Monday, April 25, 2011

PENERIMAAN MAHASISWA BARU STT HKBP


Sunday, March 27, 2011

MENJADI BERKAT MESKI BERBEBAN BERAT

RENUNGAN MINGGU KE-13
27 Maret-02 April 2011

Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.
(Yeremia 29:7)

Nabi Yeremia menyampaikan firman Tuhan yang mengejutkan. “Usahakanlah damai sejahtera kota ke mana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu juga”. Disebut mengejutkan karena seruan itu terbilang di luar kelaziman. Yeremia menyampaikan firman Tuhan ini kepada orang-orang yang terbiasa berkumpul di bait suci di Yerusalem berdoa untuk syalom (damai sejahtera) hanya bagi Israel dan secara khusus bagi Yerusalem (Mzm 122:8; 125:5; 128:6). Artinya: damai sejahtera untuk diri sendiri! Damai sejahtera untuk bangsa sendiri!

Tidak hanya itu, mereka menyerukan dengan kuat pembalasan terhadap musuh-musuh yang menggerogoti tanah mereka. Babel adalah salah satu musuh mereka (Mzm 137:7-8) dan aketika firman ini diperdengarkan mereka berada dalam pembuangan. Mereka sedang berbeban berat, tetapi dipanggil untuk menjadi berkat. Untuk beralih dari semangat ‘pembalasan’ menjadi ‘mendoakan’ merupakan suatu lompatan yang luar biasa. Jadi, seruan Allah melalui Yeremia ini merupakan suatu gebrakan yang luar biasa. Dari sini juga amat jelas kepada kita bahwa “hukum kasih” sudah diserukan sejak zaman Perjanjian Lama.

Hukum kasih itu pula yang dipenuhi dalam diri dan pengajaran Tuhan Yesus. Yesus berfirman, “kasihilah musuhmu dan doakanlah semua yang menganiaya kamu” (Matius 5:44). Pada jaman Yesus, memang untuk mengatakan “mengasihi musuh” sangat mudah, walaupun tidak semudah itu melakukannya (hanya Yesus yang melakukannya dengan sempurna). Tetapi pada zaman Yeremia, untuk mengatakan seperti itu pun sangat sulit, apalagi melakukannya.

Saat ini kita tidak tinggal dalam pembuangan sebagaimana dialami oleh orang Israel dulu. Tetapi, di mana pun kita berada, di negeri sendiri atau negeri orang lain, umat Tuhan (secara persekutuan atau perorangan) terpanggil untuk mewujudkan ‘damai sejahtera’. Bagaimana caranya? Dalam firman Tuhan ini disebutkan (1) Mengusahakannya dan (2) Mendoakannya kepada Tuhan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Ora et Labora! (Berdoa dan bekerja, merupakan satu kesatuan).

Mengusahakan kesejahteraan tempat atau kota di mana kita tinggal dapat kita nyatakan melalui kata-kata, pikiran, tenaga dan seluruh hidup kita menjadi kesaksian. Tugas kita bukan mengutuki kejahatan dan segala macam keburukan yang terjadi di sekitar kita, tetapi memberi yang terbaik untuk kebaikan sesama. Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuki kegelapan. Mungkin yang kita perbuat tidak sesuatu yang amat besar. Tetapi sekecil apa pun yang kita lakukan untuk kesejahteraan atau kebaikan sesama, jika itu diperkenan Tuhan, nilainya jauh lebih besar.

Tugas panggilan yang lain adalah mendoakan kepada Tuhan kota di mana kita tinggal. Sesungguhnya, hanya dengan anugerah Tuhanlah kita bisa mendapat kesejahteraan yang sempurna. Kesejahteraan di sini tidak hanya dengan tercukupinya kebutuhan pokok secara jasmani, tetapi juga hati yang damai dan penuh sukacita. Kedamaian hati dan perdamaian dengan sesama tidak dapat diukur dengan banyaknya harta milik dan terpenuhinya segala keinginan. Jadi, secara konkret, kita hendaknya mendoakan kepada Tuhan Singapura ini dan tempat/ kota di mana kita tinggal agar semua orang yang tinggal di sini hidup dalam damai sejahtera.

LIDAH: MENYUARAKAN KEBAIKAN TUHAN

RENUNGAN MINGGU KE-12
20-26 Maret 2011

Kita dapat menemukan kata ‘lidah’ beberapa kali di dalam Alkitab, yang umumnya berhubungan terutama dengan fungsinya untuk berbicara. Berikut ini ada tiga hal yang dapat kita perhatikan berkaitan dengan peranan lidah.

1. Lidah sering dihubungkan dengan hati manusia. Misalnya:

• Mzm. 45:2 “hatiku meluap dengan kata-kata indah.....lidahku pena seorang juru tulis.” Hati yang dipenuhi dengan keindahan akan meluapkan keindahan juga
• Amsal 17:20 "orang yang serong hatinya.....memutar-mutar lidahnya akan jatuh”. Hati yang “serong” –yang dipenuhi hal-hal yang tidak baik—berpengaruh langsung terhadap kata-kata yang tidak membangun dan menjadi awal kejatuhan.
2. Lidah berperan dalam mewujudkan kebaikan dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia.

• Lidahku akan menyebut-nyebut keadilanMu (Mzm 35:28)
• Tuhan memberikan kepadaku lidah seorang murid (Yes 50:4)
• Segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Fil 2:11)
3. Alkitab juga menegaskan begitu pentingnya menjaga lidah atau kata-kata:

• Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu (Mzm 34:14).
• Lidah harus dikekang (Yak 1:26)
• Jangan bercabang lidah (1 Tim 3:8).
Hidup kita sedikit banyak tergambar dari kata-kata yang kita ucapkan dan kata-kata yang diucapkan kepada kita. Kata-kata bijak berikut dapat menolong kita untuk sungguh-sungguh memperhatikan penggunaan lidah dalam berkomunikasi:

1. Jangan katakan semua yang Anda pikirkan. Sebab, mengatakan semuanya mungkin tidak menolong, menyembuhkan dan mendidik.

2. Ujian yang harus dilalui sebelum mengucapkan kata-kata adalah: apakah itu benar, apakah itu ungkapan kasih, apakah itu penting dan berguna?

3. Mengubah satu hal menjadi lebih baik lebih bermanfaat dari pada mengatakan seribu kesalahan.

4. Meniup lilin orang lain (dengan kata-kata yang merendahkan orang lain) tidak membuat lilin Anda bersinar lebih terang. Tetapi jika Anda menggunakan lilin Anda menyalakan lilin orang lain, Anda akan memiliki lebih banyak terang.

