Monday, January 26, 2009

RENUNGAN SENIN - MINGGU V 2009: 26/1

MELEPAS KELEKATAN
.
Anthoni de Mello mengartikan ‘kelekatan’ sebagai ketergantungan emosional yang disebabkan oleh keyakinan bahwa tanpa sesuatu atau pribadi tertentu seseorang tidak dapat bahagia. Pada kesempatan lain ia mencontohkan sisi gelap kelekatan sebagai berikut:

Diamlah sejenak untuk melihat bagaimana kelekatan membuat kering simfoni kehidupan anda. Itu pula yang terjadi pada para politisi karena kelekatannya pada kekuasaan, demikian juga pada para pengusaha karena kelekatannya pada uang. Kelekatan telah membuat mereka tidak peka terhadap melodi kehidupan.

Di antara sekian objek kelekatan manusia, di sini dapat disebutkan empat di antaranya.

Pertama, kelekatan kepada manusia. Ingatlah orang-orang yang kepadanya kita sangat tergantung. Kita begitu peduli kepada mereka sebab mereka menyenangkan hati kita, mereka memberi hadiah kepada kita, memuji kita, menolong dan menyemangati kita dan sebagainya. Apa yang biasanya kita sebut ‘kasih’ hanyalah merupakan ‘kelekatan’. Dengan ‘kelekatan’ kita tidak melihat dan memperlakukan orang sebagaimana adanya dan dengan demikian kita menciptakan berbagai harapan untuk mereka penuhi: mereka harus seperti ini, mereka harus melakukan itu dan sebagainya. Lalu ketika mereka tidak hidup sesuai dengan pikiran kita atau yang seharusnya mereka lakukan kita menyakiti, mengecewakan dan mempersalahkan mereka. .
Dengan kasih yang murni, kita peduli dan menolong orang lain dan menghendaki mereka berbahagia bukan karena mereka menyenangkan dengan memenuhi keinginan-keinginan kita, tetapi karena mereka ada sebagaimana mereka ada. Kita menerima orang lain sebagaimana adanya dan terus menolong mereka, tidak dengan mengharapkan apa yang menguntungkan kita dari hubungan itu bahkan yang paling halus sekali pun seperti ‘ucapan terima kasih’. Kasih yang murni tidak mengandung kecemburuan dan perasaan ingin memiliki apalagi menguasai orang lain.

Kedua, kelekatan pada prinsip baku dan kaku. Ada orang yang begitu melekat pada suatu prinsip hidup hingga membuatnya menjadi tertutup pada kebenaran. Keadaan demikian membuatnya semakin mengeraskan hati. Ini bisa terjadi atas dasar keyakinan yang keliru pada ajaran agama, ideologi suatu bangsa, kebudayaan, warisan keluarga dan lain sebagainya. Kelekatan-kelekatan seperti tidak jarang berujung pada perselisihan di tengah keluarga, masyarakat, bahkan dalam lingkungan agama. Dan yang paling menyedihkan kelekatan-kelekatan seperti itu justru melahirkan aneka bentuk peperangan, mulai dari perang urat saraf hingga perang dengan menggunakan pedang dan senapan.

Ketiga, kelekatan pada jabatan atau tempat. Hal ini tidak asing bagi kita. Perhatikanlah sekitar kita, ada begitu banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk tetap bertahan pada jabatan tertentu atau tempat tugas tertentu. Kelekatan seperti ini tidak selalu karena faktor ‘materi’ tetapi bisa juga karena faktor ‘gengsi’. Padahal, semangat menggenggam jabatan atau tempat tugas tertentu tidak pernah memberi kedamaian batin. Kecurigaan kepada orang lain yang dianggap mengambil jabatan tersebut biasanya tumbuh lebih subur. Hubungan dengan orang lain pun jadinya tidak akan sehat. Akhirnya, masa pensiun yang seharusnya suatu perayaan sukacita bisa berubah menjadi saat menegangkan yang mengakibatkan penderitaan batin dan fisik.
.
Keempat, kelekatan pada milik atau materi. Dalam pandangan umum, resep untuk kemajuan amat sederhana: semakin banyak mengkonsumsi, semakin bahagia. Kenyataannya, banyak orang yang semakin mudah mendapat barang-barang, tetapi semakin sulit mendapat kebahagiaan.

Psikolog Tim Kasser dan kawan-kawan telah menunjukkan bagaimana sikap orang yang lebih materialistik: orang yang mengartikan dan mengukur harga diri dengan uang dan harta yang dimiliki memiliki tingkat kebahagiaan lebih rendah. Ada korelasi antara peningkatan konsumsi dan berkurangnya kebahagiaan manusia, khususnya dalam hubungan-hubungan sosial. Hubungan mulai hilang ketika penghasilan bertambah. Sebaliknya, ada kecenderungan suatu peningkatan kepuasan hidup dengan income yang lebih rendah.

