Wednesday, July 30, 2008

ALLAH DAN INDONESIA


Renungan 63 Tahun Republik Indonesia
Agustus 1945-Agustus 2008


Kata ‘dan’ dalam judul di atas perlu mendapat perhatian kita secara khusus. Ada kalanya kata ‘dan’ berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang amat bertolak belakang seperti madu dan racun. Ia juga menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain seperti iman dan pekerjaan baik, suami dan istri, dan sebagainya.

Allah dan Indonesia menunjukkan sesuatu yang tidak terpisahkan sedikitnya dengan tiga alasan utama dalam terang iman kristiani. Pertama, ketika Allah menciptakan langit dan bumi (seperti disebut dalam Kej. 1) bumi Indonesia termasuk di dalamnya. Meskipun Indonesia terbilang ‘tertinggal’ dalam berbagai hal, itu tidak berarti bahwa Allah menciptakannya di kemudian hari atau terpisah dari belahan bumi yang lain. Kedua, orang-orang Indonesia adalah ciptaan Allah juga. Setiap warga bangsa Indonesia –terlepas dari perbedaan suku bangsa, ras, agama, partai politik-- berasal dari nenek moyang yang sama: Adam dan Hawa, yang diciptakan oleh Allah. Itu berarti bahwa tidak ada alasan pembenaran rasa superioritas yang satu terhadap yang lain. Sesungguhnya kita semua adalah satu keluarga dan sesama saudara di dalam Allah, Pencipta dan Bapa kita. Ketiga, pemeliharaan Allah tidak pernah berhenti sejak penciptaan. Kehidupan yang ada di bumi Indonesia dan kehidupan setiap warga bangsa Indonesia adalah bukti nyata bahwa pemeliharaan Allah masih terus berlangsung hingga hari ini. “Bumi dan segala isinya adalah milik Allah” (Mzm. 24:1).

Dengan demikian, ‘Allah dan Indonesia’ mengandung pesan: ingat Indonesia, ingat penciptaan, pemeliharaan dan pemilikan Allah atas Indonesia. Dengan kesadaran demikian, sebagai orang yang percaya kepada Allah kita hendaknya seirama dengan gerak Allah yang mengasihi dan memelihara kehidupan bangsa Indonesia dengan segala sesuatu yang Tuhan percayakan kepada kita.

Pertanyaan yang mungkin mengemuka ialah, “Kalau Allah adalah pemilik Indonesia dan Ia mahakuasa, mengapa Ia membiarkan penderitaan dan aneka persoalan kehidupan silih berganti menerpa Indonesia?” Pertanyaan yang salah! Yang benar adalah jawaban kita atas pertanyaan Allah kepada kita semua, “Mengapa persoalan kehidupan melilit bangsa Indonesia, padahal Aku telah menganugerahkan pengetahuan, kemampuan dan berkat melimpah untuk Indonesia?” Artinya, daripada ‘menggugat’ Allah, mestinya kita dengan rendah hati memeriksa hidup kita.

Yang merusak, yang menghujat, yang menyakiti, yang mengkambinghitamkan Indonesia sudah lumayan banyak. Kita tidak perlu menambahnya lagi. Yang dibutuhkan adalah lebih banyak yang memberi harapan, dukungan dan pertolongan nyata. Dengan pertolongan Tuhan, mari kita lakukan sesuatu memberi uluran hati dan uluran tangan dengan apa yang kita miliki, seperti waktu (mendoakan, melakukan studi, mengunjungi), bakat atau talenta (menjadi tenaga sukarela, menyumbangkan tulisan-tulisan yang mencerahkan), memberi bantuan materi (beasiswa kepada mereka yang terancam putus sekolah, yang menderita kelaparan). Singkatnya, bagaimana agar hidup kita secara pribadi maupun persekutuan jemaat menjadi garam dan terang bagi bangsa Indonesia.

