Monday, May 19, 2008

POSISI BERDOA tapi OTAK TERNODA

Sebuah sekolah pendidikan teologi mewajibkan seluruh mahasiswanya yang tinggal di asrama untuk bangun setiap jam 5 pagi. Mereka semuanya harus mengikuti senam kesegaran jasmani (SKJ) secara bersama-sama yang selalu dihadiri oleh Rektor perguruan itu. Sang Rektor dikenal sangat 'disiplin' dan tidak sungkan memukul mahasiswa yang tertidur dengan tongkatnya yang selalu ia bawa setiap pagi.

Pada suatu pagi yang agak dingin, ia memasuki kamar para mahasiswa untuk memeriksa apakah ada yang masih tertidur. Ternyata ada seorang mahasiswa yang agak malas bangun karena dinginnya suhu udara (teman-temannya biasa menjulukinya 'ratu tidur'). Si mahasiswa itu sudah mendengar suara langkah Pak Rektor itu menuju kamarnya. Dia sangat ketakutan. Dengan cepat ia duduk dengan posisi berdoa di atas tempat tidurnya. Tetapi sesungguhnya ia tidak berdoa. Ia berkata dalam hati, "aduuuuuuh, sakitnya pukulan tongkat ini nantinya". Pikirannya sepenuhnya tertuju pada pukulan tongkat sang Pemimpin. Melihat keadaan 'doa' yang khusuk itu, Rektor keluar dari kamar itu. Beberapa saat kemudian, setelah si mahasiswa melirik bahwa Rektornya sudah tidak ada lagi di kamar, ia kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil berkata dalam hati, "amaaaaan.....". Padahal, Rektor masih berada di luar, menunggu si mahasiswa selesai berdoa.

Menganggap 'doa' itu sudah terlalu lama, si Rektor kembali ke kamar dan melihat si mahasiswa berbaring di tempat tidur. Tiba-tiba tongkat pun mendarat di kaki si mahasiswa. Ia merasa sakit dua kali lipat karena (1) Kaget, dan (2) pukulan itu benar-benar sakit.

Bagaimana dengan doa-doa Anda?
Bagaimana kepemimpinan Anda? Yang suka pakai 'tongkat' silahkan bertobat!

Sunday, May 18, 2008

TIDUR DAN IBADAH

Sebuah asrama seminari Kristen menjadwalkan doa bersama pagi dan malam kepada semua mahasiswa penghuni asrama tersebut. Kepala asrama amat ketat mengawasi kehadiran para penghuni asrama mengikuti ibadah.

Seorang mahasiswa yang amat lelah setelah melakukan perjalanan panjang sehari penuh memilih untuk tidur lebih awal tanpa mengikuti ibadah malam bersama.

Keesokan harinya, Pemimpin asrama dengan suara sedikit meninggi bertanya kepada mahasiswa, "Kamu tidak mengikuti ibadah tadi malam bukan?"

"Tidak Pak," sahut si mahasiswa dengan nada datar dan sedikit gemetar.

"Masakan seorang penghuni asrama seminari tidak mengikuti ibadah. Coba bayangkan, apa kira-kira yang Tuhan katakan kepadamu dengan ketidakhadiranmu dalam ibadah", desak si pemimpin asrama.

"Tuhan mengatakan, 'engkau sudah sangat capek anakKu, tidurlah dengan dengan tenang. Lupakan segala sesuatu kecuali mengingat bahwa Aku tidak tertidur dan tidak melupakanmu'."

Ibadah bukanlah sebuah kewajiban, apalagi yang ketat-kaku. Ibadah adalah sebuah panggilan yang hendaknya dilakukan dengan sukacita untuk kemuliaan Tuhan bukan menyengkan pemimpin atau institusi.

Monday, May 5, 2008

TATA IBADAH HKBP

(Foto: Gereja HKBP Parapat - Sumaatera Utara; Desember 2007)
I. PENGANTAR

Rasul Paulus menasihatkan, “Latihlah dirimu beribadah”. Tujuannya jelas yaitu bahwa ibadah teranyam ketat dengan keteladanan hidup dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian (baca 1 Tim 4:7, 12). Mengacu pada nasihat ini, ibadah sangat menentukan totalitas kehidupan umat percaya. Karena itu, tata ibadah perlu mendapat perhatian khusus dan serius.