Kita menemukan di dalam Alkitab beberapa peringatan buruknya kekayaan. Dalam Amsal 23: 4 dikatakan, “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini”. Kita juga mendapat peringatan di dalam 1 Tim 6:9 yang mengatakan, “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.

Apakah menjadi kaya secara material sebagai sesuatu yang buruk atau dosa? Jawaban atas pertanyaan ini tidak dapat disederhanakan cukup dengan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Sebab, menjadi kaya tidak salah pada dirinya sendiri. Sedikitnya ada tiga pertanyaan yang paling mendasar yang perlu dijawab dalam hal ini. Pertama, apakah kekayaan itu diperoleh seturut dengan kehendak Tuhan (bukan dicuri atau dikorupsi, bukan dengan jalan mengorbankan bawahan atau karyawan, bukan dengan merusak alam ciptaan Tuhan dan sebagainya). Kedua, apakah kekayaan itu digunakan untuk kemuliaan Tuhan dan menjadi berkat bagi orang lain? Ketiga, apakah hati kita melekat pada Tuhan, bukan melekat atau mengandalkan apa yang kita miliki? Jika kita dapat memberi jawaban ‘ya’ pada pertanyaan-pertanyaan ini, 'selamat menjalani hidup kaya!'

.Ketika seseorang melepaskan kelekatan, ia sekaligus melepaskan semua kekuatiran. Seruan ‘jangan takut’ atau ‘jangan kuatir’ memenuhi halaman-halaman kitab suci dan tulisan papra mistikus. Sebab kecemasan atau kekuatiran adalah bentuk halus dari kelekatan.

Monday, January 19, 2009

RENUNGAN SENIN - MINGGU IV 2009: 19/01

HUBUNGAN KEHIDUPAN BERGEREJA DAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Berbicara tentang hubungan kehidupan bergereja dengan kehidupan sehari-hari, sedikitnya ada lima kelompok orang:

(1) Orang yang tidak perduli terhadap kehidupan bergereja (tidak hadir dalam ibadah Minggu dan PA, tidak mau membaca Alkitab dan berdoa) dan hidupnya sehari-hari pun penuh dengan kebiasaan buruk bahkan tidak bermoral.
(2) Orang yang rajin ke gereja, tidak pernah absen di perkumpulan PA, berdoa setiap kali mau makan, tetapi seolah-olah tidak ada pengaruhnya yang nyata terhadap kehidupan sehari-hari. Karakter buruk tetap melekat, seperti suka marah bahkan berang, memendam dendam, melakukan korupsi, pergi kepada dukun dan lain-lain.
(3) Tidak rajin ke gereja dan tidak banyak tahu tentang isi Alkitab, tetapi dalam hidup sehari-hari ia hidup baik, jujur, ramah, bekerja dengan sungguh-sungguh, suka menolong sesama manusia.
(4) Sesekali pergi ke gereja dan hidup biasa-biasa saja, tidak terlalu jahat dan tidak baik sekali. Sungkan menghujat Allah tetapi kehidupannya tidak sepenuhnya berpadanan dengan kehendak Tuhan. Tidak mau mengganggu orang lain, tetapi juga tidak bersedia menolong sesama.
(5) Rajin dan terlibat aktif dalam seluruh kehidupan bergereja, baik dalam ibadah pribadi maupun bersama-sama dan itu juga terpancar dalam hidupnya sehari-hari dalam berbagai perbuatan baik.

Kita boleh melihat di kelompok mana kita dan keluarga kita masing-masing berada. Yang ideal memang adalah nomor 5 ini.

Ibrani 10:24 berbicara tentang hubungan iman dan ibadah dengan kehidupan keseharian: “Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”. Ayat ini mesti dilihat sebagai satu kesatuan mulai dari ayat 19 yang menegaskan bahwa Yesus Kristus telah membuka jalan bagi kita untuk masuk ke dalam tempat kudusNya, menjadi anggota keluarga Allah.

Bertolak dari karya Kristus yang begitu besar dan menentukan, menyusul tiga ajakan ‘marilah’ kepada umat percaya, yakni:

(1) Marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus iklas dan keyakinan iman yang teguh. Oleh karena hati kita telah dibersihkan…. (ay 22)
(2) Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab, Ia yang menjanjikannya, setia (ay 23)
(3) Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. (ay 24).

Oleh karena itu, pusat perhatian kita yang pertama dan terutama adalah ‘pekerjaan Kristus di antara kita’. Ketiga ajakan seperti disebut di atas merupakan buah dari sambutan umat percaya kepada karya Kristus itu sendiri.

Dalam hal ini kita diajak kepada hal-hal yang konkret dan praktis tentang sikap dan gerak hidup sebagai orang percaya. Dengan kata lain, firman Tuhan ini mau menegaskan keterkaitan antara iman, ibadah dan kehidupan yang berbuah.