Saat ini, di hadapan Tuhan, mohonlah pimpinanNya untuk mengetahui pelayanan apa yang hendaknya Saudara lakukan sebagai wujud pemberitaan Injil khususnya untuk bangsa Indonesia. Mohon pastikan juga bahwa itu bukan ambisi, sekadar hobbi atau keinginan ego kita untuk memamerkan kesalehan dan kedermawanan, tetapi benar-benar merupakan panggilan Tuhan. Marilah kita nyatakan janji kita di hadapanNya untuk melakukannya demi kebaikan sesama dan demi kemuliaanNya. Semua itu kita lakukan dengan sukacita. Sebab, kita percaya bahwa Tuhan yang mengutus kita untuk melayani, Ia juga yang tetap menyertai kita bahkan sampai akhir zaman. Amin.

Wednesday, July 23, 2008

PIMPINAN HKBP 2008-2012

Keteladanan bukanlah salah satu syarat menjadi pemimpin,
tetapi satu-satunya syarat


************
Leaders in the church must not only be good managers,
but more importantly good followers of Christ
who have a good understanding of the biblical perspective.
Sound management and sound theology must go together
(Robert M. Solomon, Bishop Gereja Methodist Singapura)




HKBP akan melangsungkan Sinode Agung September 2008 mendatang. Salah satu agenda sinode adalah memilih Pimpinan HKBP yang baru. Memang, masa depan HKBP tidak sepenuhnya tergantung pada siapa pimpinan HKBP 2008-2012. Seluruh pelayan dan warga jemaat HKBP hendaknya dengan rendah hati tunduk di kaki salib Kristus memohon pengampunanNya, bertobat dan siap sedia dipimpin oleh Tuhan.

Sudah lama saya mengusulkan agar cara pemilihan pimpinan HKBP dilakukan dalam suasana ibadah --agak mirip dengan pemilihan Paus. Pendeta tidak perlu berkampanye atau membentuk tim sukses seperti yang sudah agak membudaya saat ini. Tetapi, kita perlu kesabaran. Semoga ada saatnya tata cara pemilihan pimpinan HKBP lebih bercorak gerejawi tidak seperti cara-cara 'pilkada' yang marak saat ini. Jadi, untuk saat ini kita perlu realistis dalam artian menjalani sistem yang sudah dianut oleh HKBP. Khusus mengenai pemilihan pimpinan HKBP pada sinode mendatang, perkenankanlah saya mengungkapkan beberapa harapan berikut ini.

1. Seluruh jemaat HKBP (baik dalam persekutuan maupun perorangan) dan saudara-saudara seiman yang bukan HKBP, kiranya berkenan mendoakan peristiwa gerejawi penting ini. Kiranya kehendak Tuhan menjadi kehendak kita semua. Memang ada yang pesimis terhadap calon-calon yang ada. Tetapi, sebagai orang percaya kita hendaknya selalu berpengharapan bahwa setiap orang sesungguhnya memiliki cukup kemampuan melakukan kehendak Tuhan. Sebagai umat beriman, kita percaya dan berpengharapan akan karya Tuhan. Di samping mendoakan, kita semua dapat memberi gagasan dan terutama keteladanan dalam rangka memperbaiki HKBP.

2. Kiranya Tuhan sendiri yang sungguh-sungguh menjadi tempat bertanya pertama dan terutama bagi para utusan sinode -yang dipercayakan untuk mengemban tugas panggilan ini-- dalam seluruh proses persiapan, pengambilan keputusan dan penutupan Sinode tersebut. Sama seperti para rasul dalam pengambilan keputusan dengan prinsip "Sebab, adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami...." (Kis. 15:28), menjadi prinsip seluruh peserta sinode juga.

3. Kiranya para calon pimpinan yang sudah dipilih di distrik-distrik mendapat hikmat, kekuatan dan kesehatan dari Tuhan. Dengan hikmat dari Tuhan itu, mereka boleh lebih mengutamakan yang Tuhan utamakan. Dalam kehidupan keseharian, ada kalanya orang lebih siap 'menang' ketimbang siap untuk 'kalah'. Yang indah dalam kehidupan bergereja ialah bahwa gereja bukanlah arena perlombaan atau pertandingan berkaitan 'kalah' dan 'menang'. Gereja adalah persekutuan umat yang dimenangkan oleh Tuhan hanya oleh anugerahNya. Semua memang berlomba berbuat baik, tidak untuk sebuah medali dan tropi melainkan karena bagian integral dari iman.