5. Tingkat perbandingan antara doa dan kritik seharusnya 100:1.

6. Mengatakan kejelekan orang lain merupakan suatu cara yang tidak jujur memuji diri sendiri. Seseorang yang memiliki ‘lidah tajam’ (yang kerap menyakiti) biasanya akan kesepian, sebab orang-orang biasanya mengindarinya.

Charles Allen pernah mengatakan:

Orang-orang yang berpikiran luas membicarakan ide-ide yang bagus dan ideal-ideal dalam kehidupan.
Orang-orang yang berpikiran sedang membicarakan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa.
Orang-orang yang berpikiran sempit membicarakan (kekurangan) orang lain.
Apakah kita lebih banyak membicarakan ide-ide yang bagus dan ideal-ideal dalam kehidupan (berpikiran luas), atau peristiwa-peristiwa (berpikiran sedang), atau kelemahan orang lain (berpikiran sempit)? Biarlah kata-kata kita menyembuhkan, meneguhkan dan menjadi berkat kepada orang lain dan diri kita sendiri serta kemuliaan bagi Tuhan.

Sunday, March 13, 2011

ALLAH TAHU DAN PEDULI

RENUNGAN MINGGU KE-11
13-19 Maret 2011
(Baca terlebih dahulu Mazmur 139:1-10)

Jika kita memahami dan menerima firman Tuhan ini dengan benar, ia akan membuat kita merasa damai, penuh sukacita dan pengucapan syukur. Tetapi, jika kita memahaminya secara keliru, maka kita akan merasa takut, malu, dan kehilangan kebahagiaan. Yang kita maksudkan dengan pemahaman yang salah ialah jika kita membayangkan Tuhan itu bagaikan seorang polisi yang mencari penjahat dan menemukannya. Artinya, kita membayangkan bahwa Tuhan hanya mengikuti kita untuk melihat segala kelemahan dan dosa-dosa kita saja. Bukankah itu akan membuat kita takut, malu dan kehilangan kebahagiaan?

Mzm 139 ini merupakan sebuah pengakuan iman akan kuasa dan kasih Allah. Allah hadir di semua tempat dan segala waktu, bukan hanya memperhatikan pelanggaran kita melainkan terutama mengasihi dengan memelihara, menuntun dan menguatkan kita dalam menjalani kehidupan ini Ssebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Bukan berarti bahwa Tuhan mengizinkan kita berdosa, tetapi Ia senantiasa memberi pengampunan dan menyambut kita kembali kepada jalan kehendak-Nya. Pengakuan seperti inilah yang memungkinkan kita seperti yang disebutkan tadi: untuk tetap merasa damai, penuh sukacita dan ucapan syukur.

Dalam ayat 1 dikatakan, “Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri.....”. Kita percaya bahwa Tuhan mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri. Itu juga berarti bahwa Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi kita anak-anakNya ketimbang kita mengetahuinya. Karenanya, kita tidak mungkin putus asa dalam hidup ini, meskipun terkadang kita tidak mendapatkan seperti yang kita pikirkan atau harapkan setelah berdoa dan berjuang mendapatkannya.

Firman Tuhan ini juga menyatakan kepada kita bahwa Tuhan dapat menjangkau kita dalam situasi apa pun. Ketika orang tidak mengerti keadaan kita atau bahkan seolah tidak peduli kepada kita, tetapi Tuhan mengerti dan peduli kepada kita. Ketika orang-orang menjauh dari kita, Tuhan tetap dekat. Hal ini hendaknya menjadi pendorong bagi kita untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan menjangkau orang-orang yang merasa jauh dari Tuhan. Kiranya melalui sapaan kita dan kehadiran kita di tengah orang lain, mereka boleh merasakan kehadiran dan kasih Tuhan itu sendiri. Orang lain dapat mengaku seperti pengakuan Pemazmur ini juga melalui pertolongan kita dalam berbagai cara yang mungkin kita lakukan.

Hari ini, kita tidak saja mengetahui bahwa Tuhan menyertai kita, tetapi lebih dari itu kita percaya bahwa Ia sungguh-sungguh dekat kepada kita. Yesus sendiri memberi jaminan kepada para murid-Nya dan kepada kita semua, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20).

Terkadang, kita sulit merasakan penyertaan Tuhan. Jika kita mengalami hal seperti ini, kita perlu dengan pikiran jernih dan hati damai memeriksa hidup kita. Masalahnya pasti bukan karena Allah meninggalkan kita. Justru kita yang terkadang tidak sepenuhnya “percaya” akan penyertaanNya. Jika kita melihat langit mendung, kita harus memastikan bahwa kita tidak memakai kaca mata hitam. Jadi, kalau pun kita tidak ‘merasakan’ dekatnya Tuhan, kita tetap ‘percaya’ bahwa Ia dekat dan mengasihi kita.



Sunday, March 6, 2011

BERLELAH TANPA AMARAH

RENUNGAN MINGGU KE-10
06-12 Maret 2011
(Baca terlebih dahulu Lukas 10:38-42)

Ketika mendengar kisah Maria dan Marta ini, mungkin kita langsung mengambil kesimpulan bahwa Maria benar dan Marta salah. Karena itu, kita beranggapan bahwa kita perlu meniru Maria dan menghindari sikap Marta. Tetapi, saat ini kita disegarkan melalui firman Tuhan ini bahwa sesunguhnya jika kasih adalah landasan hubungan kita dengan Tuhan dan sesama, kita bukanlah Maria atau Marta. Kita adalah Maria dan Marta.

Benar, bahwa Marta mempunyai kelemahan. Hal ini jelas kita lihat dari teguran Yesus atas kekurangannya. Tetapi, apa yang Marta lakukan sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Masalahnya adalah berkaitan dengan ‘mana yang pertama dan terutama’ dan mana yang dikemudiankan.

Ada kalanya kita meluangkan waktu bersama dengan Yesus dalam doa dan mendengarkan firman-Nya melalui perenungan Alkitab atau ibadah. Ada pula wakutnya untuk melayani Yesus melalui seluruh geraka hidup dan pekerjaan kita sehari-hari. Inilah yang hilang dari pemahaman Marta. Ia sibuk bekerja sebelum mendengar firman Tuhan. Kesibukan atau mungkin perasaan lelah Marta juga mempengaruhi sikapnya. Di sini kita lihat (1) Menganggap bahwa dia benar dan Maria salah. “Enak saja dia, orang sudah capek dia tenang-tenang saja!, begitu kira-kira kalau kita bahasakan sendiri. (2) Marta mencari pembelaan Yesus agar Ia membenarkan Marta dan ‘menyadarkan’ Maria dengan menyuruhnya membantu Marta. (Jadi, kalau orang capek bukan atas dasar kasih dan tujuan yang benar, biasanya gampang tersulut amarah, menyebarkan perasaan sakit hatinya kepada orang lain dan mau mencari pembelaan. Sebaliknya, kalaupun capek secara fisik tetapi dengan hati damai dan ceria, rasa lelah tidak terasa).

