Tuesday, December 23, 2008

MENANTI DENGAN HATI DAMAI


Apa benar “menunggu itu membosankan”? Nampaknya tidak sedikit orang menerimanya sebagai kebenaran. Tetapi, ‘menunggu’ itu sebenarnya adalah sebuah ‘ujian’. Ia adalah suatu kesempatan untuk memilih apa yang terbaik untuk dipikirkan dan dilakukan. Memang suasana hati kita dalam menanti sangat dipengaruhi oleh apa yang kita tunggu. Jika yang kita tunggu itu adalah sesuatu yang sangat kita dambakan, tentu kita bisa saja tidak sabar menunggunya. Satu jam bisa terasa seperti seminggu. Tapi jika yang kita tunggu itu adalah batas waktu membayar hutang –padahal belum dapat kita bayar—satu minggu terasa seperti sehari, bukan? Selain itu, agak aneh juga kalau terpidana hukum gantung misalnya merasa bosan menunggu eksekusi.
.
Satu hal yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana sikap kita pada saat menunggu. Bayangkan petugas bandara udara mengumumkan keberangkatan pesawat akan ditunda 6 jam. Reaksi orang dapat saja amat beragam, tergantung pada suasana hati masing-masing. Mungkin ada yang mengumpat, ada yang membantingkan koper, ada yang protes dan sebagainya (walaupun reaksi seperti itu tidak dapat mengubah jam keberangkatan). Tetapi, bisa saja ada yang tinggal tenang dan menggunakan waktu 6 jam untuk hal-hal yang bermakna seperti membaca, berdoa, menelpon dan apa saja yang bermanfaat.

Ada yang yang istimewa dalam hal 'menanti' sebagaimana diserukan dalam Zakharia 9:9-10. Penantian di sini berkaitan dengan 'siapa' dan 'bagaimana'. Yang dinantikaan adalah Mesias, sang Raja. 'Bagaimana' sikap penanatian? Dikatakan supaya 'bersorak-sorak dengan nyaring', yang artinya dengan penuh sukacita.

Ketika nubuatan ini diperdengarkan, orang-orang Israel sedang menanti-nantikan seorang raja. Mereka sudah memiliki pengalaman beberapa raja sebelumnya dan mereka juga mengalami penaklukan penguasa-penguasa lain. Mereka merindukan keadilan dan kedamaian. Di tengah situasi seperti itulah seruan untuk bersukacita menyambut seorang Raja diperdengarkan. Raja yang datang itu amat berbeda dengan raja-raja atau penguasa dunia. Selengkapnya Zak 9:9-10 berbunyi:

Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda. Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa. Wilayah kekuasaannya akan terbentang dari laut sampai ke laut dan dari sungai Efrat sampai ke ujung-ujung bumi.

Nubuatan itu dipenuhi dalam diri Yesus. Yesus megendarai keledai memasuki Yerusalem di mana orang banyak menyambut-Nya dan berseru, "Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!" (Yohanes 12:13).

Di sini dapat disebut sedikitnya tiga hal untuk kita renungkan.

1. Raja itu yang datang melawat umat-Nya. “Lihat, rajamu datang kepadamu” (ayat 9).
Ia sendiri yang mengambil prakarsa untuk datang karena kasih-Nya. Allah tahu keadaan umat-Nya. Ia peduli pada umatNya. Kenyataan inilah yang boleh meneguhkan kita untuk tetap beriman teguh kepadaNya.

Perlu kita resapkan dalam hati bahwa Tuhan mengetahui setiap detil kehidupan kita, khususnya keadaan kita yang tidak dapat lepas dari kuasa maut karena dosa-dosa kita. Ia tahu yang terbaik dalam hidup kita. Dan, lebih dari itu, Ia menghendaki agar kita selamat dan hidup dalam pemeliharaan-Nya. Itu sebabnya tidak ada kata ‘putus asa’ dalam kamus orang yang percaya kepada Tuhan. Tuhan memberi kesempatan kepada kita bersukacita meskipun gelombang terkadang menghadang.

2. Karekter Raja yang akan datang itu adalah adil, jaya (menyelamatkan), dan lemah lembut. Sempurna! Semuanya ini merupakan kebutuhan umat manusia dari dulu hingga hari ini yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan dengan sempurna. Ia adalah adil, memberikan yang terbaik untuk umat manusia. Kualitas seperti itulah yang semestinya dimiliki oleh seorang raja, bukan memberatkan atau menuntut di luar kemampuan orang lain. Raja itu ‘jaya’ atau ‘menyelamatkan’, bukan mencelakakan. Kita tahu bahwa Yesus memberi diri-Nya menjadi korban untuk menyelamatkan umat manusia. Berbeda dengan penguasa dunia yang dengan mudah mengorbankan orang lain untuk ‘menyelamatkan’ dirinya. Raja itu juga lemah lembut, sesuatu yang bertolak belakang dengan keangkuhan manusia. Raja atau penguasa dunia dan para pengagumnya menghendaki ‘wibawa’ yang identik dengan ‘sedikit seram’ dan ditakuti. Berbeda dengan sang Raja itu yang lemah-lembut. dan kita tahu bahwa kelemahlembutan berulangkali ditekankan di dalam Alkitab. Itu berarti karakter Sang raja itu hendaklah menjadi karakter para pengikut-Nya.

3. Tugas Sang Raja yang akan datang itu adalah melenyapkan perangkat-perangkat perang. Dan yang terpenting, Ia memberitakan damai kepada bangsa-bangsa (ayat 10). Kita melihat bahwa pengajaran dan pelayanan Yesus benar-benar menekankan damai. Puncaknya, Ia mati di kayu salib untuk mendamaikan kita orang-orang berdosa dengan Allah. Damai itu juga yang Ia kehendaki diwujudkan oleh para pengikut-Nya dalam kehidupan di dunia ini. Ia berfirman, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9).

Dalam hal ini tugas kita adalah membawa damai. Perlu kita perhatikan bahwa kita bukan ‘membuat’ atau ‘menciptakan’ damai. Kita diutus ‘membawa’ damai. Artinya, kita harus terlebih dahulu memiliki damai itu sebelum membawa damai kepada orang lain. Hal ini juga menegaskan bahwa tugas pemberitaan Injil bukan dengan pedang atau senjata dan sikap arogansi, melainkan dengan kerendahan hati dan semangat damai.

Sunday, December 21, 2008

PEREMPUAN


Hari ini, 22 Desember --yang merupakan ‘hari Ibu'-- Tuhan memberi kesempatan kepada kita secara khusus mengingat para ibu. Mudah-mudahan Anda sepakat dengan saya bahwa tidak ada kata seindah dan sebaik apa pun yang dapat menggambarkan isi hati kita dan mengungkapkan rasa terima kasih kita akan perjuangan kasih para ibu sejak ibu yang pertama ada di dunia ini.

Saya menerima ‘kisah’ berikut melalui email, yang terjemahannya kira-kira begini.

Ayah dan ibu sedang menonton TV. Kemudian, ibu berkata, “Saya sangat capek, dan sekarang sudah larut malam. Saya mau tidur."
.
Ia pergi ke dapur memeriksa apakah bahan makanan besok tersedia. Ia membersihkan blender, memeriksa persediaan beras, mengisi tempat gula, meletakkan sendok dan garpu di atas meja untuk keperluan sarapan pagi besok.

Kemudian, ia menaruh beberapa pakaian kotor ke dalam mesin cuci, menyeterika pakaian dan memperbaiki kancing baju yang lepas. Ia mengumpulkan potongan-potongan game anaknya yang bertaburan di lantai, mencas handphone dan meletakkan buku telpon pada rak.
.
Ia menyiram tanaman di pot, mengosongkan keranjang sampah dan menggantungkan anduk basah. Sambil menguap ia melangkah menuju kamar tidur. Ia berhenti sejenak di meja dan menulis pesan singkat kepada guru anaknya, mengitung uang recehan keperluan anaknya dalam perjalanan bersama teman sekelasnya ke suatu kebun, ia mengambil buku yang terselip di bawah kursi. Ia menandatangani kartu ucapan selamat ulang tahun kepada seorang temannya, menulis alamatnya dan menempelkan perangko pada amplopnya. Ia juga menulis daftar keperluan yang akan dibelinya. Ia menempatkan keduanya dekat dompetnya.Selanjutnya, ibu membersihkan wajahnya dengan pembersih three in one dan mengolesi dengan pelembab, menggosok gigi dan merapikan kukunya.

Ayah berkata, “saya kira mama sudah tidur’. “Ya, saya sudah mau tidur”, jawab ibu.
Ia menaruh air di tempat minum anjing dan menempatkan kucing ke luar rumah. Ia memeriksa apakah pintu sudah terkunci dan lampu luar menyala. Ia melihat anak-anaknya di tempat tidur masing-masing dan mematikan lampu belajar serta menggantikannya dengan lampu tidur, menggantungkan pakaian yang tergeletak di lantai, meletakkan kaus kaki kotor di tempat pakaian kotor, dan ia masih berbicara sejenak dengan seorang anaknya yang masih mengerjakan Pekerjaan Rumahnya.

Di dalam kamar tidurnya, ia menyetel alarm jamnya, meletakkan pakaian yang akan ia dan ayah pakai keesokan harinya. Ia menambahkan tiga hal lagi ke keenam hal terpenting dalam daftar yang akan dikerjakannya. Kemudian, ia berdoa dan memeriksa apakah tujuannya tercapai.
.

Pada saat yang sama, ayah mematikan TV dan mengumumkan tanpa menyebut nama, “Saya akan tidur!” Dan ia memang benar-benar tidur tanpa ada pikiran lain.

*******

Kisah di atas belum seberapa dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya yang dialami kaum ibu. Di desa-desa kaum ibu mempunyai pergumulan tersendiri. Di samping merawat anak dan mengurus suami, mereka harus bekerja keras di ladang, memelihara ternak dan sebagainya.

Rasa sakit yang ditanggung kaum ibu, khususnya yang memiliki anak, tidak terperikan. Saya berada dekat istri saya ketika kedua anak kami lahir. Saya menyaksikan sendiri bagaimana istri saya menanggung rasa sakit yang juga disertai dengan kecemasan. Dia harus menanggung sendiri rasa sakitnya karena tidak bisa dibagi atau diwakilkan. Baru saya mengerti ungkapan seorang ibu yang pernah saya dengar yang ditujukan kepada anaknya yang agak nakal, “Kalau saya mengingat betapa sakitnya melahirkan engkau, saya sangat sedih melihat tingkah lakumu yang tidak menghormati orang tua”.

Saatnya kita merenungkan pengorbanan kasih para ibu. Mari kita terus mendoakan mereka. Juga, menjadi tanggung jawab kita semua mengormati dan mengasihi mereka sepenuh hati.

**********
Hari ini, Senin, 22 Desember 2008, bersamaan dengan 'hari ibu', istri saya Tima Warni Pangaribuan genap berusia 38 tahun. 'Kisah' di atas memang berbeda dengan keseharian kami. Bukan karena kami tidak memiliki anjing dan kucing, tetapi saya mencoba menjadi suami yang agak baik dengan membantu hingga membersihkan lantai dan piring di saat mana perlu. Yang jelas, saya tahu persis bagaimana kesungguhan istri saya menguras tenaga mengurus dan merawat keluarga tanpa kenal lelah. Terima kasih banyak, istriku, pemberian Tuhanku, atas kebaikan hatimu. Doa dan harapan kita, Tuhan senantiasa memberkati dan menguatkan kita untuk melayani-Nya dan menjadi berkat bagi yang lain.


Foto: Christi dan William mengucapkan selamat
ulang tahun kepada mamanya.

Thursday, December 18, 2008

KETABAHAN DALAM SEGALA KEADAAN



Bagaimana mungkin kita memberi nasihat kepada seseorang untuk mengencangkan ikat pingang, ikat pinggang saja dia tidak punya?