Tata ibadah HKBP telah dipakai oleh Tuhan untuk menyapa dan membangun warga HKBP dalam rentang sejarah yang cukup panjang. Banyak warga jemaat yang sudah merasa at home (‘betah’) dengan tata ibadah itu. Jika demikian, apa yang perlu dikritisi? Untuk menghindari salah paham, perlu dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan “kritis” di sini adalah “menguji dalam terang Firman Tuhan”. Tata ibadah dan kehidupan beribadah dapat diuji dalam terang firman Tuhan setiap saat.

Akhir-akhir ini seruan pembaharuan tata ibadah HKBP kian deras mengalir. Seruan demikian harus disambut baik dengan dua alasa utama. Pertama, tata ibadah merupakan post biblical development (perkembangan dari zaman Alkitab) yang kita warisi dari umat percaya dalam sejarah perjalanan Gereja. Ia berbeda pada zaman dan tempat yang berbeda. Karena itu, tata ibadah tidak pernah (dan tidak perlu) dibakukan atau dimutlakkan. Dengan kata lain, tata ibadah tidak dikanonkan sejajar dengan Alkitab. Kedua, tata ibadah adalah salah satu wahana atau “alat” dan bukan “tujuan”. Walaupun harus diakui bahwa sebagai alat, ia juga sangat berperan dalam mencapai tujuan.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kajian ilmiah akademis tetapi lebih merupakan uraian teologis praktis, yang difokuskan pada ibadah HKBP.

II. MENUJU TATA IBADAH KONTEKSTUAL

Alkitab tidak mencatat tata ibadah baku yang berlaku bagi semua gereja sepanjang zaman. Tata ibadah yang baku dan kaku bisa menghalangi karya Roh bekerja dalam kehidupan umat beriman. Tidak ada yang dapat mengklaim satu tata ibadah sebagai yang terbaik bagi semua. Juga, tidak mungkin mengambil suatu kesimpulan bahwa tata ibadah tertentu lebih disukai Tuhan, membuat orang lebih baik, atau tata ibadah tertentu lebih berjasa menyumbangkan yang terbaik bagi gereja dan masyarakat.

Satu pertanyaan yang perlu direspon adalah, “apakah dimungkinkan keragaman tata ibadah dalam satu gereja?” Menurut hemat saya secara teologis keragaman tata ibadah sah sejauh hal-hal yang sangat esensial tetap dipelihara yaitu bahwa ibadah berpusat pada Allah. Kita bisa saja memuji Tuhan yang sama dengan tata ibadah yang berbeda, dan jangan memuji “tuhan” yang berbeda, dengan tata ibadah yang sama.

Dalam lingkungan gereja-gereja Lutheran, misalnya, keragaman tata ibadah lebih dipahami sebagai kekayaan dan bukan pertentangan. Lathrop (seorang teolog Lutheran bidang liturgi) mencatat sebagai berikut:

Gereja-gereja Lutheran tidak memiliki tata ibadah Lutheran internasional resmi. Lutheran mewarisi kekayaan ibadah Kristen dalam perjalanan sejarah. Lutheran menyambut baik konsensus ekumenis tentang dasar-dasar tata ibadah yang paling mendasar dan secara sadar mengakui bahwa tata ibadah yang ada sangat dipengaruhi oleh berbagai budaya. Kita membutuhkan tata ibadah yang kontekstual.[2]

Keabsahan keragaman tata ibadah sebagai kekayaan juga didasari suatu keyakinan bahwa orang Kristen tidak diselamatkan oleh ‘suatu tata ibadah yang dibakukan’. Karena itu kita tidak dapat “mempertuhan tata Ibadah”, tetapi kita menyembah Tuhan dalam ibadah. Ibadah adalah perayaan atas keselamatan kita dan kesempatan mempertanggungjawabkan keselamatan kita melalui penyerahan hidup kita seturut dengan kehendak Tuhan.

Tata ibadah HKBP pun (sebagaimana tertuang dalam Agenda HKBP) dirumuskan sedemikian rupa dalam semangat pengkontekstualisasian tata ibadah. Artinya, tata ibadah HKBP dirumuskan sesuai dengan kebutuhan pada zamannya. Itu sebabnya tidak semua rumusan-rumusan di dalamnya relevan dengan konteks HKBP kontemporer. Salah satu contoh, dalam Agenda HKBP tercantum doa berikut: “Sai gomgomi jala parentai ma huriaM di tano Batak on, asa lam rarat jala monang huriaMi.”[3] (Bimbinglah gerejaMu di tanah Batak ini agar semakin berkembang dan menang). Rumusan ini harus dipahami dalam kerangka konteks historis yang tentu tidak relevan bagi HKBP yang ada di luar tanah Batak seperti Bali, Singapura dan lain-lain.