Jadi, yang pertama dan terutama adalah kasih kepada Tuhan, kemudian menyusul aktivitas (perbuatan) yang mengalir dari hati yang penuh kasih. Thomas Kempis dengan sangat indah mengatakan:

Tanpa kasih, semua pekerjaan tidak bernilai; tetapi sekecil apapun yang dilakukan atas dasar kasih, ia akan berbuah lebat. Sebab, Allah lebih memperhatikan besarnya kasih yang mendorong seseorang ketimbang apa yang ia kerjakan atau capai.
Yesus menerima Marta dan tidak menolak perlunya pelayanan seperti yang ia lakukan, ia hanya perlu melakukannya atas dorongan kasih. Ini pula yang perlu menjadi acuan hidup kita:

1. Menempatkan hubungan dan kasih kita kepada Tuhan sebagai yang pertama dan terutama. Kita perlu semakin memahami firman Tuhan dan kehendak-Nya dalam hidup kita. Hal ini kita wujudnyatakan melalui kehidupan ibadah dan doa kita, serta senantiasa haus akan firman-Nya.

2. Melakukan pekerjaan kita sehari-hari sebagai bagian dari pelayanan kita kepada Tuhan. Memperhatikan keluarga dan sesama yang membutuhkan pertolongan. Ini semua mengalir dari hati yang dipenuhi oleh kasih. Hanya dengan demikianlah pekerjaan dan pelayanan kita menjadi berkat bagi orang lain, kemuliaan bagi Tuhan dan sukacita bagi kita –bebas dari sungut-sungut yang melemahkan diri kita sendiri.

Sunday, February 27, 2011

KENIKMATAN YANG BERKENAN KEPADA TUHAN

RENUNGAN MINGGU KE-9
27 Pebruari-5 Maret 2011
(Baca terlebih dahulu Pengkotbah 9:7-10)

Kita menemukan beberapa kali kata ‘kesia-siaan’ dalam kitab Pengkhotbah. Hal ini tidak mengatakan bahwa kehidupan di dunia ini tidak penting. Sebenarnya, inti Kitab Pengkotbah adalah: segala sesuatu adalah sia-sia tanpa hubungan dengan Tuhan.

Khusus dalam ay 7-10 kita diundang untuk bersukacita dan dengan hati yang senang dalam empat hal:

1. Menikmati makanan

Dalam ay 7 dikatakan, “ Mari makanlah rotimu dengan sukaria”. Saat ini banyak orang menganggap makan sebagai kewajiban, mereka terburu-buru atau sambil menonton TV, membaca dan sebagainya. Mereka tidak menikmati makanan. Sebaliknya, ada juga yang menganggap makan sebagai tujuan hidupnya. Mereka hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup. Keduanya tidak benar.

Dengan menerima makanan sebenarnya kita mengalami mujizat. Manusia memang berkerja tetapi yang memberi hasil adalah Tuhan sendiri. Karena itu, kita sudah seharusnya menerima makanan dengan syukur dan berbagi makanan dengan yang berkekurangan dengan hati yang rela.

2. Menikmati persekutuan dengan Tuhan

Dalam ay 8 disebut: pakaian selalu putih dan minyak. Orang Yahudi selalu mengenakan pakaian putih pada hari Sabat. Jadi ‘pakaian puttih’ melambangkan kehidupan ibadah atau persekutuan dengan Tuhan yang kita lakukan bukan karena terpaksa atau karena takut melainkan karena kerinduan hati kita dan kita lakukan dengan sukacita. “Minyak” juga melambangkan ‘sukacita. Dalam Mzm 45: 8 disebutkan bahwa “minyak sebagai tanda kesukaan”. Ini berarti kita perlu meninggalkan kemuraman. Biarlah wajah kita berseri dan memancarkan kehidupan.

3. Menikmati hidup keluarga

Ayat 9 mengatakan, “Nikmatilah hidup dengan istrimu yang kau kasihi seumur hidupmu….yang dikaruniakan Tuhan kepadamu. Walaupun yang disebut di sini hubungan suami istri, tetapi kehidupan keluarga lebih luas dari situ. Anak menikmati kehidupan bersama dengan orangtuanya dan sebaliknya. Pada zaman ini ada banyak hubungan yang rusak antara suami-istri, orangtua-anak, dan sesama anak karena masing-masing mengutamakan kesenangan dan kepentingan dirinya. Kehidupan keluarga adalah pemberian Tuhan. Karena itu hendaklah keluarga hidup dalam damai dan sukaria.

4. Bekerja

Bagi orang percaya, bekerja bukanlah hukuman melainkan sebuah panggilan. Hal ini mau menegaskan, supaya jangan hanya pesta pora makan minum tetapi harus bekerja. Tidak hanya beribadah atau berdoa saja, tetapi harus bekerja. Tidak hanya berkumpul bersama keluarga tetapi harus bekerja. Orang yang bekerja dengan terpaksa dan sungut-sungut akan lebih mudah merasa penat. Hendaklah kita bekerja dengan sukaria agar pekerjaan kita menjadi berkat bagi orang lain dan diri kita sendiri.



Sunday, February 20, 2011

ARTI KEHADIRAN SAHABAT

RENUNGAN MINGGU KE-8
20-26 Pebruari 2011
(Baca terlebih dahulu Ayub 2:11-13)

Penderitaan Ayub tidak tanggung-tanggung: (1) Semua anaknya meninggal; (2) Hartanya habis (3) Ia menderita penyakit parah; (4) Istrinya sendiri tidak memberi dukungan yang baik; (5) Kata-kata ’penghiburan’ sahabat-sahabatnya tidak meneguhkan. Ini adalah penderitaan yang luar biasa!

Di tengah musibah berat itu, ketiga sahabatnya berusaha melakukan yang terbaik. Mereka datang dari tempatnya masing-masing (ayat 11), yang mungkin saja dari tempat yang jauh. Yang jelas, mereka datang dengan sengaja dan terencana. Niat mereka murni, yakni: ingin menolong dan menghibur. Kepedulian mereka tinggi. Mereka pun hadir bagi Ayub. Mereka ikut menangis dan mengoyakkan jubah, tanda kedukaan. Tujuh hari lamanya mereka duduk bersama Ayub. Sayangnya, setelah itu mereka tidak tahan. Mulailah mereka menasihati dan menghakimi. Percakapan Ayub dan sahabat-sahabatnya itu cukup panjang (Baca mulai pasal 4). Tetapi, kata-kata sahabatnya itu tidak punya makna bagi Ayub. Ia mengatakan, ”Alangkah hampanya penghiburanmu bagiku! Semua jawabanmu hanyalah tipu daya belaka (21:34).

