Sunday, October 31, 2010

K E T U A

REFLEKSI SENIN KE-44
1 Nopember 2010

Seorang anak kelas dua SD dengan amat ceria berlari menghampiri ibunya sepulang sekolah. “Mama, aku tinggal kelas, tapi ibu guruku bilang nanti aku jadi ketua kelas.” Nampaknya, baginya ketua kelas di kelas dua lebih baik dan lebih menggembirakan ketimbang naik ke kelas tiga yang belum tentu jadi ketua kelas. Berbeda dengan ibunya yang tidak terlalu peduli apakah dia menjadi ketua kelas atau tidak. Yang penting anaknya naik kelas. Lagi pula, menjadi ketua kelas belumlah suatu posisi bergengsi, apalagi tidak akan ada tunjangan atau diskon uang sekolah.

Agaknya, di luar sekolah dasar dan kelompok usia yang jauh lebih senior dari murid SD hal serupa sering terjadi. Menjadi ketua atau pemimpin suatu kelompok atau organisasi diminati begitu banyak orang. Tentu, suatu hal yang baik kalau masih ada yang bersedia menjadi pemimpin. Jika tidak, sebuah organisasi tidak dapat berjalan dengan baik mengemban misinya. Masalahnya ialah, kalau kualitas dan kelayakan seorang pemimpin lebih rendah dari jabatan yang yang disandang. Lebih bermasalah lagi, kualitas kehidupan seorang pemimpin lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata yang dipimpin. Pemimpin seperti itu biasanya dihormati hanya karena jabatannya, bukan pada wibawa dan kualitas hidupnya. Bayangkan seorang pemimpin jemaat misalnya, yang sifat pemarahnya saja tidak dapat diatasinya, bagaimana mungkin dia memimpin jemaat dengan baik. Atau, seorang calon hamba Tuhan yang orangtua atau mertuanya saja tidak dihargainya, bagaimana mungkin dia menghargai warga jemaat?

Dalam hal ini John Maxwell benar ketika ia berkata bahwa kualitas hidup seorang pemimpin seharusnya di atas rata-rata orang yang dipimpin. Bagi orang Kristen hal inibukan masalah baru. Rasul Paulus sendiri dengan tegas menasihatkan agar mereka yang menjadi penilik jemaat bukanlah pemarah tetapi peramah, sopan, dapat menahan diri, bukan yang baru bertobat, yang terkenal baik di dalam dan di luar jemaat, yang dapat memimpin keluarganya dengan baik, bukan peminum, bukan hamba uang dan seterusnya (Selengkapnya lihat 1 Tim 3:1-7).

Bagaimana kalau kita berhadapan dengan seorang pemimpin yang tidak sesuai dengan firman Tuhan di atas? Mendoakannya, mengingatkannya, mengusulkannya mundur kalau tidak mau berubah, menggantinya sesuai prosedur jika sama sekali tidak ada perubahan.

Sunday, October 24, 2010

PELAJARAN DARI HUJAN

REFLEKSI SENIN KE-43
25 Oktober 2010

Sudah seminggu lebih hujan tak turun. Debu jalanan mulai berterbangan. Tanaman yang tadinya mekar tampak tak segar. Suhu meningkat dan keringat pun bercucuran. Akhirnya, hujan deras pun turun seperti air ditumpahkan dari langit. Orang-orang berhamburan: menyelamatkan jemuran, menutup dagangan, dan mencari perteduhan. Terlihat ada yang merasa kesal dan sial. Rasa kesal dan sial ini tidak berdasarkan kelompok profesi, tetapi berdasarkan ‘suasana hati yang menyikapinya’. Ada pedagang es dan rujak yang merasa sial karena terpaksa harus pulang berhubung penurunan minat pembeli. Tapi, ada juga pedagang es dan rujak yang lain yang menerima tanpa perubahan raut wajah, karena sudah bersiap untuk menghadapinya dan tidak dapat berbuat apa-apa mencegah hujan. Di sudut yang lain tampak anak-anak telanjang dada berhamburan mandi hujan dengan teriak keceriaan. Berbeda dengan orangtua mereka yang suaranya meninggi menghardik anak-anak mereka untuk masuk ke rumah dan mandi. Beberapa orang dewasa lainnya yang sehari-hari menyiram depan rumahnya yang berdebu merasa lega karena curahan hujan mengambil alih tugas mereka. Lain pula sekelompok orang korban banjir bandang yang keluarga mereka beberapa waktu lalu terhanyut banjir. Kehadiran hujan kali ini membuka kembali memori duka.

