Thursday, August 16, 2007

MEMAKNAI PERJUMPAAN DENGAN TUHAN


Dalam pengalaman keseharian kita, sedikitnya ada tiga suasana perjumpaan yang berbeda.

1. Perjumpaan yang ‘berkobar-kobar’ atau yang dipenuhi oleh kegembiraan.

Bayangkan bagaimana suasana ketika seorang ibu di Bonapasogit bertemu putri yang dikasihinya yang bekerja di Singapura dan sudah beberapa tahun tidak bertemu. Di situ ada kegembiraan yang meluap-luap, bukan? Meskipun air mata berderai, ia adalah air mata kegembiraan. ‘Ngobrol’ sampai jam tiga pagi tidak terasa.

2. Perjumpaan yang ‘suam-suam kuku’ atau malah dingin.

Ada banyak orang yang sudah bertetangga puluhan tahun tetapi tidak saling mengenal dan tidak terlalu sering saling menyapa. Mungkin sesekali mereka saling melempar senyum ketika berpapasan di lift (malah ada yang sama sekali tidak saling menyapa). Memang mereka tidak saling mengganggu atau bermusuhan, tetapi mereka juga tidak terlalu peduli satu sama lain. Pada zaman ini, ada yang punya begitu banyak kenalan, tetapi memiliki hanya sedikit sahabat. Malah, yang lebih parah, kenalan pun tidak punya.

3. Perjumpaan yang menghancurkan.

Ini bisa terjadi dalam lingkungan yang saling mengenal dan tidak mengenal. Ia bahkan bisa terjadi dalam sebuah persekutuan gerejawi. Setiap kali ada pertemuan, ada saja orang yang selalu saling menyindir, perang urat saraf, perang mulut bahkan, ironinya, hingga saling memukul.

Orang-orang Batak yang pernah duduk di Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) mungkin masih mengingat sebuah cerita dalam buku bacaan sekolah yang berjudul “Hambing Na Tangkang” (Kambing yang jahat). Ada sebuah jembatan kecil dan dua kambing bertemu di tengahnya. Mereka tidak bisa saling berpapasan karena jembatannya sempit. Tidak ada satupun di antara keduanya yang mau mengalah dan mundur. Akhirnya mereka beradu tabrak dan saling tanduk di tengah jembatan itu. Apa yang terjadi? Ooooh betapa malangnya mereka. Keduanya jatuh ke sungai dan tewas ‘tanpa tanda jasa’. Perjumpaan yang menghancurkan, bukan? Kambing buntung, ikan sungai beruntung.

Bagaimana perjumpaan kita dengan Tuhan? Dari pihak Tuhan sendiri tidak ada masalah. Ia datang menjumpai kita dengan kasih. Yang perlu adalah sambutan kita. Apakah kita menyambutnya dengan kasih dan sukacita atau tidak peduli.

Dari pemberitaan Alkitab kita belajar, bahwa setiap orang yang berjumpa dengan Tuhan dan menyambut-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat, hati mereka berkobar-kobar dan mereka selalu bergerak memberitakannya kepada orang lain. Menyebut beberapa contoh:

- Perempuan Samaria dan orang banyak sebagaimana diberitakan dalam Yohanes 4 berjumpa dalam suasana kekaguman dan kegembiraan. Perempuan Samaria ini heran dan bergembira ketika Yesus mengenalnya dan menerima keberadaannya tanpa sebuah ancaman. Perempuan Samaria ini pergi memberitakannya kepada orang lain.


- Para perempuan yang berjumpa dengan Yesus pada peristiwa kebangkitan itu, mereka bergegas memberitakannya (Matius 28:1-10).

- Dua orang yang berjumpa dengan Yesus di jalan ke Emaus sesudah kebangkitan-Nya, hati mereka berkobar-kobar dan pergi memberitakannya (Lukas 24:13-35)

- Rasul Paulus berjumpa dengan Tuhan sebelum pertobatannya, ia bertobat dan bergerak terus melakukan kehendak Tuhan.

Ada satu kebenaran yang sangat perlu kita renungkan dan hidupi berdasarkan pengakuan orang banyak seperti Yoh 4:42 yang mengatakan: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.”

Orang banyak itu tidak mengabaikan peranan perempuan Samaria itu yang memberitakan Yesus kepada mereka. Tetapi, yang jauh lebih penting adalah perjumpaan mereka secara langsung kepada Yesus yang akhirnya membuat mereka mengaku, “Dialah benar-benar Juruselamat”.