Untuk menjadi “saudara dalam kesukaran”, kerap yang dibutuhkan bukanlah perkataan hikmat yang memikat. Sahabat kita kadang tidak butuh banyak nasihat. Yang ia butuhkan hanyalah kehadiran dan pendampingan kita. Telinga yang peka mendengar, bukan mulut yang cepat menghakimi atau mempersalahkan yang membuat hidup yang sudah sarat beban bertambah berat. Kita terkadang tergoda membandingkan dengan apa yang pernah kita alami dan apa yang dialami oleh sahabat kita seolah belum apa-apa. Tentu hal seperti ini tidak menolong saudara kita yang sedang mengalami sebuah pergumulan. Yang lebih dibutuhkan adalah hati yang peka dan mengerti atas dasar kasih.

Yang lebih memberatkan adalah kata-kata yang menghakimi bahwa penyakit adalah hukuman Tuhan akibat suatu dosa yang tidak diakui. Juga kata-kata yang justru melemahkan semangat seperti banyak menceritakan tentang penyakit yang kurang lebih sama dengan yang diderita si pasien yang tidak sembuh-sembuh. Yang sakit itu bisa saja menjadi semakin frustrasi dan memperparah penyakitnya.

Doa Fransiskus Asisi berikut ini kiranya menjadi doa dan sikap kita juga:

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damaiMu.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih;
Bila terjadi luka, jadikanlah aku pembawa kesembuhan;
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian;
Bila terjadi keputusasaan, jadikanlah aku pembawa harapan;
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang;
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan.


Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur;
Memahami daripada dipahami;
Mencintai daripada dicintai,
Sebab dengan memberi kami menerima;
Dengan mengampuni kami diampuni.......

Sunday, February 13, 2011

'MENGHAKIMI' ITU APA?

RENUNGAN MINGGU KE-7
13 Pebruari 2011
(Baca terlebih dahulu Matius 7:1-5)


Pernah mendengar vonis di luar ‘sidang’ oleh yang tidak berwe-wenang? “Musibah yang ia alami merupakan balasan dari Tu-han”. “Bencana alam yang menimpa mereka karena tanggal lahir pemimpin adalah angka sial”. Ini bukan keputusan hakim, melainkan tindakan ;menghakimi’.

Kata ‘menghakimi’ berasal dari kata Yunani krino, yang kita temukan beberapa kali di dalam Alkitab. Pengertiannya berbeda-beda, di antaranya: penilaian atau perkiraan biasa (Luk 7:43); memperkarakan dalam pengadilan (Mat 5:40); penghakiman terakhir oleh Yesus (Mat 19:28); penentuan sebuah hukuman sebelum kesalahan seseorang jelas (Yoh 7:51); penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang (Yoh. 5:22; 8:16).

Kedua pengertian terakhir: (1) penentuan sebuah hukuman se-belum kesalahan seseorang jelas dan (2) penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang) ini lebih dekat pengertiannya dengan kata ‘menghakimi’ dalam Mat 7:1-5. Yesus memperin-gatkan murid-murid-Nya dan orang-orang Yahudi pada zaman itu agar tidak menempatkan diri mereka sebagai ‘hakim’ bagi yang lain dan mengumumkan kesalahan orang lain atas nama Allah. Peringatan yang sama juga ditujukan kepada kita yang hidup pada zaman ini, yang juga belum lepas dari kebiasaan menghakimi.

Contoh konkrit yang kita alami sehari-hari, misalnya mengajak orang lain untuk menjaga jarak atau bahkan menyingkirkan se-seorang hanya karena sebuah prasangka bahwa seseorang itu berkelakuan buruk. Hal ini dapat merusak persekutuan dan persaudaraan termasuk dalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat. Yang lebih parah adalah mengatakan bahwa ben-cana yang terjadi kepada sebuah daerah adalah karena huku-man Allah atas dosa-dosa masyarakat setempat. Atau, kalau seseorang mendapat musibah kita dengan mudah mengatakan bahwa itu hukuman dari Allah. Itu termasuk ‘menghakimi’.

Di samping itu, sikap yang lebih cepat dan lebih suka melihat kesalahan orang lain (yang juga tergolong menghakimi) disoroti secara tajam oleh Tuhan Yesus. “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam mata-mu tidak engkau ketahui?” Memang ada orang yang merasa lega dengan membahas kesalahan-kesalahan orang lain, karena langkah itu dianggap bisa mengangkat ‘harga dirinya’. Agar harga diri meningkat, harus merendahkan orang lain! Untuk menghindari diri dari sikap demikian, bernarlah kata-kata bijak yang berbunyi, “dari kesalahan-kesalahan orang lain, orang yang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri”.

Inti masalahnya, yang menghakimi adalah seorang yang ‘munafik’ (7:5). Itu sebabnya Tuhan Yesus selanjutnya memberi perin-tah “keluarkanlah dahulu selumbar itu dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selum-bar itu dari mata saudaramu.” Yang menghakimi tidak dapat menolong orang lain karena mata rohaninya terhalang oleh tiang di matanya sendiri. Selain itu, untuk mengubah orang lain harus dimulai terutama dengan mengubah diri sendiri. Ketika pengikutNya membuang tiang ‘pembenaran diri’, maka ia akan dapat melihat dengan mata kerendahan hati ‘noda’ yang mungkin ada pada sesamanya. Bukan untuk memperalat ‘noda’ orang lain itu untuk menghukumnya, melainkan untuk pemba-haruan hidupnya. Tanda dari persekutuan orang percaya yang sehat adalah adanya tanggung jawab setiap orang untuk meno-long satu sama lain menghilangkan ‘noda’ dosa setiap anggota persekutuan. Tetapi, itu harus mengalir dari kerendahan hati dan hidup pribadi yang sudah diuji (bnd Gal 6:1-5).

Hal ini berpadanan dengan pengajaran Yesus sebelumnya yang menegaskan “Berbahagialah orang yang murah hati (Mat 5:5). Menghakimi adalah kebalikan dari kemurahan hati. Itu juga yang nampak dari bagian doa Bapa Kami: “Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami (Mat. 6:12).

Hanya mengandalkan pengampunan Tuhanlah kita bebas dari segala dosa dan kesalahan kita. Itu yang kita terima dari Tuhan, itu jugalah yang kita berikan kepada orang lain.

