bagaimana keadaan bumi ini pada saat mereka menjadi pemuda 20 tahun mendatang?” Jika bumi ini masih ada, yang pasti keadaan suhu akan lebih panas. Akibatnya, keadaan cuaca akan tidak menentu; kekeringana di berbagai tempat dan banjir di tempat lain; akan lebih banyak angin puting beliung. Akibat lanjutannya adalah semakin banyaknya bencana alam.

Jika Tuhan berkenan, persis 20 tahun mendatang saya akan pensiun dari pendeta dan bersiap-siap untuk pensiun dari dunia ini. Jadi, kalau hanya memikirkan diri saya sendiri tidak terlalu masalah apakah bumi ini hancur lebur atau tidak. Tetapi sebagai bagian dari umat manusia dan ciptaan Allah, saya terbeban dengan nasib ribuan anak-anak yang dibabtis dua hari lalu dan jutaan anak-anak yang lahir beberapa hari ini di seluruh dunia, termasuk dua anak saya yang baru berusia 9 dan 6,5 tahun.

Bagaimana anak-anak tersebut memahami dan mengalami sukacita dan damai sejahtera (sebagaimana yang inti dalam perayaan natal) di tengah kondisi krisis ekologi ke depan ini? Itulah keprihatinan kita sekarang. Kegagalan negara-negara dunia mencapai kesepakatan dan komitmen nyata di Kopenhagen awal Desember 2009 amat mendukakan hati. Kesimpulan para ahli sudah meyakinkan bahwa krisis ekologi akan kian mencekam jika tidak ada langkah dan usaha konkrit dan segera. Tetapi, Kopenhagen berakhir dengan kesepakatan yang tidak meyakinkan.

Di tengah keadaan seperti ini dan ancaman kehidupan yang bakal terjadi, sedikitnya ada tiga yang perlu kita persiapkan. Pertama, bersiap menderita karena bencana. Dalam penderitaan yang bakal terjadi, perlu ditekankan bahwa itu bukan berasal dari Allah. Bukan hukuman dari Allah. Bencana yang mengancam kehidupan ini adalah karena kerakusan dan kekerasan hati umat manusia.

Kedua, bersiap menolong orang yang menderita. Tingkat keparahan bencana dan musibah mungkin berbeda berdasarkan lokasi dan keadaan usia dan fisik masing-masing orang. Yang tidak (atau lebih tepat “belum”) mengalami musibah hendaknya bersiap untuk memberi bantuan.

Ketiga, tetap melakukan sesuatu. Kita pasrah menerima segala kemungkinan, tetapi kita tidak boleh menyerah. Reformator Martin Luther pernah berkata, “Meskipun besok aku kembali kepada Bapa, aku tetap menanam apel hari ini”. Benar sekali bukan? Mangga dan durian yang kita makan sekarang berasal dari pohon yang ditanam oleh mereka yang sudah tidak bersama kita lagi. Jadi, kita bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu menurut keberadaan dan kemampuan kita masing-masing: menanam dan memelihara pohon; menjaga kebersihan tanah, air dan udara; menghemat bahan bakar, air, kertas, plastik; mengurangi sampah dan menangani sampah yang sudah terlanjur ada dan sebagainya. Intinya: menerapkan pola hidup sederhana dan bersahabat dengan alam ciptaan Tuhan. Setiap tindakan kita mempunyai konsekuensi langsung terhadap ekologi. Gandhi benar sekali ketika ia aberkata, “Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk ketamakan setiap orang”.

Bagaimana caranya? Jangan percaya iklan dan berbagai promosi produk yang kian gencar menggoda kita saat ini. Mereka satu bahasa mengatakan, “Jalan kebahagiaan dan kunci jaminan PD adalah dengan membeli dan memiliki barang ini!” Mereka berbohong! Kebahagiaan tidak terutama datang dari luar diri kita. Kedbahagiaan tidak terjadi terutama dengan menambah banyak hal atau barang-barang ke dalam kehidupan ini. Malahan, kebahagiaan bisa terjadi jika kita membuang banyak hal dari hidup ini: membuang kebencian, sakit hati, dedndam, amarah, kekuatiran, kesombongan, iri hati. Sebab, kebahagiaan sudah ditempatkan Tuhan di hati kita. Kita hanya perlu menyadari dan menerimanya. Dapat dicatat, bahwa tingkat kebahagiaan orang yang memiliki HP seri terakhir dengan harga tinggi pula tidak jaminan menjadi lebih bahagia dari orang yang memiliki HP murah dan sederhana. “Siapa memiliki Tuhan, ia memiliki segala sesuatu yang membuatnya berbahagia dan hidup dalam damai sejahtera. Tetapi siapa memiliki segala sesuatu tanpa memiliki Tuhan, semuanya tidak punya arti apa-apa”.