Pimpinan Bank Dunia, Robert Zoellick, baru saja menyatakan bahwa 6 bulan ke depan merupakan ujian berat bagi perekenomian global. Ada apa lagi ini? Yang sedang terjadi sekarang pun sudah terasa dampaknya hampir di semua lini. Begitu banyak yang sudah mengalami PHK dan lebih banyak lagi yang dirundung kekuatiran menunggu kepastian PHK atau tidak.
.
Seperti disebutkan sebelumnya (baca “Menyikapi Krisis Ekonomi”) dalam blog ini, saya sendiri sama sekali tidak tahu seluk-beluk perekonomian. Yang saya tahu adalah keluhan bahkan jeritan banyak kalangan akhir-akhir ini. Dan, yang paling penting, Anda dan saya tahu bahwa kita tidak tahu apa yang terjadi pada masa mendatang tetapi kita tahu siapa yang memegang masa depan, yaitu Tuhan kita. Seseorang pernah mengatakannya dengan indah begini: I do not know what the future holds but I know who holds the future. Ya, iman kita bahwa Tuhan memegang masa kini dan dan masa depan, menolong kita untuk menyikapi keadaan ini dengan jernih dan melakukan usaha-usaha yang bisa kita lakukan, seperti:
  • menghemat tanpa harus pelit;
  • orientasi kebutuhan bukan dikendalikan oleh keinginan;
  • menjaga emosi agar tetap sehat dengan tidak gampang tersinggung dan tersulut amarah yang hanya akan memperkeruh suasana;
  • memberi perhatiaan pada yang ada bukan pada yang tiada dan yang mungkin tidak akan ada;
  • lebih banyak bersyukur dan berdoa disertai usaha 'halal'. Tidak ada pembenaran kejahatan, penipuan dan pencurian dalam situasi sulit sekalipun. Di Jakarta saya pernah mendengar seseorang mengatakan, "Hidup ini sangat sulit, untuk mendapat yang tidak halal saja sulit apalagi yang halal". Kata-kata seperti ini amat tipis jaraknya untuk membenarkan pendapatan yang haram.

Dalam menjalani hidup ini marilah kita resapkan dalam hati kita kata-kata bernas dari Santa Theresa dari Avila berikut ini:

Jangan biarkan sesuatu pun mengganggumu
Jangan ada sesuatu yang membuatmu takut,
Biarlah semuanya berlalu begitu saja,
Karena Allah tak pernah berubah.
Ketabahan menghasilkan banyak hal.
Barangsiapa yang tidak mempunyai sesuatu dan ia mempunyai Tuhan,
Ia mempunyai harapan.
Allah sendirilah yang akan mencukupi semuanya.

.
Kata-kata ini sama sekali tidak membenarkan 'kesabaran pasif', yang hanya menunggu dengan berpangku tangan. Ia menekankan penyerahan diri secara total kepada Allah dalam menjalani hidup ini. Di samping itu, kita perlu jeli melihat keadaan dan tugas panggilan kita. Mungkin saja kita saat ini diutus oleh Tuhan menjadi alat di tangan-Nya untuk mencukupkan saudar-saudara kira yang lebih menderita. Bukan terutama dengan nasihat untuk mengencangkan ikat pinggang. Sebab, bagaimana mungkin kita memberi nasihat kepada seseorang untuk mengencangkan ikat pingang, ikat pinggang saja dia tidak punya?

DUKUNGAN UNTUK PARA BURUH DI BATAM

Kota Batam


Saya baru menerima kabar dari seorang teman di Batam tentang pemberitaan media seputar kemungkinan PHK bagi sekitar 75.000 pekerja di Batam sebagai imbas krisis global yang menerpa sejumlah perusahaan di kawasan industri ini. Mari kita dukung dalam doa dan upaya konkrit yang dapat kita lakukan masing-masing sesuai kapasitas kita.

Gereja-gereja partner United Evangelical Mission (UEM) telah memulai suatu usaha yang baik untuk membantu saudara-saudara buruh di Batam. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah gambaran umum Perkumpulan Satu Dalam Misi (PSDM) yang didirikan 11 Juni 2008 (sebagaimana terdapat dalam Newsletter PSDM edisi I Desember 2008):

1. Apa itu PSDM?

PSDM adalah sebuah lembaga pelayanan bersama yang dibangun bersama oleh Gereja – Gereja Anggota SEKBER UEM (Sekretariat Bersama UEM – United Evangelical Mission) yang berada di Batam yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Huria Kristen Indonesia (HKI), Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Gereja Kristen Pak-Pak Dairi (GKPPD). Sebuah Lembaga pelayanan yang berkonsentrasi pada peningkatan ketrampilan dan pemberdayaan Jemaat dan masyarakat melalui pendidikan, konsultasi, dan advokasi terutama kepada buruh.

2. Kenapa PSDM didirikan?

PSDM didirikan dari pergumulan dan atas dorongan Pimpinan Pusat Gereja – Gereja Anggota UEM di Sumatera Utara (HKBP, GKPI, GKPS, HKI, GBKP, GKPA, BNKP, GKPPD), karena keadaan Anggota Jemaat di Batam khususnya buruh memiliki situasi kehidupan: 1. Gaji rendah, Pemukiman minim, Kesehatan buruk, Pendidikan rendah, Keselamatan kerja rendah. 2.Mental/Paradigma pekerja/buruh/pegawai, datang ke Batam dengan mental buruh bukan mental pengusaha/untuk mandiri. 3. Minimnya keterampilan (Skill). 4. Persoalan kebebasan berserikat, dan perhatian yang lebih khusus bagi buruh Perempuan dan Anak.

3. Dimana PSDM?

PSDM bekerja untuk melayani anggota Jemaat Gereja - Gereja Anggota UEM yang berada di Batam. Saat ini Sekretariat PSDM di Perumahan Taman Duta Mas Blok A12 Batam Center – Kepulauan Riau.

4. Untuk Apa itu PSDM ada?

PSDM didirikan sebagai komitmen Gereja-Gereja Anggota UEM di Batam untuk memberdayakan Jemaat dan Masyarakat melalui Pendidikan, Konsultasi dan juga Advokasi dalam Thema Perdamain, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan /Kelestarian Lingkungan Hidup. Sehingga Gereja kita lebih nyata perannya memberikan solusi terhadap keadaan jemaat dan masyarakat.

5. Bagaimana PSDM bekerja?

PSDM akan melakukan Pendidikan Hukum dan Hak Azasi manusia, juga pendampingan dan pembelaan hukum kasus-kasus Perburuhan dan traffiking. Program peningkatan keterampilan berupa Kursus Computer, Menjahit, Bahasa Inggris, dan keterampilan lainnya, penguatan perekonomian melalui Credit Union. Untuk semua ini PSDM akan membagun kerjasama dengan Gereja, Lembaga yang sevisi, dan Pemerintah. Selain melakukannya langsung maka PSDM juga akan melakukan pemotivasian bagi semua element pelayanan Gereja kita untuk melakukan hal yang sama baik secara sendiri, atau saling bekerja sama.

PENGURUS PSDM PERIODE 2008 – 2010

Ketua : Maria Rumahorbo (HKBP) 081364563098
Wakil Ketua : Pdt. P Sinaga, STh. (GKPI) 081364813698
Sekretaris : Pdt. Petrus T Sitio, STh.(HKBP) 081364485875
Wakil Sekretaris : Pdt. H.I Saragih. (GKPS) 081372150606
Bendahara :St. Edward Purba, SH. (GKPS)08127026492
Wakil Bendahara : Pdt. Abednego Silitonga (HKI)081364135777

Anggota :
Pdt. H Nainggolan.(GKPA) 081361506606
Pdt. Ibrahim Barus.(GBKP) 081362445939
St. R Gulo.(BNKP)

Dewan Pengawas Internal:
Pdt. MTH. Tampubolon (Praeses HKBP)085271089489
Pdt. P Purba. (Korwil GKPI) 081270490991
Pdt. A Daely (BNKP) 081361521264
St. Jasarmen Purba.(GKPS) 0811698123

Direktur Program
Pdt. Rudi Sembiring Meliala

Tuesday, December 16, 2008

KUCING atau IBU MERTUA?


Sepasang suami istri sedang bersiap-siap ke sebuah pesta pada suatu malam. Setelah mengenakan pakaian rapi sebagaimana layaknya ke pesta, mereka mengeluarkan kucingnya dari rumah. Mereka mengunci pintu rumah baik-baik karena tidak ada orang yang mereka tinggalkan di sana. Setelah berhasil mendapat taksi, sang suami kembali lagi ke rumah untuk menghalau kucing mereka yang berhasil kembali masuk rumah.

Karena si istri kuatir sopir taksi mengetahui bahwa rumahnya tidak berpenghuni (siapa tahu supir taksi itu merangkap sebagai pencuri juga) ia mengatakan, “Maaf, Pak supir, suami saya kembali ke rumah karena ia lupa berpamitan kepada ibu saya”.

Beberapa menit kemudian si suami masuk ke dalam taksi dan berkata kepada supir itu, “Maaf Pak, agak lama sedikit. Makhluk tua bodoh itu bersembunyi di bawah tempat tidur dan saya harus mengusirnya dengan sapu supaya ia keluar”.

Jika Anda pernah mengatakan sesuatu yang tidak benar dan kemudian secara tidak sengaja terungkap oleh orang lain pasti Anda merasa tidak enak, apalagi jika orang yang Anda bohongi itu masih bersama Anda. Mungkin Anda masih berpikir untuk memberi penjelasan dengan kebohongan baru yang bisa saja ‘berhasil’ tetapi bisa juga membuat Anda semakin frustrasi. Atau, Anda berusaha memberi bahasa isyarat --entah kerdipan mata, gerakan tangan dan lain-lain-- agar yang 'membocorkan kebohongan' Anda mengubah topik pembicaraan. Sayangnya, teman Anda berbicara tidak berhasil menangkap sinyal yang Anda berikan. Anda pun kian disesah rasa bersalah. Karena itu, marilah kita pikirkan sebijaksana mungkin kata, sikap dan cara-cara kita dalam menyampaikan suatu pesan bahkan dalam menjalani hidup ini.

Sunday, December 14, 2008

YANG POKOK dan YANG SAMPINGAN

Dalam pengalaman kita keseharian sedikitnya ada empat suasana perjumpaan.

Pertama, perjumpaan yang penuh dengan sukacita. Dalam perjumpaan seorang ibu dengan anak yang dikasihinya yang sudah lama merantau dan sudah lama tidak bertemu di situ pasti ada kegembiraan yang meluap-luap. Meskipun disitu ada air mata, ia adalah air mata kegembiraan.

Kedua, perjumpaan yang tidak peduli. Ada begitu banyak orang yang sudah bertetangga puluhan tahun tetapi amat jarang saling menyapa. Mungkin sesekali mereka saling melempar senyum ketika saling berpapasan atau kebetulan ada dalam lift yang sama. Memang mereka tidak saling mengganggu atau bermusuhan, tetapi mereka juga tidak terlalu peduli satu sama lain.

Ketiga, perjumpaan yang menakutkan sepihak. Bagaikan persentuhan durian dengan mentimun. Apakah mentimun yang menyentuh durian atau sebaliknya, selalu mentimun yang terluka. Misalnya perjumpaan bos kejam dengan bawahan, raja lalim dengan hamba dan sebagainya. Pihak yang lebih lemah selalu kalah atau harus mengalah meskipun menang. (Konon, banyak bos yang main tennis atau golf dengan bawahannya 'dimenangkan' oleh sang bos meskipun bawahannya lebih unggul).

Keempat, perjumpaan yang menghancurkan. Ini bisa terjadi dalam lingkungan yang saling mengenal dan tidak mengenal. Ia bahkan bisa terjadi dalam sebuah persekutuan keagamaan. Setiap kali ada pertemuan, ada saja orang yang selalu saling menyindir, perang urat saraf, perang mulut bahkan, ironinya, hingga saling memukul.

Bagaimana perjumpaan kita dengan Allah? Dari pihak Allah sendiri tidak ada masalah. Ia menjumpai kita dengan sukacita karena kasihNya. Karena itu, menjelang perayaan Natal ini kita perlu sungguh-sungguh menyambut Tuhan dengan sukacita. Natal bukan terutama faktor luar tetapi terutama berkaitan dengan ‘hati’. Kita tidak dapat menutup mata dengan kenyataan yang terjadi hingga saat ini dimana begitu banyak orang yang menekankan hal-hal yang sifatnya lahiriah dalam merayakan natal. Itu sebabnya pada bulan Desember tingkat stress lebih tinggi dibandingkan dengan bulan yang lain. Tingkat stress ini berkaitan langsung dengan kesibukan dan pengeluaran yang membengkak. Di sinilah orang-orang merias diri dan mendekorasi rumah, toko, jalan dan gereja. Rambut keriting direbonding dan rambut lurus dikeritingkan; rambut putih dihitamkan dan rambut hitam dijadikan warna pink. Kaum perempuan di Indonesia sibuk di dekat kompor dan oven memasak kue. Pintu-pintu ditutup (yang membuat semakin panas) supaya anak-anak tidak masuk. Kalau anak-anak masuk, maka kue yang masak baru empat yang habis juga langsung empat. sama sekali belum ada yang bisa masuk kaleng untuk disimpan. Celakanya, sesudah kue masak, panas kompor dan oven pindah ke dalam hati. Wajah jadi keriting karena cepat naik darah.