Sunday, February 6, 2011

GAMBAR BERHARKAT

RENUNGAN MINGGU KE-6
06-12 Pebruari 2011

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
(Kejadian 1:27-28)


Secara singkat, ada empat hal yang dapat kita renungkan tentang penciptaan kita berdasarkan firman Tuhan ini:

Pertama, kita tidak ikut merencanakan penciptaan kita. Tetapi, Allah menciptakan dan menempatkan kita di dunia ini pastilah dengan suatu tujuan yang baik sesuai dengan kehendak-Nya. Karenanya, kita tidak mungkin menciptakan sendiri tujuan hidup kita. Kita menerimanya dari Tuhan. Tujuan hidup dimaksud tidak terlepas dari keberadaan kita sebagai gambar Allah, yang intinya adalah kualitas keilahian yang Tuhan anugerahkan kepada kita seperti kemampuan berpikir, memiliki hikmat, merasa, bersukacita, mengasihi dan sebagainya.

Kedua, pernahkan kita merenungkan betapa rancangan Allah, Sang Arsitek Agung itu, begitu mengagumkan yang menciptakan bagian-bagian tubuh kita ini sedemikian rupa? Banyak pelajaran yang berharga dari bagian tubuh kita ini. Mengapa dua telinga dan satu mulut? Mendengar lebih banyak dari bicara. Mengapa perut di bawah otak dan hati? Ini salah satu yang membedakan manusia dengan binatang peliharaan yang otak dan perutnya sejajar. Bagi manusia berlaku prinsip “makan untuk kehidupan bukan hidup hanya untuk makan”.

Ketiga, keberadaan dan hubungan laki-laki dan perempuan mesti dilihat dari persamaan dan perbedaannya sebagaimana Tuhan menghendakinya, antara lain:

(1) Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Allah. Hal ini juga mau menegaskan bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan harus dilihat dari segi ‘kepemilikan’ Allah atas laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki memang berbeda tetapi keduanya adalah sederajat (Kej 1). Kodrat perempuan (yang sampai hari ini belum berubah) mengandung, melahirkan dan menyusui anak, tidak dapat digunakan sebagai pembenaran menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki.

(2) Perempuan dan laki-laki adalah sama-sama mewarisi ‘gambar Allah. Sebagai sesama gambar Allah, laki-laki dan perempuan mewarisi sifat-sifat Allah yang mampu mengasihi, berbuat baik, bertanggung jawab dan sebagainya.

Keempat, keberadaan manusia sebagai gambar Allah bukanlah terutama ‘hak istimewa’ tetapi ‘tanggung jawab istimewa’, yang di antaranya adalah memeliharan dan merawat ciptaan Allah.

Kita seharusnya mensyukuri kelahiran dan kehadiran kita di dunia ini. Pekerjaan Tuhan tidak berhenti sesudah kita alahir, tetapi pemeliharaan-Nya terus berlangsung kepada kita hingga hari ini sampai ke masa yang akan datang.



Monday, January 31, 2011

MENGHALAU KEKUATIRAN

RENUNGAN MINGGU KE-5
30 Januari-5 Pebruari 2011

(Baca terlebih dahulu Matius 6:25-35)

Ada untaian kata-kata indah dari Teresa Avila seperti berikut ini:

 Jangan biarkan apa pun mengganggumu;
Jangan biarkan apa pun menakutkanmu;
Segalanya berlalu;
Tuhan tak pernah berubah.

Ia yang mempunyai Tuhan,
Menemukan bahwa ia tak kekurangan apa pun;
Tuhan saja cukup.

Apa yang diungkapkan Teresa dari Avila ini mengingatkan kita pada pengajaran Yesus tentang masalah ‘kekuatiran’ sebagaimana tertulis dalam Mat 6:25-35. Yesus meneguhkan hati pendengar-Nya agar menghindari diri dari kekuatiran. Hal ini merupakan satu kesatuan dengan ‘hal mengumpulkan harta’ (ayat 19-24). Yesus menjelaskannya dengan gambaran yang sangat mudah dimengerti, di antaranya:
  • Burung yang tidak pernah menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpul bekal, namun diberi makan oleh Bapa di sorga. Dan manusia lebih dari burung-burung itu.
  • Kekuatiran tidak ada gunanya, malah bisa merusak kehidupan. Yesus berkata, “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” (ayat 27).
  • Soal pakaian, Ia menunjuk pada bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan memintal, namun kemegahannya melebihi Salomo.
Jika demikian, apakah Yesus menganjurkan supaya manusia tidak bekerja? Sama sekali tidak! Manusia memang perlu bekerja. Tetapi, hidup manusia tidak tergantung pada pekerjaannya, apalagi bekerja yang disertai kekuatiran. Yesus tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan realitas masalah-masalah keseharian. Ia mengatakan kepada kita untuk meninggalkan ‘kekuatiran’ bukan ‘realitas’.

Persoalan yang sangat inti di sini adalah masalah manusia yang “kurang percaya” (ayat 30). Dalam hal ini Yesus menegaskan agar manusia sungguh-sungguh percaya pada penyelenggaraan Tuhan. Yesus mengatakan, “Bapamu yang di sorga tahu bahwa kamu memerlukan semuanya itu” (ayat 32). Kita perlu secara khusus memberi perhatian kata tahu di sini. Allah tahu apa yang kita perlukan. Ternyata, kita tidak perlu memberitahukan yang kita perlukan. Sebaliknya, justru kita yang perlu mendengarkan Tuhan, apa sebenarnya yang kita perlukan dan menerimanya dengan ucapan syukur.

Bagaimana kalau kita sedang menghadapi situasi yang membuat kita kuatir? Misalnya, ketika kita sedang bekerja di luar rumah kita kuatir anak-anak kita tidak dijaga dengan baik. Jangan-jangan dia jatuh, terluka dan sebagainya. Kalau orangtua kita sakit, kita kuatir jangan-jangan menjadi tambah parah atau menjadi komplikasi. Mungkin berbagai hal dapat membuat kita kuatir. Dalam situasi seperti itu kita dapat mengajukan pertanyaan, “Adakah sesuatu yang dapat saya lakukan dalam situasi ini?” Jika jawabannya, “ya”, maka kita tidak perlu kuatir. Lakukan sesuatu. Jika jawabannya “tidak”, sekali lagi “kuatir” sama sekali tidak berguna. Rileks saja dan terima keadaan. Jadi, baik dalam keadaan di mana kita bisa berbuat sesuatu maupun di tengah situasi di mana kita tidak dapat berbuat apa-apa, dalam semua keadaan kita perlu berserah kepada Tuhan.