Tuhan adalah Pemilik kita; jangan kita memberi diri menjadi milik apalagi budak barang-barang dan gengsi, yang adalah akar dari kerusakan alam ciptaan dan milik Tuhan.

Tuesday, December 22, 2009

LAPORAN PEAYANAN TAHUNAN GEREJA YANG BAGAIMANA?

Beberapa gereja mentradisikan penyampaian Laporan Pelayanan Tahunan atau Berita Pelayanan Tahunan pada akhir tahun. Masing-masing gembala jemaat kelihatannya punya kekhasan masing-masing dalam hal isi dan durasi. Tetapi, umumnya lebih merupakan ‘daftar kegiatan’ yang disertai dengan tanggal pelaksanaannya. Dengan kata lain, penyusun Laporan atau Berita Pelayanan Tahunan terutama merujuk pada agenda pelayan atau warta jemaat. Di antara rumusan kata-kata laporan biasanya berbunyi, “Pelaksanaan kegitanan ini…. berlangsung dengan baik pada tanggal…..”. Terkadang distempel dengan kalimat “Syukur kepada Tuhan”.

Waktu dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh gereja sebenarnya sah-sah saja masuk dalam laporan pelayanan. Namun, keduanya merupakan pendukung terhadap berita pelayanan, bukan yang inti. Apalagi, kita terkadang mendapat kesan bahwa laporan pelayanan lebih merupakan (1) Upaya memebuktikan bahwa pelayan atau gembala jemaat ‘bekerja’. (2) Menunjukkan bahwa pelayan/ gembala jemaat mampu membuat sebuah naskah laporan yang lengkap dan sistematis. (3) Membuktikan bahwa jemaat ‘sukses’ secara organisasi. Atau membela diri: kalau ada orang yang mengatakan jemaat ini gagal mengemban misinya sebagai gereja, itu diragukan kebenarannya.

Agar Berita Pelayanan terhindar dari pengagungan, prmosi dan pembelaan diri secara pribadi maupun secara persekutuan jemaat, tetapi sungguh-sungguh membangun jemaat dalam artian mensyukuri apa yang Tuhan lakukan dan membaharui diri dalam hal-hal yang belum berpadanan dengan kehendakNya dalam pelayanan, berikut ini sedikitnya ada empat hal yang kiranya menjadi acuan dalam penyusunan dan penyampaian Berita Pelayanan Tahunan jemaat.

1. Penyusun Berita Pelayanan perlu mempersiapkannya dalam suasana ibadah. Ia tidak saja mencari file-file (catatan pribadi, warta jemaat, notulen rapat dan sebagainya –meskipun semua itu dibutuhkan), tetapi pertama dan terutama “mencari kehendak Tuhan”. Melihat peristiwa satu tahun yang berlalu dengan penglihatan Tuhan sendiri. Dalam hal ini, sedapat-dapatnya, pelayan/ gembala jemaat melakukan retreat pribadi. Menghadirkan diri di hadapan Tuhan. Dengan demikian, ia akan terhindar dari godaan seperti disebutkan di atas: membuktikan diri. Sebab, seorang pelayan yang setia tidak perlu membuktikan diri, tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Maxwell benar sekali ketika ia berkata, “The more leader mature, the more humble they are”.