1. Rintangan Saling Memperhatikan

Saling memperhatikan dalam kasih merupakan sesuatu yang terbilang langka pada zaman ini. Kalaupun ada, ia lebih merupakan ‘pertukaran kepentingan’. Saya menjaga kepentingan Anda, sejauh Anda menjaga kepentingan saya. Saya akan datang ke pesta Anda, kalau Anda datang menghadiri pesta saya. Saya akan datang mengikuti PA di rumah Anda, kalau Anda hadir ketika PA diadakan di rumah saya. Di sini, persahabatan dibelokkan sebagai alat pemenuhan pementingan diri. Bahkan, agama pun bisa saja diperlakukan sebagai alat pemenuhan kepentingan.

Di samping membawa berbagai hal yang baik, salah satu sisi kelam dari era globalisasi ini ialah kecenderungan manusia yang kian dicengkeram individualisme (karena itu menjadi kurang dalam saling memperhatikan) dan materialisme (sehingga yang dipuja adalah Mamon hingga mengorbankan orang lain).

Kehidupan yang serba individualisme dan materialisme sangat mudah membuat orang merasa kuatir dan cemas, yang dapat menekan kehidupan. Bahkan, yang lebih buruk, akan mengakibatkan berbagai penderitaan fisik. Sebab, pikiran dan suasana hati menyalurkan kecemasannya kepada tubuh. Banyak ahli yang berkesimpulan bahwa gangguan fisik seperti pusing kepala, gangguan saluran pernafasan, sakit perut, tekanan darah tinggi, sakit jantung dan sebagainya diakibatkan oleh tekanan terhadap rasa dan emosi.

Masih dalam hubungan itu, ambisi, menyimpan amarah, dengki, rasa benci, takut, kecewa menimbulkan stress (ketegangan) pada tubuh. Stress seperti itu dapat menyebabkan pernafasan dan detak jantung kita menjadi tidak normal. Kalau pasokan oksigen berkurang dalam tubuh, maka aliran darah juga akan terganggu. Dengan demikian, stress dapat menciptakan ketidakseimbangan kimia yang mengakibatkan kesalahan fungsi kelenjar dan organ-organ lain. Tubuh menjadi tidak mampu memberi perlawanan terhadap kuman-kuman yang biasanya dapat dikendalikan. Selanjutnya akan menimbulkan berbagai gangguan fisik.

Gangguan-gangguan semacam itu semakin membuat perhatian seseorang tertuju dan terpusat pada diri sendiri, cenderung lebih memikirkan keadaan diri sendiri dan amat kurang memberi perhatian terhadap sesama. Untuk itu perlu kita cermati berbagai gangguan kepribadian yang menghambat terciptanya kehidupan yang saling memperhatikan.

  • Orang yang terlalu memikirkan diri sendiri kurang memiliki kesempatan memikirkan orang lain
  • Orang yang terlalu memperhatikan diri sendiri tidak mempunyai kesempatan memperhatikan orang lain
  • Orang yang mengutamakan kenikmatan diri, akan cenderung merampas hak dan kebahagiaan orang lain.

Sunday, January 11, 2009

RENUNGAN SENIN - MINGGU III 2009: 12/01

MEMENANGKAN UJIAN HIDUP
Ketika badai kehidupan silih berganti kita saksikan terjadi pada orang lain atau justru menerpa diri kita sendiri, tidak jarang kita bertanya dalam hati, “mengapa semua ini terjadi?” Apalagi, kita tidak menemukan sesuatu dalam diri kita, seperti kesalahan atau kelalaian kita, yang membuat kita menanggung derita. Kita semakin bingung ketika kita menyaksikan orang-orang jahat justru sehat-sehat saja bahkan kian 'makmur'. Kita pun tergoda untuk terus bertanya setengah menggugat, “mengapa bukan pendosa dan hidup penuh noda itu saja yang porak poranda?” Jika pikiran dan hati kita tidak jernih menilai setiap peristiwa kehidupan, kita bisa saja terjerumus pada kesimpulan keliru seolah Allah tidak adil atau tidak peduli dengan keadaan kita. ..
Akan tetapi, dari firman Tuhan sebagaimana dapat kita baca dalam Yakobus 1:2-8, kita disegarkan kembali untuk memaknai persoalan atau pergumulan hidup dengan iman. Dikatakan di situ bahwa “berbagai-bagai pencobaan” ada yang merupakan ujian terhadap iman kita yang akan menghasilkan ketekunan. Ada baiknya kita perhatikan secara khusus kata “ujian” dan “ketekunan”. Di sekolah, semua siswa yang akan naik ke kelas yang lebih tinggi selalu menghadapi ujian. Jadi, ujian-ujian yang kita hadapi dalam kehidupan ini, hendaknya mendorong kita untuk kian tekun dalam doa, penyerahan diri dan ketekunan berkarya mulia. Untuk memurnikan emas, ia mesti dibakar. Sehubungan dengan itu, dalam 1 Korintus 10:13 dikatakan:
.
Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.

