Sunday, April 25, 2010

TALI GITAR

REFLEKSI SENIN KE-17
26 April 2010

Dalam batas-batas tertentu, ‘tali gitar’ dapat menggambarkan irama kehidupan yang terlalu sibuk dan terlalu santai. Jika stelan tali gitar terlalu kencang, ia terancam putus. Orang yang bernyanyi pun dengan iringan gitar dengan tali terlalu kencang akan kewalahan karena tingginya suara. Demikian juga orang yang ‘terlalu sibuk’, yang tidak menjaga keseimbangan dalam hidup. Mereka teranacam ‘putus’ sebelum waktunya. Kehilang keceriaan, kehilang kesehatan, bahkan kehilangan kehidupan itu sendiri.

Dulu, orang sibuk demi sesuap nasi. Kelihatannya saat ini banyak orang yang sibuk demi sesuap nasi plus secangkir emas dan sepiring berlian. Keglamouran menjadi tujuan utama kehidupan. Padahal, keglamouran mungkin saja enak dipandang mata (ada juga memang yang menyilaukan), tetapi kesederhanaan jauh lebih indah, tidak layu oleh terpaan sinar matahari, dan tidak lapuk oleh guyuran hujan. Dan, kesederhanaan tidak perlu dicapai dengan gaya hidup supersibuk.

Yang lebih memprihatinkan, orang sibuk demi kesibukan itu sendiri. Tidak ada tujuan yang jelas. Saat ini, tidak sedikit orang beranggapan bahwa sibuk adalah sebuah simbol status. Semakin sibuk seseorang, semakin sulit dihubungi, semakin sulit ditemui, semakin sulit menentukan jadwal pertemuan, semakin bergengsi pula dia.

Apa pun motor penggerak hidup yang terlalu sibuk, yang jelas setiap penghalang laju pergerakan itu akan dianggap sebagai ‘rintangan murni’ yang harus disingkirkan. Kita tidak sadar bahwa apa yang kita anggap sebagai "halangan" di saat kita ingin maju dan melaju dalam jadwal atau program kita, itu bisa saja suatu 'interupsi' dari sorga agar kita berpaling pada yang lebih baik bagi kita, sesame dan alam ciptaan Tuhan. Masalahnya, justru orang-orang yang terlalu sibuklah yang sering melakukan ‘interupsi ke sorga’: kehendakku jadilah! Tetapi justru karena melakukan 'interupsi ke sorgalah' yang membuat banyak orang mengeluh, mempersalahkan, mengutuki, tegang, frustrasi dan sejenisnya.

Hidup seperti tali gitar yang terlalu kencang tidak saja berbahaya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Orang yang disekitar mereka akan diperlakukan hanya sekadar alat pencapaian. Mereka tidak tahan melihat orang bersantai sejenak. Pimpinan sebuah lingkungan kerja dengan stelan tali gitar terlalu kencang akan memperlakukan bawahannya sekadar mesin alat produksi. Jika bawahan sakit, yang mejadi pusat keprihatinanya adalah ‘terganggunya produksi’ bukan penderitaan sesamanya manusia.

Beda lagi dengan tali gitar yang terlalu kendor. Ada suaranya (atau persisnya ‘bunyi yang tidak teratur’), tetapi tidak bisa memberi nada yang harmonis. Fals! Demikian halnya orang yang terlalu santai, yang sama sekali tidak berpikir ke depan. Makan enak, tidur enak, jalan-jalan enak, ngobrol enak! Tidak banyak yang diharapkan dari orang-orang yang terlalu santai. Untuk hidup mandiri saja, tanpa tergantung pada orang lain, sudah sangat sulit.

Dalam hal ini ada tiga yang sangat mendasar kita resapkan dalam hati. Pertama, bagi orang Kristen, Time is not money . Waktu bukanlah uang dan waktu tidak bisa diuangkan. Time is grace (waktu adalah anugerah). Waktu bukan sesuatu yang kita produksi. Ia adalah pemberian Tuhan. Waktu memang berharga. Tetapi, ‘harga waktu’ tidak diukur dengan uang, melainkan kualitas peristiwa perjumpaan kita dengan Tuhan dan sesama manusia.