4. Semoga calon Ephorus dan calon Sekretaris Jendederal dapat dan berkenan bertemu dan berdoa secara bersama-sama. Kalau tidak memungkinkan berkali-kali, paling tidak sekali saja sebelum pemilihan. Lebih baik juga jika ada yang memfasilitasi dan mendampingi seperti beberapa pendeta dan warga jemaat. Di sana mungkin tidak perlu ada penyampaian visi dan misi masing-masing calon, tidak ada khotbah, tidak ada kata sambutan dan sebagainya. Yang ada hanyalah nyanyi, baca Alkitab dan doa. Dan semuanya calon memiliki satu komitmen, bahwa dalam proses persiapan sampai akhir sinode mereka akan megedepankan kehendak Tuhan dan menjaga keutuhan HKBP.

"Ya Tuhan, Engkaulah yang mendirikan dan memiliki HKBP. Engkau mengasihi gerejaMu dan umatMu. Kami mengucap syukur atas semuanya ini. Rasa syukur ini akan kami nyatakan melalui kehidupan kami yang selalu mengedepankan kehendakMu". Amin

Wednesday, July 16, 2008

PEMIMPIN

Seorang raja yang usianya sudah menjelang ‘senja’ mengumumkan akan berlangsungnya pemilihan pengganti raja. Setelah semua para kandidat berkumpul, raja mengumumkan prosedur pemilihan dan penetapan pemenang, yakni: kepada siapa kupu-kupu --yang dipersiapkan secara khusus—hinggap, maka dialah yang akan menggantikan raja. Kupu-kupu dilepas dan terbang di sekeliling para kandidat. Ada beberapa kandidat yang menjulurkan kepalanya agar kupu-kupu berkenan berpihak kepadanya dan mau hinggap kepadanya. Bahkan ada yang lebih agresif dengan mengejar kupu-kupu sambil mengulurkan tangan kepada kupu-kupu. Akan tetapi, makin didekati, makin menawarkan diri, justru kupu-kupu itu makin menjauh. Di antara keramaian kandidat dan pengunjung, ada seorang sederhana yang duduk dengan tenang, yang terluput dari perhatian khalayak. Kupu-kupu itu hinggap persis di kepalanya. Ia pun ditetapkan menjadi raja.

Cerita di atas terbuka untuk ditafasir dan diambil maknanya. Yang jelas, sekarang ini kita tidak dapat meminta bantuan kupu-kupu untuk memilih seorang pemimpin. Setiap lembaga, organisasi dan kelompok masyarakat memiliki tata cara pemilihan dan penetapan pemimpinnya masing-masing.

Dewasa ini banyak jabatan kepemimpinan yang menjadi ajang perebutan yang tidak jarang berujung pada keributan. Mengapa? Barangkali jabatan kepemimpinan dianggap sebagai kendaraan menuju sebuah cita-cita pribadi. Untuk mencapainya para calon pemimpin dengan teganya menghalalkan semua cara dan saling menjatuhkan. Para pengikut pun juga ikut-ikutan. Sebenarnya, semangat untuk menempati sebuah jabatan kepemimpinan tidak salah pada dirinya. Yang penting ialah motivasi yang benar dan komitmen yang teguh.

Dalam konteks kepemimpinan gerejawi, ujian pertama yang perlu dijawab setiap orang yang ingin menjadi pemimpin ialah, apakah itu suatu panggilan Tuhan atau sekadar desakan pemenuhan keinginan pribadi. Kepemimpinan atas dasar panggilan akan terawat dan menjadi berkat, kepemimpinan yang digerakkan ambisi pribadi sifatnya keropos dan boros.

Bagi kita yang dipercayakan dan diutus ikut dalam pengambilan keputusan, mohon ijinkan suara Tuhan memandu untuk menentukan pilihan.

