Wednesday, December 30, 2009

KEPERGIAN GUS DUR



Gus Dur telah pergi kepada pencipta dan pemiliknya (Rabu, 30 Desember 2009) pada usia 69 tahun.
Ketokohan beliau tidak diragukan. Pemikiran-pemikirannya dan kehidupannya sendiri telah memberi sumbangan yang sangat berarti dalam kehidupan berbangsa dan kehidupan antar umat beragama di Indonesia.
Kiranya Tuhan menganugerahkan penghiburan kepada keluarga Bapak KH Abdurrahman Wahid dan memberi kekuatan untuk melanjutkan keteladanan beliau pada hari-hari yang akan datang.

Monday, December 28, 2009

PASRAH TANPA MENYERAH

REFLEKSI SENIN KE-52
28 DESEMBER 2009



Lebih dari seribu orang anak dibaptis tanggal 26 Desember 2009 lalu, hanya di lingkungan HKBP. Ada satu pertanyaan mengganjal: “Bagaimana keadaan bumi ini pada saat mereka menjadi pemuda 20 tahun mendatang?” Jika bumi ini masih ada, yang pasti keadaan suhu akan lebih panas. Akibatnya, keadaan cuaca akan tidak menentu; kekeringana di berbagai tempat dan banjir di tempat lain; akan lebih banyak angin puting beliung. Akibat lanjutannya adalah semakin banyaknya bencana alam.

Jika Tuhan berkenan, persis 20 tahun mendatang saya akan pensiun dari pendeta dan bersiap-siap untuk pensiun dari dunia ini. Jadi, kalau hanya memikirkan diri saya sendiri tidak terlalu masalah apakah bumi ini hancur lebur atau tidak. Tetapi sebagai bagian dari umat manusia dan ciptaan Allah, saya terbeban dengan nasib ribuan anak-anak yang dibabtis dua hari lalu dan jutaan anak-anak yang lahir beberapa hari ini di seluruh dunia, termasuk dua anak saya yang baru berusia 9 dan 6,5 tahun.

Bagaimana anak-anak tersebut memahami dan mengalami sukacita dan damai sejahtera (sebagaimana yang inti dalam perayaan natal) di tengah kondisi krisis ekologi ke depan ini? Itulah keprihatinan kita sekarang. Kegagalan negara-negara dunia mencapai kesepakatan dan komitmen nyata di Kopenhagen awal Desember 2009 amat mendukakan hati. Kesimpulan para ahli sudah meyakinkan bahwa krisis ekologi akan kian mencekam jika tidak ada langkah dan usaha konkrit dan segera. Tetapi, Kopenhagen berakhir dengan kesepakatan yang tidak meyakinkan.

Di tengah keadaan seperti ini dan ancaman kehidupan yang bakal terjadi, sedikitnya ada tiga yang perlu kita persiapkan. Pertama, bersiap menderita karena bencana. Dalam penderitaan yang bakal terjadi, perlu ditekankan bahwa itu bukan berasal dari Allah. Bukan hukuman dari Allah. Bencana yang mengancam kehidupan ini adalah karena kerakusan dan kekerasan hati umat manusia.

Kedua, bersiap menolong orang yang menderita. Tingkat keparahan bencana dan musibah mungkin berbeda berdasarkan lokasi dan keadaan usia dan fisik masing-masing orang. Yang tidak (atau lebih tepat “belum”) mengalami musibah hendaknya bersiap untuk memberi bantuan.

Ketiga, tetap melakukan sesuatu. Kita pasrah menerima segala kemungkinan, tetapi kita tidak boleh menyerah. Reformator Martin Luther pernah berkata, “Meskipun besok aku kembali kepada Bapa, aku tetap menanam apel hari ini”. Benar sekali bukan? Mangga dan durian yang kita makan sekarang berasal dari pohon yang ditanam oleh mereka yang sudah tidak bersama kita lagi. Jadi, kita bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu menurut keberadaan dan kemampuan kita masing-masing: menanam dan memelihara pohon; menjaga kebersihan tanah, air dan udara; menghemat bahan bakar, air, kertas, plastik; mengurangi sampah dan menangani sampah yang sudah terlanjur ada dan sebagainya. Intinya: menerapkan pola hidup sederhana dan bersahabat dengan alam ciptaan Tuhan. Setiap tindakan kita mempunyai konsekuensi langsung terhadap ekologi. Gandhi benar sekali ketika ia aberkata, “Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk ketamakan setiap orang”.

Bagaimana caranya? Jangan percaya iklan dan berbagai promosi produk yang kian gencar menggoda kita saat ini. Mereka satu bahasa mengatakan, “Jalan kebahagiaan dan kunci jaminan PD adalah dengan membeli dan memiliki barang ini!” Mereka berbohong! Kebahagiaan tidak terutama datang dari luar diri kita. Kedbahagiaan tidak terjadi terutama dengan menambah banyak hal atau barang-barang ke dalam kehidupan ini. Malahan, kebahagiaan bisa terjadi jika kita membuang banyak hal dari hidup ini: membuang kebencian, sakit hati, dedndam, amarah, kekuatiran, kesombongan, iri hati. Sebab, kebahagiaan sudah ditempatkan Tuhan di hati kita. Kita hanya perlu menyadari dan menerimanya. Dapat dicatat, bahwa tingkat kebahagiaan orang yang memiliki HP seri terakhir dengan harga tinggi pula tidak jaminan menjadi lebih bahagia dari orang yang memiliki HP murah dan sederhana. “Siapa memiliki Tuhan, ia memiliki segala sesuatu yang membuatnya berbahagia dan hidup dalam damai sejahtera. Tetapi siapa memiliki segala sesuatu tanpa memiliki Tuhan, semuanya tidak punya arti apa-apa”.

Tuhan adalah Pemilik kita; jangan kita memberi diri menjadi milik apalagi budak barang-barang dan gengsi, yang adalah akar dari kerusakan alam ciptaan dan milik Tuhan.

Tuesday, December 22, 2009

LAPORAN PEAYANAN TAHUNAN GEREJA YANG BAGAIMANA?

Beberapa gereja mentradisikan penyampaian Laporan Pelayanan Tahunan atau Berita Pelayanan Tahunan pada akhir tahun. Masing-masing gembala jemaat kelihatannya punya kekhasan masing-masing dalam hal isi dan durasi. Tetapi, umumnya lebih merupakan ‘daftar kegiatan’ yang disertai dengan tanggal pelaksanaannya. Dengan kata lain, penyusun Laporan atau Berita Pelayanan Tahunan terutama merujuk pada agenda pelayan atau warta jemaat. Di antara rumusan kata-kata laporan biasanya berbunyi, “Pelaksanaan kegitanan ini…. berlangsung dengan baik pada tanggal…..”. Terkadang distempel dengan kalimat “Syukur kepada Tuhan”.

Waktu dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh gereja sebenarnya sah-sah saja masuk dalam laporan pelayanan. Namun, keduanya merupakan pendukung terhadap berita pelayanan, bukan yang inti. Apalagi, kita terkadang mendapat kesan bahwa laporan pelayanan lebih merupakan (1) Upaya memebuktikan bahwa pelayan atau gembala jemaat ‘bekerja’. (2) Menunjukkan bahwa pelayan/ gembala jemaat mampu membuat sebuah naskah laporan yang lengkap dan sistematis. (3) Membuktikan bahwa jemaat ‘sukses’ secara organisasi. Atau membela diri: kalau ada orang yang mengatakan jemaat ini gagal mengemban misinya sebagai gereja, itu diragukan kebenarannya.

Agar Berita Pelayanan terhindar dari pengagungan, prmosi dan pembelaan diri secara pribadi maupun secara persekutuan jemaat, tetapi sungguh-sungguh membangun jemaat dalam artian mensyukuri apa yang Tuhan lakukan dan membaharui diri dalam hal-hal yang belum berpadanan dengan kehendakNya dalam pelayanan, berikut ini sedikitnya ada empat hal yang kiranya menjadi acuan dalam penyusunan dan penyampaian Berita Pelayanan Tahunan jemaat.

1. Penyusun Berita Pelayanan perlu mempersiapkannya dalam suasana ibadah. Ia tidak saja mencari file-file (catatan pribadi, warta jemaat, notulen rapat dan sebagainya –meskipun semua itu dibutuhkan), tetapi pertama dan terutama “mencari kehendak Tuhan”. Melihat peristiwa satu tahun yang berlalu dengan penglihatan Tuhan sendiri. Dalam hal ini, sedapat-dapatnya, pelayan/ gembala jemaat melakukan retreat pribadi. Menghadirkan diri di hadapan Tuhan. Dengan demikian, ia akan terhindar dari godaan seperti disebutkan di atas: membuktikan diri. Sebab, seorang pelayan yang setia tidak perlu membuktikan diri, tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Maxwell benar sekali ketika ia berkata, “The more leader mature, the more humble they are”.

2. Berpaling pada sumber penting untuk mengevaluasi kehidupan bergereja, yaitu firman Tuhan. Di tengah semua aktivitas pelayan dan kehidupan bergereja adakah terdapat buah-buah Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri? (Galatia 5:22-23). Sesibuk apa pun gereja, sebanyak apa pun yang dia hasilkan secara material, dan sesukses apa pun dia menurut ukuran dunia, tanpa adanya buah-buah Roh, semuanya tidak punya arti apa-apa. Jadi, dalam berita pelayanan perlu dirumuskan dengan jelas bagaimana buah-buah Roh ini nampak dalam kehidupan berjemaat. Dengan demikian, jemaat mengetahui karena apa dia bersykur dan dalam hal apa dia membutuhkan pertobatan, dan pembaharuan komitmen.

3. Bagaimana keputusan diambil? Setiap jemaat memiliki kebijakan masing-masing bagaimana pengambilan keputusan dilakukan dalam kehidupan berjemaat. Tidak rahasia, bahwa di hampir semua jemaat ada saja perbedaan pendapat bahkan pertentangan dalam sidang-sidangnya. Karena pengambilan keputusan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan gereja, maka ‘proses’ dan ‘isi’ keputusan seharusnya dirumuskan sedemikian rupa dalam laporan atau berita pelayanan. Dalam pengambilan suatu keputusan para Rasul pernah mengatakan, “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami…..” (Kis. 15:28). Keputusan Roh Kudus dan keputusan kami…… Oh, indahnya kehidupan gereja yang seperti itu.

4. Bagaimana penatalayanan keuangan? Keadaan keuangan gereja sedikit banyak dapat menjelaskan keberadaan gereja tersebut. Jadi, laporan keadaan keuangan dalam Berita Pelayanan sebaiknya bukan hanya jumlah pemasukan dan pengeluaran yang akhirnya menunjukkan saldo atau defisit, tetapi bagaimana dan dengan dasar pertimbangan teologis apa penggunaan keuangan gereja. Gereja seharusnya menggunakan uangnya ‘bersama’ dan ‘di dalam’ Allah, sang Pemilik Gereja dan yang ada di dalamnya.


Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya (Lukas 2:14).

Saturday, December 19, 2009

DESEMBER, BULAN STRESS?

REFLEKSI SENIN KE-51
20 Desember 2009


Hasil sebuah survey menunjukkan bahwa tingkat stress meningkat pada bulan Desember dibanding sebelas bulan lainnya. Ironisnya, peningkatan tingkat stress ini ada hubungannya dengan Natal. Mengapa? Masalah paling mendasar adalah perubahan “yang pokok menjadi sampingan dan yang sampingan menjadi pokok”.

Yang pokok atau yang paling inti dari perayaan natal adalah merayakan kasih Tuhan yang sangat besar akan dunia ini. Natal adalah peristiwa sukacita, bukan karena hal-hal lahiriah, tetapi karena peristiwa Imanuel “Allah menyertai kita”. Natal adalah soal pertobatan dan pembaharuan hidup di dalam Tuhan. Sejak awal (natal pertama di Mesir [tahun 250], di Galiela [tahun 380] dan natal pertama di Indonesia [tahun 1500-an]) perayaan natal berisi penyembahan dan ibadah, bukan pesta makan, hiasan, hiburan, dan undian yang akhir-akhir ini kian menggejala bahkan merajalela.

Yang “sampingan” adalah reuni keluarga, makanan, pakaian, hadiah, merias diri, dan dekorasi. Celakanya, justru yang sampingan inilah yang sudah mendominasi sekaligus menciptakan aneka ketegangan. Dinas “Pegadaian” di beberapa kota di Indonesia ekstra sibuk menerima barang gadaian seperti TV, perhiasan, dan kendaraan. Untuk apa? Uang untuk “natalan”.

Kaum perempuan antrian di salon. Rambut lurus dikeritingkan, dan yang keriting direbonding. Padahal, hatilah yang perlu ‘direbonding’ –diluruskan dan dibersihkan. Apalah artinya rambut lurus kalau wajah dan hati keriting? Lebih baik rambut keriting tapi hati lurus dan tulus. Banyak pula yang sibuk memikirkan sofa dan gordin. Malu, tamu datang dan melihat sofa dan gordin yang itu-itu lagi! Belum lagi mereka yang berhari-hari duduk di dekat kompor dan oven, sambil mengunci pintu dan jendela (takut anak-anak mengambil kue yang dimasak). Sayangnya, setelah kompor dan oven padam, panasnya pindah ke hati: gampang tersulut amarah. Wajah pun menjadi keriting.

Jika demikian, boleh atau tidak semua yang sampingan ini? Pertanyaannya adalah, “Apakah semua itu membantu untuk menghayati kasih Allah? Apakah semua itu semakin mendorong kita berserah diri pada Tuhan? Apakah dengan semua itu memungkinkan kita untuk bertobat?

Orang-orang Kristen di Indonesia punya kekhasan tersendiri soal perayaan natal, khususnya dalam hal “jumlah perayaan natal” yang diikuti. Lebih khusus lagi, orang-orang Kristen Batak bisa saja mengikuti perayaan natal lebih dari sepuluh kali: mulai dari natal oikumene, natal marga (empat marga), natal anak-anak di sekolah, natal kantor lingkungan kerja, natal lorong, dan empat sampai lima perayaan natal di gereja. Ramai memang! Capek? Ya. Ada pula yang merayakannya di siang hari. Lagu “Malam Kudus” dinyanyikan sambil menyalakan lilin dan memadamkan lampu, tetapi tetap terang benderang. Karena merias rambut di salon butuh waktu lama dan biaya, ada pula di antara kaum perempuan yang tidur telungkup agar riasan rambutnya tidak rusak dan bisa digunakan lagi untuk perayaan natal tiga malam berturut-turut.

Sekali lagi, apakah ini salah? Secara tahun liturgi, merayakan natal sebelum tanggal 25 Desember jelas tidak mengikuti tahun liturgi. Karena itu, ke depan ada dua yhal ang sangat penting mendapat perhataian orang-orang Kristen.

Pertama, kembali kepada tradisi gereja yang merupakan pergumulan iman yang menetapkan tahun gerejawi untuk diikuti oleh Gereja. Singkatnya, merayakan natal mulai tanggal 25 Desember hingga sebelum Minggu Ephipanias pada bulan Januari. Jika kumpulan marga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lain-lain mau bersekutu bersama sebelum 25 Desember, dapat merayakan “Advent” atau persiapan Natal. Atau, merayakan Natal sesudah 25 Desember.

Seingat saya Ephorus Emiritus Pdt Dr SAE Nababan pernah dengan sangat gencar menyerukan agar tidak merayakan natal sebelum tanggal 25 Desember. Tapi, entah dengan pertimbangan apa tanggal 18 Desember 2009 beliau berkhotbah dalam "perayaan natal" yang dilakukan Pemko dan DPRD Medan. Yang jelas, tahun liturgi gereja belum berubah meskipun Bapak Nababan berubah pikiran.

Kedua, mengembalikan natal sebagai peristiwa iman yang nampak melalui kesederhanaan, sukacita sorgawi, kepedulian dengan sesama manusia dan alam ciptaan Tuhan. Dua peristiwa yang disaksikan di dalam Alkitab, yaitu gerak hidup para gembala (Lukas 2) dan orang-orang Majus (Matius 2) sangat jelas menunjukkan bahwa peristiwa natal itulah yang memimpin langkah mereka, yang menentukan gerak hidup mereka; bukan sebaliknya seperti kecenderungan saat ini justru kita yang mendisain natal. Kita mengundang Tuhan pada perayaan natal yang kita disain sendiri dengan waktu, lampu, catering, selebriti, santa claus, lucky draw, sebelum kita mau diundang ke hadiratNya untuk mendengar kehendakNya. Anggaran pun mencapai jutaan rupiah. Perayaan seperti ini hanya akan menyisakan yang tidak perlu: sampah, penyakit, hutang, perselirihan, dan dosa. Saatnya kita bertobat. Sebelum amat terlambat.

Sunday, December 13, 2009

KATOLIK DAN HKBP

REFLEKSI SENIN KE-50
14 DESEMBER 2009

Berikut ini adalah salah satu cerita bijak dari Yustinus Sumantri,[1] yang agaknya relevan juga untuk direnungkan oleh gereja-gereja reformasi, termasuk HKBP.

Suatu hari, seorang Uskup didatangi sekelompok umat yang ternyata para anggota dewan sebuah paroki. Mereka menyatakan tak tahan lagi dengan pastor paroki mereka. “Kami mohon, Bapak Uskup,” kata mereka, “memindahkannya ke tempat lain.”

Dengan penuh perhatian Bapak Uskup mendengarkan macam-macam alasan yang mereka kemukakan. Lalu ia berkata, “Kalau nanti saya mengirim seorang imam untuk menggantikannya, sifat-sifat seperti apa yang Anda-Anda harapkan darinya?”

“Kami mengharapkan ia arif, ramah, terbuka, dan suka mendengarkan,” kata seorang bapak yang tampak paling tua di antara mereka.

“Kalau bisa imam yang tidak pilih kasih!” seorang yang lain menimbrung.

Pendapat lain menyusul cepat, “Jangan imam yang suka marah dan membentak-bentak.”

“Kami mengharapkan pastor yang tidak birokratis dan punya empati kepada kaum lemah,” ucap seorang yang tampak termuda di antara mereka dengan penuh semangat.

Suara lirih seorang ibu menyambung, “Monsinyur, beri kami gembala yang tindak-tanduknya mencerminkan tingkat kerohanian yang tinggi.”

Setelah diam sesaat, ada lagi yang mengacungkan tangan seraya berkata, “Di zaman sekarang ini diperlukan imam yang bisa menjadi motivator, organisator, dan inspirator hidup menggereja.”

“Juga tolong, Bapak Uskup, beri kami romo yang kotbahnya tidak membosankan,” cetus seorang yang lain.

Uskup mengangguk-angguk mendengarkan umatnya yang kaya ide tentang imam yang ideal.

Seorang Bapak tampak ragu-ragu sebentar. Akhirnya terucap dari bibirnya, “Harapan kami….,” katanya agak terbata-bata, “harapan kami, paroki kami nanti mendapat imam yang dapat menjaga diri dalam bergaul dengan umat, sehingga tidak tergelincir….”

Semua diam. Terdengar ada yang batuk-batuk kecil.

Bapak Uskup memandangi mereka satu per satu, “Sudah semua?”

Tak seorang pun menjawab.

Akhirnya, Uskup berkata, “harapan Anda sekalian bagus. Sebaiknya para pastor kita mempunyai kualitas seperti itu. Namun, saya khawatir, saya tidak mempunyai imam yang dapat memenuhi semua harapan tersebut.”

Hening. Dari luar terdengar sayup-sayup kenderaan di jalan raya.

“Bagaimana? Kalian tetap mau agar pastor kalian saya pindah, sementara tak ada penggantinya yang sesuai dengan tuntutan kalian?”

Para anggota dewan paroki itu saling pandang. Kemudian yang seorang berbisik kepada yang lain. Tampak mereka sedang mencari kesepakatan.

Selang beberapa menit mereka menyampaikan kepada Bapak Uskup keputusan mereka. Mereka tidak jadi menuntut agar pastor paroki mereka dipindah ke tempat lain.

Dari kisah tersebut (menurut penulisnya) setidaknya dua hal bisa kita petik. Pertama, betapapun besar rahmat dan anugerah Allah yang diterima oleh seorang imam berkat tahbisan imamatnya, ia tetap seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Karenanya, umat juga harus toleran terhadap kelemahan-kelemahan yang ada pada gembalanya. Kedua, kisah tersebut dapat menjadi suatu peringatan bagi para pastor untuk menjaga jangan sampai dirinya menjadi batu sandungan bagi umatnya.

Apa relevansinya bagi HKBP? Mohon komentar Anda. Yang jelas, masalah mutasi pendeta merupakan salah satu persoalan klasik di HKBP.


[1] Yustinus Sumantri, Litani Serba Salah Pastor. 100 Cerita Bijak, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Sunday, December 6, 2009

OBAT PENAWAR RASA JENGKEL

REFLEKSI SENIN KE-49
07 Desember 2009



Ada sebuah biara di mana para penghuninya merasa jengkel mengeluh karena ada satu orang di antara mereka yang hidupnya benar-benar tidak sesuai sebagai seorang biarawan. Mereka merasa terganggu dengan yang satu orang ini. Sikap mereka pun menjadi sinis, tidak peduli bahkan membencinya. Mungkin karena tidak tahan, biarawan yang mengecewakan ini memutuskan untuk keluar dari biara. Anehnya, pimpinan biara mencari dan memintanya kembali ke biara dan ia akan mendapat gaji tetap. Mendengar itu para biarawan yang lain keberatan dan protes. Bagaimana mungkin seorang yang tidak punya itikad baik dan yang sudah keluar dari biara diajak kembali dan diberi gaji pula? Dengan tenang pimpinan biara berkata, “Sebab, dengan tinggalnya dia di sini bersama kalian semua, kalian dapat belajar kesabaran”.