2. Berpaling pada sumber penting untuk mengevaluasi kehidupan bergereja, yaitu firman Tuhan. Di tengah semua aktivitas pelayan dan kehidupan bergereja adakah terdapat buah-buah Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri? (Galatia 5:22-23). Sesibuk apa pun gereja, sebanyak apa pun yang dia hasilkan secara material, dan sesukses apa pun dia menurut ukuran dunia, tanpa adanya buah-buah Roh, semuanya tidak punya arti apa-apa. Jadi, dalam berita pelayanan perlu dirumuskan dengan jelas bagaimana buah-buah Roh ini nampak dalam kehidupan berjemaat. Dengan demikian, jemaat mengetahui karena apa dia bersykur dan dalam hal apa dia membutuhkan pertobatan, dan pembaharuan komitmen.

3. Bagaimana keputusan diambil? Setiap jemaat memiliki kebijakan masing-masing bagaimana pengambilan keputusan dilakukan dalam kehidupan berjemaat. Tidak rahasia, bahwa di hampir semua jemaat ada saja perbedaan pendapat bahkan pertentangan dalam sidang-sidangnya. Karena pengambilan keputusan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan gereja, maka ‘proses’ dan ‘isi’ keputusan seharusnya dirumuskan sedemikian rupa dalam laporan atau berita pelayanan. Dalam pengambilan suatu keputusan para Rasul pernah mengatakan, “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami…..” (Kis. 15:28). Keputusan Roh Kudus dan keputusan kami…… Oh, indahnya kehidupan gereja yang seperti itu.

4. Bagaimana penatalayanan keuangan? Keadaan keuangan gereja sedikit banyak dapat menjelaskan keberadaan gereja tersebut. Jadi, laporan keadaan keuangan dalam Berita Pelayanan sebaiknya bukan hanya jumlah pemasukan dan pengeluaran yang akhirnya menunjukkan saldo atau defisit, tetapi bagaimana dan dengan dasar pertimbangan teologis apa penggunaan keuangan gereja. Gereja seharusnya menggunakan uangnya ‘bersama’ dan ‘di dalam’ Allah, sang Pemilik Gereja dan yang ada di dalamnya.


Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya (Lukas 2:14).

Saturday, December 19, 2009

DESEMBER, BULAN STRESS?

REFLEKSI SENIN KE-51
20 Desember 2009


Hasil sebuah survey menunjukkan bahwa tingkat stress meningkat pada bulan Desember dibanding sebelas bulan lainnya. Ironisnya, peningkatan tingkat stress ini ada hubungannya dengan Natal. Mengapa? Masalah paling mendasar adalah perubahan “yang pokok menjadi sampingan dan yang sampingan menjadi pokok”.

Yang pokok atau yang paling inti dari perayaan natal adalah merayakan kasih Tuhan yang sangat besar akan dunia ini. Natal adalah peristiwa sukacita, bukan karena hal-hal lahiriah, tetapi karena peristiwa Imanuel “Allah menyertai kita”. Natal adalah soal pertobatan dan pembaharuan hidup di dalam Tuhan. Sejak awal (natal pertama di Mesir [tahun 250], di Galiela [tahun 380] dan natal pertama di Indonesia [tahun 1500-an]) perayaan natal berisi penyembahan dan ibadah, bukan pesta makan, hiasan, hiburan, dan undian yang akhir-akhir ini kian menggejala bahkan merajalela.

Yang “sampingan” adalah reuni keluarga, makanan, pakaian, hadiah, merias diri, dan dekorasi. Celakanya, justru yang sampingan inilah yang sudah mendominasi sekaligus menciptakan aneka ketegangan. Dinas “Pegadaian” di beberapa kota di Indonesia ekstra sibuk menerima barang gadaian seperti TV, perhiasan, dan kendaraan. Untuk apa? Uang untuk “natalan”.

Kaum perempuan antrian di salon. Rambut lurus dikeritingkan, dan yang keriting direbonding. Padahal, hatilah yang perlu ‘direbonding’ –diluruskan dan dibersihkan. Apalah artinya rambut lurus kalau wajah dan hati keriting? Lebih baik rambut keriting tapi hati lurus dan tulus. Banyak pula yang sibuk memikirkan sofa dan gordin. Malu, tamu datang dan melihat sofa dan gordin yang itu-itu lagi! Belum lagi mereka yang berhari-hari duduk di dekat kompor dan oven, sambil mengunci pintu dan jendela (takut anak-anak mengambil kue yang dimasak). Sayangnya, setelah kompor dan oven padam, panasnya pindah ke hati: gampang tersulut amarah. Wajah pun menjadi keriting.