Semua faktor luar seperti itu boleh-boleh saja, asalkan tidak mengabaikan yang terpenting, yaitu menyambut Tuhan dengan hati yang bersukacita. Lebih baiklah rambut keriting dengan hati lurus ketimbang rambut lurus tetapi hati kerting. Jadi, ‘hati’ kitalah yang terutama perlu didekorasi bukan ruang tamu atau toko-toko.

Karena Allah sendiri datang menjumpai kita dan selalu menyertai kita, hendaknya kita meresponinya sedikitnya dengan tiga hal berikut.

1. Mengaku percaya. Kita percaya bahwa Tuhan menyertai kita setiap saat. Kita percaya Ia mengenal kita dan mengetahui kebutuhan kita. Karenanya, orang percaya terhindar dari stress berlebihan, mengeluh dan bersungut-sungut.

2. Berserah kepada Tuhan. Kehendak Tuhan menjadi kehendak kita. Kita menjalani hidup ini dan berjuang dalam iman.

3. Bersaksi melalui kehidupan agar orang lain dapat melihat dan merasakan kehadiran Tuhan melalui kata, senyuman, perbuatan dan seluruh gerak hidup kita.

Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.
Jangan kita tinggalkan Dia!

Tuesday, December 9, 2008

MENYIKAPI KRISIS EKONOMI

Terus terang saya sangat awam soal perekonomian dunia yang hingga hari ini masih termasuk topik utama ulasan media massa dan menjadi bahan percakapan dalam forum formal dan non-formal. Mohon dimaklumi karena di sini tidak dapat ditawarkan solusi bagaimana langkah terbaik mengatur keuangan Anda dan tidak ada nasihat praktis bagaimana mengambil langkah yang lebih tepat untuk Anda yang harus mengalami PHK. Bukan berarti saya tidak prihatin dengan keadaan masyarakat pada umumnya dan teman, kerabat serta keluarga dekat secara khusus. Apalagi krisis ini benar-benar berdampak langsung pada keluarga dekat dan diri saya sendiri. Seorang keluarga dekat saya berkeluh karena ia kehilangan sekitar Rp 700 juta dengan turunnya harga saham. Kenyataan yang lebih dekat untuk disebutkan adalah berhentinya dukungan dana dari salah satu sponsor studi saya karena badan itu juga terkena dampak krisis ekonomi. (Saya sangat berterima kasih dan menghargai sekiranya Anda bisa memberi jalan keluar kepada saya).

Di tengah krisis seperti ini, saya teringat pada khotbah Pdt Ayub Yahya yang menyoroti seputar ‘fokus’ dalam kehidupan. Pdt Ayub mengajak jemaat untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang menjadi fokus Anda sekarang?” Pertanyaan ini sangat mendasar dan penting kita jawab. Sebab, fokus kita menentukan pikiran, sikap, keputusan dan tindakan kita. Jika ‘uang’ menjadi fokus kita, maka pikiran dan enerji kita akan terkuras deras untuk mendapatkan uang. Keberhasilan kita diukur berdasarkan uang yang kita kumpulkan. Persahabatan kita juga akan diukur berdasarkan keuntungan material yang dapat kita peroleh dari sebuah persahabatan. Dan, celakanya, ketika uang menjadi fokus dalam kehidupan, hidup kita akan ambruk seiring dengan ambruknya perekonomian. Kenyataan seperti ini sudah terjadi dimana begitu banyak orang yang stress, depresi, tidak peduli dengan sesama, menjadi pemberang, hingga mengakhiri hidup dengan amat tragis.

Dalam keadaan krisis yang melanda dunia sekarang --yang kita tidak tahu apakah keadaan ini bertambah baik atau semakin memburuk-- kita perlu mengubah fokus kita. Fokus pada Tuhan! “Ah, ini sudah sering saya dengar!” Anda mungkin berkata. Tidak masalah seberapa sering hal ini Anda dengar. Yang paling penting adalah seberapa teguh Anda berpegang pada kebenaran ini. Kita perlu sadari bahwa sesungguhnya Allah fokus pada kita anak-anakNya. Allah menghendaki kita bahagia saat ini juga. Dalam hal ini Tuhan menghendaki kita melihat pada apa yang ada, tidak menangisi yang sudah tidak ada dan mencemaskan apa yang mungkin tidak ada dan tersedia.

Ada orang yang keluar dari rasa frustrasi dan depresi setelah mengubah fokus dari penderitaannya menjadi fokus pada apa yang bisa dilakukannya untuk menolong orang yang menderita. Hal ini dapat kita pahami karena di dalam doa kita bertemu dengan Kristus dan di dalam pelayanan kita bertemu dengan orang-orang yang menderita yang juga dikasihi oleh Kristus.

Apakah Anda sedang dalam puncak kegembiraan karena berkat-berkat Tuhan? Dengan fokus pada Tuhan, inilah saatnya Anda lebih banyak bersyukur. Sejalan dengan pengucapan syukur itu, inilah saatnya Anda menyatakan kasih Tuhan kepada orang-orang yang membutuhkan uluran hati dan uluran tangan.

Apakah Anda merasa sedih amat dalam karena kerugian materi di tengah krisis ekonomi ini? Dengan fokus pada Tuhan, kiranya Anda mendapat kekuatan dari padaNya untuk melakukan apa yang bisa Anda lakukan untuk mengatasinya atau ketabahan untuk menerimanya jika tidak dapat diatasi, serta pikiran jernih melihat apa yang masih ada pada Anda. Dengan keadaan Anda seperti sekarang ini pun barangkali Anda masih dapat menjadi perpanjangan tangan Allah menjangkau dan membantu yang lebih menderita dari Anda.

Apakah Anda amat merisaukan kemungkinan Anda di PHK karena tempat Anda bekerja terimbas dampak krisis ekonomi? Fokuslah pada Tuhan. Tuhan kita begitu kaya dalam cara memenuhi kebutuhan anak-anakNya. Jika pintu yang satu tertutup, pintu lain toh masih terbuka untuk Anda. Jangan pikirkan apa kata orang terhadap Anda. Itu hanya akan memperburuk keadaan. Cukup pikirkan kasih Tuhan dan usaha yang dapat Anda lakukan.

Jika Anda merasa biasa-biasa saja –tidak rugi dan tidak beruntung—dalam masa krisis ini, fokuslah pada Tuhan. Kita bertemu dengan Tuhan dalam segala bentuk penegalaman hidup meskipun kehidupan terasa biasa-biasa saja. Dengan hidup yang biasa-biasa saja Anda dapat melakukan perkara yang luar biasa oleh karya Tuhan.

Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN
dan percayalah kepada-Nya,
dan Ia akan bertindak.
(Mazmur 37:5)

Sunday, December 7, 2008

LIDAH IBADAH dan LIDAH LIMBAH

Hidup kita sedikit banyak tergambar dari kata-kata yang kita ucapkan dan kata-kata yang diucapkan kepada kita. Kata-kata bijak berikut dapat menolong kita untuk sungguh-sungguh memperhatikan penggunaan lidah dalam berkomunikasi:[1]

(1) Jangan katakan semua yang Anda pikirkan. Sebab, mengatakan semuanya mungkin tidak menolong, menyembuhkan dan mendidik.
(2) Ujian yang harus dilalui sebelum mengucapkan kata-kata adalah: apakah itu benar, apakah itu ungkapan kasih, apakah itu penting dan berguna?
(3) Mengubah satu hal menjadi lebih baik lebih bermanfaat dari pada membuktikan seribu kesalahan.
(4) Meniup lilin orang lain tidak membuat lilin Anda bersinar lebih terang. Tetapi jika Anda menggunakan lilin Anda menyalakan lilin orang lain, Anda akan memiliki lebih banyak terang.
(5) Tingkat perbandingan antara doa dan kritik seharusnya 100:1.
(6) Mengatakan kejelekan orang lain merupakan suatu cara yang tidak jujur memuji diri sendiri.
(7) Seseorang yang memiliki ‘lidah tajam’ (yang kerap menyakiti) biasanya akan kesepian, sebab orang-orang biasanya mengindarinya.

Kita menemukan lumayan banyak kata ‘lidah’ di dalam Alkitab. Kata ini terutama berhubungan dengan fungsinya untuk berbicara. Berikut ini ada tiga hal yang dapat kita perhatikan dalam hubungannya dengan peranan lidah.

Pertama, lidah sering dihubungkan dengan hati manusia. Baik buruknya kata-kata yang terucap berkaitan langsung dengan hati. Misalnya dalam Mzm. 45:2 dikatakan “hatiku meluap dengan kata-kata indah.” Keindahan meluap dari hati dalam kata-kata. Berbeda dengan apa yang disebut dalam Amsal 17:20 "orang yang serong hatinya.....memutar-mutar lidahnya akan jatuh”. Hati yang serong membuat lidah serong juga --yang pada gilirannya akan mengakibatkan kejatuhan.

Kedua, lidah berperan dalam mewujudkan kebaikan, seperti untuk menyebut-nyebut keadilan Tuhan (Mzm 35:28); Tuhan memberikan ‘lidah’ seorang murid (Yes 50:4); lidah juga berperan untuk mengaku bahwa "Yesus Kristus adalah Tuhan” (Fil 2:11).

Ketiga, Alkitab juga menegaskan begitu pentingnya menjaga lidah atau kata-kata:
- Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu (Mzm 34:14).
- Lidah harus dikekang (Yak 1:26)
- Jangan bercabang lidah (1 Tim 3:8).

Berkaitan dengan 'ukuran' pikiran dengan penggunaan lidah atau kata-kata, Charles Allen pernah mengatakan begini:
Orang-orang yang berpikiran luas membicarakan ide-ide yang bagus dan ideal-ideal dalam kehidupan.
Orang-orang yang berpikiran sedang membicarakan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa.
Orang-orang yang berpikiran sempit membicarakan (kekurangan) orang lain.

Apakah kita lebih banyak membicarakan ide-ide yang bagus, atau peristiwa-peristiwa, atau kelemahan orang lain? Biarlah kata-kata kita menyembuhkan, meneguhkan dan menjadi berkat kepada orang lain dan diri kita sendiri serta kemuliaan bagi Tuhan. Inilah bukti bahwa kita memiliki ‘lidah ibadah’ bukan ‘lidah limbah’ (yang mengumpat, mengejek, menyakiti, mengutuk).

[1] Uraian lebih rinci baca “Tongues” dalam Rowland Croucher (ed.), Gentle Darkness, (Sutherland, Australia, 1994), 226-238

Sunday, November 30, 2008

SURAT YANG MENYEMBUHKAN

Mungkin Anda pernah merasa disakiti karena kata-kata atau perbuatan orang lain yang menyebabkan Anda terdorong untuk menumpahkan amarah melalui surat atau email. Ketika Anda mengalami hal demikian, nasihat Henri J. Nouwen untuk menunda mengirimkannya, membacanya berulang-ulang dan menulis surat yang baru, merupakan nasihat yang sangat tepat dan bermanfaat.

Jika Anda menulis sebuah surat atau email yang bernada sangat marah kepada seorang teman yang begitu amat dalam menyakiti hati Anda, jangan kirim surat itu. Biarkan surat itu 'berbaring' di meja atau di dalam komputer Anda sebagai draft untuk beberapa hari dan baca kembali berulangkali. Kemudian, tanyakan diri Anda, “Apakah surat atau email ini membawa kebaikan bagi saya dan teman saya itu? Apakah surat ini membawa kesembuhan dan menjadi berkat?" Anda tidak perlu mengabaikan kenyataan bahwa Anda benar-benar merasa disakiti. Anda tidak perlu menyembunyikan perasaan terluka yang Anda rasakan karena perbuatan teman Anda. Tetapi Anda dapat merespon dengan suatu cara yang dapat membawa penyembuhan dan pengampunan serta membuka jalan untuk kehidupan yang lebih baik. Setelah itu, tuliskanlah surat yang baru menggantikan yang pertama jika Anda merasa bahwa surat yang baru itu akan meneguhkan dan menjadi berkat. Krimkanlah itu disertai doa. Dengan demikian, Anda telah menambahkan kebaikan dalam dunia yang dicemari perselisihan ini. Anda pun akan lebih lega dan berbahagia dengan cara demikian.