Di samping itu, urgensi perubahan tata ibadah merupakan wujud nyata penerimaan kita terhadap upaya lembaga-lembaga gerejawi pada aras nasional hingga internasional seperti Dewan Gereja-gereja Sedunia (DGD).[4]

Tetapi dalam usaha pembaharuan tata ibadah perlu adanya konservasi (mempertahankan warisan pendahulu-pendahulu kita yang relevan dalam konteks bergereja masakini. Artinya, kontinuitas, terutama hal-hal esensial, harus dipelihara. Perubahan tata ibadah hendaknya tidak mengubah hakekat ibadah itu sendiri. Sebab, ibadah adalah “permanen” tetapi “tata ibadah” adalah kondisional.

Dalam perubahan tersebut perlu dijaga agar ibadah tidak direduksi pada level “selera”. Jika ada warga jemaat merasa lebih at home dengan tata ibadah yang lain, janganlah menganggap tata ibadah HKBP sebagai yang tidak berguna lagi. Sebaliknya, warga jemaat yang sudah merasa kerasan dengan tata ibadah HKBP, sangat bijaksana kalau menghargai keragaman tata ibadah lain.

Perlu dikemukakan bahwa penyusunan tata ibadah sedemikian rupa tidak dimotivasi niat keliru seolah-olah Tuhan lebih mudah ‘dibujuk’ atau ‘dipengaruhi’ melalui tata ibadah tertentu. Tata ibadah justru membantu kita untuk dapat lebih menghayati iman kita dan menggerakkan totalitas kehidupan kita menjadi persembahan yang kudus kepadaNya. Ibadah merangkum seluruh tugas panggilan gereja di antaranya: edukasi, persekutuan, kesaksian, dan pelayanan kasih.

1. Ibadah sebagai Proses Edukasi

Murid-murid Yesus mendapat pengajaran dalam suasana ibadah dan seluruh gerak hidup mereka bersama Yesus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ibadah adalah suatu proses belajar dari Kristus sang guru agung itu, proses belajar dari sesama warga jemaat, dan proses belajar dari sesama manusia. Ibadah dapat menjadi proses “belajar menerima” dan “belajar memberi”. Belajar menerima dimaksudkan menerima atau menyambut kehadiran Tuhan dengan segala anugerah dan perintahNya; belajar memberi dimaksudkan memberi hidup sebagai persembahan kepada Tuhan melalui pelayanan terhadap sesama. Semuanya ini dilakukan dalam pemahaman yang benar dan kesadaran yang sungguh-sunguh.

Idealnya ibadah membekali warga jemaat memahami konfesi (pengakuan iman), etika, aturan, siasat gereja, tugas panggilan gereja dan sebagainya. Dalam hal ini terangkum sikap kristiani berhubungan dengan berbagai bidang kehidupan seperti masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, agama-agama dan sebagainya. Seiring dengan ini ibadah mestinya berperan untuk mempertajam visi, menumbuhkan sikap kritis, menumbuhkan komitmen, dan mengarahkan hidup kita kepada kebutuhan sesama. Kita juga dimungkinkan untuk senantiasa terjaga dan mampu menguji roh-roh jaman seperti individualisme, konsumerisme, materialisme, hedonisme dan lain-lain yang tengah merasuk dan merusak kehidupan umat. Di sini ibadah menjadi wahana untuk mengasah sensitivitas kita terhadap sapaan dan kehendak Allah

Tujuan beribadah tidak dimaksudkan untuk ‘mengajar’ dan mengingatkan Tuhan pada tanggung jawabNya, melainkan mengajar dan mengingatkan umat percaya akan tanggung jawabnya. Dengan kata lain proses “pemuridan” yang sesungguhya terjadi dalam suasana ibadah. Tuhan senantiasa memperlengkapi para muridNya (dalam hal ini semua pelayan dan warga jemaat adalah murid-murid Kristus seumur hidup).

Singkatnya, dalam ibadah kita memperhatikan dan mendengar apa yang diperhatikan dan didengar oleh Allah (lihat misalnya Kel 3:7) dan merasakan apa yang dirasakan Kristus (Ef 2:5). Hanya dengan demikian kita dimungkinkan bertindak seturut dengan tindakan Allah.