Mungkin ada kalanya kita hidup bersama dengan orang yang kita anggap menjengkelkan, mengganggu ketenangan, apakah itu di tengah keluarga, di lingkungan kerja, di tengah masyarakat, bahkan --celakanya-- bisa saja di dalam gereja pula. Perasaan kita semakin tidak enak, apalagi kalau yang bersangkutan sehat-sehat saja atau makmur secara ekonomi.

Cerita di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk membenarkan dua hal: (1) Tidak membenarkan orang-orang yang menjengkelkan, mengecewakan, menimpakan beban yang tidak perlu terhadap sesama untuk terus-menerus mempertahankan sikap dan perilakunya. (2) Tidak membenarkan perilaku buruk, dengan alasan bahwa keburukan dibutuhkan untuk 'mendidik' orang lain, dan bisa menjadi sarana mendapat 'penghasilan' esktra.

Cerita di atas terutama berlaku dalam konteks 'latihan kesabaran'. Bagaimana bersikap dalam menghadapi orang-orang yang menjengkelkan? Pertama, kita perlu memeriksa ‘ke dalam’; ke dalam hati kita sendiri. Mungkin perilaku buruk seseorang itu benar dan berdasarkan fakta yang tidak bisa disangkal. Tetapi, kita ‘merasa jengkel’ adalah masalah lain. Itu adalah pilihan kita sendiri. Artinya, kita sendirilah yang memutuskan apakah kita mau merasa jengkel atau tidak. Keadaan atau suasana hati kita sangat menentukan sikap dan reaksi kita terhadap orang lain dan situasi tertentu. Jadi, kalau kita merasa jengkel, dongkol, atau bahkan berang, itu semua bukan 'karena' orang lain, tetapi 'karena' kita sendiri.

Kedua, kita berusaha dengan segenap hati dan pikiran untuk memahami orang lain. Hanya dengan kerelaan seperti inilah kita bisa menerima diri seseorang meskipun kita menolak kebiasaan dan keburukannya. Jika ada seseorang yang selalu mendaftarkan ‘kehebatannya’ atau koneksinya dengan ‘orang-orang penting’, misalnya, kita tidak perlu merasa benci dan mencapnya sebagai seorang yang sombong. Mungkin seseorang itu sedang ditekan rasa rendah diri, yang sejak kecil hingga dewasa orang lain tidak pernah menghargainya. Untuk menutupi rasa rendah diri, ia tampil seperti orang hebat. Dengan memahami latar belakang seseorang dan kenyataan hidupnya saat ini, kita lebih mudah menerima dirinya. Sikap ini juga mengindari kita untuk menyebarluaskan kekurangan seseorang kepada orang lain, yang biasanya akan membentuk tembok pemisah bahkan perselisihan.

Ketiga, setiap peristiwa kehidupan menjadi pelajaran berharga asal kita terbuka menerimanya. Keinginan untuk mengubah orang lain bisa saja menghambat perubahan diri kita sendiri. Kata-kata mutiara “dari kesalahan orang lain, seorang berhikmat mengubah dirinya sendiri”, sangat tepat dalam konteks ini. "Saya berubah kalau orang lain berubah" seharusnsya diganti dengan "Saya berubah, semoga orang lain juga berubah".

Keempat, perlu kita sadari bahwa merasa jengkel, muak, benci (kata-kata yang sering digunakan orang untuk menggambarkan perasaan) lebih merusak kebahagiaan kita ketimbang mereka yang kita benci. Jangan kita biarkan apa pun mengeruhkan batin kita dan merampas kebahagiaan kita, tetapi biarlah kejernihan hati dan kebahagiaan kita terpancar dan menjadi berkat bagi orang lain.

Sunday, November 29, 2009

BERTOBAT ATAU KIAMAT

REFLEKSI SENIN KE-48
30 NOPEMBER 2009


Hari-hari ini kita dihentakkan oleh pemberitaan media akan ancaman musibah yang bakal terjadi sebagai akibat dari pemanasan global seperti perubahan cuaca, kenaikan permukaan laut, dan aneka bencana alam sebagai konsekuensinya. Di samping tanggung jawab negara-negara untuk mengurangi tingkat pencemaran, sebenarnya setiap warga bumi ini harus mengambil bagian dalam suatu perubahan radikal, khususnya dalam hal gaya hidup.

Keadaan lingkungan hidup semakin menguatirkan terutama karena dua penyebab (1) Pertambahan penduduk dunia, yang sampai saat ini berkisar 6,5 miliar, dan (2) Konsumsi berlebihan sebagian orang. Sekiranya, semua manusia hidup atas dasar ‘kebutuhan’, sebenarnya bumi ini masih mampu menghasilkannya. Mahatma Gandhi benar ketika ia berkata, “bumi ini cukup menyediakan untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk ketamakan setiap orang”.

Celakanya, justru ketamakanlah yang kian kuat merasuk dan merusak kehidupan pada azaman ini. Menurut pengamatan Simmel, begitu kelas bawah mulai mengenakan busana tertentu, yang tadinya hanya dimiliki kelas atas, mereka menghancurkan perbedaan antara kelas-kelas. Kemudian, kalangan atas membuang pakaian lama dan memakai mode baru untuk mempertahankan perbedaan. Begitulah terus berjalan tanpa ujung.[1] Di Negara-negara kaya seperti Amerika, Jerman, Singapura dan lain-lain kita dapat menyaksikan begitu banyak barang-barang yang sebenarnya masih layak pakai (tempat tidur, sofa, pakaian, peralatan olahraga, alat-alat elektonik, mainan anak-anak) di depan rumah atau di pinggir jalan, atau ditumpuk di tempat penampungan yang disediakan oleh gereja Salvation Army (Bala Keselamatan). Di salah satu tempat penampungan barang-barang bekas di Salvation Army, Singapura, mereka mengangkut sedikitnhya satu truk setiap hari. Kemudian, pihak Salvation Army menjualanya dengan harga murah. Orang-orang berpenghasilan pas-pasan pun mengenakan pakaian bermerk yang dibuang oleh orang-orang kaya.

Bagaiamana barang-barang mewah merusak alam? Sombart mengemukakan beberapa alasan mengapa barang-barang mewah diproduksi untuk kelas atas. Satu faktor terletak pada sifat dari proses produksi itu sendiri. Sebagian besar bahan baku berasal dari negara lain, sehingga waktu dan biaya harus diinvestasikan untuk mengimpornya. Pembuatan barang-barang mewah itu juga umumnya lebih rumit, memakan waktu lama, dan singkatnya mahal: membutuhkan keahlian dan spesialisasi tingkat tinggi para pekerja. Fator lain adalah sifat distribusi dan penjualan barang-barang yang eksklusif. Perdagangan mewah tidak hanya tergantung pada tetapi juga sangat rentan terhadap perubahan dalam mode. Untuk bisa sukses diperlukan modal untuk bertahan hidup di tengah pasar yang berubah-ubah dan fleksibilitas dalam menyesuaikan proses produksi agar sesuai dengan perubahan permintaan pasar.[2] Jadi, mulai dari proses pembuatan, import bahan baku dan ekspor bahan jadi, hingga pembuangannya yang masih dalam kondisi layak pakai, menguras enerji yang sangat banyak dan menghasilkan polusi.

Sebagai umat beriman, sikap hormat kita kepada Allah mestinya ampak dari sikap hormat kita kepada kehidupan. Sikap hormat kita kepada ciptaan Allah dan sesama manusia. Hal ini hendaknya nampak sedikitnya dalam dua perubahan radikal.

Pertama, pola pikir. Erich Fromm pernah mengatakan, “Jika aku adalah apa yang kumiliki, siapakah aku kalau yang kumiliki hilang?”[3] Kita hendaknya tidak mengidentifikasikan diri dengan apa ayang kita miliki, tetapi siapa Pemilik kita, yaitu Allah sendiri. Dalam hal ini, sudah saatnya kita lebih berpaling ke dalam hati nurani untuk membeli dan melakukan sesuatu, yang semuanya pasti berdampak terhadap kelestarian alam ciptaan Tuhan. Kita tidak perlu terlalu banyak menggunakan “pikiran orang lain” soal barang yang kita pakai. Saatnya ‘gengsi’ harus dikaji dan diuji. Sebab, tidak jarang terjadi, atas nama ‘tampil kren’, seseorang memakasa diri. Ada orang yang penghasilnanya pas-pasan, ingin terlihat seperti orang kaya. Ini terjadi karena ada suatu pemahaman keliru bahwa harga diri diukur berdasarkan jenis dan harga barang yang digunakan. Agaknya tidak berlebihan mengatakan tidak logis dan tidak etis seorang yang tidak memiliki pekerjaan, tetapi menggunakan handphone seharga Rp. 4 juta rupiah, dan belum dua tahun sudah ‘dipaksa’ oleh iklan untuk ditinggalkan.

Kedua, pola hidup. Setiap orang mesti menyadari dan terutama mengurangi apa yang disebut dengan carbon footprint.Carbon Footprint sama dengan jumlah total karbon dioksida (CO2) dan gas-gas pemicu pemanasan global lainnya yang dihasilkan oleh suatu produk atau jasa. Misalnya, jika kita membeli sepasang pakaian, carbon footprintnya dihitung mulai dari memproduksi bahan baku pakaian, menjahit, mengemas, mengangkutnya ke toko atau mall, memajang di toko yang membutuhkan listrik, dan seterusnya. Demikian juga untuk barang-barang lain yang kita pakai seperti sepatu, perlengkapan mandi, alat-alat masak, alat-alat kantor, komputer, kendaraan dan lain-lain.

Mereka yang mampu membeli segala sesuatu, justru membutuhkan pertobatan radikal. Tidak sedikit orang kaya yang merasa malu memiliki sepuluh pakaian mewah, tas mewah, sepatu mewah (dan merasa malu memakainya tiga kali berturut-turut), ditambah lagi lima mobil mewah. Tanpa ada niat untuk mengurusi harta kekayaan mereka yang kaya, mereka perlu ditolong untuk bisa menjadi orang kaya yang bertanggungjawab. Saat ini, kelihatannya orang-orang sederhana lebih hormat kepada orang-orang kaya bukan karena apa yang mereka punyai tetapi dengan apa yang mereka sumbangkan untuk kebaikan sesama manusia. Sikap seperti ini perlu ditumbuh-kembangkan oleh setiap orang.


Doa:
Bapa Kami yang di sorga, berikanlah kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan, dan ketika kami memiliki lebih dari cukup kami dapat mengendalikan diri dan menolong mereka yang berkekurangan.