Monday, November 24, 2008

FOKUS PADA SANG PEMBERI, BUKAN PEMBERIAN

Kehidupan Yakub masih relevan kita renungkan saat ini. Kita hidup di tengah zaman di mana begitu banyak orang yang berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diingankannya tanpa peduli pada kebenaran dan kehendak Tuhan.

Sejak lahir, sudah ada sesuatu yang ganjil dari kehidupan Yakub, yaitu bahwa ia memegang tumit Esau ketika lahir (Kej 25:26). Itu juga mencerminkan kehidupannya yang selalu meraih atau menarik sesuatu dari orang lain untuk dirinya sendiri. Ia mengambil hak kesulungan dari Esau dan kemudian mengambil berkat dari ayahnya. Ia mengambil Rahel dari ayahnya dan kemudian ia mengambil harta milik Laban juga.

Ketika ia menginginkan berkat dari ayahnya, ia berusaha meraihnya dengan kebohongan, bahkan dengan menggunakan nama Allah. Ketika Ishak, ayahnya, meragukan kehadirannya yang begitu cepat, Yakub menjawab: "Karena TUHAN, Allahmu, membuat aku mencapai tujuanku." (Kej 27:20). Ia sama sekali tidak takut akan Allah, yang penting keinginannya tercapai.

Tuhan sudah menyatakan diri kepada Yakub di Bethel dan memberikan janji seperti yang dijanjikan kepada Abraham. Allah (1) Memberikan tanah tempat mereka berdiam (2) memberikan keturunan yang banyak (3) Membuat mereka menjadi berkat. Tetapi, Yakub malah berpikir seolah dia yang akan ‘memberi’ kepada Tuhan berupa persepuluhan dari pemberian Tuhan (Kej. 28:13-22). Yakub lebih fokus pada pemberian Tuhan dari pada Tuhan sang Pemberi. Nazarnya untuk memberi sepersepuluh dari pemberian Tuhan hanyalah untuk mengharapkan sesuatu dari Tuhan. Sikap seperti ini tidak jarang kita temukan dalam kehidupan kekristenan sekarang: memberi supaya menerima. Padahal, kita memberi adalah karena kita sadar akan pemberian Tuhan bukan supaya Tuhan memberikan lebih banyak lagi kepada kita.

Sesudah peristiwa di Bethel ini, di mana Yakub tidak bergerak seirama dengan janji Tuhan, tetapi menempuh jalannya sendiri, ia mengalami berbagai peristiwa yang membuatnya merasa terancam. Salah satu di antaranya adalah kedatangan Esau dan pasukannya untuk menyerangnya. Dalam suasana ketakutan ia kembali mengingat janji Tuhan dan ia berdoa memohon kelepasan (32:9-10). Tetapi, ia tidak saja berdoa. Ia juga merancang strategi untuk ‘menjinakkan’ kegeraman Esau. Ia mempersiapkan segala macam pemberian yang akan dipersembahkan kepada Esau sebagai sarana melunakkan hati Esau. Dalam situasi seperti itu, Yakub pasti merasa lelah. Itulah juga yang terjadi dalam hidup ini ketika kita merasa tidak aman dan selalu berjuang dengan cara-cara kita sendiri untuk medapatkan apa yang kita inginkan. Tidak ada ketenangan dan kedamaian.

Berkat yang sesungguhnya ternyata bukan datang dari Ishak, ayahnya. Yakub mendapat berkat yang sesungguhnya dari Allah setelah Yakub berubah. Ia tidak lagi menipu dan berusaha menggenggam atau meraih yang duniawi, tetapi ia ‘bergumul’ dengan Tuhan. Artinya, ia memusatkan perhatian pada Tuhan Sang Pemberi hidup. Ia tidak mau melepaskan Tuhan dalam hidupnya. Yakub melihat Allah dan nyawanya tertolong (ayat 30). Ketika kita melihat atau memusatkan perhatian pada apa yang ada di dunia ini, semuanya itu tidak dapat menolong kita. Tetapi, ketika kita melihat dan berpegang pada Tuhan serta menerima dengan sukacita segala pemberianNya, kita akan mengalami kedamaian meskipun tantangan terkadang masih menghadang. Jika kita memiliki Allah, kita memiliki segala sesuatu yang Ia kehendaki. Sebaliknya, meskipun kita memiliki segala sesuatu tetapi tidak memiliki Allah, semuanya tidak punya arti apa-apa.

Friday, November 21, 2008

BUKAN KITA, TAPI DIA*)

Iblis tidak takut kepada orang percaya. Iblis takut dan takluk kepada Kristus yang diam dalam diri orang percaya.


Ada satu pernyataan para murid yang diutus sebagaimana dikisahkan dalam Lukas 10:17-20 yang mudah terluput dari perhatian kita. Mari kita perhatikan isi ‘laporan’ mereka kepada Yesus. Para murid itu berkata, "Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu." Kata-kata: “takluk kepada kami demi nama-Mu” telah menggeser pelaku utama dari Yesus menjadi murid-murid. Mereka merasa berhasil ‘memakai’ nama Yesus. Mereka bergembira mengagumi keberhasilan mereka.

Yang indah dan meneguhkan dari cara Yesus ialah bahwa Ia tidak membiarkan mereka menjadi sombong. Yesus tidak membiarkan mereka fokus pada diri dan keberhasilan mereka. Yesus berkata, “Aku melihat Iblis jatuh dari langit”. Artinya: Yesus ada di situ. Ia tahu dan melihat persis apa yang terjadi. Dan, yang paling penting, yang melakukannya bukan murid-murid itu, tetapi Yesus sendiri. Dari pernyataan Yesus tersebut sudah seharusnya murid-murid itu mengubah pernyataan mereka menjadi, “juga setan-setan tunduk kepada-Mu”. Itulah kebenaran yang sesungguhnya. Sebab, Iblis tidak takut kepada orang percaya. Iblis takut dan takluk kepada Kristus yang diam dalam diri orang percaya.

Selanjutnya, Yesus mengarahkan para murid dan kita juga kepada yang bernilai kekal, bukan kegembiraan yang bersifat sementara saja. Murid-murid gembira karena keberhasilan mereka. Ini adalah semacam perasaan senang yang tidak bernilai kekal. Dalam hal ini Yesus mengatakan, “bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga" (ayat 21). Yesus menawarkan sukacita yang bernilai sorgawi atau bernilai kekal. Bukankah sesuatu pemberian yang luar biasa berharga bahwa kita satu kewargaan dengan Kritus sendiri? Kita hidup, bekerja dan melayani di dunia sebagai warga sorga. Anugerah yang luar biasa!

‘Status’ kita sebagai warga kerajaan sorga mengubah hidup kita, mengubah pemahaman kita akan pekerjaan dan pelayanan, mengubah cara kita memperlakukan dan menghadapi orang lain. Salah satu di antaranya adalah kuasa untuk “menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kita”. Ini adalah gambaran. Jangan kita coba-coba memegang kalajengking atau ular dan sejenisnya. (Ular dan kalajengking yang mau menggigit tidak pernah lebih dulu bertanya apakah seseorang itu Kristen atau bukan!). Ular dan kalajengking menggambarkan berbagai godaan licik dan bahaya-bahaya yang ditabur dan ditebarkan oleh Iblis dan orang-orang yang menyerahkan dirinya pada pekerjaan Iblis.
.
Hidup kita tidak lagi ditentukan oleh faktor-faktor luar, baik yang kelihatan seolah-olah baik dan menjanjikan seperti pujian, pengakuan, kesuksesan menurut ukuran dunia dan lain-lain maupun yang jelas-jelas menyesatkan seperti menyangkal dan meninggalkan Tuhan. Rekasi kita juga akan berbeda. Kita tidak begitu gampang tersulut amarah, tidak cepat menghakimi, tidak memendam dendam, tidak gampang bersungut-sungut, tidak suka mengeluh. Mengapa? Kerajaan sorga tidak memiliki itu semua. Karena itu, sebagai warga sorga kita hidup dan bekerja dalam sukacita sorgawi.

Sebagai warga kerajaan sorga kita akan memasuki kehidupan kita: pekerjaan dan pelayanan kita sehari-hari. Mari kita resapkan dalam hati kita:

(1) Tuhan sudah lebih dulu ada di tempat di mana kita berada. Bukan kita membawa Kristus atau membawa kuasaNya. KuasaNya lebih besar dari kita. Karenanya, kita tidak pergi ‘membawa’ kuasa Yesus, tetapi kita pergi, melayani, menjadi saksi oleh kuasaNya.
.
(2) Kita tidak menggunakan Tuhan untuk rencana-rencana kita, meskipun kelihatan sangat ‘rohani’. Tuhanlah yang memakai kita untuk pekerjaan-Nya. Tanpa kita pun sebenarnya kerajaan dan pekerjaan-Nya dapat berjalan terus. Dengan kerendahan hati kita bersyukur karena kita diiuktsertakan dalam pekerjaan-Nya.
.
(3) Setiap kali Tuhan mengutus Ia selalu menyertai. Ia yang mengutus kita menjadi saksi-Nya, Ia juga yang menyertai kita.
.
(4) Kita harus melepaskan ketergantungan kita pada indikator atau tolok ukur keberhasilan dengan prestasi yang kita capai.
.
(5) Yang memenuhi visi kita bukanlah talenta, bakat, ketrampilan, kemampuan, materi, atau pemberian-Nya melainkan Kristus sang Pemberi itu. Zac Poonen benar ketika ia mengatakan, “Ketika sang Pemberi memenuhi hati kita dan visi kita, maka kita akan dapat menggunakan talenta, bakat dan milik kita dengan baik. Jika tidak, kita akan menyalahgunakannya untuk untuk pementingan dan pengagungan diri”.
.
*) Rangkuman renungan yang saya sampaikan pada Penutupan Seminar Haggai Institute, Singapore, 15 Nopember 2008

Sunday, November 16, 2008

ADA KEKUATAN DALAM KELEMAHLEMBUTAN

Satu di antara sekian banyak pemberian yang sangat berharga yang dapat kita berikan dalam hidup ini tanpa mengeluarkan biaya adalah 'kelemahlembutan'. Ia hanya membuthukan 'modal' kerelaan.

Kelemahlembutan kepada orang lain

Kita menemukan beberapa kali dalam Kejadian 1 yang mengatakan bahwa apa yang diciptakan Allah itu baik. Puncaknya, setelah semua diciptakan Allah, dikatakan dalam
Kej. 1:31: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” Dengan kelemahlembutan kita mengalami kembali betapa baiknya ciptaan dan rancangan Allah itu. Dunia ini menjadi kacau seiring dengan hilangnya kelemahlembutan dan digantikan dengan kekasaran dan kekerasan. Dunia ini akan kembali kepada keadaan ‘baik’ sebagaimana dikehendaki Allah sejak penciptaan ketika kelemahlembutan mewarnai kehidupan keseharian.

Lemah lembut tidak sama dengan ‘lembek’. Malahan, kelemahlembutan adalah merupakan kekuatan. Itu sebabnya Padovano dengan tepat berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah hati kami lemah lembut supaya kami dapat menjadi kuat.” Hanya dengan kelemahlembutan kita dapat memberi yang terbaik bagai orang lain. Bukan terutama melalui tekanan suara (walaupun itu penting) tetapi yang paling penting adalah kelemahlembutan ‘dari dalam’ –hati nurani yang murni. Lemah-lembut berarti kita tidak pernah memaksa orang lain termasuk pada hal-hal yang kelihatan mulia menurut ukuran kita sendiri. Kelemah-lembutan yang dimaksud di sini bukanlah terutama masalah ‘teknis’ atau ‘faktor luar’ (yang dapat dipelajari) seperti biasanya diterapkan oleh mereka-mereka yang mempromosikan produk tertentu yang hanya bertujuan untuk menjual produknya. Kelemahlembutan kristiani mengalir dari dalam hati, hati yang didiami oleh Roh Tuhan, yang ditujukan kepada semua orang dengan tulus.

Kelemahlembutan terhadap diri sendiri

Kelemahlembutan nampak melalui hidup yang bebas dari kekerasan (pikiran, perkataan dan perbuatan), tidak membalas kejahatan dengan kejahatan baru, meskipun kita mempunyai kesempatan dan kemampuan melakukan pembalasan. Kelemahlembutan adalah salah satu dari buah-buah Roh (Gal. 5:22-23).