Belajar dari firman Tuhan ini, kita hendaknya lebih memusatkan perhatian kepada Tuhan dan kekuatan yang Ia berikan kepada kita, bukan terutama pada pencobaan-pencobaan yang kita hadapi, seberat apa pun itu. Sebab, kuasa Allah jauh lebih besar dibandingkan dengan semua beban hidup kita.

Dalam firman Tuhan sebagaimana dalam Yakobus 1 ini juga dinasihatkan agar kita meminta hikmat dari Tuhan. Ayat 5 berkata: “Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, -- yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati...” Hikmat tidak bisa kita hasilkan dari diri kita sendiri. Tidak bisa disekolahkan dan tidak bisa dibeli. Hikmat adalah pemberian Tuhan. Dengan hikmat yang dari Tuhan, kita tidak akan terombang-ambing dalam menghadapi segala sesuatu dalam hidup ini. Sebab hidup yang terombang-ambing atau ‘mendua hati’ (ayat 8) tidak akan pernah tenang dalam hidup. Tetapi dengan hikmat yang dari Tuhan, kita dapat menemukan hikmah dari peristiwa kehidupan yang kita alami.

Dengan memahami dan menerima firman Tuhan ini, kita pun akan dapat menyanyikan Kidung Jemaat 439 dengan penuh keyakinan dan sukacita:

Bila topan k’ras melanda hidupmu, bila putus asa dan letih lesu,
Berkat Tuhan satu-satu hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasihNya...

Adakah beban membuat kau penat, salib yang kaupikul menekan berat?
Hitunglah berkatNya, pasti kau lega dan bernyanyi t’rus penuh bahagia....

UPDATE BEASISWA KE PARLILITAN-JULI 2009

PEMBERI BEASISWA (GELOMBANG II)

1. Anthon Simangunsong (Singapore) untuk 10 orang -Mulai Ags 08
2. John Sihotang (New York).............. untuk 1 orang - Mulai Ags 08
3. NN (Singapore) ................................ untuk 1 orang -Mulai Ags 08
4. JM (Solo-Jawa Tengah).................. untuk 2 orang - Mulai Sept 08
5. Kel Ramses Butarbutar (S'pore).... untuk 6 orang - Mulai Okt 2008
6. NS (Singapore)................................. untuk 5 orang - Mulai Okt 2008
7. Johnny Tobing............................... untuk 2 orang - Mulai Oktober 08 (lanjutan)
.
PENERIMAAN:
.
Pembayaran tahunan:

1. Ags 08-Juli 09 : Anthon Simangunsong : Rp. 7.680.000 (S$1,200xIDR 6400)
2. Ags 08-Juli 09 : John Sihotang ...............: Rp. 750.000
3. Ags 08-Juli 09 : NN - Singapore ............: Rp. 600.000

Pembayaran Bulanan:

1. JM - Solo (Jawa Tengah)
Ags-Sept 08 : Rp. 200.000
Okt-Nop 08 : Rp. 200.000
Des 08-Pbr 09: Rp. 300.000
Maret-Mei 09: Rp. 300.000
Juni-Juli 09 : Rp. 200.000

2. NS - Singapore
Okt-Des 08 : Rp. 700.000 (S$100xIDR 7000)
Jan-Maret 2009 : Rp. 900.000 (S$120 x IDR 7500)
April-Juni 2009 : Rp. 1.125.000 (S$150 x IDR 7500)

3. Ramses Butarbutar - Singapore
Okt-Nop 08 : Rp. 700.000 (S$100xIDR 7000)
Des 08-Maret 2009: Rp.1.500.000 (S$200xIDR7500)
April 09-Mei 2009: Rp. 750.000 (S$100 x IDR 7500)
Juni-Agustus 2009 : Rp. 1.035.000 (S$150 x IDR 6900

Total Penerimaan hingga Januari 2009: Rp. 16.040.000

YANG SUDAH DIKIRIM


1. Agustus 08 : 27 orang x Rp. 50.000 = Rp. 1.350.000
2. September 08: 27 orang x Rp. 50.000 = Rp. 1.350.000
3. Oktober 08: 27 orang x Rp. 50.000 = Rp. 1.350.000
4. Nopember 08 : 27 orang x Rp. 50.000 = Rp. 1.350.000
5. Desember 08 : 27 orang x Rp. 50.000 = Rp. 1.350.000
6. Januari 09................................................ = Rp. 1.300.000
7. Pebruari 09 ........................................... = Rp. 1.350.000
8. Untuk Maret 09..................................... = Rp. 1.350.000
9. Untuk April 09 ...................................... = Rp. 1.350.000
10. Untuk Mei 09........................................ = Rp. 1.350.000
11. Untuk Juni 09..................................... = Rp. 1.350.000
12. Juli 09................................................. = Rp. 1.350.000
1
Total yang sudah dikirim 12 bulan x Rp. 1.350.000 = Rp. 16.200.000

PENERIMA BEASISWA:

1. Candi Tinambunan
2. Helmida Barasa
3. Horas Sihotang
4. Mei Romaida Nahampun
5. Rumonda Siringoringo
6. Firgo Sappetua Barasa
7. Osni Tiurma Hasugian
8. Siti Marini Situmorang
9. Dapid Sinambela
10. Masdani Hasugian
11. Daniel W. Hasugian
12. Sampit Lasniroha Sihotang
13. Rewida Bernadetta Manik
14. Deliana Barutu
15. Herman Harefa
16. Sehat Pardomuan Tumanggor
17. Randi Ramson Silalahi
18. Sisu Susanti Situmorang
19. Ranto Rano Sinaga
20. Eliana Veronika Sihotang
21. Adomangihut Situmorang
22. Herlinda Sinaga
23. Apri Dirjen Barutu
24. Elisabet Tamba
25. Risde Tinambunan
26. Asnita Napitupulu
27. Aladin Sudiomo Manullang
.

Informasi tentang program beasiswa ini silahkan klik di sini:
http://victor-tinambunan.blogspot.com/2008/09/memberi-tanpa-mempermiskin.html
.
Untuk informasi penyaluran beasiswa dapat menghubungi kepala SMPN Parlilitan, Bapak Drs Mangansam Sagala, HP +6281376844860

PEMBERI BEASISWA (LANJUTAN GELOMBANG I)

1. Johnny Lumbantobing.................... untuk 2 orang - Mulai Oktober 2008*)
2. Christi & William............................. untuk 1 orang SD - Mulai 2007

Penerimaan:
1. Johnny Tobing: Okt 08-Pebr 09 .......IDR 750.000 ($100xIDR 7500)
2. Christi and William: Okt 08-June 09 ...IDR 337.500 ($45xIDR 7500)
3. Johnny Tobing: Maret-Mei 2009..... IDR 450.000 (S$60xIDR 7500)
4. Johnny Tobing : Juni-Ags 2009....... IDR 426.000 (S$60xIDR 7100)

Total Penerimaan: IDR 1.963.500

Yang sudah dikirim:
Oktober 08-Jan 09...................... IDR 500.000
Pebruari-Mei................................ IDR 400.000
Juni 09.......................................... IDR 125.000
Juli-Oktober 09.......................... IDR 500.000

Total yang dikirim....................... IDR 1.525.000

Penerima Beasiswa (Lanjutan Gelombang I)
1. Sahat Mangihut Munthe ...... SMP Negeri 3 Parlilitan (IDR 50.000/ bln)
2. Gaberdus Sihotang................ SMP Negeri 3 Parlilitan (IDR 50.000/ bln)
3. Rispan Sihotang.................... SD N Siringoringo Kls IV (IDR 25.000/ bln)

Beasiswa Lanjutan Gelombang I ini disalurkan oleh Bapak St T. Tinambunan HP: +62813700242826

Friday, January 2, 2009

RENUNGAN SENIN - MINGGU II 2009: 05/01

BERBAHAGIA DI TAHUN TUHAN
Sebuah Renungan Menjalani 2009

Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia. Hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur
(Kolose 2:7)

PENGANTAR

Setiap hadirnya tahun yang baru, biasanya orang-orang mengajukan aneka pertanyaan dan pernyataan seputar apa yang bakal terjadi sepanjang tahun yang baru. Keragaman pendapat yang mengemuka seturut dengan keragaman latar belakang kehidupan, profesi dan keyakinan anggota masyarakat. Para futurolog hingga para peramal juga angkat bicara. Simbol-simbol tradisi tertentu juga meramaikan suasana, seperti mereka yang menetapkan tahun tertentu sebagai tahun anjing, tahun kambing dan lain-lain yang disertai dengan tafsiran-tafsirannya.

Bagi orang Kristen setiap dan semua tahun adalah ciptaan dan milik Tuhan. Artinya, tiada tahun tanpa Tuhan. Karenanya semua tahun adalah tahun rahmat yang mestinya disambut dengan ucapan syukur. Meski demikian, tidak semuanya akan secara otomatis berjalan baik. Keadaan yang akan terjadi juga sangat tergantung pada tanggapan manusia terhadap rencana Allah.

DUA MUSUH UTAMA

Hingga tahun yang lalu kita masih mengalami dan menghadapi aneka persoalan kehidupan. Di sini dapat disebut dua di antara sekian banyak permasalahan kehidupan yang sedang mengitari kita, yakni masalah ‘kekerasan’ dan masalah ‘hilangnya makna hidup’ bagi banyak orang, yang kiranya dapat dituntaskan atau paling tidak diminimalkan pada tahun 2009 ini.

1. Kekerasan dan Kejahatan

Kita masih berada dalam masa gerakan sedunia yang disebut dengan Decade to Overcome Violence –DOV (dekade mengatasi kekerasan, 2000-2010). Kita sepatutnya amat prihatin karena di tengah perjuangan dunia dan gereja-gereja mengatasi kekerasan, tetapi kekerasan masih tetap merajalela di mana-mana mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, negara, bahkan dalam lingkungan agama juga.