Jika demikian, boleh atau tidak semua yang sampingan ini? Pertanyaannya adalah, “Apakah semua itu membantu untuk menghayati kasih Allah? Apakah semua itu semakin mendorong kita berserah diri pada Tuhan? Apakah dengan semua itu memungkinkan kita untuk bertobat?

Orang-orang Kristen di Indonesia punya kekhasan tersendiri soal perayaan natal, khususnya dalam hal “jumlah perayaan natal” yang diikuti. Lebih khusus lagi, orang-orang Kristen Batak bisa saja mengikuti perayaan natal lebih dari sepuluh kali: mulai dari natal oikumene, natal marga (empat marga), natal anak-anak di sekolah, natal kantor lingkungan kerja, natal lorong, dan empat sampai lima perayaan natal di gereja. Ramai memang! Capek? Ya. Ada pula yang merayakannya di siang hari. Lagu “Malam Kudus” dinyanyikan sambil menyalakan lilin dan memadamkan lampu, tetapi tetap terang benderang. Karena merias rambut di salon butuh waktu lama dan biaya, ada pula di antara kaum perempuan yang tidur telungkup agar riasan rambutnya tidak rusak dan bisa digunakan lagi untuk perayaan natal tiga malam berturut-turut.

Sekali lagi, apakah ini salah? Secara tahun liturgi, merayakan natal sebelum tanggal 25 Desember jelas tidak mengikuti tahun liturgi. Karena itu, ke depan ada dua yhal ang sangat penting mendapat perhataian orang-orang Kristen.

Pertama, kembali kepada tradisi gereja yang merupakan pergumulan iman yang menetapkan tahun gerejawi untuk diikuti oleh Gereja. Singkatnya, merayakan natal mulai tanggal 25 Desember hingga sebelum Minggu Ephipanias pada bulan Januari. Jika kumpulan marga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lain-lain mau bersekutu bersama sebelum 25 Desember, dapat merayakan “Advent” atau persiapan Natal. Atau, merayakan Natal sesudah 25 Desember.

Seingat saya Ephorus Emiritus Pdt Dr SAE Nababan pernah dengan sangat gencar menyerukan agar tidak merayakan natal sebelum tanggal 25 Desember. Tapi, entah dengan pertimbangan apa tanggal 18 Desember 2009 beliau berkhotbah dalam "perayaan natal" yang dilakukan Pemko dan DPRD Medan. Yang jelas, tahun liturgi gereja belum berubah meskipun Bapak Nababan berubah pikiran.

Kedua, mengembalikan natal sebagai peristiwa iman yang nampak melalui kesederhanaan, sukacita sorgawi, kepedulian dengan sesama manusia dan alam ciptaan Tuhan. Dua peristiwa yang disaksikan di dalam Alkitab, yaitu gerak hidup para gembala (Lukas 2) dan orang-orang Majus (Matius 2) sangat jelas menunjukkan bahwa peristiwa natal itulah yang memimpin langkah mereka, yang menentukan gerak hidup mereka; bukan sebaliknya seperti kecenderungan saat ini justru kita yang mendisain natal. Kita mengundang Tuhan pada perayaan natal yang kita disain sendiri dengan waktu, lampu, catering, selebriti, santa claus, lucky draw, sebelum kita mau diundang ke hadiratNya untuk mendengar kehendakNya. Anggaran pun mencapai jutaan rupiah. Perayaan seperti ini hanya akan menyisakan yang tidak perlu: sampah, penyakit, hutang, perselirihan, dan dosa. Saatnya kita bertobat. Sebelum amat terlambat.

Sunday, December 13, 2009

KATOLIK DAN HKBP

REFLEKSI SENIN KE-50
14 DESEMBER 2009

Berikut ini adalah salah satu cerita bijak dari Yustinus Sumantri,[1] yang agaknya relevan juga untuk direnungkan oleh gereja-gereja reformasi, termasuk HKBP.

Suatu hari, seorang Uskup didatangi sekelompok umat yang ternyata para anggota dewan sebuah paroki. Mereka menyatakan tak tahan lagi dengan pastor paroki mereka. “Kami mohon, Bapak Uskup,” kata mereka, “memindahkannya ke tempat lain.”