Satu peristiwa turunnya hujan dapat menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Di sini, masalahnya bukan hujan melainkan keadaan orang-orang yang menerima curahan hujan. Keadaan ini menggambarkan hampir semua peristiwa kehidupuan. Reaksi-reaksi manusia amat teranyam ketat dengan kondisi (emosional) masing-masing. Karenanya, ketika kita bereaksi terhadap sesuatu kita tidak saja memperhatikan peristiwa ‘luar’ yang terjadi tetapi juga (dan terutama) memeriksa ‘ke dalam’, keberadaan, suasana hati atau kondisi emosional kita. Kita bisa saja kecewa, marah, mengutuki, padahal masalahnya bukan terutama suatu peristiwa yang terjadi, melainkan keadaan kita: ingin cepat mencapai sesuatu, merasa agenda pribadi kita terganggu, penghasilan kita menurun, orang lain untung dan kita merasa rugi, dan lain-lain.

Tetapi, kembali kepada hujan, ada yang berbeda sekarang ini. Hujan bukan semuanya lagi ‘alami’ tetapi sering terjadi ketidakteraturan dan curah hujan berlebihan atau malah sangat kurang untuk daerah tertentu karena perubahan iklim global; dan perubahan iklim global disebabkan oleh kerusakan alam ciptaan Tuhan ini. Kerusakan alam terutrama disebabkan oleh kerakusan manusia. Hujan juga sudah tercemar atau terpolusi. Jadi, menyaksikan hujan turun sekarang ini, kita tidak hanya menerimanya sebagai sesuatu yang alamai dan mensyukurinya sebagai pemberian Tuhan, tetapi juga berbuat secara konkrit merawat alam ciptaan Tuhan ini sebaik dan sebijaksana mungkin. Usaha konkrit yang dimaksudkan anatara lain: menghindari diri dari pola hidup konsumerisme, tidak atau sedikitnya sangat membatasi diri menggunakan barang-barang sekali pakai (kemasan minuman, manakan dll), menanam pohon, menggunakan kendaraan hemat bahan bakar dan sebagainya. Jangan sampai bumi ini kiamat sebelum waktu yang Tuhan tentukan.



Monday, October 18, 2010

DOA DAN PENDERITAAN

REFLEKSI SENIN KE-42
18 Oktober 2010

Adik perempuan saya, Bibelvrouw Nurmala Tinambunan, pergi untuk selamanya memasuki kumpulan yang dimenangkan dan ditebus oleh Tuhan pada Selasa, 14 Oktober lalu pada usianya yang ke-42. Sangat muda menurut ukuran rata-rata harapan hidup orang Indonesia. Memang sudah beberapa tahun ia menderita suatu penyakit. Karena pengobatan belum membawa kesembuhan, ia berobat ke Penang. Ia pun keracunan obat, yang membuat sekujur tubuhnya seperti terbakar. Empat hari dirawat di RS Horas Insani, Pematangsiantar yang kemudian, atas rujukan dokter, dipindahkan ke RS Herna, Medan. Sepuluh hari menahan beratnya derita di RS, ia pun pergi untuk selamanya.


Banyak yang berdoa memohon kesembuhan. Usaha sudah dilakukan sesuai dengan kemampuan keluarga. Di tengah duka seperti ini pertanyaan pun mengemuka: “Mengapa Tuhan tidak mendengarkan doa?” Tetapi sesungguhnya, Tuhan menjawab semua doa. Ada kalanya Tuhan memberi jauh melampaui apa yang kita harapkan. Terkadang kita menerima persis seperti apa yang kita dambakan. Tetapi ada kalanya kita menerima tidak seperti yang kita inginkan. Yang pasti, rancangan Tuhan selalu rancangan yang baik kepada anak-anakNya.