Tidak menjadi soal dari siapa kita pertama kali mendengar tentang Yesus dan tidak menjadi soal bagaiamana awal perjumpaan kita dengan Tuhan. Mungkin awalnya melalui orangtua, teman, Penginjil, bacaan dan lain-lain. Mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan untuk menyapa kita –yang mengawali perjumpaan kita secara langsung dengan Tuhan.

Perlu ditegaskan disini bahwa peristiwa perjumpaan kita dengan Tuhan lebih merupakan sarana dan bukan tujuan. Perjumpaan kita dengan Tuhan mesti berlanjut dengan:

(1) Pengakuan iman percaya kita kepada-Nya, “Dialah juruselamat dunia”. Dia yang memelihara dan menyelamatkan dunia ini dan segala isinya sekarang hingga ke masa kehidupan yang kekal.

(2) Kita bersatu dengan-Nya sesuai dengan undangan-Nya kepada kita: “tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (Yoh. 15:4). Rasul Paulus juga berulangkali menggunakan kata en to Christo (Bahasa Yunani yang berarti: di dalam Kristus). Paulus hidup dan bekerja di dalam Tuhan dan ia menasihatkan orang-orang Kristen untuk mengikuti teladannya. “Hendaklah hidupmu tetap di dalam Tuhan” (Kolose 2:6).

(3) Melakukan kehendak-Nya. Jadinya, seluruh gerak hidup kita seirama dengan gerak Tuhan, sambil tetap siuman bahwa kita adalah pengikut Tuhan dan bukan tuhan kecil. “Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya….Barang siapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup seperti Kristus telah hidup” (1 Yoh. 2:6)

Dalam kaitan itu, sekiranya kita memiliki pengalaman khusus dalam hal perjumpaan dengan Tuhan, kita dapat saja mengenangnya sambil bergerak kepada yang lebih penting yakni: kita di dalam Tuhan (bersatu dengan Tuhan) dan melakukan kehendak-Nya. “Saya berjumpa dengan Tuhan dalam suatu KKR di Korea,” kata seseorang misalnya kepada teman-temannya. Sebelum mengungkapkan hal seperti ini, seseorang perlu terlebih dulu memeriksa niat hatinya. Apakah ‘kesaksian’ seperti ini menolong diri sendiri untuk bertumbuh dan meneguhkan sesama untuk mengikut Tuhan? Jangan sampai kata “berjumpa dengan Tuhan” yang sangat indah ini disalahgunakan sebagai ‘pengumuman’ bahwa ia pernah ke Korea. Akibatnya bisa lebih panjang dari yang kita bayangkan. Misalnya, ia beranggapan bahwa hanya di suatu tempat tertentu boleh berjumpa dengan Tuhan; ia akan berusaha kembali ke tempat itu, walaupun dengan harga yang mahal; orang lain bisa mengganggap bahwa ia tidak akan pernah bisa bertemu dengan Tuhan karena dia tidak mampu membiayai perjalanannya ke luar negeri.

Contoh lain, “Kami semua dipenuhi Roh Kudus, ketika kami berdoa bersama dengan menangis kepada Tuhan,” kata anggota-anggota kelompok doa misalnya. Mengenang peristiwa dimana seseorang meyakini dipenuhi Roh Kudus memang baik. Tetapi, menunjukkan bahwa seseorang dipenuhi oleh Roh Kudus melalui buah-buah Roh (Gal 5:22-23) jauh lebih baik ketimbang asyik menceritakan peristiwa kepenuhan Roh itu sendiri. Perjumpaan dengan Tuhan hanya bermakna jika disertai dengan buahnya.

Saya ingin mengakhirinya dengan nasihat indah dari James W. More sebagai berikut:[1]
(Katakan) aku adalah anak Allah. Allah bersama denganku. Aku adalah rekan sekerja Allah. Aku bekerja bersama dengan Allah dan untuk Allah, dan Ia bekerja melalui Aku. Pengakuan seperti itu akan:
Mengubah caramu bekerja
Mengubah caramu berbicara
Mengubah tekanan suaramu
Mengubah caramu berhubungan dengan yang lain.
Mengubah tingkat enerjimu
Mengubah penampilanmu
Mengubah perilakumu.
……….dan hidupmu akan lebih baik.