[1] Ulrich Lehmann, Tigersprung. Fashion in Modernity, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2000, p. 169.
[2] Ulrich Lehmann, Tigersprung, p. 170.
[3] Cited by Stan J. Katz and Aimee E. Liu, Success Trap: Rethink your ambitions to achieve greater personal and professional fulfillment, New York: Ticknor & Fields, 1990, p. 185

Sunday, November 22, 2009

MASALAH TANPA BERUJUNG MUSIBAH

REFLEKSI SENIN KE-47
23 Nopember 2009


Seorang penjaga gawang sepakbola Jerman beberapa hari lalu bunuh diri. Media Singapura juga memberitakan seorang ayah yang tega membunuh dua anaknya sebelum ia bunuh diri dengan menerjunkan diri dari lantai 12 apartemennya. Mengapa? Jawabannya: mereka punya ‘masalah’.

Sebenarnya, penyakit, penderitaan, kegagalan mendapat keinginan, penolakan orang lain, dan sebagainya yang biasanya kita sebuat dengan ‘masalah kehidupan’ tidak akan pernah lepas dari kehidupan di dunia ini. Hal ini di satu segi karena kita punya kelemahan dan keterbatanan. Di segi lain, Yesus sendiri tidak pernah menjanjikan jalan hidup yang selalu lurus dan mulus saja. Yang Yesus janjikan adalah ‘penyertaan-Nya’ setiap saat. Itu sebabnya kebenaran ini perlu kita pegang: “Jangan minta supaya laut tidak bergelombang, tetapi mintalah agar Tuhan menyertai kita dalam mengarunginya”.

Dalam hal ini kita dapat menyikapi ‘masalah dalam’ dan ‘masalah luar’ dalam hubungan dengan Tuhan.

Masalah dalam

Masalah terbesar dalam diri kita adalah ‘keinginan untuk lebih’: lebih kaya, lebih ganteng/ cantik, lebih populer, lebih dari orang rata-rata dan sebagainya. Untuk mencapai keinginan-keinginan seperti itu kita tergoda bahkan terjatuh ‘memanafaatkan orang lain’ bahkan memanfaatkan Tuhan. Jika suatu keinginan terpenuhi, mungkin ia dapat member kelegaan sementara yang pada gilirannya akan menciptakan kehausan baru. Jika keinginan tidak terpenuhi, kita kecewa, murung, serba negatif, bersikap pahit atau sinis, mempersalahkan, stress bahkan depresi. Jika hal ini tidak ditangani dengan iman, maka ia bisa berujung pada musibah pada diri sendiri bahkana orang lain.

Untuk menghadapi kenyataan demikian, saya teringat pada dua nasihat bernas sebagai berikut:

Anda ada di sini bukan secara kebetulan, melainkan karena rencana dan pilihan Allah.
Tangan-Nya membentuk Anda dan meciptakan Anda sebagai pribadi sebagaiamana Anda ada.
Ia tidak membandingkan Anda dengan siapa pun. Anda unik.
Anda tidak kekurangan apa pun, yang anugerahNya tidak dapat memberikannya kepada Anda.
Allah mengijinkan Anda berada di sini, dalam perjalanan sejarah yang ada di tangan-Nya untuk mewujudkan rencanaNya kepada generasi sekarang
(Roy Lessin).

Setiap kali kita mencoba untuk menghindari atau melarikan diri dari kesulitan hidup, kita mengambil jalan pintas sebuah proses, menunda pertumbuhan kita, dan akan berakhir dengan kepedihan yang lebih buruk. Bila Anda memahami konsekuensi dari pengembangan karakter Anda, Anda akan berdoa lebih sedikit dengan doa "comfort me" (tolong aku merasa baik) dan lebih banyak doa “conform me" (pakailah masalah ini untuk membuat saya semakin serupa dengan Engkau) (Rick Warren).

Kadang-kadang kita merasa terlalu lama mengetuk pintu dan seolah Allah tidak membuka pintu. Kita tidak menyadari bahwa kita berada di dalam rumah, di hadapan Allah. Sering terjadi bahwa kita menganggap bahwa ‘pintu’ rahmat Allah yang tertup, padahal justru pintu hati kitalah yang tertutup karena terganjal oleh keinginan kita. Kita menginginkan itu, tetapi yang terjadi adalah ini. Jika kita hidup di hadapan Allah, maka kehendak-Nya menjadi kehendak kita. Kita dapat menempatkan keinginan kita di hadapanNya agar kita dapat melihat mana di antara keinginan itu yang benar-benar kebutuhan untuk selanjutnya kita perjuangkan mengandalkan pertolongan-Nya.

Selanjutnya, di samping kita dapat melampaui masalah yang kita hadapi, kita dapat menolong orang lain yang sedang dalam masalah kehidupan. Dalam hal ini kita perlu memegang nasihat P.T. Forsyth: “Anda harus hidup bersama dengan orang untuk memahami persoalan hidupnya, dan hidup di dalam Tuhan untuk dapat menyelesaikanya”

Masalah luar

Kemarin, sebuah ferry tenggelam dalam perjalanan Batam-Dumai, yang menelan korban jiwa. Musibah ini terjadi karena perpaduan dua masalah: masalah luar (tinggi gelombang sekitar enam meter) dan ‘masalah dalam’: jumlah penumpang lebih banyak dari kapasitas kapal dan tidak semuanya terdaftar (suatu masalah kronis dalam perhubungan Indonesia).

Sampai saat ini kita tidak punya ‘kuasa’ untuk mengurangi ketinggian gelombang dari 6 meter menjadi 1 meter agar perjalanan ferry mulus. Tetapi, pola hidup manusia sebenarnya bisa mengurangi tingkat bencana alam. Sebab, banyak ketidakteraturan cuaca saat ini terjadi karena pemanasan global; dan pemanasan global terjadi karena ulah manusia yang mengekploitasi dan merusak alam ini dengan penebangan hutan, polusi kendaraan dan industri, konsumsi berlebihan dan lain-lain.

Mungkin kita sedang mengamban tanggung jawab untuk kesejahteraan dan keselamatan orang lain karena kita bekerja di bidang pengangkutan darat, laut, atau udara. Mungkin kita bekerja dalam lingkungan produksi makanan, pedagang, di rumah sakit dan di mana pun. Di situlah Tuhan memakai kita untuk kebaikan orang lain, bukan menambah masalah apalagi membuat musibah.

PESAN PASTORAL EPHORUS HKBP KEPADA JEMAAT HKBP DI LUAR NEGERI

Ephorus (istilah yang digunakan untuk pimpinan) HKBP , Pdt Dr Bonar Napitupulu menyampaikan ‘Bimbingan Pastoral’ saat beliau mengikuti ibadah Minggu 22/11/2009 di HKBP Singapura. Bimbingan Pastoral tersebut khususnya ditujukan kepada jemaat-jemaat HKBP di luar negeri . Intinya menekankan bahwa Jemaat HKBP di luar negeri merupakan satu kesatuan degan HKBP secara keseluruhan. Sehubungan dengan itu beliau menekankan sedikitnya empat hal:

1. HKBP menganut pelayanan holistik (spiritual dan jasmani secara utuh). Karena itu jemaat HKBP yang ada di luar negeri, termasuk warga jemaatnya secara perorangan, hendaknya memperhatikan jemaat-jemaat HKBP dan anggota keluarga yang ada di Indonesia dengan membantu mereka untuk hidup sejahtera. Misalnya, membantu orangtua yang ada di ‘bonapasogit’ dengan membangun sanitasi yang memadai, membangun kandang ternak bagi mereka yang beternak dan sebagainya. Sebab, masih banyak rumah-rumah di bonapasogit yang tidak memiliki WC. Binatang peliharaan seperti babi dan ayam juga berkeliaran yang sering memicu pertengkaran dengan sesamaa warga desa. Mereka perlu dibantu, bukan hanya sekedar memberi uang untuk beli sirih atau membeli ikan sekali makan.

2. Jemaat HKBP di luar negeri hendaknya tetap menggunakan Tata Ibadah sebagaimana dirumuskan dalam Agenda HKBP. Itu adalah salah satu jati diri HKBP. Jadi tidak perlu meniru-niru dari jemaat lain.

3. HKBP membutuhkan biaya sekitar Rp. 2 miliar setiap bulan hanya untuk para pelayan yang menerima belanja melalui kantor pusat HKBP. (Catatan: Jumlah pelayan dan pegawai yang bekerja di kantor Pusat, Lembaga pendidikan seperti STT HKBP, Sekolah Pendeta, Sekolah Bibelvrouw, Pendidikan Diakones, dll lumayan banyak). Jemaat-jemaat di luar negeri hendaknya tidak hanya memikirkan keperluan jemaat seendiri, tetapi memenuhi kewajibannya. (Catatan: Peraturan HKBP mengatakan bahwa persembahan kedua setiap minggu disetor ke Kantor Pusat HKBP).

4. Para pelayan penuh waktu HKBP adalah ‘gembala’, bukan ‘profesi’ yang menekankan ‘gaji’.

Ompui ephorus berada di Singapura dalam rangka pengobatan lanjutan pasca-kecelakaan berat yang beliau alami tanggal 16 Agustus lalu, ketika mobil yang beliau kendarai sendiri masuk jurang sedalam 160 meter di Sipintupintu, dekat Balige. Saat ini kondisi kesehatan beliau kian membaik. Terpujilah Tuhan.

Saturday, November 21, 2009

EPHORUS HKBP: SOAL ROKOK

Ompui Ephorus HKBP, Pdt Dr Bonar Napitupulu istri boru Sitanggang menjalani medical check-up dan terapi lanjutan di Mount Elizabeth Hospital, Singapura (18/11). Ephorus Napitupulu menuturkan penjelasan Dr Jeffry (yang mengoperasi Ompui) bahwa kondisi tulang pinggul beliau sudah pulih. Dr Jeffry sangat kagum dengan perkembangan kesehatan Ompui karena saat dioperasi tgl 21 Agustus lalu, tulang pinggul Ephorus mengalami keretakan yang sangat parah. Tetapi, saat ini semua bagian tulang yang retak sudah menyatu sedemikian rupa. Ke dapan ini, ompui tidak perlu melakukan check-up lagi ke Singapura; beliau hanya perlu melatih menggerakkan kaki hingga pulih. Sementara itu, Ibu boru Sitanggang yang mengalami patah kaki di bagian pergelangan juga semakin pulih. Ompui Ephorus dan Ibu yang didampingi oleh Pdt Donald Sipaahutar (Kepala Biro Personalia HKBP) dan Esther Napitupulu (putri Dr Napitupulu) akan bertolak ke Sumatra, Senin, 24 Nopember 2009. Tugas-tugas pelayanan sudah menanti, di antaranya penahbisan Guru Jemaat HKBP akhir Nopember 2009 dan Penahbisan Pendeta HKBP awal Desember 2009 di Medan.