Lemah lembut terhadap diri sendiri dapat juga kita artikan ‘ramah terhadap diri sendiri’.
Ada kesan bahwa pada umumnya budaya dan ajaran kekristenan lebih banyak menekankan keramahan kepada orang lain. Jarang sekali kita dengar nasihat untuk bersikap ramah terhadap diri sendiri. Ramah terhadap diri sendiri tidak sama dengan ’cinta diri’ atau 'pementingan diri'. Ramah terhadap diri sendiri adalah bagian dari ’mengasihi diri’. Bagi orang Kristen, ’mengasihi diri’ bukanlah sesuatu yang salah. Yang salah adalah self-pity (rasa kasihan terhadap diri sendiri, yang nampak misalnya dengan banyak mengeluh dan bersungut-sungut), selfishness (pementingan diri sendiri). Allah sendiri mengasihi kita, karenanya kita harus mengasihi apa yang Tuhan kasihi.

Keramahan terhadap diri sendiri mewujud dalam sikap menerima diri dengan segala keberadaannya, tidak memaksa diri menjadi seperti orang lain (karena kita akan stress dan bahkan frustrasi), mensyukuri apa yang Tuhan anugerahkan kepada kita, mensyukuri apa yang Tuhan anugerahkan kepada orang lain; tidak cemburu pada keberhasilan orang, tidak memendam dendam dalam hati. Jadi, ketika kita menerima segala sesuatu yang Tuhan anugerahkan dalam kehidupan di dunia ini dan bersikap serta berbuat sebagaimana Tuhan kehendaki dalam kehidupan keseharian, di situlah terjadi kebahagiaan sejati. Kebahagiaan seperti itu dapat kita peroleh saat ini juga dengan pertolongan Tuhan.

Monday, November 10, 2008

MENGAPA ANDA KE GEREJA?

Ada kisah tentang seekor anjing yang ‘religius’. Preta, seekor anjing di Portugal, sanggup berjalan menempuh jarak 26 kilometer setiap minggu untuk bisa mengikuti ibadah. Setiap hari Minggu Preta pergi meninggalkan rumah tuannya pada jam lima pagi. Bekas anjing jalanan ini berjalan sendirian menuju ke sebuah gereja untuk mengikuti ibadah pada pukul 07.30 dan berada di tempat favoritnya di dalam gereja yakni di samping altar. Pada saat jemaat berdiri atau duduk, Preta juga melakukan hal yang serupa. Ketika ibadah usai, biasanya ia kembali berjalan kaki, namun kadangkala ia menumpang naik mobil orang-orang yang dikenalnya. Jumlah jemaat gereja tersebut meningkat karena banyak orang yang ingin melihat kehadiran anjing tersebut (Dikutip oleh Yustinus Sumantri dari Harian Surabaya Post Rabu, 11 Juli 2001).

Mengapa orang-orang Kristen datang ke gereja pada hari Minggu? Nampaknya, masing-masing punya alasan tersendiri. Ada yang mau melihat sesuatu yang menarik, ada yang mungkin merasa takut dihukum Tuhan, ada yang merasa malu jika orang lain tahu ia tidak pergi ke gereja, ada yang mau bertemu dengan teman-teman, bahkan bisa saja ada yang hanya sekadar kebiasaan saja tanpa mengerti makannya (seperti Preta).

Hukum Taurat berbunyi, “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat.” (Kel 20:8). Kata sabat berasal dari kata Ibrani ‘Sabbath’ yang artinya: istrirahat, yaitu istirahat dari pekerjaan sekaligus beribadah kepada Tuhan. Perubahan waktu istirahat dan ibadah dari hari Sabtu menjadi hari Minggu, dimulai oleh jemaat mula-mula, terutama mengacu pada hari kebangkitan Tuhan Yesus dan karena faktor kebijakan pemerintahan Romawi yang membuat hari Minggu menjadi hari libur resmi dalam wilayah kekuasaannya. Perubahan ini tidak menjadi masalah, karena yang penting adalah ‘isinya’ yaitu mengkhususkan hari untuk istirahat dan beribadah secara khusus. Dalam hal ini sedikitnya ada empat hal yang perlu kita renungkan berkaitan dengan hari Sabat (Minggu).

Pertama, bersekutu secara khusus dan khusuk dengan Tuhan melalui pujian, doa dan terutama mendengarkan firmanNya. Inilah waktu untuk memuliakan Tuhan yang akan berlanjut pada hari Senin sampai Sabtu untuk tidak menyembah dan mengabdi kepada Mamon atau ilah materialisme yang banyak dipuja oleh orang pada zaman konsumerisme ini. Pada hari Minggu, kita merayakan keselamatan kita oleh penebusan Tuhan Yesus yang sudah mengalahkan maut melalui kebangkitanNya.

Kedua, beristirahat secara fisik, intelektual, dan emosional. Sabat mengingatkan kita untuk tidak mengandalkan pikiran kita dengan berbagai rencana dan cara kita mencapai keinginan-keinginan kita tetapi sepenuhnya mengandalkan Allah. Sabat adalah juga kesempatan untuk istirahat memikirkan pekerjaan. Sayangnya, ada orang Kristen yang mendambakan untuk beribadah di gereja pada saat dia bekerja, tetapi membayangkan pekerjaannya ketika dia berada di gereja. Sabat hendaknya memberi kedamaian hati dan pikiran dengan membuang segala macam yang mengganggu pikiran, ambisi, dan aneka keinginan.

Ketiga, bersekutu dengan sesama umat percaya. Dalam berbagai jemaat hal ini sangat sulit karena banyak orang yang tidak saling mengenal. Orang datang, duduk, dan pulang tanpa saling menyapa dengan yang lain. Jemaat-jemaat masakini hendaknya berusaha mempererat persaudaraan di antara sesama anggota jemaat.

Keempat, memberi kesempatan kepada ciptaan atau makhluk lain merayakan hidupnya. Dulu, banyak ternak dipekerjakan dalam pertanian dan pada hari Sabat mereka juga diberi kesempatan beristirahat. Saat ini makhluk ciptaan Tuhan banyak yang terganggu oleh aktivitas manusia dan deru suara berbagai peralatannya yang memekakkan telinga. Sabat dapat juga sebagai sarana menerapkan pola hidup sederhana dengan tidak melahap makanan berlebihan dan memboroskan enerji dan benda-benda yang merusak lingkungan.

Singkatnya, dengan istirahat dan beribadah pada hari Minggu dapat membawa kedamaian di dalam hati kita secara pribadi, damai dengan sesama umat dan damai dengan makhluk dan alam ciptaan Tuhan. Sebab, Tuhan telah mendamaikan diri-Nya dengan kita.

Perlu ditambahkan bahwa kita harus menjaga agar Sabat tidak dibelokkan menjadi alasan ketidakpedulian terhadap sesama. Hal ini terjadi dalam kehidupan orang-orang Yahudi, yang membuat peraturan dengan sangat kaku hingga mereka menganggap bersalah melakukan penyembuhan pada hari Sabat. Itu sebabnya Yesus dengan tegas menolak pandangan itu dengan mengatakan, "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat" (Markus 2:27-28).

Sunday, November 2, 2008

HILANG DI RUMAH SENDIRI

Agaknya kita jarang memberi perhatian pada sikap anak sulung dan sikap bapa terhadap anak sulung seperti terdapat dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15). Biasanya kita fokus pada kasih bapa kepada anak bungsu yang besikap dan berperilaku bobrok dan pertobatannya. Mungkin kita merasa tidak seperti anak yang bungsu. Baik, tentu. Kiranya kita tidak ‘hilang’ juga seperti anak yang sulung.

Zac Poonen menganalogikan anak sulung itu sebagai orang-orang Kristen yang aktif dalam kehidupan bergereja. Jika si bapa di dalam perumpamaan ini menggambarkan Allah, anak yang lebih tua ini dapat digambarkan sebagai seorang Kristen. Dalam perumpamaan ini disebutkan bahwa ia pulang ke rumah sesudah bekerja di ladang ayahnya. Ia bukan seorang anak muda yang malas, yang duduk di rumah ayahnya dan menikmati kekayaan bapanya. Ia adalah seorang yang bekerja keras untuk bapanya. Ia kelihatan lebih mengasihi bapanya dan kelihatan lebih saleh ketimbang adiknya. Tetapi sesungguhnya ia sama saja dengan adiknya dalam hal ‘pementingan diri’. Anak yang sulung ini menggambarkan orang-orang percaya yang aktif dalam pekerjaan Tuhan dan kelihatannya mengabdi kepada Tuhan, tetapi masih berpusat kepada dirinya sendiri tidak berpusat kepada Bapa.

Berdasarkan sikap anak yang sulung ini, kita bisa melihat sedikitnya empat ciri-ciri orang yang 'terinfeksi virus' pementingan dan pengagungan diri.

(1) Kecemburuan. Anak sulung ini cemburu kepada saudaranya yang bungsu dan kecemburuannya membuatnya marah. Saat adiknya pulang, ia merasa posisinya di dalam rumah terancam. Ia merasa adiknya sudah menjadi pusat perhatian di rumah. Orang yang ‘cinta diri’ senang mendapat perhatian dan pujian orang lain. Orang yang ‘cinta diri’ sangat mudah merasa sedih, mengeluh dan marah.

(2) Kesombongan. Anak sulung itu mengatakan: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku (ayat 29). Ia menyombongkan kesetiaannya kepada bapanya. Kesombongan seseorang muncul, bukan saja karena kebaikan-kebaikan dan keberhasilannya, melainkan juga karena seseorang itu merasa orang-orang di sekitarnya tidak sebaik dirinya. Kesombongan selalu merupakan akibat dari pembandingan diri sendiri dengan orang lain. Jika anak yang bungsu ini lebih baik melayani bapanya, yang sulung tidak akan merasa sombong.

Kesombongan jugalah penyakit orang Farisi yang berdoa “Terima kasih Tuhan karena aku tidak seperti orang lain....... “ Terkadang dalam bentuknya yang lebih halus bisa juga guru sekolah Minggu terjatuh pada kesombongan yang sama dengan berdoa, “Terima kasih Tuhan, karena kami tidak seperti orang Farisi”. Bahkan kita pun bisa saja terjatuh dalam kesombongan kalau dalam hati kita berkata, “Terima kasih Tuhan karena kami tidak seperti guru sekolah Minggu itu”.

(3) Menghakimi. Yang sulung berkata bahwa adiknya telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur (ayat 30). Ia lebih senang mengungkapakan kekurangan adiknya ketimbang menutupinya. Padahal, ia sendiri tidak mengetahui secara pasti apakah adiknya benar-benar seperti itu. Apakah kita mengetahui kesalahan-kesalahan orang lain? Apakah secara tersembunyi kita senang melihat kajatuhan orang lain, khususnya mereka yang tidak kita sukai? Ketika kita membenci seseorang, kita sangat senang mengatakan kekurangan orang lain. Dan ini tidak sehat.

4. Ketidakpedulian. Orang yang cinta diri tidak memiliki kasih yang murni kepada orang lain. Inilah akar dari sikap tidak bersahabat bahkan kebencian terhadap orang lain. Yang sulung ini tidak pernah berusaha secaraa sukarela mencari adiknya ini, padahal sudah bertahun-tahun meninggalkan rumah. Ia tidak peduli apakah adiknya hidup atau mati. Bagaimana sikap kita terhadap orang yang meninggalkan kita, keluarga kita, gereja kita? Lebih mudah mempersalahkan bahkan menghukumnya. Lebih sulit mengasihi dan menolong mereka.

Kasih Bapa

Kini saatnya kita mengalihkan perhatiaan dari perumpamaan ini kepada Allah, Bapa kita, dan diri kita sendiri. Dalam perumpamaan ini kita lihat bahwa bapa itu memiliki kasih yang sama kepada kedua anaknya. Ia menyambut anaknya yang bungsu. Ia juga keluar mendapatkan anaknya yang sulung. Perumpamaan ini menyatakan kepada kita betapa besarnya kasih Allah. Ia mengasihi kita. Ia menghendaki kita memiliki milikNya, tetapi Ia harus membebaskan kita pertama-tama dari sikap ‘pementingan dan pengagungan diri’. Kita pun akan kembali ke ‘rumah’ yaitu kembali menjadi bagian dari keluarga Allah.