Dengan penuh perhatian Bapak Uskup mendengarkan macam-macam alasan yang mereka kemukakan. Lalu ia berkata, “Kalau nanti saya mengirim seorang imam untuk menggantikannya, sifat-sifat seperti apa yang Anda-Anda harapkan darinya?”

“Kami mengharapkan ia arif, ramah, terbuka, dan suka mendengarkan,” kata seorang bapak yang tampak paling tua di antara mereka.

“Kalau bisa imam yang tidak pilih kasih!” seorang yang lain menimbrung.

Pendapat lain menyusul cepat, “Jangan imam yang suka marah dan membentak-bentak.”

“Kami mengharapkan pastor yang tidak birokratis dan punya empati kepada kaum lemah,” ucap seorang yang tampak termuda di antara mereka dengan penuh semangat.

Suara lirih seorang ibu menyambung, “Monsinyur, beri kami gembala yang tindak-tanduknya mencerminkan tingkat kerohanian yang tinggi.”

Setelah diam sesaat, ada lagi yang mengacungkan tangan seraya berkata, “Di zaman sekarang ini diperlukan imam yang bisa menjadi motivator, organisator, dan inspirator hidup menggereja.”

“Juga tolong, Bapak Uskup, beri kami romo yang kotbahnya tidak membosankan,” cetus seorang yang lain.

Uskup mengangguk-angguk mendengarkan umatnya yang kaya ide tentang imam yang ideal.

Seorang Bapak tampak ragu-ragu sebentar. Akhirnya terucap dari bibirnya, “Harapan kami….,” katanya agak terbata-bata, “harapan kami, paroki kami nanti mendapat imam yang dapat menjaga diri dalam bergaul dengan umat, sehingga tidak tergelincir….”

Semua diam. Terdengar ada yang batuk-batuk kecil.

Bapak Uskup memandangi mereka satu per satu, “Sudah semua?”

Tak seorang pun menjawab.

Akhirnya, Uskup berkata, “harapan Anda sekalian bagus. Sebaiknya para pastor kita mempunyai kualitas seperti itu. Namun, saya khawatir, saya tidak mempunyai imam yang dapat memenuhi semua harapan tersebut.”

Hening. Dari luar terdengar sayup-sayup kenderaan di jalan raya.

“Bagaimana? Kalian tetap mau agar pastor kalian saya pindah, sementara tak ada penggantinya yang sesuai dengan tuntutan kalian?”

Para anggota dewan paroki itu saling pandang. Kemudian yang seorang berbisik kepada yang lain. Tampak mereka sedang mencari kesepakatan.

Selang beberapa menit mereka menyampaikan kepada Bapak Uskup keputusan mereka. Mereka tidak jadi menuntut agar pastor paroki mereka dipindah ke tempat lain.

Dari kisah tersebut (menurut penulisnya) setidaknya dua hal bisa kita petik. Pertama, betapapun besar rahmat dan anugerah Allah yang diterima oleh seorang imam berkat tahbisan imamatnya, ia tetap seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Karenanya, umat juga harus toleran terhadap kelemahan-kelemahan yang ada pada gembalanya. Kedua, kisah tersebut dapat menjadi suatu peringatan bagi para pastor untuk menjaga jangan sampai dirinya menjadi batu sandungan bagi umatnya.

Apa relevansinya bagi HKBP? Mohon komentar Anda. Yang jelas, masalah mutasi pendeta merupakan salah satu persoalan klasik di HKBP.


[1] Yustinus Sumantri, Litani Serba Salah Pastor. 100 Cerita Bijak, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Sunday, December 6, 2009

OBAT PENAWAR RASA JENGKEL

REFLEKSI SENIN KE-49
07 Desember 2009



Ada sebuah biara di mana para penghuninya merasa jengkel mengeluh karena ada satu orang di antara mereka yang hidupnya benar-benar tidak sesuai sebagai seorang biarawan. Mereka merasa terganggu dengan yang satu orang ini. Sikap mereka pun menjadi sinis, tidak peduli bahkan membencinya. Mungkin karena tidak tahan, biarawan yang mengecewakan ini memutuskan untuk keluar dari biara. Anehnya, pimpinan biara mencari dan memintanya kembali ke biara dan ia akan mendapat gaji tetap. Mendengar itu para biarawan yang lain keberatan dan protes. Bagaimana mungkin seorang yang tidak punya itikad baik dan yang sudah keluar dari biara diajak kembali dan diberi gaji pula? Dengan tenang pimpinan biara berkata, “Sebab, dengan tinggalnya dia di sini bersama kalian semua, kalian dapat belajar kesabaran”.