Di tengah duka karena kehilangan seperti ini, kesadaran seperti itulah yang menguatkan hati saya menerima kenyataan ini di dalam Tuhan. Hati saya terhibur juga mendengar banyak ungkapan turut berduka dan doa teman-teman dan banyak sahabat. Secara khusus, kotbah yang disampaikan Praeses Pdt B. Sidabutar dalam acara pemberangkatan jenazah di HKBP Parsaoran yang mengatakan, “Tuhan lebih mengasihi kedua anak Bvr Nurmala Tinambunan, Cintya dan Sahat Martua, daripada orangtuanya dan kita semua”. Ya, Tuhan lebih mengasihi Bvr Nurmala Tinambunan, Tuhan lebih mengasihi suaminya Charles Simanjuntak, Tuhan lebih mengasihi kedua anak mereka.

Kini, kami menjadi alat perpanjangan tangan Tuhan menyatakan kasihNya merawat dan membantu Cintya dan Sahat Martua menjalani hidup dan sekolahnya. Bvr Nurmala Tinambunan telah meninggalkan mereka, tetapi Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anakNya. Tuhan tidak pernah meninggalkan Anda.



Sunday, October 10, 2010

PERTUMBUHAN DI LUAR KESADARAN

REFLEKSI SENIN KE-41
11 Oktober 2010

Belum lama ini, seorang teman meneruskan cerita berikut kepada saya melalui email.

Seorang Katolik menulis surat kepada Editor sebuah surat kabar dan mengeluhkan kepada para pembaca bahwa dia merasa sia-sia pergi ke gereja setiap minggu. Tulisnya, "saya sudah pergi ke gereja selama 30 tahun dan selama itu saya telah mendengar 3000 khotbah. Tapi selama hidup, saya tidak bisa mengingat satu khotbah pun. Jadi saya rasa saya telah memboroskan begitu banyak waktu --demikian pun para pastor itu telah memboroskan waktu mereka dengan khotbah-khotbah itu." Surat itu menimbulkan perdebatan yang hebat dalam kolom pembaca. Perdebatan itu berlangsung berminggu-minggu sampai akhirnya ada seseorang yang menulis demikian: "Saya sudah menikah selama 30 tahun. Selama ini istri saya telah memasak 32.000 jenis masakan. Saya tidak bisa mengingat semua jenis masakan itu. Tapi saya tahu bahwa masakan-masakan itu telah memberi saya kekuatan yang saya perlukan untuk bekerja. Seandainya istri saya tidak memberikan makanan itu kepada saya, maka saya sudah lama meninggal." Sejak itu tak ada lagi komentar tentang khotbah.
Saya percaya bahwa cerita ini sama sekali tidak menganjurkan agar kita melupakan saja semua kotbah yang kita dengar. Cerita ini juga sama sekali tidak membenarkan para pengkotbah yang tidak sungguh-sungguh mempersiapkan dan menyampaikan kotbah. Kotbah harus dipersiapkan dengan hati dan harus diterima dengan hati.

Yang mau ditekankan adalah “tidak mengingat kotbah” tidak sama dengan “memboroskan waktu”. Sebab, ada yang terjadi dalam diri ini di luar kesadaran. Bayangkan sebuah tanaman yang kita lihat suatu sore yang sudah berbeda keesokan harinya, meskipun nampaknya sama saja. Hal seperti itu pula yang mau disampaikan seorang pemberi komentar terhadap keluhan pendengar kotbah dalam cerita di atas dengan mengangkat contoh jenis makanan selama tiga puluh tahun.

Kesediaan atau keterbukaan hati mendengarkan kotbah, nasihat, saran yang baik, tulisan yang mencerahkan bagaikan mempersiapkan lahan yang baik dan subur untuk sebuah tanaman. Jadi, mungkin kita tidak mengingat semua kotbah, nasihat, saran baik yang pernah kita dengar, tetapi tanpa mendengarnya sebelumnya hidup kita jauh lebih buruk dari keadaan sekarang.



