Sunday, August 29, 2010

'MESIN' PENGGERAK KEHIDUPAN

REFLEKSI SENIN KE-35
30 Agustus 2010

Bayangkan seorang penguasa yang memiliki hampir segala-galanya. Mempunyai pembantu dalam semua bidang kerja. Apakah para pembantunya bisa membantu dalam segala hal? Pasti tidak! Ambil contoh yang sangat sederhana. Menyikat gigi. Setinggi apa pun jabatan seseorang, sebanyak apa pun pembantunya, tapi untuk yang satu ini: menyikat gigi, tidak bisa diwakilkan. Masakah seorang presiden memerintahkan ajudan atau pembantunya membawa giginya ke kamar mandi untuk disikat? Untuk menggosok gigi palsu saja seorang presiden harus ekstra hati-hati. Bayangkan ada pembantu yang nakal, membawa lari gigi palsu presiden saat hendak mencucinya. Padahal presiden segera akan mengadakan pertemuan resmi dengan kepala Negara tetangga dan gigi palsu dibawa lari oleh pembantu.

Jika bagian-bagian tubuh manusia dapat dengan mudah dipisahkan dengan mur dan baut, memang secara ‘praktis’ ada keuntungannya. Biaya pangkas rambut pria di Singapura minimal Rp. 65.000, sementara di Batam hanya Rp. 15.000. Sekiranya ‘sekrup’ leher dapat dibuka, kepala bisa dititipkan ke Batam agar rambutnya dapat dipotong. Masalahnya, yang punya kepala tidak bisa berbuat apa-apa. Agar kita hidup sebagaimana dirancang Sang Pencipta, maka setiap saat kepala kita harus bersama dengan kita.

Demikian halnya dengan inti kemanusiaan kita. Kita hanya bisa sungguh-sungguh menjadi manusia jika kita hidup sebagaimana dirancang oleh Tuhan. Tetapi, bukankah pikiran dan hati kita sering tidak bersama dengan kita? Bukankah manusia sering menggadaikan bahkan menjual habis harkatnya sebagai manusia menjadi tidak ubahnya seperti binatang –dan binatang buas pula?

Salah satu tolok ukur mengukur kadar kemanusiaan kita adalah jawaban atas pertanyaan ini: “Berapa persenkan hidup kita sehari-hari digerakkan oleh iman kita?” Hidup yang digerakkan oleh iman dan kesetiaan kepada Tuhan akan sangat berbeda dengan hidup yang dikendalikan oleh keinginan kedagingan, emosi negatif, semangat persaingan tidak sehat, kecemburuan, kerakusan dan lain-lain. Yang disedbut terakhir ini kelihatannya lebih mendominasi kehidupan akhir-akhir ini. Kehidupan yang demikian telah merusak persekutuan antar sesama manusia dan merusak alam ciptaan Tuhan.

Saatnya kita kembali kepada inti kemanusiaan kita dan lebih digerakkan oleh iman kepada Tuhan.

ABSEN

REFLEKSI SENIN KE-34
23 Agustus 2010
Mohon maaf karena tidak bisa terbit
karena transisi perjalanan Indo-Australia

Sunday, August 15, 2010

BEBAS DALAM TANGGUNG JAWAB

REFLEKSI SENIN KE-33
16 Agustus 2010


The happiness that appears in your mind for the good
that you have done, is itself a big reward.
(K. Sri Dhammananda)

Ada yang mengusik kehidupan di suatu sudut kota Medan siang itu. Sengatan terik matahari menusuk seolah tak berbelas kasihan. Deru kendaraan bermotor dan alat-alat konstruksi mengusir keheningan. Debu jalan berpadu dengan aroma tak sedap selokan air tak terurus amat menyesakkan pernafasan. Di tengah keadaan tak menyenangkan itu khayalak ramai membutuhkan kesejukan dan ketenangan. Sedihnya, keadaan kian runyam tatkala sebuah sepeda motor melintas kencang dengan suara knalpot menggelegar, mendera indera pendengaran dan mencederai perasaan.

Reaksi orang-orang yang menyaksikannya beragam. Ada yang geleng kepala. Ada yang mengangkat bahu. Yang lain mengutuki tak dapat menahan rasa jengkel. Ada pula yang kehilangan kata. Yang jelas, tidak ada yang menikmatinya.

Kejadian serupa bukan sesuatu yang asing di kota-kota Indonesia bahkan di berbagai kota dunia. Mungkin saja para pengemudi itu memiliki SIM dan STNK. Mungkin tak ada diktum hukum eksplisit yang dapat menjeratnya. Mereka bebas mengenderai kendaraannya. Masalah muncul ketika dalam kebebasannya pengemudi mengabaikan tanggung jawab menjaga kebaikan orang lain. Mungkin ada kenikmatan dan kepuasan tersendiri bagi para pengemudi kendaraan knalpot menggelegar. Suatu kenikmatan dan kepuasan dengan bayaran derita orang lain.