Di antara beberapa pandangan yang disampaikan oleh Ompui dalam percakapan santai di penginapan beliau adalah menyangkut kehidupan pelayan HKBP khususnya masalah 'rokok' dan 'jenggot atau jambang'. Intinya, menurut beliau, keduanya, bukan didekati dari soal 'boleh' atau 'tidak boleh', melainkan dengan menjawab pertanyaan, "apakah itu berguna/ mendukung dalam pelayanan atau justru menghalanginya". Dalam hal ini, ompui memberi kesempatan kepada kita yang belum menjawab untuk menjawabnya. Yang jelas, sudah banyak yang menjawab bahwa merokok tidak membangun pelayanan (bahkan dalam artian tertentu merusak pelayanan; bagaimana mungkin persembahan di gereja yang sebagian menjadi uang belanja pelayan gereja justru dibelanjakan untuk rokok yang merusak kesehatan?).

Saturday, November 14, 2009

TEDUH DI TENGAH KEBISINGAN DUNIA

REFLEKSI SENIN KE-46
15 NOPEMBER 2009



Tingkat kebisingan dunia sekitar kian meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan konsentrasi penduduk di perkotaan (yang diperkirakan dalam waktu tidak lama 80% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan). Deru mesin kendaraan, alat-alat berat konstruksi, mesin penyapu jalan, sirene polisi, pemadam kebakaran, ambulans dan sebagainya mengusik keteduhan. Belum lagi orang-orang yang tidak berperikemakhlukan yang dengan sengaja merombak knalpot mobil atau sepeda motornya hingga membuat tekanan darah meninggi. Kebisingan juga mucul dari musik ‘hard rock’ dan sejenisnya yang mewarnai pertelevisian dan media elektronik lain. Tidak diragukan, kebisingan tengah mengitari, bahkan menggempur, kehidupan keseharian kita.

Di samping itu, kebisingan yang tidak kalah dahsyatnya adalah kebisingan dalam diri kita: apa yang menjejali pikiran dan hati kita. Ia bisa dalam bentuk obsesi atau hasrat ekstra-kuat untuk mencapai sesuatu; keinginan kuat untuk menggenggam atau mempertahankan sesuatu agar tidak lepas seperti jabatan, tempat tinggal, pendapat, dan harta. Itu juga bisa dalam bentuk kebencian dan sakit hati menahun kepada orang, situasi, tempat, atau apa saja.

Kita tidak dapat berbuat banyak terhadap kebisingan luar. Kebanyakan kebisingan itu di luar kendali kita. Tetapi, kita dapat mengurusi kebisingan yang ada dalam diri kita. Untuk itu kita perlu meluangkan waktu untuk ‘hening’ atau berdiam diri. Di sini, diam tidak saja berarti tanpa kata-kata, tetapi seperti yang dikatakan oleh van Kaam "diam atau hening spiritual adalah mengosongkan diri dalam rangka memberi ruang kepada Allah dalam hidup ini”. Menyadari kehadiran dan pekerjaan Allah kini dan di sini. Hanya dengan demikian, kita dapat melihat kehidupan ini dengan penglihatan Tuhan sendiri dan menapaki perjalanan dengan pimpinan-Nya. Sebab, sadar atau tidak, seringkali hidup, aktivitas, dan pola berpikir kita berada di luar pimpinan Tuhan. Semuanya telah dipandu oleh TV, mall, keinginan orang lain, dan keinginan diri sendiri. Inilah yang membuat hidup menjadi amat berat atau malah hampa tanpa makna serta kehilangan pengharapan.

Jalan menuju keheningan batin adalah ‘meditasi Kristen’. Duduk dengan tegak tetapi rileks; percaya dan menyadari kehadiran Tuhan kini dan di sini; mengatakan kata doa seperti ‘Imanuel’ (Allah beserta kita) secara teratur dan berulang-ulang, sekaligus menolong kita mengatasi pelanturan pikiran yang biasanya berkelana ke tiga tempat (1) masa lalu, (2) masa depan, (3) angan-angan atau ilusi. Dalam meditasi kita tidak berkata-kata, tidak meminta kepada Tuhan, tetapi ‘berada bersama Tuhan’.

Barangkali pertanyaan yang paling umum mengemuka adalah: “APA YANG SAYA DAPAT DARI MEDITASI?” Hal ini dapat kita mengerti karena orang-orang pada zaman ini sudah terbiasa menggunakan kalkulator. Semua dihitung berdasarkan pertimbangan ‘untung-rugi’. Celakanya, cara yang sama juga diterapkan dalam hal kehidupan spiritual atau bergereja. Cara itu mestinya tidak berlaku untuk meditasi Kristen. Ia tidak alat untuk rileksasi, bukan pula alat untuk mendapat kebahagiaan (walaupun itu semua penting dan bisa saja datang dari meditasi). Kita hendaknya meninggalkan 'mental hadiah' ketika kita berhadapan dengan Allah, Bapa kita yang sempurna. Yang kita dapat dalam meditasi adalah: ALLAH ITU SENDIRI. Dan kita tahu, jika kita memiliki Allah, kita memiliki segala sesuatu yang Ia kehendaki. Jadi, kita fokus pada Sang Pemberi, Allah kita, bukan pada pemberian-Nya.

Hidup di dalam dan bersama Tuhan itulah menentukan seluruh cara hidup, pola berpikir, sikap, reaksi, tindakan kita bergerak. Kita akan melihat pekerjaan dan kehendak Tuhan dalam setiap situasi yang kita hadapi. Menerima apa yang tidak bisa kita ubah. Perjumpaan kita dengan orang lain akan jauh berbeda. Kita akan lebih toleran karena kita menghargai semua dan setiap manusia. Kita akan lebih tabah menghadapi beban yang perlu dan mampu membuang beban yang bukan salib. Hidup menjadi apa adanya, tanpa dipaksa dan memaksa.

Saya teringat pada sebuah kata-kata bijak, “Siapa menjual masa mudanya untuk sebuah kekayaan, ia harus bersiap-siap menjual kekayaannya untuk kesehatan, yang belum tentu berhasil.” Syukur kepada Tuhan, kita dimungkinkan hidup dalam kerajaan Allah, meskipun kita masih di dunia ini. Kerajaan Allah, di mana, semuanya berjalan seturut rancangan Allah, bukan rekayasan manusiawi.

“Bapa, datanglah kerajaan-Mu, di bumi dan dalam diri kami, seperti di sorga.” Amin

Saturday, November 7, 2009

MENGAPA SAYA HADIR DI DUNIA INI?

REFLEKSI SENIN KE-45
09 Nopember 2009

.
Berikut ini adalah salah satu “cerita bijak” Y. Sumantri dalam bukunya Angin Barat Angin Timur.
.
Dunia membutuhkan orang-orang:

yang tidak bisa dibeli
yang perkataan-perkataannya bisa diandalkan
yang lebih menghargai karakter daripada kekayaan
yang mempunyai pendapat sendiri dan berkemauan keras
yang lebih besar dari jabatannya
yang tidak gentar untuk mengambil risiko
yang tidak kehilangan individualtasnya dalam kumpulan massa
yang jujur terhadap soa-soal yang kecil maupun yang besar
yang tidak mengadakan kompromi dengan yang jahat
yangtidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri
yang tidak mengatakan bahwa mereka melakukan sesuatu karena “tiap orang melakukannya”
yang setia kepada kawan-kawannya dalam keadaan susah dan senang
yang tidak percaya bahwa kelicikan, keras kepala, dan tipu muslihat adalah cara-cara untuk mencapai sukses
yang tidak malu atau takut untuk berpegang pada kebenaran meskipun tidak populer
Dan yang dapat berkata “tidak” dengan tegas, meskipun seluruh dunia berkata “ya”.

Yang inti dari untaian kata-kata amat bermakna di atas adalah pentingnya menjadi diri sendiri sebagaimana Tuhan menghendakinya. Pribadi yang peka menangkap apa kehendak Tuhan dari hidup ini. Dalam hal ini dibutuhkan nurani yang terbuka mendengarkan sapaan Tuhan dan kehidupan yang bebas dari segala macam belenggu yang melumpuhkan kehidupan.

Gambaran tentang gajah yang dirantai mungkin sudah sering kita dengar. Karena begitu lama dirantai (dan ranatai itu tertanam dalam benak sang gajah), ketika rantai yang kokoh itu diganti dengan tali rafia, sikap gajah tetap sama seperti menghadapi rantai besi. Sebenarnya, ia bisa lepas dan bebas karena kekuatannya jauh melampaui kekuatan tali rafia. Masalahnya, tali pengikat berubah, tetapi pikiran gajah tidak berubah. Lepas dari belenggu rantai, masuk ke belenggu pikiran. Hasilnya sama: tidak menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Gambaran yang sama tidak asing dalam pengalaman kita keseharian, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam sebuah persekutuan atau bahkan dalam kehidupan berbangsa. Bayangkan seorang yang sudah menderita sakit puluhan tahun, yang sudah terbisa atau ‘menyesuaikan diri’ dengan penyakit itu sendiri. Pada saat kondisinya lebih baik atau mendekati sembuh, bisa saja ia tetap merasa sakit. Pembatasan-pembatasan fisik seperti makanan, pergerakan, bahan pemikiran, aktivitas masih tetap seperti ‘pola sakit’. ‘Merasa’ tidak mampu melakukan sesuatu. Padahal, yang masalah hanyalah ‘perasaan’ atau ‘isi pikiran’, bukan sebuah kenyataan.

Begitu juga dalam kehidupan bergereja yang mungkin sejak lama terus menerus dicemari perselisihan (Menyedihkan juga memang. Sebab, justru di gerejalah sebenarnya kita mendapat keteduhan dan sekaligus menjadi alat perdamaian. Sayang sekali, kedagingan, yang mewujud dalam arogansi, pementingan dan penonjolan diri, perasaan hebat, kerakusan akan kuasa dan harta telah menggerogoti tubuh gereja-gereja masakini). Pengalaman-pengalaman nyata sebelumnya, sadar atau tidak, sering mempengaruhi sikap kita terhadap gereja. Kita menjadi apatis dan sinis. “Ah, tidak rahasia lagi kok, memang gereja-gereja tak ada yang beres!” Demikian, misalnya, ungkapan kekecewaan berbaur rasa pesimisme yang mengemuka.

Sikap dan reaksi demikian tidak akan pernah membawa kita pada maksud dan tujuan kita diciptakan dan ditempatkan ke dunia ini. Sebab, keadaan demikian membuktikan bahwa kita terbelenggu atau lebih tepatnya membelenggu diri. Kita beranggapan (keliru) bahwa keadaan kita berubah jika keadaan sekitar berubah. Padahal, sebaliknyalah yang terjadi: keadaan sekitar akan berubah jika kita berubah. Berubah dalam artian kembali ke rencana awal kelahiran dan kehadiran kita di dunia ini.