Hari ini, kita tidak saja mendengar tentang firman Tuhan melalui ayat Alkitab, tetapi kita percaya bahwa Tuhan sendiri berbicara kepada kita hari ini bahwa Ia tahu apa yang perlu bagi kita. Untuk itu, kita diajak untuk pertama mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (ay 32). Artinya, kita menyerahkan diri sepenuhnya pada pemeliharaan Allah. Bersama Allah, kita bebas dari kekuatiran dan kita hidup dalam kedamaian, kegembiraan dan pengharapan. Pada saat yang sama adalah tugas kita menolong mereka yang berada dalam kekuatiran dengan hikmat dan kemampuan yang kita miliki.





Sunday, January 23, 2011

IMAN YANG SEHAT DI TENGAH DUNIA YANG SAKIT

RENUNGAN MINGGU KE-4
23-29 Januari 2011

Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.
(1 Korintus 15:58)


Rasul Paulus merangkum satu nasihat setelah agak panjang menjelaskan tentang kehidupan kekal (1 Korintus 15:1-56). Dalam ayat 19 dikatakan, “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.” Iman akan adanya kehidupan yang kekal amat mempengaruhi bagaimana kita menjalani hidup di dunia ini. Semua waktu dan kesempatan menjadi sangat berharga dan kita isi dengan segala sesuatu yang baik pula. Dalam kehidupan yang berpengharapan seperti itulah ditegaskan dalam ayat 1 Korintus 15: 58 dua hal yang sangat penting.

Pertama, nasihat yang berbunyi: “berdirilah teguh, jangan goyah.” Ini menyangkut iman dan pengharapan kepada Tuhan. Apa pun yang terjadi dan kita alami: yang manis atau yang pahit, yang menyenangkan atau mengecewakan, semuanya tidak memisahkan kita dengan Tuhan. Artinya, kita hendaknya teguh beriman di segala waktu dan dalam setiap keadaan. Godaan dan cobaan bisa saja datang silih berganti. Tetapi, kita dapat berdiri teguh dan tidah goyah karena kita berpegang kepada Tuhan yang jauh lebih kuat dari segala tantangan yang ada.

Kedua, seruan agar “giat dalam pekerjaan Tuhan.” Ini sama sekali tidak dimaksudkan bahwa kita semua harus melayani fulltime di gereja. Giat dalam pekerjaan Tuhan artinya: melakukan apa yang Tuhan kehendaki kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, lingkungan gereja, dan di lingkungan masyarakat luas. Kalau Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang Pengampun, kita juga hendaknya murah hati dalam pengampunan. Kalau Tuhan begitu peduli kepada mereka-mereka yang menderita dan kekurangan, kita juga seirama dengan Tuhan rela menolong orang-orang yang menderita dengan apa yang bisa kita lakukan: mungkin melalui sapaan yang membangun, meneguhkan, dan membangkitkan semangat; dengan mendoakannya, atau memberi pertolongan nyata.

Salah satu tantangan yang bisa membuat kita menyerah berbuat baik ialah jika mereka yang kita tolong sepertinya tidak memberi tanggapan positif. Mereka tidak menghargai dan tidak berterikasih atas kebaikan kita. Menghadapi orang seperti itu kita terkadang mendengar nasihat keliru yang mengatakan, “Kalau sama dia itu, jangan dikasih hati, ia bisa jadi menjadi-jadi. Dia tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih. Percuma berbuat baik kepada dia!” Misalnya, ada orang lanjut usia yang selalu saja cerewet dan selalu marah-marah (memang tidak semua orang lanjut usia yang seperti itu). Jangankan orang yang sudah tua, yang muda pun ada juga yang bandel, rewel dan cerewet. Tetapi, sikap baik dan perbuatan baik kita hendaknya tidak terpengaruh oleh respon orang lain. Mungkin mereka tidak berterima kasih. Tidak masalah! Walaupun kebaikan kita tidak dihargai dan disambut baik oleh orang lain, kita tidak perlu kecewa dan tawar hati! Kita dapat berpegang pada prinsip ini: Jangan ingat kebaikan yang kita lakukan atau bantuan yang kita berikan; jangan lupakan kebaikan yang kita terima dari orang lain. Ingat kekurangan sendiri (sambil berubah) tetapi lupakan kekurangan orang lain. Itulah keadaan hidup yang berbahagia dan menjadi berkat. Yang menjadi masalah adalah: kalau kita hanya mengingat kebaikan kita dan melupakan kebaikan orang lain; melupakan kekurangan kita dan selalu mengingat kekurangan orang lain. Inilah yang sering kita temukan dalam dunia yang sedang sakit ini. Hidup seperti ini adalah hidup yang tidak mungkin berbahagia dan tidak mungkin menjadi berkat bagi orang lain. Di tengah keadaan demikianlah kita membawa penyembuhan bagi dunia yang sakit ini mengandalkan pertolongan Tuhan.

Dalam firman Tuhan ini dikatakan, “dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” Ya, perbuatan baik kita tidak pernah sia-sia. Sebab, apa yang kita lakukan kepada orang lain adalah yang kita lakukan untuk Tuhan. Dan bagi Tuhan, sekecil apa pun yang baik yang kita lakukan, itu berkenan kepadaNya. Jadi, setiap jerih payah kita yang baik sebenarnya itu adalah terutama antara kita dan Tuhan. Jika orang tidak menghargai perbuatan baik kita, tetapi berkenan kepada Tuhan, itu cukup bagi kita. Lagi pula kita berbuat baik, bukan supaya kita dianggap orang baik tetapi karena Tuhan begitu baik kepada kita dan Ia menguatkan kita untuk berbuat baik.

Sunday, January 16, 2011

TEDUH DAN TEGUH MENGHADAPI MUSUH

RENUNGAN MINGGU KE-3
16-22 Januari 2011

(Baca terlebih dahulu Lukas 6:27-37)


Kita sudah biasa menerapkan ‘pemberian berbasalan setimpal’ dalam kehidupan sehari-hari. Kalau orang lain memberi hadiah ulang tahun kepada kita, kita merasa tidak enak kalau tidak memberi hadiah pada ulang tahunnya. Hadiahnya pun bisa saja diusahakan agar harganya kurang lebih sama. Kalau orang yang kita undang tidak menghadiri pesta kita, kita tidak merasa apa-apa kalau kita tidak menghadiri pestanya di kemudian hari. Bahkan, hal yang sama bisa merembes ke dalam kehidupan bergereja. Jika seseorang hadir pada saat PA di rumah kita, kita akan datang ke rumahnya pada saat PA diadakan di rumahnya. Itulah ‘hukum pemberian berbalasan”. Itu pula yang sudah lama terjadi bahkan pernah dihadapi oleh Yesus dalam pelayananNya.