Tuhan, Engkau telah memberikan diriMu
Kini kami memempersembahkan hidup kami kepadaMu melalui pelayanan terhadap sesama
KasihMu telah menjadikan kami manusia baru
Sebagai umat yang Kaukasihi, kami akan melayani Engkau dengan sukacita
KemuliaanMu telah memenuhi hati kami
Tolong kami memuliakan Engkau dalam segala hal. Amin.


Soli Deo Gloria - Kemuliaan hanya bagi Allah.
Victor Tinambunan

"Remember that it is far better to follow well than to lead indifferently. ~ John G. Vance"

Thursday, July 10, 2008

KETIKA PERUBAHAN TERJADI....


Berikut ini adalah dialog antara seorang istri yang memandangi wajahnya di cermin dengan suaminya yang membaca buku renungan harian.


Istri : Pa, sudah ada bercak-bercak hitam di wajahku
Suami : Yang penting wajahmu masih ada Sayang........
Istri : Aduuuh Pa, bukan hanya itu, ubanku sudah mulai
banyak.
Suami : Masih lebih baik kan Ma, masih ada yang bisa dicat.... bagaimana kalau botak?
Istri : Papa ‘gak ngerti. Malu kan? Muka ini ditaruh di mana?
Suami : Lho, selama ini mama taruh di mana?
Ma, yang penting hatimu dan wajahmu masih ada.....
Papa tidak mencintai wajahmu dan rambutmu, tapi
mencintai dirimu.


Wednesday, July 9, 2008

KHASIAT PENGAMPUNAN

Rasa benci kita terhadap musuh lebih banyak
melukai kebahagiaan kita daripada kebahagiaan mereka.

Kasihiliah musuhmu, sebab mereka menyatakan
Kelemahan-kelemahanmu.
(Benjamin Franklin)


Dari pengalaman kita ketahui begitu banyaknya orang yang amat sulit mengampuni, apalagi kalau kesalahan orang lain lebih dari sekali atau lebih lagi kalau sudah berkali-kali. Untuk membenarkan diri ada orang yang mengatakan, “saya ini manusia, kesabaran ada batasnya!” Hal ini tercermin dari sebuah lagu yang kata-katanya kurang lebih seperti ini: “Satu kali kau sakiti hati ini masih kumaafkan. Dua kali kau sakiti hati ini juga kumaafkan. Tapi jangan kau coba tiga kali…” Kata “masih kumaafkan” untuk dua kali pertama makin menegaskan bahwa kesalahan ketiga kali tidak ada maaf lagi.

Akan tetapi, Yesus menegaskan bahwa mengampuni bukan hanya tujuh kali tetapi tujuh kali tujuhpuluh kali (Mat 18:22). Dua hal penting dapat disebutkan berdasarkan firman Tuhan ini. Pertama, ini tidak terutama menyangkut jumlah angka 490, tetapi tujuh kali tujuh puluh kali berarti bahwa mengampuni itu tidak ada batasnya. Kedua, ini ditujukan kepada manusia –termasuk kita sendiri. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa memang ‘pengampunan’ adalah salah satu pengajaran dan tindakan yang paling sulit dalam kekristenan, tetapi mengandalkan rahmat Tuhan, hal itu dapat kita lakukan.

Meskipun demikian sulit, namun hendaknyalah pusat perhatian bukan pada tingkat kesulitannya melainkan pada Kristus yang sudah melakukannya. Sesungguhnya, dosa-dosa kita tidak terhitung jumlahnya baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Jika kita menghendaki Tuhan mengampuni kita, mestinya kita juga dengan tulus hati bersedia mengampuni orang lain. Hal ini jelas sekali dalam doa yang diajarkan oleh Yesus di antaranya, “ampunilah kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”.

Pada kesempatan lain Tuhan Yesus berkata, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka” (Matius 7:12). Itu juga berarti, jika kita mengharapkan orang lain mengampuni kita, kita hendaknya juga bersedia mengampuni orang lain. Dalam hal ini La Rochefoucauld benar ketika ia mengatakan, “Jika kita tidak mempunyai kesalahan-kesalahan, kita tidak akan merasa senang memperhatikan kesalahan-kesalahan orang lain”.