[1] James W. More, You can Get Bitter or Better, (Nashville: Dimension for Living, 2006).

Thursday, August 9, 2007

KEPUTUSAN TANPA KEPUTUSASAAN (1)

Membeli

Dari bangun pagi hingga istirahat malam kita harus mengambil aneka keputusan. Ada kalanya keputusan kita tidak membutuhkan terlalu banyak pertimbangan seperti apakah kita sarapan roti panggang atau mihun goreng. (Mohon diingat juga masih banyak yang tidak punya pilihan selain 'singkong'). Memang ada juga orang yang mempersulit pengambilan keputusan padahal sebenarnya masalahnya cukup sederhana. Misalnya, seseorang berdiri di depan lemari pakaian dan baru satu jam kemudian sesudah membolak-balik semua pakaiannya dapat memutuskan yang hendak dipakai. Orang seperti itu barangkali mengalami sedikit masalah kepribadian dan perlu ditolong. Mungkin ia sangat tergantung pada pikiran orang terhadapnya.

Keputusan apa yang paling sering kita buat? Mungkin bisa beragam. Satu di antara sekian banyak adalah keputusan dalam hal membeli sesuatu. Sebagian manusia hidup di tengah apa yang disebut dengan Triple C’s (Cash, Convenient, Consumerism), yang disuburkan oleh belanja on-line yang sedang nge-trend. Bagaimana memutuskan untuk membeli sesuatu? Tidak mudah. Dan, secara jujur saya tidak ahli dalam hal ini. Di antara sekian banyak hal yang perlu kita pertimbangkan saya hanya menawarkan beberapa hal sebagai berikut.

(1) Kebutuhan, bukan keinginan. Ini ada hubungannya dengan motivasi. Kalau bertolak dari ‘kebutuhan’ itu merupakan suara dari dalam –dari hati nurani. Jika ia keinginan, biasanya ia pengaruh dari luar. Mungkin karena ditawarkan di TV, internet, dipajang di mall, terlihat di rumah orang atau dipakai orang di angkutan umum. Saya pernah diberitahu, bahwa di pedalaman Nias pernah ada orang yang membeli kulkas sesudah melihat kehebatan kulkas itu dari rumah keluarga dekatnya di kota. Sayang sekali kulkas itu berubah menjadi lemari pakaian karena kampungnya belum tersambung dengan listrik. Saya juga menyaksikan begitu banyak rumah tepas beratap rumbia sepanjang jalan Sibolga menuju Padang Sidempuan dan di pedalaman Nias dilengkapi TV dengan antene parabola. Bahkan di sebuah Koran terbitan Medan pernah dimuat: Parabola yang ‘paro bala’. (antene parabola yang mendatangkan bala). Itulah yang terjadi ketika keinginan mengalahkan kebutuhan.

(2) Waspada terhadap ilah-ilah baru. Mungkin kita tidak menyembah allah lain, seperti roh nenek moyang atau bal seperti disebut di dalam Alkitab. Tetapi, ketika kita mendewakan merek tertentu dan mengabdikan seluruh hidup kita untuk mendapatkannya, sebenarnya kita sedang menyembah ilah baru.

(3) Kesaksian tanpa siksaan. Beli kalung emas? Itu tidak dosa. Malahan bisa menjadi kesaksian ketika simbol salib tergantung pada kalung emas. Yang perlu ialah jangan sampai emas gemuk tetapi badan remuk dan kurus kekurangan gizi. Lagi pula, janganlah perhiasan sampai terlalu mencolok atau terlalu menyilaukan yang bisa mengundang kata orang “seperti toko mas berjalan”.

(4) Jangan sampai menyita seluruh perhatian, meskipun secara ekonomi kita mampu. Ibu-bu mau sofa? Perlu kesiapan terhadap kemungkinan ternoda oleh anak-anak tamu yang datang. “Ah, tak pa-apa ‘bu, namanya saja anak-anak,” katanya kalau anak-anak main-main di sofanya. Padahal, selama satu jam non-stop hatinya berkata, “brengsek ini anak, tidak tahu harga sofa saya Rp. 55 juta”. Aduuuuuh, kapan tamu ini pulang?”