Kedua, dalam perjalanan hidup ini kita tidak saja mau menikmati tujuan, tetapi juga memaknai dan menikmati perjalanan itu sendiri. Kedatangan Yesus ke dunia ini menyatakan bahwa Kerjaraan Allah sudah datang. Artinya, dalam hidup nyata di dunia nyata ini, kita berada dalam ‘waktu Kerajaan Allah’ itu sendiri. Karena itu, kita mesti menjalani hidup ini seirama dengan gerak waktu Kerajaan Allah itu, yang segala sesuatu ada waktunya: berdoa, bekerja, beristirahat, berekreasi, berefleksi dalam kehendak Tuhan. Hidup yang demikianlah yang menjadi kemuliaan bagi Tuhan, menjadi berkat bagi sesama dan kebahagiaan bagi diri sendiri.

Ketiga, prinsip hidup dan gerak hidup kita mempengaruhi bagaimana kita memperlakukan sesama manusia dan ciptaan Allah. Hidup yang terlalu sibuk menumpuk harta cenderung mengabaikan bahkan melukai sesama manusia dan merusak alam ciptaan Tuhan. Sebab, kemewahan harus dibayar oleh alam ini sekaligus mengorbankan manusia. Sebaliknya, hidup yang terlalu santai akan menjadi beban bagi orang lain yang juga menambah masalah dalam kehidupan. Karena itu, sebagai tanda kita menghormati Tuhan Sang Pencipta, kita hendaknya menghormati ciptaanNya: manusia dan alam semesta.

Selamat menyetel tali gitar Anda hari ini.

Sunday, April 18, 2010

MENATA KEMBALI PERSEKUTUAN YANG 'FALS'

REFLEKSI SENIN KE-16
19 April 2010


“Jangan hanya mengkritik, tetapi beri solusi!” Kalimat yang biasa kita dengar, bukan? Masalahnya adalah, “Apakah kita dapat memberi solusi terhadap seluruh masalah?” Tidak mungkin! Seringkali kita bisa merasakan adanya sesuatu yang tidak beres dalam hidup ini, tetapi kita tidak tahu letak masalahnya dan tidak ada solusi langsung yang dapat kita tawarkan. Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah orang yang mengetahui sumber masalah dan mau memberitahukannya demi penyelesaian yang baik.

Bayangkan sebuah koor sedang dikumandangkan. Semua kita dapat merasakan jika koor itu fals, tetapi tidak semua kita tahu di mana masalahnya. Tidak tahu di grup suara mana (tenor, alto, bariton, bas) atau, lebih spesifiknya lagi, suara siapa yang tidak pas dan membuat fals. Bahkan, anggota paduan suara itu sendiri tidak semua tahu suara siapa yang fals. Yang jelas, koor itu tidak pas alias fals. Mengandaikan masalahnya bukan pada lagu itu sendiri, sedikitnya ada dua cara untuk bisa memperbaikinya. Pertama, orang yang suaranya fals itu sendiri tahu bahwa suaranya yang membuat fals. Ia bisa langsung belajar untuk memperbaiki. Jika ini terjadi, maka proses perbaikan pun akan lebih cepat. Sebab, tidak membutuhkan ‘campur tangan’ pelatih dan anggota paduan suara lainnya. Kedua, pelatih paduan suara sendiri mengetahui mana yang perlu diperbaiki. Dengan caranya sendiri, sang pelatih dapat memberitahukan dan memperbaikinya.

Akan tetapi, koor fals seperti itu tidak akan pernah dapat menjadi baik jika (1) Yang fals tidak tahu bahwa suaranya atau suara kelompoknya yang fals dan tidak mau pula diberitahu bahwa suaranya membuat fals. Yang lebih repot adalah jika yang bersuara fals ngotot bahwa mereka benar dan sumber masalah ada pada suara orang lain. (2) Masalahnya justru adalah si Pelatih sendiri. Pelatih tidak tahu suara mana yang belum benar. Atau, pelatih tahu mana yang fals, tetapi justru mereka yang sudah benar yang terus dilatih, sedangkan yang membutuhkan bantuan diabaikan. Yang lebih parah si pelatih mengajarkan yang salah atau suara pelatih sendiri yang fals. Repot!

Dengan menggunakan paduan suara ini sebagai contoh, maka kita tidak bisa mengatakan, “Anda jangan hanya mengkritik, tetapi berilah solusi!” Kita tidak selamanya tahu suara siapa yang fals dalam suatu paduan suara. Yang dapat kita katakan bahwa sesuai pendengaran kita paduan suara itu fals. Dan kita dapat memastikan bahwa masalah bukan di telinga kita.