Dalam hal ini, mari kita sungguh-sungguh berpaling pada hati nurani, hati nurani yang dimurnikan dan didiami oleh Roh Tuhan, di mana kita dapat dengan jernih melihat tujuan hidup kita. Dengan demikian, kita akan dapat menerima diri sendiri, bahagia dengan diri sendiri, dan mewujudkan tugas panggilan yang dipercayakan Tuhan kepada kita dengan sukacita. Pada waktu yanga sama, kita juga bahagia dengan karunia Tuhan yang dicurahkan kepada orang lain, tanpa berkeinginan ‘menjadi seperti orang lain’; terbeban dengan kekurangan diri sendiri dan orang lain tanpa menghukum diri dan menghakimi orang lain.

Jika kita iklas memulainya pagi ini, kita akan melihat buahnya mulai nanti sore.

KETERATURAN SINGAPURA

Salah satu yang sangat mengesankan dari kehidupan di Singapaura adalah penataan setiap sudut pulau kecil ini yang begitu baik dan rapi.

Saturday, October 31, 2009

EMPAT PINTU SEBELUM MULUT

REFLEKSI SENIN KE-44
02 NOPEMBER 2009

Banyak persoalan di dunia ini yang disebabkan oleh perpaduan antara
“pikiran sempit” dan “mulut lebar.”

(Anonim)


Dari pengalaman kita belajar bahwa kata-kata dan cara bertutur kita yang buruk sering berujung pada perselisihan bahkan pertengkaran, baik dalam lingkup kecil maupun dalam skala yang lebih luas seperti pertengkaran suami-istri atau perpecahan dalam jemaat. Hubungan baik kita di tengah keluarga dan jemaat biasanya rentan percekcokan jika ada orang yang memiliki hobbi atau kebiasaan membicarakan kekurangan orang lain (baik yang mengandung kebenaran, apalagi banyak pula yang hanya sebagai prasangka dan –lebih buruk lagi-- buatan sendiri secara sengaja). Mungkin ada semacam kelegaan tersendiri dari kebiasaan ini.

Jika kita runut ke akarnya, hal yang paling menentukan kata dan cara bertutur kita adalah ‘suasana hati kita’. Ada kalanya keburukan yang kita lihat pada orang lain sebenarnya mencerminkan keberadaan diri kita. Misalnya, jika seseorang mengatakan si anu itu sombong, kikir, bisa saja karena ia dihinggapi perasaan rendah diri atau tidak ada orang yang memujinya. Dapat dicatat bahwa membicarakan kebobrokan orang lain merupakan cara yang tidak jujur untuk memuji diri kita sendiri.

Berikut ini ada empat pintu yang harus kita lalui sebelum membicarakan kekurangan atau dosa orang lain kepada yang bersangkutan:

Pintu 1: Motivasi jernih

Untuk merefleksikan apa yang ada di luar kita, seperti kekurangan atau keburukan orang lain, kita perlu menyadari apa yang sedang terjadi dalam diri kita saat itu. Ada kalanya (tidak selamanya): keburukan yang kita lihat dalam diri orang lain, mencerminkan keadaan kita saat itu. Jadi, kalau kita melihat langit mendung, kita harus memastikan bahwa kita tidak sedang mengenakan sunglasses. Kita perlu memeriksa suasana hati kita. Ketika kita sedang gundah, marah, memendam rasa benci, kecewa, biasanya raut wajah, kata-kata dan penampilan kita juga akan tercemar. Penilaian kita juga biasanya tidak objektif. Jadi, kita perlu melakukan “emosional check-up”: memeriksa kesehatan emosi kita. Janganlah kita buru-buru melakukan penilaian atau mengambil sebuah keputusan ketika kita dalam keadaan emosi tercemar.

Jika kita benar-benar menemukan kekurangan orang lain, maka untuk memberitahukannya mestilah mengalir dari niat hati yang benar-benar murni dan dengan semangat persaudaraan, bukan hanya dengan modal ‘keberanian’. Jika seseorang mengetahui dan merasakan bahwa kita mengasihi seseorang itu, biasanya ia akan menerima apa yang kita sampaikan. Meskipun rasanya pahit, ia akan menelannya sebagai obat penyembuh dirinya sendiri dan pemulih hubungannya dengan orang lain.

Kata-kata kita dapat meneguhkan dan menghancurkan, tergantung pada ‘mesin penggeraknya’ dari dalam diri kita. Sapi meminum air dan ia mengeluarkan susu, ular meminum air dan mengeluarkan bisa berbahaya.

Pintu 2: Tujuan yang jelas

Tujuan utama adalah untuk terjadinya perubahan diri yang bersangkutan dan mencegah agar dosa tidak berkembang. Tidak mencelakakan yang bersangkutan dan tidak menular kepada yang lain. Jadi, tidak ada unsur mempermalukan orang lain atau merendahkannya di hadapan orang lain.

Lagi pula, jika kita benar-benar melihat kekurangan orang lain, kita seharusnya pertama-tama ‘kembali’ ke diri kita sendiri. Seperti pesan sebuah kata bijak, “Melihat kekurangan orang lain, orang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri.” Orang yang tergolong ‘sempurna’ pun, membeli pensil yang disertai penghapus juga. Artinya, semua manusia memiliki kelemahan dan selau membutuhkan rahmat pengampunan dan pembaharuan diri.

Dalam hal ini, jika ada seseorang yang memiliki kebiasaan membicarakan kekurangan-kekurangan orang lain kepada kita, kita hendaknya tidak menikmatinya. Bukan saja karena akan ada saatnya kekurangan kita sendiri menjadi pokok percakapannya kepada orang lain, tetapi juga karena secara tidak langsung kita melanggengkan kebiasaannya. Yang lebih celaka, kalau pengungkapan kekurangan orang lain justru menggiring pada perilaku yang lebih berbahaya. Seorang istri, misalnya, mesti waspada ketika seorang laki-laki lain membicarakan kekurangan istrinya sendiri. “Aduh, istri saya itu luar biasa cerewet, tidak bisa mengurus diri, tidak romantis; beda dengan Anda yang lembut, keibuan dan romantis!” Kalimat ini adalah tanda-tanda bahaya!

Pintu 3: Doa

Kita percaya bahwa urusan Tuhan belum selesai kepada setiap orang. Proses pembentukan-Nya masih tetap berlangsung. Dalam hal ini kita hendaknya berserah diri pada Tuhan dan memohon hikmat dan pimpinanNya. Hikmat selalu berisikan semangat penyelesaian masalah tanpa menambah atau memperparah masalah. Kita menyerahkan yang bersangkutan dan menyerahkan masalah yang ada pada Tuhan.

Kehidupan doa dalam hal ini menyadarkan kita bahwa yang mengubah bukan kita, melaiankan kuasa Tuhan sendiri. Di samping itu, sesungguhnya doa juga berperan untuk ‘mengubah diri kita sendiri’.

Pintu 4: Cara dan waktu yang baik

Kita perlu mencari waktu dan situasi yang lebih tepat, seperti saat-saat mood seseorang itu dalam kondisi baik. Orang cenderung menolak kebenaran jika ia sedang menghadapi situasi, kondisi dan cara yang tidak tepat.

Jika kita dapat menemukan cara dan waktu yang tepat, maka untuk menegur suami, misalnya, seorang istri tidak perlu menggunakan jasa ibu mertua. Sebaliknya, untuk mengingatkan istri, seorang suami tidak perlu memakai jasa ibu mertua atau kakak ipar.

Di sini kita dapat merenungkan dan menghidupi firman Tuhan berikut ini:
Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah
seperti buah apel emas di pinggan perak.
Teguran orang yang bijak adalah seperti cincin emas dan hiasan kencana untuk telinga yang mendengar

( Amsal 25:11-12).

Dari firman Tuhan ini kita bisa belajar akan pentingnya perpaduan ‘isi’ dan ‘cara:’ (1) Kita bertanggungjawab mengingatkan sesama akan kekurangan dan dosa-dosanya. (2) Dalam penyampaiannya, kita mesti mempertimbangkan berbagai hal. Salah satu di antaranya adalah “menyampaikan tepat pada waktunya”. Itu yang digambarkan sebagai buah apel emas di pinggan perak, yang artinya berharga, bermanfaat dan memungkinkan sebuah perubahan ke keadaan yang lebih baik.

BEASISWA T.A. 2009-2010

Terima kasih banyak kepada para donatur yang sudah menjadi perpanjangan tangan Tuhan menolong siswa-siswa SMP di Parlilitan pada tahun ajaran 2008/2009. Untuk tahun ajaran 2009/2010 ada banyak siswa yang tetap membutuhkan bantuan agar mereka dapat menjalani studinya dengan baik. Yang tergerak oleh Roh untuk membantu, mohon menghubungi kami di victor.tinambunan@gmail.com

Yang sudah menyatakan komitmen membantu adalah:

Anthon Simangunsong (Singapura) S$1200/ tahun untuk 10 orang
JM (Solo)……………………… Rp. 100.000/ bulan untuk dua orang
NS (Singapore)…………….. Rp. 250.000/ bulan untuk 5 orang

PENERIMAAN

NS (Singapore) Oktober 09 ....... Rp. 1.670.000 (S$250xRp. 6700)
Anthon Simangunsong Jan 2010 Rp. 7.920.000 (S$1200xRp. 6600)

****************************************************
Yang sudah membantu dan sudah disalurkan kepada para siswa selama tahun ajaran 2008/2009 adalah

1. Anthon Simangunsong (Singapore) - Ags 08-Juli 09 :Rp.7.680.000
2. JM (Solo-Jawa Tengah)- Ags 08-Juli 09 …………… :Rp. 1.500.000
3. John Sihotang (New York) – Ags 08 – Juli 09…….. : Rp. 750.000
4. Johnny Tobing (Singapore)………………………………. : Rp.1.626.000
5. NN (Singapore) – Ags 08-Juli 09 .......................... : Rp. 600.000
6. NS (Singapore – Ags 08 – Juni 09……………………. : Rp. 2.725.000
7. Ramses Butarbutar (Spore) – Okt 08-Ags 09……… : Rp. 3.085.000

TOTAL.......................................... Rp. 17.966.000

Friday, October 30, 2009

LAPORAN AKHIR TA 2008-2009

LAPORAN AKHIR PENYALURAN DANA BEASISWA
KEPADA 27 SISWA SMP NEGERI PARLILITAN
T.A. 2008/2009

I. UNTUK SMPN 2 PARLILITAN
.
PENERIMAAN:

1. Anthon Simangunsong (Singapore) - Ags 08-Juli 09 :Rp.7.680.000
2. JM (Solo-Jawa Tengah)- Ags 08-Juli 09 …………….... :Rp. 1.500.000
3. John Sihotang (New York) – Ags 08 – Juli 09…….... : Rp. 750.000
4. NN (Singapore) – Ags 08-Juli 09 ............................ : Rp. 600.000
5. NS (Singapore – Ags 08 – Juni 09……………………..... : Rp. 2.725.000
6. Ramses Butarbutar (Spore) – Okt 08-Ags 09……….. : Rp. 3.085.000
7. Johnny Tobing (untuk SMPN 3, lihat di bawah)

Total Penerimaan………………………………………… : Rp. 16.340.000

PENGIRIMAN/ PEMBAYARAN

1. 12 bulan x Rp. 1.350.000 …………............................ = Rp. 16.200.000
(27 siswa x Rp. 50.000/ bulan = Rp. 1.350.000)
2. Biaya transfer 12 x Rp. 5000………………………………… = Rp. 60.000

Total pengiriman………………………………………. = Rp. 16.260.000

Untuk informasi penyaluran beasiswa dapat menghubungi kepala SMPN Parlilitan, Bapak Drs Mangansam Sagala, HP +6281376844860
.
.
II. SMPN 3 PARLILITAN dan SDN Siringoringo
.
Penerimaan dari:
1. Bpk Johnny Tobing....................... Rp. 1.626.000
2. Christi dan William....................... Rp. 337.500
.
Jumlah Penerimaan ........................ Rp. 1.963.500
Pengiriman:...................................... Rp. 1.525.000

Sunday, October 25, 2009

H O R M A T

REFLEKSI SENIN KE-43
26 OKTOBER 2009

Untaian kata-kata bijak Mark Twain berikut amat mencerahkan nurani: “Lebih baik berhak mendapat kehormatan dan tidak memilikinya, ketimbang memiliki kehormatan tetapi tidak layak memilikinya”.