Mungkin ada kalanya kita hidup bersama dengan orang yang kita anggap menjengkelkan, mengganggu ketenangan, apakah itu di tengah keluarga, di lingkungan kerja, di tengah masyarakat, bahkan --celakanya-- bisa saja di dalam gereja pula. Perasaan kita semakin tidak enak, apalagi kalau yang bersangkutan sehat-sehat saja atau makmur secara ekonomi.

Cerita di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk membenarkan dua hal: (1) Tidak membenarkan orang-orang yang menjengkelkan, mengecewakan, menimpakan beban yang tidak perlu terhadap sesama untuk terus-menerus mempertahankan sikap dan perilakunya. (2) Tidak membenarkan perilaku buruk, dengan alasan bahwa keburukan dibutuhkan untuk 'mendidik' orang lain, dan bisa menjadi sarana mendapat 'penghasilan' esktra.

Cerita di atas terutama berlaku dalam konteks 'latihan kesabaran'. Bagaimana bersikap dalam menghadapi orang-orang yang menjengkelkan? Pertama, kita perlu memeriksa ‘ke dalam’; ke dalam hati kita sendiri. Mungkin perilaku buruk seseorang itu benar dan berdasarkan fakta yang tidak bisa disangkal. Tetapi, kita ‘merasa jengkel’ adalah masalah lain. Itu adalah pilihan kita sendiri. Artinya, kita sendirilah yang memutuskan apakah kita mau merasa jengkel atau tidak. Keadaan atau suasana hati kita sangat menentukan sikap dan reaksi kita terhadap orang lain dan situasi tertentu. Jadi, kalau kita merasa jengkel, dongkol, atau bahkan berang, itu semua bukan 'karena' orang lain, tetapi 'karena' kita sendiri.

Kedua, kita berusaha dengan segenap hati dan pikiran untuk memahami orang lain. Hanya dengan kerelaan seperti inilah kita bisa menerima diri seseorang meskipun kita menolak kebiasaan dan keburukannya. Jika ada seseorang yang selalu mendaftarkan ‘kehebatannya’ atau koneksinya dengan ‘orang-orang penting’, misalnya, kita tidak perlu merasa benci dan mencapnya sebagai seorang yang sombong. Mungkin seseorang itu sedang ditekan rasa rendah diri, yang sejak kecil hingga dewasa orang lain tidak pernah menghargainya. Untuk menutupi rasa rendah diri, ia tampil seperti orang hebat. Dengan memahami latar belakang seseorang dan kenyataan hidupnya saat ini, kita lebih mudah menerima dirinya. Sikap ini juga mengindari kita untuk menyebarluaskan kekurangan seseorang kepada orang lain, yang biasanya akan membentuk tembok pemisah bahkan perselisihan.

Ketiga, setiap peristiwa kehidupan menjadi pelajaran berharga asal kita terbuka menerimanya. Keinginan untuk mengubah orang lain bisa saja menghambat perubahan diri kita sendiri. Kata-kata mutiara “dari kesalahan orang lain, seorang berhikmat mengubah dirinya sendiri”, sangat tepat dalam konteks ini. "Saya berubah kalau orang lain berubah" seharusnsya diganti dengan "Saya berubah, semoga orang lain juga berubah".

Keempat, perlu kita sadari bahwa merasa jengkel, muak, benci (kata-kata yang sering digunakan orang untuk menggambarkan perasaan) lebih merusak kebahagiaan kita ketimbang mereka yang kita benci. Jangan kita biarkan apa pun mengeruhkan batin kita dan merampas kebahagiaan kita, tetapi biarlah kejernihan hati dan kebahagiaan kita terpancar dan menjadi berkat bagi orang lain.


ShoutMix chat widget