Perlu kita sadari bahwa sudah ada begitu banyak kebencian di dunia ini, oleh karenanya kita tidak perlu menambahkannya lagi. Ini perlu untuk terciptanya damai sejahtera di bumi dan termasuk untuk kebaikan diri kita sendiri juga. Sebab, rasa benci kita terhadap musuh lebih banyak melukai kebahagiaan kita daripada kebahagiaan mereka.[1] Celakanya, ada pula yang kita benci itu malah sudah meninggal dunia, tetapi kebencian kita tidak kunjung mati.

Kata resentment (sakit hati) berasal dari bahasa Latin resentir –yaitu merasakan berulangkali. Dengan merasakan kebencian masa lampau berulangkali, kita akan tersiksa sendiri. Setiap kali kita memikirkan mereka yang tidak kita ampuni, kita kehilangan enerji. Peneliti Jerman RG Hamer (sejak 1979) mengumpulkan data lebih dari 10.000 pasien penderita kanker. Ia menemukan bahwa kanker biasanya dipacu oleh sebuah konflik atau shock, dipadu dengan ketidakmampuan mengungkapkannya atau tidak ada orang yang bersedia mendengarkan (Dr Lai Chiu Nan). Dalam hal ini Bloch dengan tepat menasihatkan, “Serahkan rasa sakit hati Anda pada sebuah altar dan pasrahkan kepada Tuhan. Biarkan diri Anda dan orang lain bebas.”[2]

Mengasihi diri, bukanlah dosa. Mengasihi diri berbeda dengan selfish (mementingkan diri sendiri). Salah satu bagian dari ‘mengasihi diri’ adalah mengampuni. Sebab, mengampuni adalah untuk kebaikan diri kita sendiri dan orang lain. Karena itu, jangan kita biarkan hal-hal buruk termasuk perbuatan orang lain menghancurkan hidup kita. Biarkan peristiwa menyakitkan yang kita alami kian memperdalam hikmat dalam hati kita. Sesungguhnya, pengampunan menyembuhkan memori kita sekaligus membebaskan kita dari belenggu permusuhan. Singkatnya, “kesabaran” terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri perlu kita terapkan setiap hari. Kesabaran adalah salah satu dari buah-buah Roh (Gal 5:22-23).
[1] Terry Hampton dan Ronnie Harper, 99 Cara untuk Makin Bahagia Setiap Hari (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 114
[2] Douglas Bloch, Mendengarkan Suara Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 87

Friday, July 4, 2008

TEST TINGKAT KESADARAN

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku
dan kenallah pikiran-pikiranku.
(Mazmur 139:23)

Sebuah mobil membutuhkan pedal gas untuk bisa maju dan pedal rem untuk tidak melaju. Ia juga membutuhkan kemudi untuk memandu arah. Tetapi, yang paling penting pengemudi harus mengetahui jalan yang harus ditempuh dan sadar betul kapan menekan pedal gas dan kapan menekan pedal rem. Dengan segala keterbatasannya, ini dapat menggambarkan perjalanan kehidupan manusia. Tidak ada keraguan akan pentingnya mengenal dan memahami ‘tingkat kesadaran’ diri sendiri. Wyne Dyer mengelompokkan tiga tingkat kesadaran mulai dari yang terendah hingga tertinggi yakni: tingkat kesadaran ego, kesadaran kelompok dan kesadaran mistis.[1] Pengelompokan ini tetap digunakan disini dengan menyertakan refleksi terhadap setiap tingkat kesadaran itu.

1. Tingkat Kesadaran Ego

Dalam kesadaran ego, penekanan seseorang adalah pada kepribadian dan tubuhnya. Orang yang berada dalam tingkat kesadaran ini banyak menghabiskan waktunya untuk mengukur kesuksesannya berdasarkan perbandingan dengan orang lain. Kalau ia memiliki lebih banyak daripada orang lain, ia merasa lebih enak tentang diri sendiri. Ia sangat peduli dengan piagam penghargaan dan gengsi. Untuk ini ia bersaing dan selalu membandingkan. Ia berusaha memberi kesan kepada orang lain. Tetapi, justru disinilah masalah muncul. Di sinilah kedamaian batin tidak mungkin terjadi, sebab ia harus selalu berjuang untuk berada di posisi lain, ia selalu berlari lebih kencang untuk selalu ‘lebih’ dari orang lain.