Sudah sejak lama kita diliputi rasa takut karena kebiadaban para teroris yang mengagungkan kematian. Banyak orang yang merasa tidak aman bepergian dan di berbagai tempat banyak yang merasa tidak aman beribadah di gereja dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas kita tidak hanya mengecam tindak teror yang mengancam hidup kita, tetapi benar-benar menyatakan keberadaan kita sebagai garam dan terang dunia. Salah satu makna keberadaan kita sebagai garam adalah menciptakan suasana yang enak dan bersahabat dengan semua orang. Janganlah kiranya lagu-lagu kita menggelegar ke sekeliling gereja tetapi kita tidak peduli kepada saudara-saudara kita yang berada di sekeliling kita.

Di samping prihatin terhadap masalah kekerasan yang mengitari kita, yang lebih penting adalah berbuat sesuatu, terutama memulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga sendiri. Seorang psikiater pernah mengatakan kepada saya bahwa 75% pembunuh yang meringkuk di penjara-penjara Barat adalah mereka yang mendapat perlakuan tindak kekerasan di dalam lingkungan keluarga sejak masa kecil. Itu berarti bahwa pengalaman anak di tengah keluarga sangat mempengaruhi sikap dan perilakunya di kemudian hari.

Karena itu, sudah semestinya menjadi tugas mendesak kita (terutama tahun ini) memberi perhatian khusus dan serius untuk mengasihi anak-anak, mendidik mereka dalam ajaran dan kehendak Tuhan, serta meciptakan suasana agar mereka bertumbuh ke arah kedewasaan dengan kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, kecerdasan interaksi dan kecerdasan moral.

Dalam hal ini, para orangtua harus sungguh-sungguh mengoreksi ulang metode pendidikan terhadap anak-anaknya di tengah keluarga, tidak mengikuti begitu saja apa yang dialaminya dari orangtuanya pada masa kecil. Misalnya, kalau anak-anak secara tidak sengaja menjatuhkan gelas dan pecah, orangtua langsung berang, menarik pipinya ke atas seperti mau robek atau malah memukul kepala si anak dengan kayu sampai hampir pecah. Padahal harga gelas hanya Rp. 2000, pipi dan kepala anak-anak (manusia) tidak ada dijual. Yang lebih bijaksana, orangtua mestinya dengan kasih berkata, “Wah gelas kita pecah ya ‘nak, lain kali hati-hati ya sayang? Susah cari uang sekarang”. Kalau dia dipukul, dia akan semakin gugup dan makin banyak gelas yang pecah. Tetapi, jika diberi pengertian, ia merasa dirinya berharga dan ia akan lebih hati-hati.Sebuah pepatah Jerman (yang sudah disebut di atas) berbunyi, ‘jika semua orang menyapu halaman rumahnya, maka seluruh kota akan bersih’. Artinya, keadaan masyarakat sangat ditentukan oleh keadaan keluarga-keluarga yang ada di dalamnya. Kekerasan di masyarakat dapat kita atasi mulai dari keluarga-keluarga yang bebas kekerasan.

Di samping itu, lingkungan sekolah dan gereja juga ikut bertanggungjawab. Sebab, tidak sedikit anak yang mengalami kekerasan di rumah, juga mengalami tindak kekerasan dari gurunya di sekolah, bahkan –amat ironis—guru-guru sekolah Minggu juga ada yang menggunakan tongkat pemukul untuk ‘menenteramkan’ anak-anak. Dalam hal ini para guru di sekolah dan di Sekolah Minggu perlu dengan bijaksana mengasihi, mendidik dan mendampingi anak agar mereka bertumbuh dengan baik.

2. Stres dan Hilangnya Makna Hidup

Akhir-akhir ini semakin banyak orang yang stres dan depresi. Pengalaman empiris membuktikan bahwa peningkatan pendapatan ekonomi dan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh era globalisasi ini tidak menjamin kebahagiaan manusia. Kita dapat mengambil contoh negara Jepang, Amerika Serikat dan Singapura yang secara ekonomi termasuk dalam negara-negara termakmur. Akan tetapi justru di ketiga negara inilah tingkat bunuh diri yang tergolong tertinggi di dunia. Mengapa? Banyak manusia yang kehilangan makna diri.

Sebaliknya, kesulitan ekonomi pun dapat juga memicu dan memacu tingginya angka bunuh diri. Kecenderungan semakin banyaknya bunuh diri juga kita alami di Indonesia. Di kota Jakarta, misalnya, tiap tahun jumlah orang yang bunuh diri juga bertambah, yang di antaranya karena kesulitan hidup. Belum lama ini sebuah surat kabar memberitakan bahwa seorang remaja bunuh diri karena malu tidak memiliki handphone dan diejek temannya dengan menggunakan bahasa sebuah iklan TV: “Hari gini, ‘gak punya handphone!”. Ironis memang! Banyak orang-orang Indonesia ‘demam’ handphone, bukan terutama karena kebutuhan tetapi karena gengsi. Jelas, bahwa gengsi biasanya menghancurkan kehidupan.