2. Ibadah dan Persekutuan Ekumenis.

Persekutuan merupakan salah satu esensi ibadah. Di dalam ibadah umat percaya secara bersama-sama dibaharui oleh Allah dengan anugerahNya. Ibadah juga menjadi momen berharga untuk menyegarkan umat percaya akan panggilannya sebagai persekutuan yang diikat kuat oleh kasih Allah. T.S. Eliot menyatakan hal ini dengan sangat baik sebagai berikut.[5]

Apakah arti kehidupan Anda jika tidak dalam persekutuan?
Tidak ada hidup tanpa hidup dalam persekutuan
Tidak ada persekutuan yang hidup tanpa kasih Allah
Tidak ada persekutuan yang bermakna tanpa pujian kepada Allah

Dalam konteks ini, “persekutuan”, di samping persekutuan umat beriman, harus kita pahami melintas tembok gedung-gedung gereja. Kata oikumene harus dipahami secara baru sebagai yang merangkum dan merangkul semua orang. Dalam hal ini persekutuan dapat dilihat dalam dua dimensi, di satu sisi kekokohan dan keutuhan persekutuan jemaat, di pihak lain mengarahkan hidup kepada persekutuan yang lebih luas dengan membuka sekat-sekat penghalang persaudaraan sejati kepada semua dan setiap orang.

Persaudaraan sejati sangat sulit mewujud karena roh individualisme telah merambah ke setiap ranah kehidupan. Dalam konteks masyarakat yang semakin individualistis, orang-orang Kristen bisa saja menikmati hadirat Tuhan secara eksklusif saja berdasarkan kesamaan status sosial, kesamaan ‘selera’, kesamaan kecemasan dan sebagainya. Di sini, ibadah --jika ia masih diminati-- cenderung dibelokan menjadi sekadar sarana pemenuhan kepentingan diri sendiri. Yang terjadi di sini adalah pemanfaatan persekutuan demi pemenuhan kepentingan diri. Konsekwensinya, persekutuan yang sesungguhnya menjadi mustahil.

Salah satu dampak perkembangan teknologi dewasa ini adalah kenyataan bahwa “ibadah” sudah dengan mudah “diantar” ke rumah-rumah hunian kita melalui TV, di mana kita tidak saja berperan sebagai ‘pemirsa’ tetapi bisa terlibat langsung berdoa, bernyanyi dan sebagainya. Perkembangan ini mestinya kita sambut sebagai ‘suplemen’ terhadap pertumbuhan persekutuan kita bukan menggantikan persekutuan jemaat.

Ibadah yang ‘dingin’ lebih disebabkan oleh persaudaraan yang dingin dan sambutan ‘dingin’ atas kehadiran Tuhan dalam ibadah dan seluruh kehidupan. Tetapi persekutuan kita akan hangat dan bersahabat jika dibangun atas dasar kebersamaan yang dirahmati dan didiami RohNya.

3. Ibadah dan Kesaksian

Sebenarnya kita lebih lama bertemu dengan Tuhan di luar ibadah. Karena itu, di luar ibadah yang sudah diformat sedemikian rupa, Allah tetap bisa disembah. Kita tidak dapat membentengi ruang lingkup kerja Allah hanya dalam ibadah, seolah-olah kita dapat meninggalkanNya sendirian di gedung gereja sementara kita melakukan aktivitas sehari-hari dan kemudian kita menemuiNya kembali pada hari Minggu berikutnya. Padahal, sesungguhnya kita berhadapan dan bersama-sama dengan Allah dalam seluruh kehidupan kita. Kita juga dapat mendengar kebenaran Tuhan dari sesama melalui pengakuan iman dan praksis kehidupan beriman umat percaya di masa lalu dan masa kini.

Karya dan kehendak Allah yang dialami di luar ibadah dapat direnungkan dalam ibadah; karya dan kehendak Allah yang terungkap dalam ibadah dapat ‘ditangkap’ dan dialami di luar ibadah formal. Itu sebabnya “suara kenabian” menjadi keharusan ketika di dalam dan di luar ibadah kita sunguh-sunguh bertemu dengan Tuhan yang menolak segala bentuk ketidakadilan. Di dalam ibadah kita bertemu dengan Allah yang mencintai kebenaran dan keadilan, di dalam kehidupan sehari-hari kita terpangil untuk menyatakan kebenaran dan keadilan. Ketika suara kenabian diredam di tengah situasi maraknya ketidakadilan --meskipun ibadah tetap semarak-- sebenarnya peribadahan itu telah bergeser menjadi persekutuan oposisi kepada Allah.