Perasaan putus asa, marah benci, pahit, tertekan dan depresi berakar dari kecemasan ego dan sikap berkeras mencapai target yang ia tetapkan sendiri. Ego akan jarang membiarkannya beristirahat dan terus menuntut karena takut disaingi dan takut disebut tidak sukses.

Di samping itu, ia sangat peka dan amat cepat bereaksi terhadap pendapat orang lain. Jika orang lain memujinya (meskipun niat mereka hanya untuk menjilat dan memanfaatkan), ia merasa lebih enak. Ia pun mengobral pujian kepada orang lain, yang sebenarnya hanya mencerminkan keinginannya untuk dipuji dan disanjung. Sebaliknya, kalau ada yang mengkritiknya, ia merasa sakit hati yang sering disertai dengan pembelaan diri sambil balik menyerang.

Bagaimana kehidupannya bergereja? Secara ‘formal’ bisa saja tidak ada masalah. Artinya, ia selalu hadir pada kebaktian Minggu, menghadiri kelompok Pemahaman Alkitab (PA), memberi persembahan secara rutin, menyumbang ke gereja dan sebagainya. Hanya saja, semua ini menjadi sebuah alat untuk memenuhi keinginan sang ego. Ibadah dibelokkan sedemikian rupa untuk memenuhi selera dan keinginan. Mereka mengukur ibadah dengan istilah ‘enak’ atau ‘tidak enak’, ‘semarak’ atau ‘dingin dan sepi’. Jadinya, ibadah tidak ubahnya seperti shopping: memilih sesuai dengaan selera. Betapa sedihnya! Sumbangan mereka kepada gereja bisa saja banyak. Untuk memenuhi selera, mereka menyumbangkan perangkat musik band. Mereka bisa mendapat ‘keuntungan’ dalam bentuk yang lain dari situ seperti: (1) Merasa enak karena sudah merasa ‘menolong’ Tuhan, (2) Merasa enak mendengar musik band, (3) Lebih enak perasaan diketahui orang lain menyumbang ke gereja dan sekaligus mempunyai “SIM” untuk mengkritik orang yang pelit.

Doa-doanya biasanya menyamarkan inti kehidupan bergereja dan sikap hidup kristiani. Doa menjadi pameran kemampuan merangkai kata-kata; doa menjadi tumpukan proposal untuk disahkan oleh Tuhan; doa menggantikan kepedulian dan pertolongan nyata. Berdoa memang menggunakan kata-kata dan sebaiknya diungkapkan dengan baik. Bermohon kepada Tuhan melalui doa adalah bagian dari doa. Mendoakan orang lain juga tugas orang Kristen. Bedanya, doa-doa yang muncul dari ‘tingkat kesadaran ego’ hanyalah memperalat Tuhan dan orang lain untuk kepuasan diri sendiri.

‘Penampilan’ di gereja, mulai dari tempat berkoor (di tempat duduk atau ke depan), isi warta jemaat (apakah mewartakan pelayanan atau si pelayan sendiri), cara memegang uang persembahan ketika memasukkannya ke kantong persembahan (warna uangnya nampak banyak, atau digenggam rapat) sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat kesadaran. Ketika tingkat kesadaran ego yang mendominasi, semua penampilan akhirnya mengarahkan perhatian kepada yang tampil itu sendiri.

Orang dalam tingkat kesadaran ini termasuk orang bermasalah dan juga menimbulkan masalah. Ketika menghadapi suatu penderitaan seperti penyakit misalnya, ia bertanya setengah protes, “mengapa saya menderita seperti ini, padahal saya sudah membangun gereja dan rajin dalam semua kegiatan gereja?”