Berkaitan dengan hilangnya makna diri, tidak sedikit orang sekarang ini yang amat pesimis terhadap masa depan. Mengambil sebuah contoh, saya sering menyaksikan anak-anak remaja siswa SLTP atau SMU yang berkeliaran pada jam sekolah. Ada yang ‘nongkrong’ di internet (khususnya di kota-kota), ada pula yang main judi. Banyak di antara mereka yang merokok, bahkan rokoknya lebih besar dari jari tangannya (padahal merokok adalah tindakan ‘bunuh diri kredit’ alias mengangsur kematian!). Saya pernah memberanikan diri menegor seorang di antara mereka (walaupun saya tahu bahwa sekarang ini agak sulit menegor seseorang atas kekurangannya, karena bisa dengan gampang orang mengatakan ‘apa urusanmu?’). Saya sangat kaget mendengar ketika dia mengatakan, ‘Pak, apa gunanya sekolah. Di Indonesia hanya satu presiden dan tidak mungkin saya untuk itu. Di kota ini pun hanya satu orang walikota, itu juga tidak mungkin untuk saya. Sekarang ini, untuk masuk sekolah polisi saja harus ada uang sogok Rp. 60 juta, untuk menjadi pegawai negeri juga harus ada uang minimal Rp. 50 juta baru bisa masuk’.

Yang saya tangkap dari respon seorang siswa tersebut sedikitnya ada dua hal pokok. Pertama, pesimisme berlebihan dan orientasi yang salah arah. Sebenarnya, ‘makna hidup’ tidak diukur kalau seseorang menjadi presiden, walikota atau memangku jabatan penting lainnya. Makna hidup yang kristiani adalah kalau seseorang menjadi dirinya sendiri sebagaimana Tuhan kehendaki. Kedua, keprihatinan terhadap situasi riil masyarakat kita terutama masalah sulitnya mencari pekerjaan dan masalah korupsi. (Penting dicatat, bahwa penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Indonesia masuk peringkat atau juara VI sedunia di bidang korupsi). Akan tetapi, sebagai seorang beriman, keprihatinan terhadap situasi masyarakat mestinya tidak direspon dengan sikap pesimis; tidak pasrah dan menyerah pada situasi. Justru dalam kenyataan seperti itulah setiap orang perlu lebih bersungguh-sungguh belajar, berjuang dan berbuat baik untuk memperbaiki situasi bukan malah mengeruhkannya dengan menjadikan diri sebagai bagian dari masalah dan bukan solusi.

Kata-kata Calvin Coolidge pantas direnungkan, “Di dunia ini tidak ada yang dapat menggantikan ketekunan. Tidak juga talenta; tidak ada yang lebih lazim daripada orang yang memiliki talenta tetapi tidak sukses. Tidak juga seorang jenius; kecerdasan yang tidak pernah dihargai hanya merupakan pepatah….Ketekunan dan kemantapan hati itu sendiri bersifat mahakuasa”.[2] Untuk menguatkan pandangan ini Bloch mencatat Thomas Edison membuat lebih dari 2.000 kali percobaan sebelum dia menemukan bola lampu.[3]Kehidupan yang dijalani dengan ketekunan tidak akan pernah mengenal keadaan frustrasi meskipun terkadang mengalami kegagalan. Sebab, sama seperti yang dikatakan oleh Gede Prama bahwa “tidak jarang terjadi, kegagalan membawa dua hadiah terbaik adalah hidup: kearifan dan kesabaran.”[4]

BERBAHAGIA DI TAHUN TUHAN

Apa yang akan terjadi sepanjang tahun 2009 ini, memang tidak seorang pun yang tahu pasti. Tetapi, ada satu hal yang pasti yakni: Tuhan memegang kendali masa depan. Tahun lalu, perekonomian dunia mengalami krisis yang lumayan parah. Sejalan dengan itu harga-harga kebutuhan pokok pun menjadi naik yang secara merta telah membuat banyak orang menjadi panik. BBM sempat naik, ongkos naik, kebutuhan sehari-hari naik –celakanya ‘darah tinggi’ juga terkadang menjadi naik. Tidak sedikit orang menjadi amat gampang tersinggung dan marah. Ini adalah produk atau bentuk lain dari ketidakbahagiaan. Konsekuensinya, semakin banyak orang menjadi pemarah akan semakin banyak pula perselisihan atau permusuhan.