Ibadah tidak dimaksudkan sebagai tindakan “mengambil hati Allah” atau membujuknya untuk mencocokkan keputusan dan pemberianNya sesuai dengan keinginan kita, tetapi lebih merupakan kesempatan untuk menyaksikan secara jernih karya Allah yang sudah nyata. Kesaksian demikian seharusnya diikuti dengan penegasan komitmen umat percaya seturut dengan kehendakNya. Nasihat “latihlah dirimu beribadah”, juga kita mengerti sebagai nasihat untuk melatih diri menyaksikan kehadiran dan karya Allah dan memahami kehendakNya dalam segala situasi kehidupan, baik dalam situasi teduh maupun dalam situasi gemuruhnya dunia ini. Tugas panggilan untuk bersaksi atau pemberitaan Injil yang benar hanya dimungkinkan jika kita mampu menyaksikan kehendak dan rencana Tuhan dalam situasi konkret perjalanan dunia ini.

4. Ibadah dan Solidaritas

Allah menghendaki ibadah yang berpadanan dengan kehidupan konkret, terutama dalam penegakan kebenaran dan keadilan. Allah menolak ibadah yang semarak tanpa disertai dengan gerak hidup yang seturut gerak Allah di dunia ini, yaitu mewujudkan kebenaran dan keadilan (Amos 5).

Kita belajar dari sikap Yesus yang lebih mencintai manusia ketimbang Sabat. Yesus tidak terlambat dan terhambat menolong manusia bermartabat melintas ‘rambu-rambu’ Sabat. Artinya, ibadah adalah demi manusia, bukan manusia dikorbankan demi ibadah. Yang disebut terakhir ini klop dengan ibadah kepada tahyul. Ketika orang terhalang mengasihi sesamanya atas nama ibadah, maka ibadah menjadi tidak bermakna.

Eka Darmaputera pernah mengatakan bahwa kehidupan beragama (termasuk bergereja) di Indonesia masih semarak atau bahkan sedang berada pada kemuncak-kemuncaknya, namun dalam waktu yang sama terjadi keruntuhan moral dan etika.[6] Panggilan kita ialah agar melalui ibadah kita semakin peka terhadap sapaan Tuhan dan semakin peka akan kebutuhan sesama. Ibadah tidak menggantikan tanggung jawab, atau cicilan pembayaran sanksi pelanggaran dan dosa kita, tetapi dalam rangka mewujudkan peran kita sebagai garam dan terang dunia.

Yang perlu mendapat perhatian kita secara khusus ialah, agar pergumulan hidup masyarakat mendapat tempat dalam ibadah. Kita memerlukan renungan situasional, menyelami dan memahami kenyataan secara kritis atas pertolongan Tuhan. Dengan demikian ibadah dapat menumbuhkan kepekaan sosial dan solidaritas sejati.

Ibadah adalah ‘doa syafaat’ yang menyatu dengan tindakan konkret. Kita tidak berjasa apapun jika doa syafaat yang kita ucapkan menggantikan tangung jawab kita menolong mereka yang terindas dan dalam kesusahan. Ibadah menjadi bermakna jika umat tergerak dan bertindak dengan motivasi yang benar. Reed merumuskannya dengan sangat tepat sebagai berikut.[7]

Ibadah adalah doa syafaat, teriakan atas nama dunia sepanjang masa. Berdoa kepada Allah dan mengingat sesama manusia berarti mengakui bahwa Allah mengingat kita semua. Karena itu, menaikkan doa syafaat tidak terpisahkan dengan solidaritas nyata dengan semua korban dalam masyarakat kita.

III. PENGHAYATAN IBADAH

HKBP telah sejak lama menekankan perlunya kehidmatan dan keteduhan beribadah. Dalam GBKPP HKBP misalnya diamanatkan: “Kehidmatan dan keteduhan kebaktian merupakan suatu faktor penting dalam usaha menimbulkan perasaan dan pemahaman serta penghayatan yang lebih mendalam tentang firman Allah…Untuk ini tata cara kebaktian hendaklah dipersiapkan sedemikian rupa sehingga jemaat dapat turut merasakan dan menghayatinya secara mendalam…”[8]

Memang, kehidmatan dan keteduhan kita seringkali dijarah baik oleh gaya hidup workalholic (terlalu sibuk bekerja) maupun gaya hidup yang terlalu santai. Tetapi kita dapat meraih kembali kehidmatan dan keteduhan ini dengan prasyarat kuci yakni: penghayatan. Untuk itu dibutuhkan persiapan diri pelayan dan warga jemaat. Nampaknya para pelayan dan warga gereja-gereja Protestan (termasuk HKBP) sudah banyak yang lupa akan warisan spiritual berharga seperti meditasi, puasa, saat teduh dan sebagainya. Martin Luther sendiri menganjurkan doa dan perenungan pribadi dengan membaca bagian kitab Mazmur, membaca dan merenungkan ayat-ayat Alkitab tertentu, mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, dan diakhiri dengan Doa Bapa Kami. Warisan berharga seperti ini hendaknya tetap dipelihara sehingga ibadah dapat terbangun dalam suasana rahmat.