(5) Fungsi bukan gengsi. Terkadang ada produk yang sama dengan harga yang berbeda di tempat penjualan yang berbeda. Kemasan dengan nama toko atau mall tidak menentukan isi, karenanya yang penting dalah fungsi bukan gengsi. Dengan penghematan seperti itu kita bisa menolong orang lain yang sangat membutuhkan uluran tangan. (Catatan: membeli barang curian, meskipun harganya lebih murah, itu dosa).

(6) Membawa keteduhan bagi yang lain. Mari kita ambil soal pakaian. Ada orang yang terlalu menekankan ‘kebebasan’ dan ‘hak asasi’ untuk memutuskan memakai jenis dan model pakaian. Mungkin ada benarnya. Tetapi ‘yang benar’ juga perlu dipadukan dengan ‘yang baik’. Janganlah kiranya cara berpakaian kita menjadi batu sandungan bagi yang lain. Saya terkadang bingung, atau justru beberapa perempuan yang bingung tidak bisa membedakan mana pakaian renang dan mana pakaian kerja atau ke gereja. Terus terang, saya tidak menemukan model pakaian yang pas menurut Alkitab, tetapi Alkitab berbicara tentang kehidupan orang Kristen sebagai garam dan terang dunia, bukan sebaliknya digarami dan dipengaruhi oleh TV. Contoh lain: Umumnya kota-kota di manapun sudah bising dan terpolusi. Sedihnya, banyak orang yang mengganti knalpot sepeda motor atau mobilnya dengan suara yang sangat memekakkan telinga. Mungkin itu juga dianggap hak asasi. Tetapi mohon diingat juga bahwa adalah hak asasi orang yang lain untuk merasa nyaman dan teduh. Ketika mau memutuskan mengganti knalpot, sertakanlah suara dan harapan masyarakat luas. Lagi-lagi, jangan sampai keputusan kita menjadikan keputusasaan bagi yang lain.

(7) Menolong kita untuk tetap damai dan mewujudkan tugas panggilan kita: tidak menimbulkan kekuatiran dan ketakutan; tidak membuat kita terhalang melakukan pelayanan hanya karena terlalu terpikat dan terikat dengan apa yang kita miliki. Kualitas perjumpaan dengan sesama perlu tetap terpelihara.

(8) Hindari mentalitas just in case. Ada orang yang suka menumpuk barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Kemudian, ia mengeluarkan biaya lagi untuk memperbesar lemari atau gudang. Bisa saja ia makin putus asa untuk merawat barang-barangnya. Ini saatnya mencek barang-barang di rumah kita. Jika tidak terlalu kita butuhkan, berbahagialah kita yang dengan rela hati memberikannya kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Biarkan diri kita dan orang lain bebas. Kita bebas dari beban yang tidak perlu menyimpan dan merawat barang yang kita tidak butuhkan; orang lain bebas dari beban karena mereka dapat memiliki barang yang mereka butuhkan.

(9) Jangan kita biarkan hati kita rusak kalau barang yang kita beli rusak. Ada bahaya yang harus diwaspadai jika kita terlalu mencintai sesuatu barang, khususnya ketika ia rusak. Kita bisa saja tergoda untuk mengutuki penjual, mengutuki produser, mengutuki orang yang tidak sengaja membuatnya rusak. Kita menjadi kehilangan semuanya: barang kita dan kedamaian hati sekaligus. Dalam keadaan seperti itu ada orang yang mengambil keputusan baru untuk membeli yang baru, yang dianggap lebih baik dan lebih mahal. Kekuatiran akan kemungkinan rusaknya barang itu semakin kuat pula. Jadinya, hidup senantiasa diambang keputusasaan. Sebelum memutuskan untuk membeli, pikirkan bahwa apa yang kita beli mungkin saja rusak atau mungkin saja tidak seperti kehebatan saat dipromosikan.

(10) Bersahabat dengan alam ciptaan dan milik Tuhan. Kita sudah memasuki keadaan lingkungan hidup yang amat kritis, yang salah satu penyebabnya adalah gaya hidup sebagian orang yang hyper-consumerism. Setiap produk yang kita beli itu ditanggung oleh bumi ini. Memustuskan membeli tissue atau sapu tangan? Membeli tissue memang praktis tetapi bisa saja itu sebagai tindakan sadis. Sebab, kertas tissue akan menghabiskan lebih banyak pohon dan menambah jumlah limbah dan sampah. Sedapat mungkin kita menggunakan sedikit kertas tissue dan lebih sering menggunakan sapu tangan dan lap tangan kain.