Dalam hidup sebuah persekutuan, kita bisa merasakan adanya sesuatu yang tidak beres. Kurang harmoni. Kurang kehangatan. Hilang keceriaan. Singkatnya, sebuah persekutuan itu ‘fals’. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa dalam kebersamaan hidup di dunia ini kita selalu membutuhkan perbaikan. Kita tinggal bersama dengan orang-orang sulit. Kita berhadapan dengan orang-orang yang memaksakan keinginan, dan sebagainya.

Stanley Hauerwas dan Jean Vanier pernah berkata, “persekutuan terbentuk dengan adanya kehidupan saling memperhatikan dan adanya kelemah-lembutan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Di situ terdapat gerak-gerik yang bersahabat, pelayanan dan pengorbanan. Di situ terungkap kata-kata “Saya mengasihi Anda dan saya bahagia bersama Anda”. Yang terjadi di sini adalah membiarkan orang lain di depan Anda, tidak berusaha membuktikan bahwa Anda yang paling benar dalam sebuah diskusi. Persekutuan yang indah adalah di mana seorang mengangkat beban orang lain”.

Jika persdekutuan kita terasa fals, sedikitnya tiga hal yang secara mendasar perlu kita perhatikan. Pertama, memeriksa diri sendiri. Apakah saya memberi andil dalam keadaan ini? Mungkin bukan hanya kita sendiri, tetapi yang paling penting kita dengan jujur dan rendah hati melihat dengan jernih keberadaan kita. Jika memang ternyata kita menemukan diri masuk dalam kategori ‘sumber masalah’, kita dapat memperbaiki diri. Jika orang lain yang menemukan bahwa tindakan kita atau kata-kata kita menjadi sumber masalah, kita mesti menerimanya secara dewasa tanpa disesah rasa bersalah. Kita tidak perlu membela diri. Kita juga tidak perlu menghukum diri sendiri hingga tidak bisa tidur. Kita bisa belajar dari pengalaman itu untuk lebih baik di masa depan. Singkatnya, kita tidak perlu larut berkata dengan hati terluka, “kok saya begitu ya, aduh....” tetapi dengan hati terbuka berkata, “saya akan begini (yang lebih baik) ke depan ini.”

Kedua, jika kita bukan sumber masalah dan tidak mengetahui tindakan siapa yang mengakibatkan suatu permasalahan, kita dapat mengungkapkan apa yang kita rasakan. Kita katakan saja ada yang tidak beres, seperti yang disebut tadi: kurang adanya harmoni, kurang kehangatan, hilang keceriaan, persekutuan kita dalam keadaan ‘fals’. Tetapi, jika kita mengetahui sumber masalahnya, kita dapat menyampaikannya dan memberi masukan untuk perbaikannya. Yang paling penting di sini, agar kita tetap dalam semangat kasih dan ‘orisentasi solusi’. Di sini, kita tidak menyerang orang tetapi memperbaiki kesalahan. Tujuan kita bukan untuk larut di masa lalu, tetapi bergerak ke depan dengan lebih baik. Misalnya, kita menghindari kata-kata, “Gara-gara kau! Dasar tak tahu diri, goblok!”. Itu tidak memberi solusi tetapi malah dapat memperparah masalah. Kita bisa berkata, “menurut saya Anda harus menghentikan kata-kata ini atau perbuatan ini demi kebaikan kita bersama”.

Ketiga, membiarkan pemimpin mengambil tindakan: memberi penilaian dan langkah yang perlu ditempuh. Pemimpin sudah dipercayakan untuk melakukan yang terbaik dalam sebuah persekutuan. Memang, menjadi masalah besar jika justru ‘suara pemimpin sendiri yang fals’, atau si pemimpin mengajarkan yang salah. Ada yang mengatakan bahwa ikan, yang pertama busuk adalah kepalanya. Kemudian, menjalar ke badannya. Hal yang sama sering terjadi dalam sebuah persekutuan. Dalam hal ini para pemimpin mesti memelihara kehidupan spiritualitas yang nampak dalam karakter dan integritasnya. Jika pemimpin ‘fals’, apakah anggota bisa menegurnya? Suatu tugas panggilan! Suatu keharusan!