Wednesday, October 29, 2008

TEGUH MENGHADAPI MUSUH

Kita sudah biasa menerapkan ‘pemberian berbasalan setimpal’ dalam kehidupan sehari-hari. Kalau orang lain memberi hadiah ulang tahun kepada kita, kita merasa tidak enak kalau tidak memberi hadiah pada ulang tahunnya. Hadiahnya pun bisa saja diusahakan agar harganya kurang lebih sama. Kalau orang yang kita undang tidak menghadiri pesta kita, kita tidak merasa apa-apa kalau kita tidak menghadiri pestanya di kemudian hari. Bahkan, hal yang sama bisa merembes ke dalam kehidupan bergereja. Jika seseorang hadir pada saat PA di rumah kita, kita akan datang ke rumahnya pada saat PA berikutnya diadakan di rumahnya dan sebaliknya. Itulah ‘hukum pemberian berbalasan”. Itu pula yang sudah lama terjadi bahkan dihadapi oleh Yesus dalam pelayananNya.

Melihat kenyataan seperti itu, Yesus menantang pendengarnya dulu dan menyapa kita pada saat ini bahwa sikap demikian sebenarnya tidak ada istimewanya. Sebab, orang-orang berdosa pun melakukan hal yang sama. Kita dapat melihat lebih jelas (Luk. 6:32-36):
· Tidak ada istimewanya mengasihi orang yang mengasihi kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 32)
· Tidak ada istimewanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 33)
· Tidak ada istimewanya meminjamkan sesuatu kepada orang dengan berharap bahwa kita akan menerima sesuatu dari padanya, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 34)

Sebagai pengikut Tuhan, kita seharusnya menunjukkan sesuatu yang lain, melampaui kebiasaan umat manusia. Dikatakan dalam ayat 35, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu......” Ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dari dulu hingga hari ini. Buktinya? Orang yang mengasihi kita saja terkadang kita tidak sungguh-sungguh mengasihinya. Kita terkadang tergoda ‘memanfaatkan’ mereka, apalagi mengasihi musuh. Amat berat! Pada zaman Yesus, untuk mengatakan mengasihi musuh saja sangat sulit, apalagi melakukannya. Pada waktu itu, orang-orang menghendaki agar musuh-musuh mereka mendapat celaka. Kalau musuh mendapat celaka mereka mungkin berkata, “tahankan biar tahu rasa kau!” “Itu belum setimpal dengan kesalahanmu”. “Kok tidak mati saja dia sekalian!” dan sebaginya.

Bagaimana dengan sekarang? Pengalaman kita menunjukkan, bahwa apa yang terjadi pada zaman Yesus masih merupakan penyakit yang sama hingga hari ini. Itu sebabnya perang terjadi di mana-mana, dari perang urat saraf hingga perang dengan pedang dan senapan. Yesus dengan tegas mengamanatkan, “kasihilah musuhmu...” Amat berat, tetapi tugas panggilan kita adalah untuk menjadi berkat dan sahabat bagi semua orang. Kemauan dan kemampuan kita mengasihi musuh akan melahirkan perdamaian di dunia ini dan itu akan menjadi kemuliaan bagi Tuhan.

Sedikitnya ada tiga hal penting berkaitan dengan mengasihi musuh. Pertama, kebahagiaan untuk diri kita sendiri karena hati kita tidak diracuni oleh permusuhan. Orang yang menyimpan kebencian, sakit hati dan kemarahan tidak mungkin berbahagia. Kedua, menjadi kesaksian bagi orang lain yang dapat menolong mereka untuk bertobat dan berbalik bersahabat dengan kita. Dalam hal ini, mengabarkan Injil bukanlah terutama melalui pengajaran atau pemberitaan dengan kata-kata, melainkan pertama dan terutama melalui keteladanan hidup. Ketiga, Allah kita dimuliakan karena kita anak-anakNya hidup dalam perdamaian dan saling mengasihi. Lagipula, ketika kita bermurah hati kepada orang lain bahkan kepada musuh, sesungguhnya kita telah terlebih dahulu menerima kemurahan hati Allah (Luk. 6: 36). Artinya, kemurahan hati bukanlah dari diri kita sendiri tetapi kita terima dari Tuhan dan kita teruskan kepada orang lain.

Thursday, October 23, 2008

HATI-HATI DENGAN 'KESUKSESAN'


Seringkali orang kehilangan akal sehat ketika keinginan begitu membara di dada. Baru kemudian, sesudah nasi terlanjur menjadi bubur, muncullah perasaan tidak aman. Takut reputasi terpuruk jika perbuatan buruk tersingkap. Kita bisa belajar dari kasus Daud. Ia bekerja sebagai gembala sebelum menjadi raja. Melalui 2 Samuel 11 kita bisa tahu bahwa Daud sudah berada pada puncak ‘karir’. Sekarang hidupnya sukses. Ia juga terkenal. Ia tidak maju lagi berperang. Ia cukup memerintahkan para jenderalnya dan pasukannya maju berperang. Ia pun banyak waktu luang. Dalam ayat 1-2 dikatakan bahwa ia berjalan berkeliling istana dan saat itulah ia melihat Batsyeba dan akhirnya membawa dia jatuh ke dalam dosa. Ia jatuh ke dalam dosa sesudah ‘sukses’. (Hati-hatilah dengan kesuksesan dan kekuasaan duniawi! Dan tidak ada salahnya juga hati-hati terhadap orang yang sukses dan punya kuasa).

Ketika dosanya mulai tersingkap (karena Batsyeba mengandung), Daud mulai merasa tidak aman. Dosanya akan merusak reputasinya sebagai orang terhormat. Ia pun berusaha memoles diri dengan menutupinya melalui strategi yang terbilang amat ‘rapi’ walaupun amat rapuh.

Strategi 1
Uria disuruh pulang dari medan perang (ayat 6-11). Mengapa? Daud mau menciptakan kesan kepada orang bahwa kehamilan Batsyeba adalah hasil hubungannya dengan suaminya, Uria. Tetapi, Uria tidak pulang ke rumah, ia tinggal di istana. Mungkin ia merasa tugasnya lebih penting daripada urusan keluarga. Strategi pertama gagal.

Stategi 2
Daud membuat Uria mabuk dengan harapan, ia akan pulang menemui istrinya. Uria tidak pergi juga kepada istrinya (ayat 12-13). Strategi kedua gagal juga.

Strategi 3
Daud memasuki strategi kekejaman. Ia menyuruh Uria kembali ke medan perang dan berpesan agar ia ditempatkan pada barisan terdepan. Uria pun terbunuh. Daud merasa senang, tetapi Allah tidak senang. Sebab, perbuatan Daud jahat di mata Tuhan (ayat 27). Untuk sementara Daud merasa ‘aman’. Rasa aman yang semu. Ia dapat memoles dirinya seolah tidak bersalah apa-apa.

Rasa aman semu ini tidak bertahan lama. Tuhan mengutus nabi Natan menegur Daud. Tugas nabi Natan ini bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, raja punya kuasa dan dapat dengan mudah membunuh Natan. Natan menyampaikan cerita tentang perlakuan tidak adil seorang kaya terhadap si miskin (2 Sam 12: 2-4). Mendengar itu Daud sangat marah dan berkata, “Demi Tuhan yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati” (ayat 5). Kemudian, Natan berkata kepada Daud, “Engkaulah orang itu!”

Kita bisa bayangkan bagaimana Daud mendengar perkataan Natan itu. Mungkin rasanya seperti disambar petir. Dugaan Daud, apa yang dikatakan Natan adalah fakta yang terjadi di lingkungan kerajaannya, sehingga ia mengatakan bahwa pelakunya harus dibunuh. Hukuman kepada orang lain boleh berjalan, kesalahan sendiri boleh ditutupi! Ternyata, pelakunya adalah Daud sendiri. Tetapi akhirnya Daud mengaku, “Aku sudah berdosa kepada Tuhan.” (12:13). Ini adalah pengakuan yang bisa saja berat tetapi ia adalah bagaikan obat. Rasa aman yang sempurna hanya dapat kita peroleh dari kebaikan dan pengampunan Tuhan.

Mungkin ada pertanyaan yang mengemuka, “Bukankah Batsyeba juga bersalah? Mengapa ia tidak menjaga diri ketika mandi supaya tidak dilihat orang lain? Mengapa ia mau memenuhi keinginan Daud? Hal-hal senada sering muncul selama ini secara khusus untuk mengalihkan persoalan atau sedikitnya mengurangi rasa bersalah para pemerkosa. Memang perempuan juga perlu menjaga diri supapa tidak menimbulkan pencobaan kepada laki-laki.Tetapi, dalam kasus Daud, inti masalahnya adalah penyalahgunaan kekuasaan. Daud harus bertanggungjawab atas dosanya. Dan ternyata, Daud sendiri tidak melempar kesalahan. Ia sadar atas dosanya.

Ketika kita jatuh ke dalam dosa, yang bentuknya bisa saja beragam mulai dari yang amat halus seperti kecemburuan dan iri hati, hingga yang amat kentara seperti pembalasan dendam dan sebagainya, kita mesti mengatasinya dengan sikap kristiani. Ketika kita terjatuh memperlakukan orang secara tidak adil dalam pikiran, kata dan perbuatan, kita tidak akan merasa aman jika kita terus berusaha dengan strategi-strategi licik untuk menutupi kelemahan kita bahkan hingga mengorbankan orang lain. Ketika kita jatuh, Tuhan terbuka menerima kita kembali jika kita dengan tulus mengaku dosa dan pengampunan Tuhan mendorong serta menguatkan kita untuk hidup lebih berkenan kepada-Nya.

Monday, October 20, 2008

NATAL: KEMBALI KE MAKNA AWAL


Domba-domba lebih memahami peristiwa Natal pertama ketimbang para imam di Yerusalem. Hal yang sama juga terjadi sekarang.
(Thomas Merton)
********************
Perayaan Natal membakar semangat konsumerisme. Jajaran produksi dan pusat-pusat perbelanjaan sedang menanti tibanya saat Natal. Mereka berusaha menjual lebih banyak dan meraup untung lebih banyak pada Natal tahun ini dibanding tahun lalu. Natal menyuburkan konsumerisme dan konsumersime mengakibatkan pemanasan global

DI MANA KITA BERADA?

Perayaan natal di Indonesia barangkali memiliki kekhususan dibandingkan dengan yang terjadi di negara lain di dunia ini. Misalnya, natal sudah dirayakan sejak awal bulan Desember yang sebenarnya masih masa minggu-minggu Advent. Bagi orang Kristen Batak, mungkin banyak di antara mereka yang mengikuti ibadah natal lebih dari sepuluh kali mulai natal kumpulan marga, kantor atau lingkungan kerja, lingkungan domisili, dan di gereja mulai natal anak-anak sekolah Minggu sampai perayaan natal tanggal 26 Desember. Karena banyaknya, bahkan ada yang merayakannya pagi atau siang hari. Di sini nyanyian ‘malam kudus’ atau dalam bahasa Batak Sonang ni bornginna i juga dinyanyikan sambil mematikan lampu dan menyalakan lilin tetapi tetap terang benderang karena di siang bolong.

Di samping itu, tidak rahasia lagi bahwa bagi sebagian orang perayaan natal tidak bisa dipisahkan dengan menu istimewa. Itu sebabnya ada yang meplesetkannya dalam bahasa Batak, yang inti dalam natal adalah sukacita karena tubu Tuhanta (kelahiran Tuhan) menjadi tu butuhanta (urusan perut). Bagi sebagian orang, Natal tidak lengkap tanpa binda (potong-memotong ternak secara bersama). Kenyataan-kenyataan demikian dapat mengakibatkan perayaan natal hanya menyisakan sedikitnya empat hal yang tidak perlu, yakni:

(1) Sampah, baik sisa dan bungkus makanan maupun bahan dekorasi. Sisa-sisa ini menambah pekerjaan petugas kebersihan kota dan (terutama) menambah kehancuran alam semesta.

(2) Penyakit. Sebab, sejak masa latihan dan perayaan yang begitu banyak diikuti bisa membuat tubuh menjadi lelah, masuk angin (apalagi karena Desember umumnya musim hujan), dan kelebihan kolestrol. Belum lagi, bagi sebagian ibu-ibu yang karena lama menunggu di salon terpaksa malam harinya tidur telungkup supaya riasan rambutnya tidak rusak dan bisa dipakai untuk perayaan natal yang lain besok harinya. Maklumlah, di samping agak mahal biayanya juga terlalu lama menunggu di salon. Kalau tiga malam telungkup, apa tidak menyebabkan penyakit? Ada pula kaum perempuan yang mengubah rambutnya. Yang keriting diluruskan alias direbonding (untuk itu butuh lima jam). Yang rambutnya lurus dikeritingkan. Yang ubanan dicat atau disemir hitam. Yang hitam diubah menjadi warna abu-abu atau merah jambu bahkan ada juga yang berbelang-belang. Agak repot memang.