Berikut ini ada tiga ‘elemen’ ibadah formal yang kiranya perlu mendapat perhatian dan persiapan kita secara khusus.

1. Liturgi

Pencobaan bisa saja dihadapi oleh Paragenda (pemimpin liturgi) yang sudah dan belum ‘biasa’ memimpin ibadah. Mereka yang sudah biasa tergoda merasa tidak membutuhkan persiapan khusus dan penyerahan diri. Bagian demi bagian tata ibadah mungkin saja berjalan ‘lancar’ tetapi seringkali tanpa penghayatan, apalagi kalau ia hanya menggantungkan diri pada intonasi suara yang ‘dipaksakan’ atau dibuat-buat. Pemimimpin ibadah yang belum biasa, seringkali menjadi amat kaku karena seluruh perhatian terkonsentrasi pada susunan acara dan membolak-balik Agenda (buku tata ibadah). Pemimpin ibadah jadinya merasa lebih banyak “berhadapan” dengan Agenda dan tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhan sendiri dan umatNya.

Maka yang terjadi adalah “membaca” votum, bukan mengaku bahwa Allah hadir dalam ibadah, membaca doa bukan berdoa, membaca Alkitab bukan memperdengarkan firman Tuhan, mengucapkan rumusan Pengakuan Iman Rasuli (yang sudah dihafal), bukan mengaku percaya secara baru, dan sebagainya. Keadaan ini menyuburkan kebosanan dalam ibadah. Mestinya pusat perhatian adalah Allah yang hadir dalam ibadah itu sendiri, yang memberi hukum, pengampunan, berfirman, memberi berkat, mengutus, dan sebaginya, sehingga ibadah dapat menyentuh hati yang terdalam peserta ibadah.

Pemimpin ibadah dapat keluar dari belenggu hambatan seperti itu dengan sungguh-sungguh menikmati perkataan-perkataan Tuhan setiap kali bertemu denganNya (Yer 15:16). Sebab, kasih setia dan rahmat Tuhan selalu baru tiap saat (Rat 3:22). Dalam hal ini para pelayan ibadah perlu mempersiapkan diri secara rohani dan jasmani. Setiap pelayan yang bertugas seharusnya mempersiapkan diri secara khusus dalam suasana keheningan dan doa untuk menerima pimpinan dan hikmat dari Tuhan.

2. Kotbah[9]

Kotbah merupakan salah satu bagian terpenting dalam ibadah. Dalam GBKPP HKBP dicatat: “Dalam setiap kebaktian, khotbah memegang peranan yang sangat penting”. [10] Perlu disadari bahwa krisis tidak terutama terjadi pada para pendengar khotbah, tetapi pada para pengkotbah. Umumnya warga jemaat masih merindukan kotbah. Justru para Pengkotbahlah yang barangkali sedang dirundung kejenuhan karena terpasung rutinitas. Jika semua hal sudah pernah dikotbahkan, para pengkotbah cenderung hanya menggantungkan diri pada intonasi kata-kata, gerak-gerik dan sebagainya. Konsekuensinya, pemberitaan pun menjadi ‘gersang’.

Sebuah doa dalam Agenda HKBP berbunyi: “Sai songgopi ma angka parjamita marhitehite TondiM asa marhiras ni roha nasida jala asa mabaor sian pamangannasida HataM na sintong i songon hababaor ni aek sian mual na denggan, na pasabam roha ni jolma na loja jala na sorat”[11] (Curahkanlah RohMu kepada para pengkotbah agar mereka senantiasa dalam sukacita dan kebenaran firmanMu mengalir melalui mulut mereka seperti air segar yang menyejukkan, menhibur hati orang-orang yang menanggung beban). Doa ini mestinya juga merupakan panggilan kepada para pelayan Firman Tuhan untuk sungguh-sungguh mempersiapkan diri, termasuk menjernihkan motivasinya.