Satu hal yang sangat penting diperhatikan adalah: proses. Kecenderungan dunia ini adalah menekankan ‘hasil’ yang kerap dibungkus dengan berbagai penyelewengan hingga kekerasan. Yang kita kagumi adalah kemegahan candi Borobudur. Jarang kita bertanya, adakah orang-orang yang dikorbankan untuk kemegahan seperti itu? Untuk bisa tampil hebat dalam koor, dalam kemajuan organisasi, dalam pembangunan suatu proyek, ada saja orang yang ditindas, dihina, disepelekan, diejek, direndahkan, dibunuh. Itulah tujuan yang mengabaikan proses. Jadi, proses itu sangat penting. Dalam pencapaian apa pun, kita harus menghargai manusia sebagai manusia yang berharkat sejak perencanaan hingga penyelesaian suatu program.

Sunday, April 11, 2010

HUBUNGAN RASA SYUKUR DENGAN KESEHATAN

REFLEKSI SENIN KE-15
12 APRIL 2010



Beberapa tahun terakhir para peneliti telah mencoba melihat hubungan rasa syukur dengan kesehatan manusia. Dr. DeSteno, (Northwestern Universitity) berkata, "rasa syukur membuat orang berbuat kebajikan, tidak mementingkan diri sendiri dan mendukung kehidupan sosial yang baik, yang berdampak positif terhadap kesehatan fisik dan kesehatan psikologis”. Dr. Robert Emmon, profesor psikologi di Universitas California mengatakan bahwa mereka yang memiliki rasa syukur mengurangi tingkat iri hati, rasa kesal, dan kebencian. Mereka dapat tidur lebih baik, berolah raga lebih banyak (catatan: di Parlilitan dan Cililitan olah raga termasuk dalam bekerja di ladang dan tempat dagang) dan membuat tekanan darah normal. Senada dengan itu Dr Brenda Shoshanna, seorang psikolog New York mengatakan, “Anda tidak dapat depresi dan bersyukur pada saat yang sama". (Strait Times, 27 November 2009).

Meskipun penelitian ini dilakukan dalam konteks Barat, apa yang disingkapkan para peneliti di atas dapat menjadi pegangan kita: rasa syukur mendukung kesehatan tubuh dan emosi kita. Namun kita tidak dapat berkata bahwa orang yang sakit itu sudah pasti karena kurang bersyukur. Itu tindakan menghakimi. Juga bukan suatu kepastian bahwa orang yang sehat adalah orang-orang yang bersyukur. Banyak faktor yang membuat seseorang sakit. Banyak pula orang yang sehat yang tidak bersyukur.

Bagaimana rasa syukur memberi sumbangan terhadap kesehatan emosi dan tubuh? Sedikitnya empat hal dapat disebutkan di sini.

Pertama, rasa syukur satu paket dengan ‘sukacita’. Dalam hal ini kita dapat mengaminkan Amsal 17:22 “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” Dan 15:13 “Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat.” Para pasien penderita kanker biasanya selalu dinasihatkan supaya mereka ‘beremangat’ (yang unsur ‘sukacita’ ada di dalamnya) yang mendapat porsi 50% dalam memberi kesembuhan.

Kedua, orang yang memiliki rasa syukur tidak akan terbelenggu oleh ketegangan yang tidak perlu. Orang yang bersyukur dapat menjalani hidup apa adanya –tanpa menangisi masa lalu atau menguatirkan masa depan-- dengan kesadaran bahwa penyelenggaraan Allah masih tetap berjalan. Hidup yang bebas dari ketegangan yang tidak perlu atau stress berlebihan sangat mendukung kesehatan tubuh.

Rasul Paulus menasihatkan: “Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing (Roma 12:3). Memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari yang patut kita pikirkan dapat menjadi sumber ketegangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya dapat memperburuk kesehatan emosi dan tubuh kita.

Ketiga, orang yang bersyukur beribadah dengan benar. Kehidupan doanya terpelihara. Mereka bersahabat dengan firman Tuhan melalui disiplin membaca Alkitab. Semua ini dilakukan tanpa dipaksa atau terpaksa. Setiap aktivitas kehidupan yang dilakukan dengan kerelaan, bebas dari paksaan, memberi sumbangan yang sangat bersar terhadap kualitas kehidupan.

Keempat, bertemu dengan orang yang dipenuhi rasa syukur sungguh memberi keteduhan. Kita tidak merasa terancam. Sebab, orang yang memiliki rasa syukur tidak mungkin menyombongkan diri dan tidak mungkin menonjolkan diri. Orang yang bersyukur tidak hadir sebagai ancaman kepada orang lain dan tidak memperlakukan orang lain sebagai ancaman terhadap dirinya. Dengan demikian tercipta suatu hubungan yang sehat; dan hubungan yang sehat juga menentukan kesehatan emosi dan tubuh.