Amat kontras dengan kehidupan para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Ketika para penjajah memperlakukan anak-anak bangsa bagai ‘mesin produksi’ di negeri sendiri, mereka memiliki ‘pilihan bebas’: diam, masuk barisan penjajah, mencari wilayah jajahan, atau memperjuangkan kemerdekaan. Pilihan mereka jelas dan tegas: merdeka! Mereka pun merelakan kesenangan dan kenyamanan pribadi demi kebaikan bagi banyak orang.

‘Pengendara-pengendara kekerasan’ atau penjajahan dalam berbagai bentuknya masih mengitari kehidupan ini. Prinsip dan praktek hidup ‘bebas dari tanggung jawab’ hanya akan memperparah masalah. Hidup yang ‘bebas dalam tanggung jawab’ akan mengalirkan keindahan, kejernihan dan kebaikan. Para pahlawan kemerdekaan RI sudah membuktikannya. Dan kita membutuhkan lebih banyak lagi pahlawan.

Selamat Ulang Tahun RI tercinta.



Sumber: INDOCONNEX edisi Agustus 2010
Publisher: Wanhope Vista Media, Singapore
Penulis: Victor Tinambunan

Monday, August 9, 2010

P E R A H U

REFLEKSI SENIN KE-32
09 Agustus 2010

Jika seseorang sedang menyeberangi sungai dan sebuah perahu tanpa penumpang bertabrakan dengan perahunya, walaupun dia seorang pemberang ulung, ia tidak akan marah. Tetapi jika ia melihat ada orang di dalam perahu itu, ia akan berteriak agar ia menjaga jarak. Jika ia tidak didengarkan, ia akan kembali berteriak dengan keras. Jika teriakan ini juga tidak didengarkan, ia akan mulai memaki-maki. Ia bertindak demikian hanya karena ada orang di dalam perahu itu. Seandainya perahu itu kosong, ia tidak akan berteriak dan marah.

Jika Anda dapat mengosongkan sampan Anda sendiri dalam mengarungi sungai dunia ini, tidak akan ada yang menentang Anda, tidak akan ada orang yang mau menyakiti Anda.

Sunday, August 1, 2010

MENGALAMI KEKINIAN

REFLEKSI SENIN KE-31
02 Agustus 2010

Di meja sebelah –di rumah makan itu-- terdengar seorang ibu berkata, “Mereka membeli ikan lele ini cuma Rp. 15.000 per kilogram (delapan ekor satu kilogram), kita bayar Rp. 8.000 ekor. Pemilik rumah makan ini mendapat untung Rp. 65.000”. Bisa saja ibu ini lupa menikmati enaknya lele bakar karena pikirannya melayang ke uang. (Ia juga lupa bahwa pemilik rumah makan harus membayar minyak, listrik, bumbu, gaji karyawan dan harus membelanjai keluarganya dari dagangannya).

Ada contoh lain yang berhubungan dengan makan. Sekelompok sahabat sedang makan malam bersama. Menu yang tersaji ayam goreng klasan. Selagi menyantap makanan percakapan masih berhubungan dengan ayam klasan, tapi melayang ke tempat dan waktu yang sudah lalu. Ada yang bercerita tentang pengalaman makan ayam klasan yang paling enak di kota anu. Ada pula yang bercerita tentang kekecewaannya memesan ayam klasan di suatu rumah makan dengan bayaran mahal tapi tidak enak. Demikianlah percakapan berlangsung dan hanya mengunyah dan menelan makanan secara ‘mekanistis’ –tanpa benar-benar ‘mengalami’ makan.

Ada kalanya (bahkan mungkin saja sering) kita tidak benar-benar 'mengalami' hari ini karena pikiran kita berada di tempat dan waktu yang lain. Tempat yang paling umum pikiran kita ‘berkelana’ adalah masa lalu, masa depan dan angan-angan. Karena perkelanaan seperti itulah mengapa ada orang yang duduk beribadah di gereja pikirannya melayang terus ke bisnis, sahabat-sahabat, musuh-musuh, atau enaknya meneguk kopi hangat. Itu pula yang terjadi kepada para mahasiswa yang duduk tenang dan tatapan ke depan (tapi dengan tatapan kosong) di ruang kuliah tetapi pikirannya 98 persen tertuju pada gadis atau pria idamannya. (Ada juga memang yang duduk bersama dengan orang yang dicintainya tetapi pikirannya berkelana ke perkuliahan atau pekerjaannya. Kata-katanya pun terkadang tidak ‘nyambung’).

Orang-orang seperti itu gagal menangkap misteri dan makna kekinian. Gagal ‘mengalami’ hari ini, dengan segala keindahan dan tantangannya. Bukan berarti kita tidak boleh mengingat masa lalu, memikirkan masa depan dan berimajinasi. Semuanya sah sejauh tidak merampas kekinian. Untuk segala sesuatu ada waktunya, kata Pengkotbah. Maka, keseimbangan hidup itu perlu, dengan lima “si” : meditasi (kehidupan doa), kreasi, aksi, rekreasi, dan reflkesi.

ShoutMix chat widget