Saya yakin masih banyak hal yang dapat kita katakan dalam hal ini (silahkan mencantumkannya dalam comment).

Yang sangat inti dalam pengambilan keputusan apa pun termasuk dalam hal ‘membeli’ adalah hati nurani yang terlatih –yang mampu mengenali mana kehendak Allah dan mana keinginan ego yang amat rewel itu. Karenanya, kita perlu selalu bertanya “ke dalam” –yaitu hati nurani yang didiami oleh Roh Tuhan. Hidup ini sebenarnya sederhana dan penuh kegembiraan. Ia menjadi sarat dengan ketegangan bahkan menuju keputusasaan karena dikendalikan oleh keinginan dangkal.

Wednesday, August 1, 2007

MOTIVASI

Tanpa kasih, semua pekerjaan tidak bernilai; tetapi sekecil apapun yang dilakukan atas dasar kasih, ia akan berbuah lebat. Sebab, Allah lebih memperhatikan besarnya kasih yang mendorong seseorang ketimbang apa yang ia capai.
(Thomas a Kempis)


Romo Mulyono mencatat perbedaan motivasi dalam sebuah tindakan yang sama sebagai berikut:

Sama-sama menolong,
Satu menolong karena belas kasih,
Yang lain menolong karena pamrih.

Sama-sama memuji,
Satu memuji untuk meneguhkan,
Yang lain memuji untuk menjilat.

Sama-sama datang,
Satu datang untuk mendengarkan,
Yang lain datang untuk mengkritik.

Apa yang didaftar oleh Romo Mulyono masih dapat kita lanjutkan, misalnya:

Sama-sama rajin,
Satu rajin untuk mewujudkan panggilan dengan iklas
Yang lain rajin sebagai senjata marah dan bersungut-sungut

Sama-sama bersungguh-sungguh belajar,
Satu belajar untuk melayani,
Yang lain belajar untuk mengalahkan dan menguasai.

Sama-sama merendah,
Satu merendah dari lembah atau tempat rendah,
Yang lain merendah dari puncak gunung.

Sama-sama berhasil membangun,
Satu berhasil membangun dengan menunjuk ke atas,
Yang lain berhasil membangun dengan menunjuk ke dada sendiri.

Sama-sama berlomba,
Satu berlomba untuk kegembiraan,
Yang lain berlomba untuk piala dan sertifikat.

Sama-sama ‘melukai’,
Satu melukai untuk menyembuhkan,
Yang lain melukai untuk menyakiti. Titik.

Sama-sama datang beribadah,
Satu datang dengan kerinduan dan sukacita,
Yang lain datang karena kewajiban dan rasa takut.

Sama-sama memberi persembahan,
Satu memberi persembahan karena mengakui berkat Tuhan
Yang lain memberi persembahan supaya menerima berkat lebih banyak.

Sama-sama mengajak melayani,
Satu mengajak melayani untuk mewujudkan tugas panggilan bersama,
Yang lain mengajak melayani untuk memanfaatkan.

Daftar ini mungkin masih dapat lebih panjang lagi (mohon daftarkan dalam comment di bawah), jika kita perhadapkan dengan kehidupan keluarga, perkumpulan, lingkungan kerja, gereja dan lain-lain. Kualitas sikap dan tindakan maanusia teranyam ketat dengan ‘motivasi’.

Motivasi adalah sesuatu yang menggerakkan sikap dan tindakan yang berasal dari kedalaman diri kita. Ia adalah suara Tuhan yang terkadang begitu lembut yang hanya bisa didengar ketika kita bersedia menenteramkan pikiran dan hati kita. Sayangnya, suara lembut itu terkadang dihalau oleh ego manusia yang sarat dengan pementingan dan kesenangan diri, ambisi, hasrat untuk populer, semangat bersaing dan mengalahkan dan sebagainya.

Marilah kita kembangkan tiga dari contoh di atas.

(1) Andaikan ada satu perlombaan menyanyi dimana anak kita ikut di dalamnya, siapa yang Anda inginkan untuk menang? Nampaknya masuk akal jika kita ingin anak kita yang menang. Masalahnya, jika anak kita menang, kita senang; jika anak kita tidak menang kita mengerang dan tidak senang. Tetapi ketika kita berhasil melampaui ego kita dan motivasi berlomba jernih, kita akan menghendaki yang paling baik menjadi pemenang. Kita akan lihat betapa bahagianya kita dengan motivasi yang jernih. Sebab, kita akan merasa senang ketika yang terbaik, yang paling pantas, menang –apakah dia kita kenal atau tidak. Oh, alangkah indahnya dunia ini dan kehidupan ini dengan motivasi jernih.