Apa penghalang ‘rasa syukur?’ Yang utama adalah rasa tidak puas atau keinginan tanpa batas. Perlu kita sadari bahwa seringkali kita tidak bersyukur bukan karena kita tidak memiliki cukup tetapi karena orang lain memiliki lebih banyak. Kita dapat melihat korupsi dan yang sejenisnya dari keadaan seperti ini. Orang yang dikuasai rasa tidak puas akan memperlakukan Allah dan sesama hanya sebagai alat untuk mencapai keinginannya. Ia memaksa. Memaksa diri sendiri, memaksa orang lain dan juga memaksa Tuhan. Kita tahu bahwa semua ‘dipaksa’ berdampak buruk terhadap kehidupan (menjadi kekecualian paku dan tiang penyangga bangunan).

Dengan mengetahui penghalang rasa syukur dan dampak buruknya terhadap kehidupan, kiranya kita dapat melangkah dalam sikap dan cara yang baru. Melangkah dengan pengucapan syukur; pengucapan syukur yang lahir dari pengakuan iman bahwa ketika kita memiliki Allah, kita memiliki segala sesuatu yang Ia kehendaki demi kebaikan kita.

Sunday, April 4, 2010

SARINGAN

REFLEKSI SENIN KE-14
05 APRIL 2010

Di jaman Yunani kuno Dr.Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanannya yang tinggi. Cerita mencerahkan berikut dituturkan oleh K. Suheimi.

Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, "Tahukah anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman anda?"

"Tunggu sebentar," jawab Dr. Socrates. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu saya ingin anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Kali."

"Saringan tiga kali?" tanya pria tersebut.

"Betul" lanjut Dr.Socrates. "Sebelum anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya mungkin merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Kali.”

“Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah anda bahwa apa yang anda akan katakan kepada saya adalah benar?"

"Tidak," kata pria tersebut,"sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan
ingin memberitahukannya kepada anda."

"Baiklah," kata Socrates. "Jadi anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar
atau tidak. Sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu: KEBAIKAN. Apakah
yang akan anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang
baik?"

"Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk"

"Jadi," lanjut Socrates, "anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang
buruk mengenai dia, tetapi anda tidak yakin kalau itu benar. Anda mungkin
masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu: KEGUNAAN. “Apakah yang anda
ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat
saya?"

"Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.

"Kalau begitu," simpul Dr.Socrates, "jika apa yang anda ingin beritahukan
kepada saya: tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya,
kenapa ingin menceritakan kepada saya?"

Untuk kasus seperti itu, memang tidak membangun. Tetapi bagaimana kalau 'saringan' pertama BENAR, saringan kedua YANG BURUK, saringan ketiga BERGUNA? Keadaan seperti ini tidak jarang kita alami. Misalnya: Teman Anda seorang yang homoseksual. Anda sendiri tidak mengetahuinya. Saringan pertama sudah pasti BENAR. Saringan kedua: HAL YANG BURUK. Saringan Ketiga: BERGUNA. Anda bisa mencegah adanya korban. Contoh lain: Bawahan Anda pecandu narkoba; di luar pengetahuan Anda. Padahal Anda ingin mengangkatnya menduduki suatu jabatan penting di lingkungan pekerjaan Anda. Seseorang memberitahukannya kepada Anda. Anda memberi Ujian Saringan Tiga Kali. Hasilnya? Saringan pertama: BENAR. Saringan kedua: HAL YANG BURUK. Ia pecandu narkoba. Saringan ketiga: BERGUNA. Anda memilih the right person for the right position.

Yang perlu dihindari dalam hal ini adalah ‘memburuk-burukkan’ orang lain. Itu berbeda dengan ‘mengatakan tentang keburukan’ orang lain. Mengatakan keburukan orang lain demi perbaikan dan kebaikan adalah bagian dari kasih. Memburuk-burukkan orang lain adalah fitnah.

Uraian lebih rinci tentang boleh tidaknya mengatakan ‘keburukan orang lain’ silahkan klik di sini: http://victor-tinambunan.blogspot.com/2008/09/mengatakan-keburukan-orang-boleh.html


ShoutMix chat widget