Monday, October 4, 2010

SIAPA DI BALIK APA

REFLEKSI SENIN KE-40
04 Oktober 2010

Teringat pengalaman kuliah ketika masih duduk di semester 5. Karena kehidupan ekonomi yang masih di bawah pas-pasan, bersama dengan tiga orang teman seangkatan saya menerima pekerjaan mencat bangunan kampus [Agaknya upah yang kami terima masih di bawah UMR]. Mahasiswa baru sedang melakukan Kursus Intensif Bahasa Inggris (KIBI) sebelum memulai perkuliahan baru. Para mahasiswa mengira kami sebagai ‘pekerja tukang cat’ sungguhan. Hal ini tercermin dari ekspresi dan kata-kata mereka. Salah seorang di antara mereka pernah ‘menugaskan’ saya untuk membeli anti nyamuk bakar. Karena saya juga ketika itu kurang rela diketahui sebagai seorang mahasiswa merangkap ‘buruh kasar harian’, saya pergi juga membelinya. Ketika menyerahkan anti-nyamuk beserta dengan uang kembaliannya Rp. 500 (sekitar 10 sen dollar Singapura) si mahasiswa berkata, “kembaliannya sama abang aja!”. Kata ‘abang’ yang digunakan, bukan kepada seorang mahasiswa yang lebih senior (yang waktu itu sesuai ‘tradisi’ agak disegani bahkan ditakuti, tetapi kepada seorang tukang cat yang perlu disubsidi.

Peristiwa yang hampir sama dengan versi dan orang yang berbeda terjadi ketika saya baru saja ditugaskan menjadi dosen di perguruan yang sama pada 1999. Meskipun tinggal dalam satu rumah, tetapi karena belum berkeluarga saya sering sarapan di warung. Suatu pagi saya sama-sama sarapan di warung yang sama dengan seorang mahasiswa semester 7. Percakapan pun berlangsung. Entah bagaimana, si mahasiswa sampai pada satu pertanyaan, “Abang mau masuk S2 di kampus ini?” Jawaban ‘diplomatis’ saya waktu itu adalah, “Mungkin saya tidak diterima”. Tiga puluh menit kemudian, kami bertemu di ruang kuliah. Saya bisa lihat ekpresi wajahnya yang agak kaku mengingat kata-kata ‘abang’ yang dikatakannya setengah jam yang lalu harus berubah menjadi ‘bapak’ di ruang kuliah. [Catatan: yang jelas, tidak ada pengaruh peristiwa itu dengan nilai kuliah yang saya berikan kepada mahasiswa ybs, apalagi dia termasuk seorang mahasiswa yang cerdas]

Agaknya hampir semua orang pernah mengalami salah mengenal dan ‘disalah-kenal’. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana kita bersikap dan berkata-kata kepada orang lain, biasanya ditentukan oleh ‘siapa’ orang lain itu menurut pengenalan atau asumsi kita. Pengenalan yang dimaksudkan adalah berdasarkan label-label yang kita tempelkan pada orang lain yang umumnya amat dipengaruhi oleh pekerjaan, usia, penampilan seseorang itu, baik berdasarkan fakta maupun prasangka kita.

Kekristenan sangat menekankan pentingnya sikap ‘tidak memandang muka’ tetapi mengasihi dan menghormati semua dan setiap orang. Hanya dengan demikian kita terhindar dari sikap semena-mena terhadap pekerja upahan dan menjilat kepada orang yang punya tahta dan harta. Hubungan pun akan terbangun terutama atas dasar ‘kesiapaan’ seseorang sebagai sesama ciptaan Allah, sesama yang memiliki harkat yang sama, bukan pada ‘status’ ciptaan manusia.

Demikian pula halnya dalam menyikapi suatu peristiwa atau pengalaman kehidupan. Mengapa kita bersungut-sungut bahakan marah ketika mengalami suatu peristiwa kehidupan yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Mungkin kita tidak melihat rencana Tuhan dalam peristiwa itu untuk mendatangkan kebaikan kita. Atau, mungkin kita melihatnya sebagai pekerjaan Tuhan dan kita menganggap Ia tidak adil. Yang jelas, segala perbuatan Tuhan selalu bertujuan untuk kebaikan kita dan keadilan yang sempurna hanya ada dalam Dia. Masalahnya, bagaimana kita melihat setiap peristiwa kehidupan menentukan hubungan dan sikap kita kepada Tuhan. Dan rasa hormat kepada Tuhan memungkinkan kita berserah pada penyelenggaraanNya.







ShoutMix chat widget