Kesadaran dan iman kita bahwa Tuhan memegang kendali masa depan akan serta merta menolong kita untuk tetap tenang secara aktif, hati damai dan penuh kelembutan terhadap sesama manusia.Apa yang membuat kita tidak bahagia? Sirgy dengan tepat mengatakan bahwa “Ketika kita memikirkan tentang hidup kita, kita terlalu sering berpikir tentang apa yang belum kita punya dan apa yang belum kita dapat. Tetapi hal-hal seperti itu membuat kita tidak bahagia”.[5]

Kalau kita jujur, sebenarnya kita telah menerima berkat yang berkelimpahan dari Tuhan, baik berkat rohani maupun jasmani. Kita menerima berkat rohani, karena kita diterima sebagai warga kerajaan Allah oleh penyelamatan Yesus Kristus. Kita adalah anak-anakNya, bukan karena kita layak, melainkan karena dilayakkan oleh Tuhan.Secara jasmani kita juga terberkati. Hidup kita hari ini adalah bukti pemeliharaan Tuhan yang sedang berlangsung. Sebagai tambahan, mari kita lihat contoh ini. Dulu, para orangtua biasanya membeli pakaian yang jauh melampaui ukuran tubuh anaknya. Misalnya, seorang anak kelas VI SD dibelikan baju ukuran Kelas III SMP, dengan maksud agar pakaian itu bisa dipakai lebih lama. Sepatu juga demikian. Untuk anak kecil, dibeli sepatu agak panjang dan kemudian diisi dengan kain yang tidak terpakai di dalamnya supaya sepatunya tidak jatuh ketika dipakai. Tujuannya sama: supaya sepatu itu dapat dipakai sampai kelas III SMP. Mengapa? Mereka hidup dalam situasi perekonomian yang sangat memprihatinkan.

Masalahnya adalah, sekarang ini, dengan berkat Tuhan melalui perbaikan kehidupan ekonomi, yang terjadi justru sebaliknya. Dulu seorang anak SD memakai pakaian seukuran untuk seorang anak SMP, sekarang banyak remaja yang sudah SMU atau mahasiswa justru memakai pakaian SD, kecil, sempit sampai perut dan pusatnya dipamerkan kepada khalayak ramai. Padahal, budaya kita memiliki norma-norma kesopanan dalam berpakaian. Di samping itu, banyak orang sekarang ini tidak puas memiliki satu atau dua sepatu, tetapi berlomba membeli sepuluh atau lebih sepatu padahal sebenarnya tidak dibutuhkan. Mengapa? Banyak orang pada zaman ini berakar dan belajar pada TV, toko atau mall, rumah tetangga dan sebagainya, tidak berakar pada kehendak Tuhan.

Berakar di dalam Tuhan berarti mendapat kehidupan dari pada-Nya dan memiliki hubungan yang baik dengan-Nya. Berakar di dalam Tuhan juga berarti bahwa seluruh kehidupan selalu dikaji dan diuji berdasarkan kehendak Tuhan. Hal ini amat penting di tengah dunia yang sedang dilanda oleh konsumerisme (membeli dan memakai barang-barang tidak terutama dengan orientasi ‘kebutuhan’ tetapi ‘keinginan’ dan ‘gengsi’) yang akan menambah penderitaan manusia dan merusak alam ciptaan Tuhan seperti hutan, sungai, danau, dan udara.Dengan berakar di dalam Tuhan, maka hati nurani pun akan bekerja aktif untuk menguji segala sesuatu dalam terang kehendak Tuhan. Di tengah zaman yang maju ini dengan tingkat intelektualitas manusia yang semakin baik, masih kita temukan orang-orang yang menempuh jalan pintas yang irasional dengan pergi ke dukun untuk pelaris dagangan, agar disegani, agar mendapat jabatan tertentu. Dan, anehnya, seperti kata Eka Darmaputera, orang begitu mudah marah-marah jika merasa dikecewakan Tuhan, tetapi kalau dukun yang mengecewakannya, dia tidak merasa apa-apa.[6]

Pengenalan dan pengalaman kita akan apa yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita hendaknya mendorong kita mengikuti nasihat Paulus yang mengatakan, “hendaklah hatimu melimpah dengan syukur”. Hati yang melimpah dengan syukur selalu disertai dengan gerak hidup yang mencerminkan kehendak Tuhan.Mengucap syukur hanya mungkin ketika seseorang sungguh-sungguh menyadari dan mengimani apa yang Tuhan telah, sedang dan akan lakukan dalam kehidupannya. Kiranya hal ini amat kuat melekat dalam hati kita. Saudara dan saya disapa saat ini, mari menjalani kehidupan tahun ini bersama Tuhan yang hidup dan mengasihi kita. Kebahagiaan kita terletak di situ.

[2] Sebagaimana dikutip oleh Douglas Bloch, Mendengarkan Suara Hati, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 59
[3] Ibid.
[4] Gede Prama, Jalan-jalan Penuh Keindahan. Dari Kejernihan untuk Kepemimpinan kehidupan, Jakakarta: Gramedia, 2004, hlm. 156.
[5] Sebagaimana dikutip oleh David Niven, Rahasia Orang-orang Bahagia, Semarang: Dahara Prize, 2005, hlm. 146
[6] Eka Darmaputera, Iman dan Tantangan Zaman, Jakarta: BPK, 2005, hlm. 62.










ShoutMix chat widget