Melihat kenyataan seperti itu, Yesus menantang pendengarnya dulu dan menyapa kita pada saat ini bahwa sikap demikian sebenarnya tidak ada istimewanya. Sebab, orang-orang berdosa pun melakukan hal yang sama. Kita dapat melihat lebih jelas:
  • Tidak ada istimewanya mengasihi orang yang mengasihi kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 32)
  • Tidak ada istimewanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 33)
  • Tidak ada istimewanya meminjamkan sesuatu kepada orang dengan berharap bahwa kita akan menerima sesuatu dari padanya, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 34)
Sebagai pengikut Tuhan, kita seharusnya menunjukkan sesuatu yang lain, melampaui kebiasaan umat maanusia. Dikatakan dalam ayat 35, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu......” Ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dari dulu hingga hari ini. Buktinya? Orang yang mengasihi kita saja terkadang kita tidak sungguh-sungguh mengasihinya. Kita terkadang tergoda ‘memanfaatkan’ mereka. Apalagi mengasihi musuh. Amat berat! Pada zaman Yesus, untuk mengatakan mengasihi musuh saja sangat sulit, apalagi melakukannya. Pada waktu itu, orang-orang menghendaki agar musuh-musuh mereka mendapat celaka. Kalau musuh mendapat celaka mereka mungkin berkata, “tahankan biar tahu rasa kau!” “Itu belum setimpal dengan kesalahanmu”. “Kok tidak mati saja dia sekalian!” dan sebaginya.

Bagaimana dengan sekarang? Pengalaman kita menunjukkan, bahwa apa yang terjadi pada zaman Yesus masih merupakan penyakit yang sama hingga hari ini. Itu sebabnya perang terjadi di mana-mana, dari perang urat saraf hingga perang dengan pedang dan senapan. Yesus dengan tegas mengamanatkan, “kasihilah musuhmu...” Amat berat, memang. Tetapi tugas panggilan kita adalah untuk menjadi berkat dan sahabat bagi semua orang. Kemauan dan kemampuan kita mengasihi musuh akan dapat melahirkan perdamaian di dunia ini.

Sedikitnya ada tiga hal penting berkaitan dengan mengasihi musuh. Pertama, kebahagiaan untuk diri kita sendiri karena hati kita tidak diracuni oleh permusuhan. Orang yang menyimpan kebencian, sakit hati dan kemarahan tidak mungkin berbahagia. Kedua, menjadi kesaksian bagi orang lain yang dapat menolong mereka untuk bertobat dan berbalik bersahabat dengan kita. Dalam hal ini, mengabarkan Injil bukanlah terutama melalui pengajaran atau pemberitaan dengan kata-kata, melainkan pertama dan terutama melalui keteladanan hidup. Ketiga, Allah kita dimuliakan karena kita anak-anakNya hidup dalam perdamaian dan saling mengasihi. Lagipula, ketika kita bermurah hati kepada orang lain bahkan kepada musuh, sesungguhnya kita telah terlebih dahulu menerima kemurahan hati Allah (ayat 36). Artinya, kemurahan hati bukanlah dari diri kita sendiri tetapi kita terima dari Tuhan dan kita teruskan kepada orang lain.



Sunday, January 9, 2011

PELAKU UTAMA

RENUNGAN MINGGU KE-2
09-15 Januari 2011

(Baca terlebih dahulu Lukas 10:12-17)

Ada satu pernyataan para murid yang diutus sebagaimana dikisahkan dalam Lukas 10:17-20 yang mudah terluput dari perhatian kita. Mari kita perhatikan isi ‘laporan’ mereka kepada Yesus. Para murid itu berkata, "Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu." Kata-kata: “takluk kepada kami demi nama-Mu” telah menggeser pelaku utama dari Yesus menjadi murid-murid. Mereka merasa berhasil ‘memakai’ nama Yesus. Mereka bergembira mengagumi keberhasilan mereka.

Yang indah dan meneguhkan dari cara Yesus ialah bahwa Ia tidak membiarkan mereka menjadi sombong. Yesus tidak membiarkan mereka fokus pada diri dan keberhasilan mereka. Yesus berkata, “Aku melihat Iblis jatuh dari langit”. Artinya: Yesus ada di situ. Ia tahu dan melihat persis apa yang terjadi. Dan, yang paling penting, yang melakukannya bukan murid-murid itu, tetapi Yesus sendiri. Dari pernyataan Yesus tersebut sudah seharusnya murid-murid itu mengubah pernyataan mereka menjadi, “juga setan-setan tunduk kepada-Mu”. Itulah kebenaran yang sesungguhnya. Sebab, Iblis tidak takut kepada orang percaya. Iblis takut dan takluk kepada Kristus yang diam dalam diri orang percaya.

Selanjutnya, Yesus mengarahkan para murid dan kita juga kepada yang bernilai kekal, bukan kegembiraan yang bersifat sementara saja. Murid-murid gembira karena keberhasilan mereka. Ini adalah semacam perasaan senang yang tidak bernilai kekal. Dalam hal ini Yesus mengatakan, “bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga" (ayat 21). Yesus menawarkan sukacita yang bernilai sorgawi atau bernilai kekal. Bukankah sesuatu pemberian yang luar biasa berharga bahwa kita satu kewargaan dengan Kritus sendiri? Kita hidup, bekerja dan melayani di dunia sebagai warga sorga. Anugerah yang luar biasa!

‘Status’ kita sebagai warga kerajaan sorga mengubah hidup kita, mengubah pemahaman kita akan pekerjaan dan pelayanan, mengubah cara kita memperlakukan dan menghadapi orang lain. Salah satu di antaranya adalah kuasa untuk “menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kita”. Ini adalah gambaran. Jangan kita coba-coba memegang kalajengking atau ular dan sejenisnya. (Ular dan kalajengking yang mau menggigit tidak pernah lebih dulu bertanya apakah seseorang itu Kristen atau bukan!). Ular dan kalajengking menggambarkan berbagai godaan licik dan bahaya-bahaya yang ditabur dan ditebarkan oleh Iblis dan orang-orang yang menyerahkan dirinya pada pekerjaan Iblis.

Hidup kita tidak lagi ditentukan oleh faktor-faktor luar, baik yang kelihatan seolah-olah baik dan menjanjikan seperti pujian, pengakuan, kesuksesan menurut ukuran dunia dan lain-lain maupun yang jelas-jelas menyesatkan seperti menyangkal dan meninggalkan Tuhan. Reaksi kita juga akan berbeda. Kita tidak begitu gampang tersulut amarah, tidak cepat menghakimi, tidak memendam dendam, tidak gampang bersungut-sungut, tidak suka mengeluh. Mengapa? Kerajaan sorga tidak memiliki itu semua. Karena itu, sebagai warga sorga kita hidup dan bekerja dalam sukacita sorgawi.