Dengan rasa malu tanpa malu-malu saya ingin mengungkapkan disini beberapa ‘penilaian’ yang disertai dengan kerinduan yang saya dengar baru-baru ini dalam perjalanan ke Sumatra. Intinya adalah krisis karakter para pemimpin dan pelayan masyarakat dan gereja. Terlepas dari objektif tidaknya penilaian mereka, yang jelas kesan dan harapan mereka perlu direnungkan dengan sungguh-sungguh demi sebuah perubahan menuju kebaikan.

Di antara ungkapan hati yang terdengar adalah menyangkut tata krama, estetika, kepantasan berpakaian dan kemampuan memimpin para pendeta muda. Seorang pentua misalnya, mengisahkan seorang pendeta yang ‘brewokan’ mengenakan singlet dan celana pendek sambil menyuapi anaknya di depan gereja ketika sebuah acara berlangsung di gereja dan banyak orang yang meyaksikannya. Setahu saya memang tidak ada peraturan tertulis yang mengatur jenggot dan pakaian pendeta dan argumentasi bisa saja tak kunjung usai soal boleh tidaknya seorang pendeta mengenakan celana pendek atau buka baju di depan umum. Tetapi masalahnya bukan hanya soal ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’. Kita juga perlu mempertimbangakan soal ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’. Keteladanan pelayan gereja akan memperkuat ajakan kepada warga jemaat yang akhir-akhir ini ada kecenderungan sulit membedakan orang mau ke gereja atau mau tidur atau bahkan ke kolam renang.

Masyarakat juga mempercakapkan kenyataan begitu banyaknya para pejabat pemerintahan di Indonesia yang saat ini meringkuk di penjara yang umumnya karena korupsi. Umumnya yang menjadi sorotan adalah perilaku para koruptor. Jarang sekali terdengar sorotan kepada masyarakat sendiri yang dalam artian tertentu juga berperan menyuburkannya: (1) Menginginkan anak-anaknya menjadi pejabat, tidak peduli apakah mereka jujur atau tidak. (2) Memberi suap untuk urusan tertentu; (3) Meminta bantuan dana untuk pembangunan sarana ibadah agama tertentu; (4) Mengelu-elukan dan memuja-muji ketika menyambut mereka; (5) Merasa bangga kalau punya kesempatan berfoto dengan mereka, dan sebagainya. Mohon tidak disalahmengerti seolah menyambut pejabat dan berfoto bersama mereka sesuatu yang salah. Yang salah adalah menganggap lumrah bahkan setuju terhadap tindak korupsi ketika dekat dengan mereka.

Sejatinya, orang terhormat adalah orang-orang yang benar-benar melakukan hal-hal yang terhormat. Sayangnya, pengalaman kita menunjukkan begitu banyak orang yang dihormati hanya karena jabatan atau posisinya, bukan karena karakter pribadinya.

Jika demikian, apakah kita tidak perlu menghormati pejabat pemerintahan, pelayan gereja yang tidak menunjukkan perilaku terhormat? Begini saja. Semua dan setiap orang harus kita hormati sebagai manusia yang berharkat. Hormati dan kasihi orangnya, tolak perilaku buruknya. Kunjungan Yesus kepada Zakheus menunjukkan hal ini. Yesus membenci dosa tapi mengasihi Zakaheus yang adalah orang berdosa. Berbeda dengan sikap orang banyak yang membenci Zakheus. Dan, justru pendekatan Yesus yang seperti itulah yang mengubah Zakheus.

Jangan kita minta orang lain menghormati kita. Tugas kita adalah menghormati dan menghargai sesama serta menunjukkan perilaku terhormat.

Saturday, October 24, 2009

TERIMA KASIH

Dari ketulusan hati, kami mengucapkan terima kasih banyak atas doa dan kata penghiburan (melaui kunjungan, email, FB, SMS, telepon, bunga), serta bantuan dana yang kami terima pada saat bapak mertua saya, Kapt (Purn) Pondang Pangaribuan meninggalkan kami pada tanggal 15 Oktober lalu. Kebaikan hati bapak dan ibu sungguh-sungguh meneguhkan hati kami.

Nama-nama yang kami sebutkan dibawah ini adalah mewakili semua yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan menyapa dan menolong kami dalam berbagai cara:

Gereja Presbyterian Orchard-Singapura
Gereja Presbyterian Bukit Batok-Singapura
HKBP Sidorejo-Medan
HKBP Singapura
Ikatan Alumni Haggai Institute Indonesia di Singapore (IAHII-Singapaura)
Komunitas Indonesia di Trinity Theological College - Singapore
Komisi Wanita GPO - Singapore

Pdt. A. A. Zaitun Sihite - Pekanbaru
Pdt Adolv Bastian Marpaung - Pematangsiantar
Allen Bintang/ Mama Pasha - Singapore
Anthon Simangunsong/ Veronika manurung - Singapore
Pdt Ayub Yahya - Singapore
Pdt Basa Hutabarat - Singapore
Benhard Ambarita/ br Pangaribuan - Singapore
Bontor Panjaitan/ br Simbolon - Singapore
Christovita Wiloto/ Novita Saragih - Singapore
Dr. Darwin Tobing - Pematangsiantar
Dolf/ Debora Situmeang - Singapore
Edwin saragih - Medan
Eliakim Sitorus - Medan
Dr. Ferdinand Nainggolan - Singapore
Hamonangan Sitorus/ Lasma Saragih - Singapore
St Harry P. Sianturi/ br Lubis - Singapore
Helena Simatupang - Singapore
Pdt. Johny Hermawan - Singapore
St. J. Sibuea/ br Simanjuntak - Singapore
Pdt Jones Nainggolan/ br Pangaribuan - Medan
Johny L. Tobing /Christianti Hutagalung – Singapore
Jonny Simanjuntak/ br Silitonga - Singapore
Maria Lumbantobing (Mama Daniel) - Singapore
Mama Ramoti - Singapore
AKBP Drs M.P. Nainggolan - Medan
Praeses MTH Tampubolon - Batam
Kel. Op. Mikhael Manik br Gultom - Singapore
Pdt Paul Munthe/ br Purba - Singapore
Ramses Butarbutar/ br Hutabarat - Singapore
Dr. Renhard Silalahi/ br Sihombing - Singapore
Roma Lumbantobing - Medan
Ronald Hutagalung - Medan
St Sabar Halomoan Butarbutar - Singapore
Sahala Sianipar/ Natasha Napitupulu - Singapore
Sahat Lubis/ br Hutabarat - Singapore
Sahat P. Gultom/ Gloria Sinaga - Singapore
Pdt Sanggam Siahaan - Batam
Suwardi Nahampun - Surabaya
U.P. Sihaloho/ br Saragi – Batam
Kel. Tambunan/ br Simatupang (Mama Matayas) - Singapore
Toga Sihombing/ br Simanjuntak - Singapore
Ibu Zega-br Aritonang - Batam

Doa dan harapan kami, kiranya Tuhan sumber segala kebaikan dan berkat, senantiasa menyertai dan memberkati bapak dan ibu hari demi hari.

Riwayat Singkat Bapak Kapt (Purn) Pondang Pangaribuan.
Lahir 23 Maret 1929 di Laguboti
Masuk sekolah Polisi tahun 1953 dan tugas pertama di Aceh
Menikah dengan Moinar Matondang; dikaruniai Tuhan 8 anak (4 laki-laki dan 4 perempuan)
Pensiun dari tugas Polisi di Polda Sumatra Utara-Medan tahun 1989

Tuesday, October 20, 2009

MENGAPA

REFLEKSI SENIN KE-42
19 oKTOBER 2009


Setiap orang mempunyai pertanyaan ‘mengapa’. Tapi tak semua pertanyaan ‘mengapa’ ada jawabnya. Misalnya, “mengapa” orang-orang baik mendapat nasib buruk dan orang-orang berperilaku buruk justru ‘baik-baik’ saja? Mengapa orang yang makan tidak teratur, istirahat tidak teratur, dan bicara ngawur, tapi bernasib mujur, bahkan pilek pun tidak pernah? Padahal, orang yang begitu ketat menjaga kesehatan justru sakit-sakitan?

Seorang ibu pernah mengeluh setelah berpuluh tahun berpeluh mengusahakan kesembuhan suaminya. Padahal, suaminya begitu aktif bergereja, memberi banyak sumbangan untuk pembangunan gereja, tetapi penyakitnya tidak kunjung sembuh. Sementara orang yang tidak pernah berdoa, tidak pernah bergereja, apalagi memberi perpuluhan malah makin ‘makmur’ saja. Mengapa? Mengapa? Tak ada jawab.

Anda mempunyai pertanyaan ‘mengapa’ sekarang? Mungkin pertanyaan itu begitu kuat menyita perhatian Anda. Bagaimana kita menyikapinya? Begini. Setiap pertanyaan 'mengapa' yang tidak mendukung pertumbuhan iman, apalagi menghantar kita sampai menggugat kedaulatan Allah, seharusnya kita tanggalkan dan tinggalkan. Sebab, jika kita larut dalam pertanyaan seperti itu, yang tidak ada ujungnya, bia saja membuat kita semakin frustrasi.