(3) Hutang.

Baik hutang Panitia yang mungkin tidak berhasil mengumpulkan dana yang dibutuhkan, maupun hutang keluarga-keluarga karena pengeluarannya yang membengkak. Saya mengamati bahwa Dinas Pegadaian di beberapa tempat lebih ramai dikunjungi orang pada bulan Desember. Banyak orang menggadaikan barang-barangnya untuk biaya yang berkaitan dengan perayaan natal. Sebenarnya tidak ada hubungan perayaan natal dengan kursi atau gordin jendela baru. Tetapi bagi sebagian orang, saat natal merupakan waktu untuk membeli semua itu. Tidak salah memang, asal jangan sampai orang Kristen kehilangan sukacita dan damai pada saat perayaan ini, hanya karena faktor-faktor lahiriah.

(4) Perselisihan.

Mengapa? Orang yang lelah biasanya gampang tersinggung dan marah. Perselisihan bisa terjadi di dalam tubuh kepanitiaan Natal, di tengah keluarga dan lain-lain. Amat menyedihkan jika hal-hal inilah yang tersisa, sehingga inti natal sebagai’ sukacita dan damai sejahtera’ menjadi sirna. Agar perayaan natal yang kita lakukan sungguh-sungguh menjadi kemuliaan Tuhan dan sukacita serta damai sejahtera bagi kita, kita perlu berpaling sejenak pada sejarah natal, bagaimana perayaan gerejawi seharusnya dilakukan, dan bagaimana merayakan natal yang bermakna.

SEJARAH PERAYAAN NATAL

1. Tradisi Timur

Perayaan natal pertama dirayakan di Mesir (abad ke-3) dan menyusul di Galilea (tahun 360). Keduanya merayakannya pada tanggal 6 Januari. Ketika itu, pada tanggal yang sama masyarakat sekitar merayakan hari lahir Aion, dewa Yunani yang mewakili ‘waktu yang kekal’. Penekanan makna natal ketika itu ialah “kelahiran yang kekal dari Logos (Bahasa Yunani yang artinya "Firman yang menjadi manusia"). Kemudian, menyusul lagi dirayakan di Konstantinopel (379), Antiokia (386), dan Yerusalem (abad ke-6 atau ke-7). Penekanan perayaan natal pada waktu itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba. Jadi, 'kesederhanaan' sangat penting dalam hal ini.

2. Tradisi Barat

Di Barat, Natal pertama sekali dirayakan di Roma (akhir abad ke-4), yang dirayakan pada 25 Desember. Pada waktu yang sama juga ada perayaan non-kristen yaitu Pesta Sol Invictus, perayaan kelahiran ‘Dewa matahari yang tidak terkalah-kan’. Penekanan perayaan Natal ketika itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba. Menghubungkannya dengan 'kandang domba' seperti tradisi Timur juga menekankan unsur 'kesederhanaan'.

MAKNA AWAL PERAYAAN NATAL

Pada awalnya, perayaan natal dirayakan sedikitnya berkaitan dengan tiga hal penting sebagai berikut.

(1) Sarana Kesaksian

Seperti sudah disinggung, pada mulanya perayaan natal berlangsung bersamaan waktunya dengan perayaan non-Kristen Dengan demikian perayaan natal berperan sebagai sarana kesaksian kepada dunia tentang kebenaran sejarah kelahiran Yesus Kristus ke dunia ini, sekaligus mengajak mereka yang belum percaya dalam persekutuan Kristen. Sebab, Yesus yang lahir itu adalah Juruselamat dunia.

(2) Peristiwa Liturgis

Perayaan natal tersebut menekankan peranan ibadah dan penghayatan pentingnya kedatangan Tuhan. Hal ini mengacu pada suasana seperti dalam Injil Lukas: (1) dunia dengan egoismenya; (2) Kesederhanaan kandang domba; (3) Gerak hidup yang dipimpin oleh terang cahaya bintang, yang menekankan pimpinan Tuhan dalam kehidupan.

(3) Sarana Penggembalaan

Perayaan natal dimaksudkan agar warga jemaat tidak campur atau terlibat dalam perayaan yang dilaksanakan oleh orang-orang non-Kristen. Orang Kristen merayakan suatu peristiwa yang jauh lebih besar dari perayaan-perayaan non-Kristen. Mereka merayakan natal di gereja. (Ironisnya, sekarang ini yang lebih merayakan Natal justru 'pasar' atau yang berkaitan dengan bisnis.)

PERAYAAN NATAL YANG BERMAKNA

Menurut Konfesi Augsburg (pengakuan Iman Lutheran), pasal XV, perayaan gerejawi yang dapat dipelihara adalah: · Yang dapat dilaksanakan tanpa berdosa · Yang menciptakan damai dan ketertiban dalam gereja · Bukan alat demi keselamatan · Bukan mengambil hati Allah untuk memperoleh anugerah Bertolak dari makna natal sebagaimana dalam awal sejarahnya dan makna perayaan gerejawi (termasuk perayaan natal) sebagaimana disebut dalam Konfesi Augsburg tadi, berikut ini ada beberapa hal yang menurut hemat saya perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian kita, yakni:

1. Hendaknyalah perayaan natal dilakukan sejak 24 Desember dan bisa dilanjutkan hingga minggu pertama Januari. Jika perayaan dilakukan sebelum natal, alangkah baiknya kalau yang dirayakan adalah ‘perayaan penyambutan natal’ atau perayaan ‘Advent’.

2. Yang menjadi penekanan adalah ibadah, perenunungan, kesederhanaan dan aksi konkret, tidak terutama kemeriahan fisik dan ‘pesta makan’. Secara khusus jemaat-jemaat yang menerima berkat lebih banyak, perayaan natal inilah kesempatan membantu saudara-saudara kita yang berkekurangan. Pengeluaran perayaan natal ribuan dollar atau jutaan rupiah hanya untuk diri sendiri (makan, hadiah, dekorasi dsb) sudah menyimpang dari hakekat perayaan natal. Kita perlu mendidik anak-anak untuk ‘memberi’ pada masa natal, bukan hanya menerima hadiah-hadiah.

3. Acara perayaan hendaknya disusun sedemikian rupa, bukan menjadi ajang pamer diri tetapi mengajak semua peserta ibadah merenungkaan makna natal. Tidak terlalu panjang atau bertele-tele, sehingga tidak ada lagi perhatian yang tersisa untuk mendengarkan kotbah atau pemberitaan firman.

4. Toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan di beberapa kota di dunia sudah sibuk dengan berbagai 'simbol-simbolnya' sendiri untuk menarik minat konsumer. Mereka seolah satu bahasa mengatakan "inilah jalan menuju kebahagiaan masa natal: beli....beli.....beli...." . Lebih baik mendekorasi hati kita (dengan kegembiraan, bebas polusi amarah dan kebencian); sinarnya akan lebih menerangi ketimbang ribuan watt lampu natal. Ciuman di kening suami/ istri dan anak-anak dengan ucapan tulus: 'aku sangat mengasihimu' lebih bermakna ketimbang 'hadiah-hadiah natal' semahal apa pun. Karena, sesungguhnya KASIH Allah itulah yang kita rayakan.

5. Kelahiran Yesus adalah dalam rangka ‘Imanuel’ (Allah beserta kita) dan demi damai sejahtera. Karenanya, perayaan natal kiranya menolong kita semua menghayati kasihNya yang begitu besar dan kita sungguh-sungguh memiliki ‘damai sejahtera’ jauh dari ketegangan apalagi perselisihan pada masa-masa perayaan Natal dan selama hidup kita.

6. Khusus untuk tahun 2008 ini hendaknya gereja-gereja mengacu pada Tema Natal Bersama KWI dan PGI 2008 yakni: “Hiduplah Dalam Perdamaian dengan Semua Orang" (Bdk. Roma 12:18). Meski tema ini dimaksudkan mengarah pada pengembangan sikap inklusif dan antikekerasan khususnya dalam menghadapi Pemilu 2009, orang-orang Kristen Indonesia dapat menghubungkannya secara khusus dalam kehidupan bergereja.

Saturday, October 18, 2008

BERKAT, MUJIZAT DAN RAHMAT

Refleksi 44 Tahun Victor Tinambunan
Menurut informasi yang saya terima, saya lahir 44 tahun yang lalu, persisnya pada hari Minggu tanggal 18 Oktober 1964. Saya tidak tahu perisnya bagaimana dan kapan saya lahir. Maklum, saya belum ‘berpikir’ pada saat itu. Ada pula yang mengatakan saya lahir tanggal 18 Nopember 1964 seperti tertera pada semua dokumen-dokumen resmi seperti Ijazah, KTP, dan Paspor. Tetapi saya lebih percaya pada ibu saya yang mengatakan kelahiran saya 18 Oktober. Waktu itu memang tanggal lahir tidak terlalu penting di desa kelahiran saya, yang lebih penting adalah anak yang lahir itu. Belakangan saya tahu, ayah saya mengubahnya menjadi tanggal 18 Nopember sebagai ‘tempat persembunyiannya’. Maksudnya? Ayah saya bekerja sebagai guru agama di Sibolga ketika saya lahir. Dia permisi pulang (yang waktu itu membutuhkan perjalanan panjang) dengan alasan untuk berada bersama keluarga menanti kelahiran saya. Setelah saya lahir, mestinya dia harus kembali ke Sibolga. Tetapi, dia masih memperpanjang liburnya lebih dari satu bulan lagi. Dengan melaporkan kelahiran saya 18 Nopember, keterlambatannya masuk kerja dapat dimaklumi. Jadi, proses pergantian tanggal lahir ini bukan masuk dalam rangkaian mujizat, tetapi sebuat siasat, yang menurut saya sebuah kesalahan. Tapi, tidak ada gunanya lagi membahasnya, ayah saya sudah pensiun dan tidak akan pernah berbohong lagi dalam hal yang sama karena ibu saya sudah 68 tahun dan menurut perhitungan manusia tidak akan melahirkan anak lagi.

Saya percaya bahwa kelahiran dan kehadiran seseorang ke dunia ini, bukanlah secara kebetulan. Allah pasti mempunyai rencana yang baik bagi anak-anakNya. Tempat dan keadaan kelahiran kita berbeda-beda. Pola asuh kita berbeda. Pengalaman hidup kita berbeda. Tetapi ada satu hal yang sama: kita menerima kehidupan dari Tuhan sang Pemberi kehidupan.

Untuk menggambarkan perjalanan hidup saya, ketiga kata 'berkat', ‘mujizat’ dan ‘rahamat’ menggambarkan semuanya.

1. Tenaga Kerja Bayi

Ketika saya masih dalam kandungan, saya sudah bekerja di sawah. Memang tidak memegang cangkul, tetapi saya ikut terjun ke sawah. Saya berada di rahim ibu saya ketika dia bekerja di sawah saat saya dalam kandungannya. Ibu saya juga berkisah, ia amat bergumul karena beratnya kehidupan yang ia hadapi. Ia terpisah dengan ayah saya. Ia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Apakah ia pernah ke bidan memeriksa kandungannya? Sama sekali tidak. Ia hanya menunggu belas kasihan Tuhan. Apakah ia melahirkan dengan bantuan perawat atau bidan? Sama sekali tidak. Saya lahir di balik pintu rumah. Ini adalah mujizat.

2. Gizi Kelinci

Masih di kandungan saja sudah bekerja, apalagi sesudah bisa berjalan. Saya sangat cepat ‘dijadikan dewasa’. Usia 6 tahun sudah harus ikut bekerja di ladang, untuk menjaga padi agar tidak dilahap burung pipit. Bagaimana dengan giji? Menurut teori ahli gizi sekarang, yang saya konsumsi tidak layaknya manusia. Menu sudah dibakukan: pagi dengan singkong, nasi, ikan asin; siang: singkong, daun singkong, ikan asin dan nasi, malam ikan asin, nasi dan singkong dan daunnya. Kekecualian makan daging ayam dalam dua kemungkinan (1) Kalau ada anggota keluarga yang sakit; (2) Kalau ayam itu sendiri yang sakit, sayang dibuang. Bagaimana bisa bertahan hidup dengan pola makan seperti itu? Itu adalah ‘mujizat’ juga.