Sebagai warga kerajaan sorga kita akan memasuki kehidupan kita: pekerjaan dan pelayanan kita sehari-hari. Mari kita resapkan dalam hati kita:

(1) Tuhan sudah lebih dulu ada di tempat di mana kita berada. Bukan kita membawa Kristus atau membawa kuasaNya. KuasaNya lebih besar dari kita. Karenanya, kita tidak pergi ‘membawa’ kuasa Yesus, tetapi kita pergi, melayani, menjadi saksi oleh kuasaNya.

(2) Kita tidak menggunakan Tuhan untuk rencana-rencana kita, meskipun kelihatan sangat ‘rohani’. Tuhanlah yang memakai kita untuk pekerjaan-Nya. Tanpa kita pun sebenarnya kerajaan dan pekerjaan-Nya dapat berjalan terus. Dengan kerendahan hati kita bersyukur karena kita diiuktsertakan dalam pekerjaan-Nya.

(3) Setiap kali Tuhan mengutus Ia selalu menyertai. Ia yang mengutus kita menjadi saksi-Nya, Ia juga yang menyertai kita.

(4) Kita harus melepaskan ketergantungan kita pada indikator atau tolok ukur keberhasilan dengan prestasi yang kita capai. Tuhan lebih melihat kasih yang mendorong tindakan kita ketimbang ‘keberhasilan’ yang kita capai.

Sunday, January 2, 2011

PENILAIAN TUHAN DAN PENILAIAN MANUSIA

RENUNGAN MINGGU PERTAMA
02-08 Januari 2010

(Baca terlebih dahulu Bilangan 12:1-6)

Banyak orang Kristen yang tidak melupakan kenyataan bahwa Musa tidak memasuki tanah Kanaan, tetapi melupakan bahwa Musa memiliki kualitas kehidupan yang teruji di hadapan Tuhan. Dalam Bilangan 12 ini kita menemukan sedikitnya tiga hal penting menyangkut kualitas kehidupan dimaksud, sekaligus menjadi perenungan bagi kita dalam menjalani kehidupan yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

Pertama, Musa adalah seorang yang sangat lembut hatinya (ayat 3). Peranan ‘hati’ memang sangat menentukan dalam setiap gerak hidup kita. Dalam Amsal 4:23 misalnya, dikatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan”. Kita perlu mengembangkan sikap kelemah-lembutan. Hal ini sejalan dengan ‘ucapan bahagia’: 'berbahagi-alah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki Bumi’ (Matius 5) dan salah satu buah Roh sebagaimana disebutkan dalam Gal 5:22-23. Kelemah-lembutan penting sekali, karena itu dibutuhkan dalam hubungan dengan Tuhan dan se-sama manusia. Ada sebuah doa indah yang berbunyi, “Ya Tuhan jadikanlah hati kami lemah lembut supaya kami dapat menjadi kuat”. Kelemahlembutan bukanlah kelemahan. (Meekness is not a weakness). Kelemahlembutan adalah kekuatan yang mampu mengubah.

Kedua, Musa adalah hamba Allah yang setia (ayat 7). Kesetiaan kepada Allah ditandai dengan kehidupan yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan, mendengar dan mengikuti kehendakNya serta mengutamakan yang Ia utamakan. Ketika kita lemah lembut dan setia kepada Tuhan, yang terpenting bagi kita adalah 'penilaian' Tuhan, bukan pujian atau celaan manusia. Manusia sering memberi penilaian sesuai dengan suasana hati dan kepentingannya. Mengembangkan kesetiaan kepada Tuhan dapat dimulai dari perkara kecil. Dalam hal ini amat penting meluangkan waktu mendengar Tuhan melalui doa dan merenungkan firmanNya. Kita tidak perlu membela diri, karena Tuhan sendiri yang membela kita.

Ketiga, Tuhan berhadap-hadapan dengan Musa berbicara, bukan melalui penglihatan atau mimpi (ayat 8). Kenyataan ini mau menegaskan bahwa pengalaman perjumpaan Musa dengan Allah sangat konkret, karenanya tidak pantas digugat.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, sebenarnya Harun dan Miryam tidak pantas 'mengata-ngatai' Musa. Musa benar di hadapan Tuhan. Apa yang Harun dan Miryam katakan memang ada benarnya, yaitu: Tuhan tidak saja berfirman melalui Musa (ayat 2). Tuhan juga berfirman melalui mereka dan orang lain. Tuhan juga berfirman kepada kita. Tetapi, bukti bahwa kita menerima firman Tuhan adalah dengan menghargai orang lain dan tidak menganggap diri paling benar. Kita tidak gampang mempersalah-kan orang lain.

Akhirnya, Harun mengakui kesalahannya (ayat 11). Ia tidak berkeras dalam kesalahannya. Kita juga perlu senantiasa terbuka memeriksa diri dan mengakui kesalahan kepada Tuhan dan sesama. Ada kalanya kita jatuh mulai dari kesalahan-kesalahan yang nampaknya kecil seperti ‘mengata-ngatai orang’. Seolah orang lain itu salah, padahal justru kesalahan ada dalam diri kita sendiri. Kalau kita melihat langit mendung, kita perlu memastikan apakah kita tidak memakai kaca mata hitam. Sebab, bisa saja langit terlihat mendung, bukan karena mau hujan tetapi karena kita belum membuka sunglasses kita.

Kita kembali melihat kelemahlembutan Musa. Ia memohon agar Tuhan menyembuhkan penyakit kusta Miryam. Meskipun Miryam bersalah terhadap Musa, tetapi Musa mengasihinya. Musa tidak mengatakan, “syukurlah kau mendapat penyakit itu. Tahankanlah, biar tahu rasa kau!” Musa menghendaki kesembuhan Miryam. Barangkali inilah salah satu yang sangat sulit dalam kehidupan kita. Kita bisa saja tergoda untuk bergembira kalau yang membenci kita menderita atau mendapat celaka Tetapi firman Tuhan ini mengingatkan kita agar kita tetap mengasihi orang lain, meskipun mereka berbuat yang tidak kita sukai. Hidup ini pun akan lebih indah, damai dan bahagia.



Ulangan 12:1-6

12:1 Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush.


12:2 Kata mereka: "Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" Dan kedengaranlah hal itu kepada TUHAN.

12:3 Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.

12:4 Lalu berfirmanlah TUHAN dengan tiba-tiba kepada Musa, Harun dan Miryam: "Keluarlah kamu bertiga ke Kemah Pertemuan." Maka keluarlah mereka bertiga.

12:5 Lalu turunlah TUHAN dalam tiang awan, dan berdiri di pintu kemah itu, lalu memanggil Harun dan Miryam; maka tampillah mereka keduanya.

12:6 Lalu berfirmanlah Ia: "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi.



ShoutMix chat widget