2. Tingkat Kesadaran Kelompok

Ini ada kemiripan dengan kesadaran ego. Bedanya, ego perorangan ditekan dan masuk dalam ego kelompok. Keanggotaan seseorang didasarkan pada keluarga, warisan, latar belakang rasial, suku, agama, bahasa, pertalian politik dan seterusnya. Di sini orang-orang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya, berjuang sesuai dengan harapan kelompoknya bahkan ada yang sampai berperang. Dalam konteks yang lebih sempit kita bisa lihat dalam kehidupan orang-orang Batak yang masih terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok kecil. Bahkan, yang satu marga pun masih memiliki kelompok yang berbeda bahkan bermusuhan hingga generasi yang ke-17.

Ciri yang amat kentara dalam kesadaran ini adalah ‘fanatisme sempit’. Artinya, kelompokku paling benar, kelompok lain lebih rendah; kelompok lain sedapat-dapatnya dimanfaatkan untuk kepentingan kelompokku. Kesadaran ego bisa lebih ‘nyaman’ dalam kesadaran kelompok. Sebab, kesalahan kelompok bukan kesalahan saya dan kesalahan saya adalah kesalahan kelompok. Kita bisa melihat peristiwa hancurnya gedung kembar WTC, 11 September dan invasi Amerika ke Irak dalam konteks ini. Sekelompok orang membenci sekelompok orang Amerika, yang korban adalah orang-orang yang kebetulan berada di gedung WTC yang belum tentu satu pun dikenal oleh pelaku penyerangan itu. Sebagian orang Amerika membenci kelompok tertentu di Irak, yang korban adalah juga orang-orang yang tidak bersalah.

Jangankan marga, masyarakat, atau negara, gereja-gerejapun masih banyak yang bercokol dalam tingkat kesadaran ini. Sangat menyedihkan memang. Dalam hal ini gereja-gereja selalu membutuhkan pengampunan. Banyak perselisihan yang terjadi di tengah dan di antara gereja-gereja hanya karena ego kelompok.

3. Tingkat Kesadaran Mistis

Kata mistis perlu diperjelas lebih awal, karena sering kata ‘mistik’ digunakan berkaitan dengan perdukunan dan guna-guna. Kata mistis disini menunjukkan keterhubungan dengan Tuhan, setiap dan semua orang, dan setiap makhluk. Kesadaran mistis tidak melenyapkan kesadaran ego dan kesadaran kelompok, tetapi memberinya tempat yang wajar. Perasaan senang dan perasaan bangga yang terkandung dalam ego dalam batas-batas tertentu sah-sah saja sejauh ia tidak tergelincir pada pengutamaan kesenangan diri sendiri dan kesombongan. Kelompok juga dibutuhkan, bukan sebagai tembok tetapi sebagai pintu menuju persahabatan sejati dengan semua orang.

Merasa terhubung berarti Anda benar-benar merasa bahwa kita semua satu, dan bahwa kekerasan yang ditujukan kepada orang lain sebenarnya adalah kekerasan yang ditujukan kepada diri kita sendiri. Di sini, kerjasama menggantikan persaingan, kebencian dimusnahkan oleh kasih, dan kesedihan dihapus dengan sukacita. Pada tingkat ini Anda adalah anggota ras manusia, bukan kelompok yang lebih kecil. Karenanya, penganut agama Islam seharusnya merasa sedih tatkala orang-orang di WTC itu dibom. Orang-orang Kristen menolak invasi Amerika ke Irak yang memakan begitu banyak korban. Mengapa? Kita melihat manusia bukan berdasarkan agamanya, melainkan kemanusiaannya sebagai yang berharga bagi Tuhan.

Dalam tingkat kesadaran ini, Anda tidak akan menjadi apa yang Anda miliki, apa yang Anda capai, atau yang orang lain pikir tentang Anda. Di sini, doa-doa kita lebih merupakan pengakuan, penyerahan diri dengan mengatakaan “bukan kehendakku, tetapi kehendakMulah yang jadi”. Ibadah bukan lagi menyangkut apakah berkenan di hati saya tetapi apakah berkenan kepada Tuhan; bukan apakah itu menyenangkan hati hati, melainkan apakah itu menyukakan hati Tuhan. Kehidupan bergereja kita, pertolongan kita kepada yang lain, persahabatan kita adalah wujud kasih kita kepada Tuhan, sesama manusia, diri kita sendiri dan seluruh ciptaan Tuhan. Kebahagiaan sejati hanya ada disitu. Para rahib sering disebut sebagai mistikus karena mereka tidak melekat pada milik, pencapaian dan pendapat orang terhadap mereka.