Pertanyaan yang perlu dijawab seorang pengkotbah sebelum berkotbah adalah, “Apakah saya berkotbah karena I have to say something (Saya “harus” mengatakan sesuatu) atau I have something to say (“Ada” sesuatu yang akan saya katakan). Yang disebut pertama berkotbah karena ‘terpaksa’ (karena jadwal, menggantikan pengkotbah, dan sebagainya). Godaan terbesar dengan motivasi seperti ini adalah usaha keras memeras benak mencari “apa yang cocok saya katakan atas dasar ayat Alkitab ini”, bukan (yang pertama dan terutama!) “apa yang Tuhan katakan kepada saya dan umatNya melalui ayat Alkitab ini”. Motivasi I have something to say bertolak dari kesediaan mendengar sapaan Tuhan dan menyadari panggilanNya untuk memberitakan FirmanNya. Ini hanya dapat terbangun melalui persiapan diri dalam keheningan batin sehingga Firman Tuhan yang disampaikan menyejukkan, menyentuh hati yang terdalam, membangkitkan iman, meneguhkan ketetapan hati mengikut Kristus dalam kebenaran dan kasih. Karena itu, pendidikan homiletik tidak terutama terletak pada pendidikan teologi formal, tetapi seluruh kehidupan adalah medan di mana Tuhan mendidik para hambaNya. Pengkotbah yang layak didengar, adalah pengkotbah yang bersedia mendengarkan Tuhan dalam hidupnya!

3. Nyanyian

Salah satu ciri jemaat Kristen perdana adalah “jemaat yang bernyanyi”. Ciri ini juga merupakan ciri ibadah Kristen sepanjang sejarah. Reformator Martin Luther dengan tepat pernah mengatakan ”Iblis akan enyah ketika mendengar nyanyian Kristen”. Hal ini dapat kita pahami karena ketika hati kita terpaut pada Tuhan, maka Iblis pun akan undur.

Ada tiga hal dapat dikemukakan di sini seputar nyanyian gereja. Pertama, kedudukan koor dalam ibadah. Pada umumnya jemaat-jemaat HKBP memberi tempat khusus pada koor dalam ibadah minggu dan perayaan gerejawi HKBP. Sejauh ini agaknya belum terdengar seruan penghapusan koor dari ibadah, tetapi memang gencar diserukan pengurangan jumlah koor (misalnya dari 8-9 menjadi 2-3 koor) dalam setiap ibadah. Dalam hal ini ada baiknya dilakukan dialog terbuka di jemaat-jemaat untuk mempercakapkannya. Yang perlu dipikirkan ialah agar koor itu membangun seluruh peserta ibadah.

Kedua, penggunaan nyanyian di luar Buku Ende HKBP dan Kidung Jemaat. Penggunaan nyanyian gerejawi di luar Buku Ende HKBP banyak diminati dan diserukan oleh pemuda HKBP, terutama karena irama dan iringan musik yang diangap lebih ‘pas’. Menurut hemat saya, hal ini perlu ditanggapi secara positif. Para pemuda seharusnya diberi kesempatan untuk mengungkapkan kegembiraan, harapan, pujian, dan pergumulannya, serta penyerahan dirinya kepada Tuhan dengan nyanyian demikian. Sebab, secara teologis, Allah dapat disembah melalui lagu-lagu di luar Buku Ende (koor-koor itu pun sebetulnya di luar Buku Ende HKBP dan Kidung Jemaat).[12] Pelaksanaan ibadah seperti itu baiklah dilakukan secara khusus tetapi ibadah Minggu HKBP –paling tidak sampai saat ini-- hendaknya tetap menggunakan Buku Ende HKBP dan Kidung Jemaat. Yang penting ialah bahwa HKBP harus terbuka pada segala sesuatu yang membangun kehidupan bergereja.

Ketiga, Pemazmur mengajak “nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan” (Mzm 96:1). Syair nyanyian dalam Buku Ende HKBP memang sudah lama, bahkan banyak di antaranya yang sudah kita hapal mati. Menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan bisa juga dengan “nyanyian lama” dengan penghayatan baru. Yang lebih utama adalah kata demi kata nyanyian itu sungguh-sunguh meresapi akal budi dan hati kita yang terdalam.

IV. PENUTUP

Tuhan menjumpai kita di dalam dan di luar ibadah. Firman Tuhan yang berbunyi “Carilah Tuhan” (Amos 5:6a) kita pahami dalam arti bahwa “Tuhan telah terlebih dahulu menemukan kita”. Ibadah bukanlah upaya supaya mendapat hak khusus lebih dekat dengan Tuhan dan hak khusus untuk meminta kepada Tuhan. Ibadah adalah proses perubahan dan penyerahan hidup dan bahkan bagian integral hidup kita. Dengan demikian, dalam iman dan suasana penuh rahmat kita boleh hidup dengan pengakuan dan komitmen sebagai berikut:[13]

Tuhan, Engkau telah memberikan diriMu
Kini kami memempersembahkan hidup kami kepadaMu melalui pelayanan terhadap sesama
KasihMu telah menjadikan kami manusia baru
Sebagai umat yang Kaukasihi, kami akan melayani Engkau dengan sukacita
KemuliaanMu telah memenuhi hati kami
Tolong kami memuliakan Engkau dalam segala hal. Amin.