3. Kekerasan Berlapis

Ayah saya seorang yang memiliki temperamen yang cepat memanas. Ia tidak saja keras, tetapi terkadang kasar dan bahkan ada kalanya kejam kepada anak-anaknya, baik melalui kata-kata maupun dengan pukulan telaknya. Ia tidak sungkan memukul dengan begitu keras anaknya yang masih kecil, termasuk saya sendiri. Padahal, ia sangat tekun berdoa dan membaca Alkitab. Setiap malam kami berdoa sebelum makan dan berdoa, bernyanyi dan membaca Alkitab setiap malam. Lama sekali perbuatannya membekas dalam hati saya. Baru empat tahun lalu saya memutus rantai kebencian saya kepadanya dan syukur kepada Tuhan hubungan kami jauh lebih hangat saat ini. Mengapa ayah saya kasar dan terkadang melampaui batas memukul anaknya padahal ia rajin berdoa dan membaca Alkitab? Sekiranya ia tidak rajin berdoa dan membaca Alkitab, mungkin saja dia kalap dan membunuh saya waktu kecil. Berpikir seperti ini lebih tepat dan menyembuhkan. Lagi pula, ayah saya memiliki banyak kebaikan. Fokus pada kebaikan Tuhan melalui hidupnya dan bukan pada kekurangannya merupakan sikap kristiani yang selayaknya.

Di samping kekerasan di dalam keluarga, beberapa kali saya kurang beruntung dari sebagian guru saya mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Hari pertama saya di kelas satu SD, guru memukul kening saya (akhirnya saya berhenti sekolah dan baru melanjutkannya satu tahun kemudian, sesudah berusia 7 tahun). Di kelas 1 SMP guru biologi dengan keras membenturkan kepala saya ke papan tulis karena saya mengetik sendiri lembaran kerja, tidak membeli dari guru ybs. Di SMA guru fisika dengan keras menendang saya dari belakang karena saya memijak tanaman.

Yang lebih mengherankan, di gereja juga saya pernah dilibas oleh dirijen koor. Rumah, sekolah, gereja menjadi arena kekerasan. Itulah yang terjadi jika yang terpenting dalam koor adalah performance (penampilan), menarik perhatian orang bukan terutama pujian untuk Tuhan. Apalah artinya koor mengguncang panggung dan mengundang terpuk tangan riuh tetapi mengerdilkan iman?

Membaca kisah-kisah penjahat yang meringkuk di penjara-penjara Barat, hampir semuanya mereka adalah orang-orang yang mendapat tindak kekerasan di tengah keluarga. Kalau fakta ini dapat menjadi patokan, saya sebenarnya lebih berpotensi menjadi penjahat ulung. Sebab, saya tidak saja menerima kekerasan di rumah tetapi juga di sekolah dan –celakanya—di gereja pula. Tapi inilah saya, dengan segala keberadaan yang disertai keterbatasan dan kelemahan, walaupun agaknya tidak masuk dalam kategori penjahat ulung. Saya tidak melihat keadaan saya sekarang sebagai prestasi saya, tetapi kembali ke ‘mujizat’ yang datangnya dari Tuhan.

4. Tangan Tuhan

Sedikitnya ada tiga peristiwa yang secara khusus mengingatkan saya akan pertolongan Tuhan yang datang tepat waktu melepaskan saya dari maut. Pertama, saya pernah hampir hanyut terbawa arus sungai besar, yang dalam hitungan detik sudah mendekati air terjun. Seorang teman berhasil meraih tangan saya dan selamat. Sampai hari ini, saya tidak mengetahui di mana teman saya ini berada. Dia adalah tangan Tuhan menyelamatkan saya. Kedua, saya pernah mengalami kecelakaan lalulintas. Kabaikan hati supir dan kernet bus yang kebetulan lewatlah yang membawa saya ke rumah sakit. Sampai hari ini saya tidak pernah tahu siapa mereka yang menolong saya. Mereka adalah tangan Tuhan menyelamatkan saya. Ketiga, sudah selama 38 tahun saya lebih lama tidak fit secara fisik. Ketika berusia 6 tahun saya pernah jatuh dan bagian belakang saya membentur pada sebatang kayu. Tidak jelas, apakah rasa sakit yang saya tanggung berawal dari situ, tetapi hingga hari ini saya lebih lama menanggung rasa sakit. Tetapi, saya lebih fokus pada Tuhan dan apa yang bisa saya lakukan dalam hidup ini, sehingga meskipun rasa sakit ada, saya tidak menderita.

5. Pelayanan

Setelah menyelesaikan studi teologi 1989, saya menjalani masa vicar selama dua tahun (di Kantor Pusat HKBP Tarutung, di Kantor HKBP Distrik Medn Aceh dan di HKBP Ressort Sei Agul Medan). 26 Desember 1991 saya menerima tahbisan pendeta. Bukan karena saya layak, tetapi karena dilayakkan. Di sini rahmat Tuhanlah berkerja bukan karena talenta dan bakat saya hebat. Saya diutus melayani sebagai Pendeta HKBP Ressort Sihorbo (1992-1994). Kemudian melanjutkan studi di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta (1994-1996), The Lutheran Theological College at Philadelphia, USA (1996-1998). Tahun 1999-2001 menjadi dosen di STT HKBP Pematangsiantar. Selanjutnya menjadi dosen di STT BNKP Gunungsitoli atas kerjasama HKBP, VEM dan BNKP (2001-2005). Bulan Juni 2005 kembali menjadi dosen STT HKBP dan sejak 2006 mengikuti studi lanjut sampai sekarang.

Pilihan pada beberapa serpihan kepahitan dalam perjalanan hidup ini sengaja diangkat untuk mengkontraskannya dengan kebesaran dan pemeliharaan Tuhan:

Kehidupan ini adalah BERKAT dari Tuhan,
Peristiwa-peristiwa keseharian adalah MUJIZAT yang dikerjakan oleh Tuhan
Kesalahan, dosa dan ketidaklayakan dihapus oleh RAHMAT Tuhan.
.
Ijinkanlah saya menawarkan yang ini kepada Anda: jika Anda merasa kehidupan Anda berat, jangan tawar hati. Lihat dan rasakan tangan pemeliharaan Tuhan. Fokus pada Tuhan bukan pada beban hidup! Jika kehidupan Anda serba enak, jangan takabur dan lupa diri tetapi bersykurlah sambil memberi yang terbaik untuk Tuhan melalui pertolongan nyata kepada sesama.

Tuhan, terima kasih karana Engkau menciptakaan saya ke dunia ini. Saya percaya, segala rencanaMu indah dan baik. Kiranya hambaMu ini berjalan dalam rencanaMu dan pimpinanMu yang indah dan baik itu sebagai garam dan terang dunia, demi kemuliaanMu dan syalom bagi dunia. Amin.

Thursday, October 16, 2008

KETIKA ANDA DISALAH-MENGERTI


Pernahkan Anda disalahmenegerti? Jika ya, Anda adalah manusia 'normal'. Anda sebenarnya bermaksud 'ini' tetapi orang lain menangkapnya 'itu'. Keadaan bisa bertambah rumit ketika seseorang itu langsung bereaksi berdasarkan kesimpulannya yang keliru. Keadaan semakin rumit lagi ketika Anda berusaha mengklarifikasi tetapi malah semakin membawa Anda mendekati frustrasi.

Bagaimana rasanya disalahmengerti? Tergantung pada keadaan dan karakter kita. Yang jelas, disalahmengerti bukanlah perasaan yang menyenangkan. Kesalahpengertian bisa menguras tenaga, mengganggu tidur dan menghambat kreativitas, hingga memicu perselisihan. Karena itu, kita perlu mengetahui penyebabnya dan berusaha mengindarinya.

Penyebab

Di antara sekian kemungkinan penyebab kesalahpengertian, di sini dapat disebut tiga penyebab. Pertama, kesalahan pada si komunikator (pemberi pesan). Si komunikator salah mengirim ‘sinyal’. Niat hatinya baik, tetapi penyampaiannya kurang tepat. Si pemberi pesan mungkin tidak sepenuhnya memeperhatikan suasana dan cara penyampaian pesan.

Kedua, kesalahan si penerima pesan. Si penerima pesan menafsirkan pesan terutama berdasarkan suasana hatinya. Ia tidak berusaha memahami isi pesan berdasarkan sudut pandang si komunikator. Misalnya, ada orang yang menulis SMS atau email sangat singkat. Ada pula yang menuliskannya agak panjang disertai ungkapan salam, apresiasi, dan pesan yang lebih rinci. Bisa saja yang terbiasa dengan cara yang terakhir ini menganggap orang yang menulis SMS dan email yang singkat sebagai sesuatu yang kurang sopan. Padahal, si pengirim SMS dan email hanyalah mempertimbanagkan efisiensi waktu.

Ketiga, masalah media atau pembawa pesan. Informasi mengalami distorsi atau gangguan pada media atau pembawa pesan. Bayangkan Anda berada dalam kelompok beranggotakan duabelas orang. Bisikkan satu kalimat kepada satu orang dan ia membisikkannya kepada yang lain. Demikian seterusnya hingga pesan itu sampai kepada orang yang terakhir. Lihatlah hasilnya: orang yang ke-12 yang mendengar pesan itu bisa saja sudah mengatakan yang amat berbeda dari kalimat pertama atau aslinya. Pada awalnya kalimat yang disampaikan adalah: Saya dan istri saya pergi mengunjungi keluarga yang bertengkar. Di ujung sana, orang yang ke-12 menangkap pesan: Saya dan istri bertengkar, ia pergi ke keluarganya. Sekiranya diteruskan, maka orang yang kelimapuluh akan menangkap pesan "Keluarga istri saya yang bikin gara-gara sehingga saya dan istri selalu bertengkar."

Menyikapi salah pengertian

Yang paling penting adalah: periksa hubungan Anda. Jika hubungan Anda baik, tentu akan lebih mudah menjernihkannya. Anda tidak punya kendala untuk menemuinya dan tidak ada beban apa-apa untuk mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Dengan santai Anda dapat mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Saling pengertian amat mudah tercipta dalam keadaan seperti ini.

Berbeda dengan keadaan di mana hubungan Anda dengan seseorang itu kurang baik. Dalam keadaan seperti ini, biasanya penjelasan lebih lanjut tidak akan menolong banyak, malah bisa mengeruhkan suasana. Yang penting dalam situasi seperti ini bukan terutama klarifikasi isi pesan, tetapi mengusahakan rekonsiliasi. Hanya ketika hubungan Anda dengan yang salah mengerti terhadap Anda lebih baik, klarifikasi informasi dapat bermanfaat. Dalam keadaan seperti ini, ketika Anda disalahmengerti tenangkan diri Anda. Jangan terburu-buru balik bereaksi. Usahakanlah rekonsiliasi dengan mengambil prakarsa memulainya.

Di dalam semuanya itu, kita perlu senantiasa memohon pimpinan Tuhan dalam menyampaikan sesuatu agar terhindar dari kesalahan memberi pesan dan memohon pimpinan Tuhan bagimana bersikap bijaksana menyelesaikan masalah kesalahpengertian. Tuhan Yesus pun disalahmengerti banyak dari dulu hingga hari ini, tetapi Ia mengasihi semua dan setiap orang --termasuk yang salah mengerti akan Dia.

Saturday, October 11, 2008

LUTHERAN THEOLOGICAL STUDENTS IN SINGAPORE

From left: Victor Tinambunan (Indonesia), Paul Munthe (Indonesia), Bishop The Rt Rev John Tan, Rev. Lu Guan Hoe (LCS), Jimmy (Singapore), Fu Kiong (Singapore), Jennie (ELCA-USA)

It was a wonderful fellowship and unforgettable memory for some of the Lutheran Theological Students who gathering at the Head office of The Lutheran Church in Singapore on Saturday, 11 October 2008. We were so impressed with the hospitality of the LCS Bishop, The Rt Rev John Tan, and The Rev. Lu Guan Hoe (Chairman Education Committee-Lutheran Church in Singapore). The fellowship opened with Bible reading from Psalm, sing some songs followed by a word of prayer by Mr Jimmy, a MMin TTC student. Rev Hoe gave opportunity for Lutheran students to introduce themselves and to share their stories, struggling, hopes as well as their witnesses. The Rt Rev John Tan shared his ministry experiences and told a brief history of Lutheran Church in Singapore.
.
The meeting was followed by a very wonderful lunch in a restaurant with very delicious foods. Most of the foods were the first time I ever eat.

As a theological student, I would like to recommend for each of us to read an insightful book edited by Philip Duce and Daniel Strange, Keeping Your Balance. Approaching theological and religious studies (TTC Library catalog no: BV 4022.K44). I promise you, this excellent book will change your way in dealing with your studies. Find the book here http://ivpbooks.com/9780851114828 and if it is possible please order one for me:-)



ShoutMix chat widget