Mungkin Anda bertanya, “Jika demikian, bukankah hidup ini jadinya monoton dan membosankan?” Untuk menjawabnya adalah pertanyaan juga, yaitu, “Anda membandingkan dengan apa? Bukankah pertanyaan itu lahir dari tingkat kesadaran ego?”

Dari dua miliar lebih orang Kristen di bumi ini, berapa orang yang memiliki tingkat kesadaran seperti ini? Tidak ada yang tahu. Lagi pula, dalah hitungan hari seseorang bisa saja berpindah dari tingkat kesadaran yang satu ke yang lain. Yang jelas, Anda dan saya dapat ‘mendaftarkan’ diri dan masuk dalam tingkat kesadaran ini. Syaratnya sangat sederhana: hanya kesediaan kita –tidak perlu IC/KTP, tidak perlu rekomendasi dari pimpinan gereja dan tanpa uang pendaftaran. Allah senantiasa bersedia menyambut kita bersatu dengan-Nya dan di dalam Dia kita bersatu dengan semua orang. Firman Tuhan ini pun akan terwujud dalam kehidupan kita:

"Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi….”
(Lukas 2:14)

Selamat memasuki ‘tingkatan’ baru: ‘tingkat kesadaran mistis’.

[1] Wayne Dyer, 10 Secrets for Success and Inner Peace, terj. (Jakarta: Gramedia, 2005), 86-92.

KEL. DRS. ANTHONI TINAMBUNAN




Keluarga Drs Anthoni Tinambunan/ Nermi br Simanungkalit, tinggal di Pekanbaru-Riau bersama anak-anak Nevi, Si Kembar: Edo dan Edi.

Foto-foto ini diambil selama perjalanan mereka ke Malaysia dan Singapura awal Juli 2008.
Anthoni Tinambunan sejak masuk SD hingga mau memasuki SMA 'berjanji' akan memasuki Sekolah Tingga Theologia. Tetapi sesudah tamat SMA dia 'hijrah' ke fakultas Sosial Politik. Setelah melewati berbagai usaha akhirnya menekuni bidang kontraktor dan real estate. Tetapi nampaknya ada percikan 'kependetaan' dalam kehidupannya.

PRAYER THERAPY

Prayer Therapy[1]

1. Payer begins in a restless heart. Listen to its strings.
2. Prayer is a yearning for one’s true home. Follow its lead.
3. Prayer is like a garden. Tend it and it will be fruitful.
4. Don’t worry about words or formulas. Prayer is a listening.
5. Prayer has many methods. Do it your own way.
6. Pray Always, but schedule special times too. The spirit, like the body, needs formal exercise.
7. Let your prayer be short. Love needs few words.
8. Pray where you are. God is everywhere.
9. If you need something, pray for it. God desires your good.
10. If you wants something, ask yourself, “Do I want what God wants?” God wants your true good.
11. Remember: your work and struggles are not unholy. Pray and God will come to you just as you are.
12. When your praying becomes dry and routine, keep at it. Parched (dry) earth welcomes the rain.
13.Bring your anger to prayer. Hot metal can be molded.
14. When God seems far away, keep praying. Light can be blinding.
15. When you sin and continue to fail, pray anyway. God keeps on loving you.
16. Pray when you are worried. Prayer puts everything in perspective.
17. If, for any reason, you cannot pray, relax. The desire to pray is already a prayer.
18. When prayer invites you to take risks, have courage. God will uphold you.
19. When you feel sad or sorry, weep. Tears are a prayer of the heart.
20. If you don’t like somebody, pray for them. Prayer reveals the hidden God.
[1] Keith McClellan, Prayer Therapy (St. Meinrad, Indiana: St. Meinrad Archabbey, 1990) – A Benedictine monk – Indiana. Buku2 yg lain; dpt dipesan Abbey Press Press Publication, St Meinrad, IN 47577

ShoutMix chat widget