[2] Gordon W. Lathrop, “The Shape of the Liturgy: A Framework for Contextualization”, dalam S. Anita Stauffer (ed.), Christian Worship: Unity in Cultural Diversity, Geneva: LWF, 1996.
[3] Bagian doa perayaan peringatan kenaikan Tuhan Yesus. Lihat Agenda HKBP, halaman 96. Dalam edisi Bahasa Indonesia kata di tano Batak on (di tanah Batak ini) diganti menjadi: “Bimbinglah gerejaMu di seluruh dunia ini, agar semakin kuat dan berkembang. Rumusan edisi bahasa Indonesia ini sebenarnya sudah merupakan usaha kontekstualisasi tata ibadah.
[4] Salah satu contoh adalah tata ibadah Perjamuan Kudus yang dirumuskan oleh DGD di Lima, Peru, yang sangat relevan digunakan dalam ibadah Perjamuan Kudus.
[5] Sebagaimana dikutip oleh Don E. Saliers, Worship as Theology. Foretaste of Glory Divine, Nashville: Abingdon Press, 1994, hal. 30
[6] Eka Darmaputera, “Kebangkitan Agama dan Keruntuhan Etika”, dalam Tim Balitbang PGI (Peny.), Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, jakarta: BPK, 1999
[7] Don Saliers, The Lutheran Liturgy, Philadelphia: Muhlenberg Press, 1947, hal. 31
[8] HKBP, Garis-garis Besar Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan HKBP, Pearaja Tarung: HKBP, 1989, hal. 36 (Selanjutnya disebut GBKPP HKBP).
[9] Henri J. Nouwen menguraikan topik ini dengan sangat mengesankan dalam bukunya Pelayanan Yang Kreatif, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hal. 43-62
[10] GBKPP HKBP, hal. 36
[11] Doa Pesta Reformasi. Lihat Agenda HKBP, hal. 99
[12] Menjadi catatan, di samping peranan ibadah (melalui nyanyian gembira) dapat menghalau kesedihan, beban berat dan aneka penderitaan, seharusnya kesediaan menerima dengan tabah salib yang dipikulkan oleh Tuhan.
[13] Lihat William H. Willimon, The Service of God. How Worship and Ethics are Related, Nashville: Abingdon Press, 1983, p. 131
[14] Sebagian jemaat HKBP berdoa setelah warta jemaat, dan sebagian lagi tidak. Umumnya pemimpin liturgi (paragenda) berdiri di depan altar, tetapi ada juga yang berdiri di podium khotbah. Pengadaan kebaktian Minggu pada sore atau malam hari pun merupkan perkembangan kemudian, sesuai dengan keperluannya.

KEL JONNI TINAMBUNAN



Banyak hal yang tidak kita mengerti dalam perjalanan hidup ini. Saya teringat dengan Bpk Jonni Tinambunan ini yang mengikuti testing masuk ke STT HKBP tahun 1984. Tetapi Tuhan berkata lain dengan memberi sekolah yang lain dan memberi pekerjaan dan tugas pelayanan di Papua. Jauh memang dari tempat kelahirannya. Tetapi begitulah, Tuhan ada di mana-mana termasuk di Papua. Selamat menjalani kehidupan, pekerjaan dan pelayanan di tempat nan jauh di sana untuk Bapak Jonni Tinambunan sekeluarga.

(Foto ini diambil ketika beliau mengunjungi Sidikalang, Dairi - Sumatera Utara).

Selengkapnya:

JONNI TINAMBUNAN, SE.MM
Tempat Tgl Lahir : Barus, 05 Juni 1964
Bekerja sebagai Kabag Program pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Papua

Pendidikan: SD Negeri Onan Ganjang Tahun 1977, SMP Neg. II Tarutung, Tahun 1980, SMA Neg. Tarutung, Tahun 1984; STIE Ottow & Geissler Jayapura-Papua, Tahun 1995; S2 Magister Manajemen (Konsentrasi Bidang SDM) UNHAS Tahun 2005

Isteri: Ny. H. Sihotang (kelahiran Manado)
Anak: 1. Feryanto Paska Tinambunan ( SD Kls VI); 2. Martauli Tinambunan ( SD Kls 1); 3. Kristian Tinambunan ( T K ); 4. Kenzia Dame Tinambunan ( 2 Tahun)

ShoutMix chat widget