(2) Andaikan ada orang yang tidak pernah terlambat datang beribadah ke gereja. Bagus, tentu. Ia punya kesempatan berdoa sambil menunggu yang lain. Tetapi jika kedisiplinannya itu digunakan sebagai senjata untuk memarahi orang yang terlambat, maka kualitas ‘kedisiplinannya’ amat rapuh. (tetapi, mohonlah hal ini jangan disalahgunakan membenarkan diri untuk terus terlambat datang ke gereja, terutama kalau sedang bertugas melayani).

(3) Kembali ke contoh dari Romo Mulyono: “Sama-sama memuji, satu memuji untuk meneguhkan, yang lain memuji untuk menjilat.” Tidak sedikit orang yang terjatuh dalam soal ini. Ada orang yang suka memuji orang lain yang sebenarnya digerakkan oleh keinginan untuk dipuji atau untuk mendapatkan sesuatu. (Memang ada juga orang yang tidak mau dengan iklas mengakui keberhasilan dan kebaikan orang karena dipenuhi oleh kecemburuan). Sesungguhnya, Tuhanlah yang layak dipuji. Tetapi dengan mengakui kebaikan sesama kita sekaligus mengakui kebaikan Tuhan dan meneguhkan sesama untuk tetap melakukan yang terbaik.

Sebenarnya tidak sulit mengetahui motivasi kita untuk bersikap, untuk mengatakan dan tidak mengatakan sesuatu, serta untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Kita perlu menjawab pertanyaan, “mengapa” kita bersikap, berkata dan bertindak. Biasanya kita dapat mengetahui apakah itu motivasi yang jernih dan mengalir dari kedalaman hati –hati yang didiami oleh Roh Kudus (1 Korintus 6:19), atau dorongan ego kita yang sarat dengan pementingan diri.

Jika dasar sikap, perkataan dan tindakan kita adalah niat baik dan dilakukan dengan baik pula, selebihnya adalah pekerjaan Tuhan memberi buahnya. Salah satu contoh yang berhubungan dengan motivasi menolong orang adalah bertolak dari apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40). Inilah yang melayani Tuhan melalui pelayanan terhadap sesama atas dasar kasih dan dengan prinsip, Soli Deo Glori (Kemuliaan hanya bagi Allah).

Salah satu penyebab ketidakmurnian motivasi adalah perasaan insecure. Perasaan ini membuat kita melebihkan diri dan melebihkan apa yang kita buat. Kita tergoda mendaftarkan jasa-jasa dan kebaikan-kebaikan kita. Tidak cukup sampai disitu, malahan kelemahan orang lain pun menjadi ‘kebutuhan’ kita, karena kelemahan orang lain seolah membuat kita lebih baik. Padahal, untuk menjadi menang tidak harus dengan mengalahkan.
========================================================

MEDITASI (UNTUK PEMURNIAN MOTIVASI)

Meditasi 20-30 menit…. Pagi dan malam hari.

Dalam meditasi kita tidak berpikir tentang Allah atau berkata-kata kepada Allah. Kita bersama-sama dengan Allah. Duduklah dengan posisi tegak dan tenang. Tutup mata secara perlahan. Dalam suasana keheningan itu, dari kedalaman hati, katakanlah sebuah ‘kata doa’. Kami menganjurkan ‘kata doa’ Imanuel (Allah menyertai kita). Ulangilah kata doa itu terus menerus. Dengarkan kata doa itu ketika Anda mengatakannya dengan lembut dalam hati. Jangan memikirkan atau membayangkan apapun, baik yanag sifatnya spiritual atau jasmani. Memang, berbagai macam pikiran dan bayangan akan muncul silih berganti. Biarkan semuanya itu pergi. Kembali saja ke ‘kata doa’. Akhirilah meditasi dengan berdoa “Doa Bapa Kami’ dengan penuh penghayatan dan dalam kasih. (sebagaimana diajarkan oleh John Main)


Imanuel, Allah menyertai kita.
Victor Tinambunan

ShoutMix chat widget