Sebagai penggantinya, kita bisa menjawab dua pertanyaan ‘apa’. Pertama, pelajaran APA yang kita petik dari situasi ini. Mungkin kita bisa belajar kesabaran, ketabahan, penghematan dan sebagainya dari suatu peristiwa kehidupan yang tidak kita mengerti. Kedua, APA yang bisa kita lakukan dalam situasi ini? Artinya, daripada larut atau bahkan tertekan oleh pertanyaan ‘mengapa’ yang tidak terjawab, kita dapat melakukan sesuatu. Misalnya, daripada bertanya, mengapa gempa menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat, lebih baik kita berbuat sesuatu seperti mendoakannya dan memberi bantuan konkrit sesuai kemampuan kita masing-masing. Daripada hanya bertanya ‘mengapa’ lalulintas di kota-kota Indonesia semrawut dan jorok, lebih baik kita memberi keteladanan berlalulintas. (Di Medan, yang dianggap ‘jago’ atau hebat adalah pengendara motor yang berhasil menerobos lampu merah, tanpa mengenakan helm pengaman dan bonceng tiga pula!).

Banyak pertanyaan ‘mengapa’ (walaupun tidak semua) yang harus dijawab dengan pertanyaan baru ‘apa’ untuk mendapaat solusi.

Tuesday, October 13, 2009

GEMPA PADANG

Bersama dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air di Padang, warga jemaat dan gereja HKBP Padang juga menjadi korban bencana gempa beberapa waktu lalu. Bapak Pdt Sampur Manullang, Pendeta HKBP Ressort Padang yang berhasil kami hubungi via telepon mengatakan bahwa:

- Seorang warga jemaat HKBP meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan
- 200 KK warga HKBP kehilangan rumah karena hancur
- Dua gedung gereja hancur
- Sebuah gedung serbaguna rusak

Alangkah baiknya jika kita merelakan diri sebagai perpanjangan tangan Tuhan untuk sedikit meringankan beban saudara-saudara kita dengan apa yang bisa kita lakukan. Di samping mendoakannya, kita juga bisa memberi bantuan konkrit.

Bantuan dapat kita salurkan langsung ke HKBP Padang ke rekening:
POSKO PEDULI KASIH HKBP PADANG
BRI Cab Khatib Sulaiman Padang
No Rek. 0669-01-002962-50-7
A.n. Noar Pakpahan dan Togang Simangunsong


Atau ke:

HKBP PEDULI GEMPA SUMATRA BARAT;
BNI Capem Tarutung,
No. Rek. 0178620759.


Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, jangan kita tinggalkan Dia dan sesama kita.


Foto-foto kondisi gereja HKBP Padang pasca-gempa dapat kita lihat di:
http://picasaweb.google.com/andreorajagukguk/GempaPadang#

Sunday, October 11, 2009

DARI MATAKU KE MATANYA

REFLEKSI SENIN KE-41
12 Oktober 2009


Pernah mendengar vonis di luar ‘sidang’ oleh yang tidak berwewenang? “Musibah yang ia alami merupakan balasan dari Tuhan”. “Bencana alam yang menimpa mereka karena tanggal lahir pemimpin adalah angka sial”.

Kata ‘menghakimi’ berasal dari kata Yunani krino, yang kita temukan beberapa kali di dalam Alkitab. Pengertian berbeda-beda, i antaranya, penilaian atau perkiraan biasa (Luk 7:43); memperkarakan dalam pengadilan (Mat 5:40); penghakiman terakhir oleh Yesus (Mat 19:28); penentuan sebuah hukuman sebelum kesalahan seseorang jelas (Yoh 7:51); penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang (Yoh. 5:22; 8:16).

Kedua pengertian terakhir: (1) penentuan sebuah hukuman sebelum kesalahan seseorang jelas dan (2) penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang) ini lebih dekat pengertiannya dengan kata ‘menghakimi’ dalam Mat 7:1-5. Yesus memperingatkan murid-murid-Nya dan orang-orang Yahudi pada zaman itu agar tidak menempatkan diri mereka sebagai ‘hakim’ bagi yang lain dan mengumumkan kesalahan orang lain atas nama Allah. Peringatan yang sama juga ditujukan kepada kita yang hidup pada zaman ini, yang juga belum lepas dari kebiasaan menghakimi.

Contoh konkrit yang kita alami sehari-hari, misalnya mengajak orang lain untuk menjaga jarak atau bahkan menyingkirkan seseorang hanya karena sebuah prasangka bahwa seseorang itu berkelakuan buruk. Hal ini dapat merusak persekutuan dan persaudaraan termasuk dalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat. Yang lebih parah adalah mengatakan bahwa bencana yang terjadi kepada sebuah daerah adalah karena hukuman Allah atas dosa-dosa masyarakat setempat. Atau, kalau seseorang mendapat musibah kita dengan mudah mengatakan bahwa itu hukuman dari Allah. Itu termasuk ‘menghakimi’.

Di samping itu, sikap yang lebih cepat dan lebih suka melihat kesalahan orang lain (yang juga tergolong menghakimi) disoroti secara tajam oleh Tuhan Yesus. “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Memang ada orang yang merasa lega dengan membahas kesalahan-kesalahan orang lain, karena langkah itu dianggap bisa mengangkat ‘harga dirinya’. Agar harga diri meningkat, harus merendahkan orang lain! Untuk menghindari diri dari sikap demikian, bernarlah kata-kata bijak yang berbunyi, “dari kesalahan-kesalahan orang lain, orang yang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri”.

Inti masalahnya, yang menghakimi adalah seorang yang ‘munafik’ (7:5). Itu sebabnya Tuhan Yesus selanjutnya memberi perintah “keluarkanlah dahulu selumbar itu dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” Yang menghakimi tidak dapat menolong orang lain karena mata rohaninya terhalang oleh tiang di matanya sendiri. Selain itu, untuk mengubah orang lain harus dimulai terutama dengan mengubah diri sendiri. Ketika pengikutNya membuang tiang ‘pembenaran diri’, maka ia akan dapat melihat dengan mata kerendahan hati ‘noda’ yang mungkin ada pada sesamanya. Bukan untuk memperalat ‘noda’ orang lain itu untuk menghukumnya, melainkan untuk pembaharuan hidupnya. Tanda dari persekutuan orang percaya yang sehat adalah adanya tanggung jawab setiap orang untuk menolong satu sama lain menghilangkan ‘noda’ dosa setiap anggota persekutuan. Tetapi, itu harus mengalir dari kerendahan hati dan hidup pribadi yang sudah diuji (bnd Gal 6:1-5).

Hal ini berpadanan dengan pengajaran Yesus sebelumnya yang menegaskan “Berbahagialah orang yang murah hati (Mat 5:5). Menghakimi adalah kebalikan dari kemurahan hati. Itu juga yang nampak dari bagian doa Bapa Kami: “Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami (Mat. 6:12).

Saturday, October 3, 2009

KOTA: DIKEJAR MESKI TAK SEGAR

REFLEKSI MINGGU KE-40
Senin, 05 Oktober 2009

“1,4 Juta Warga Jakarta Sakit Jiwa” demikian judul Renungan Harian yang dikirimkan Christovita Wiloto ke beberapa milis (termasuk milis Ikatan Alumni Haggai Institut-IAHI- di Singapura). Dalam uraiannya disebutkan bahwa stres menjadi salah satu gangguan kejiwaan yang sering dialami warga Jakarta. Ia mengutip hasil riset Strategic Indonesia yang diungkapkan dalam sebuah talkshow Kamis (1/10) "Carut Marut Kota Jakarta, Picu Tingkat Stres", yang mengatakan bahwa dari total jumlah pasien puskesmas se-Jakarta tahun 2007, warga Jakarta yang mendapat perawatan akibat stres mencapai sekitar 1,4 juta jiwa. “Bila dirunut lebih jauh, penyebab stres ini antara lain berakar pada carut marutnya tata ruang di Jakarta. Masalah lingkungan dan tata ruang kota yang tidak terbenahi memperburuk tingkat stress”, demikian Wiloto menambahkan.

Sebenarnya, stress sudah merupakan ‘penyakit kota’, baik kota yang tertata rapi maupun yang semrawut. Hanya saja, kesemrawutan kota dapat menggandakan tingkat stres. Kota-kota di Indonesia semua semrawut. Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Pekanbaru, Medan, semua tak tertata rapi, tidak hijau dan jauh dari bersih. Ditambah lagi dengan kenyataan di kota-kota tersebut yang panas, udara terpolusi, jalan macet, klakson mobil dan deru knalpot kendaraan memekakkan telinga, saluran air penuh sampah dan berbau busuk. Semuanya menambah tingkat ketegangan. Belum lagi keamanan dan rasa nyaman yang tidak terjamin dengan berkeliarannya para penjambret. Keadaan keseharian seperti ini amat mudah menyulut amarah kaum kolerik yang tidak dapat mengontrol diri dan memacu kecemasan bagi mereka yang introvert. Di kota-kota itu juga banyak saudara-saudara sebangsa yang mengemis, membuat yang berperikemanusiaan merasa iba dan yang angkuh memandang hina. Kontras dengan kehidupan pahit itu muncul pula mobil Audi, Volvo atau Jaguar, yang bisa saja memunculkan berbagai rasa: mulai dari rasa rendah diri hingga iri dan dengki sambil menghakimi. Semuanya menambah intensitas stres.

Celakanyaa, keadaan kota-kota seperti itu tidak mengurungkan niat orang-orang berlomba ke kota. Agaknya, 'uang' menjadi alasan utama. Semakin uang dikejar ke kota, semakin sesak pula kota-kota, tata ruang kota makin rumit, pasokan oksigen segar berkurang, akhirnya urat saraf pun makin tegang pula.

Bagaimana dengan kota-kota yang tertata rapi seperti Singapura dan kota-kota di Jerman atau AS? Tingkat stres juga tergolong tinggi. Tetapi, sekiranya kota-kota itu tidak tertata rapi, kita tidak bisa bayangkan bagaimana parahnya tingkat stres di sana. Kota-kota di Jerman tidak ada berpenduduk sepuluh juta ke atas. Hal ini membuat persebaran penduduk lebih merata, yang tentu menjadi lebih mudah ditata. Kota Singapura misalnya, ditata begitu apik dengan jalan-jalan yang bagus dilengkapi dengan trotoar untuk pejalan kaki, pohon-pohon yang subur memenuhi pinggir jalan dan hunian penduduk. Tidak ada polisi lalau-lintas lalu-lalang, tetapi para pengendara sangat berdisiplin. Hampir tidak ada yang menerobos lampu merah. Perhentian bus yang teratur membuat para penumpang bus dapat memperkirakan berapa menit dari mana ke mana. Banyak pejabat Indonesia yang sudah berulangkali mengunjungi Singapura dan kota-kota lain di luar negeri untuk berobat, berbelanja atau sekadar mengaso. Barangkali mereka, pada saatnya yang tepat, akan menerapkan apa yang baik di Singapura dan kota-kota di negara maju lainnya untuk kebaikan Indonesia.

Perpaduan antara penataan yang baik dari pihak pemerintah dan tingkat kesadaran masyarakat membuat keadaan kota yang indah dan bersih di Singapaura. Itulah masalah kita sekarang: perpaduan antara komitmen pemerintah yang rendah dan kesadaran masyarakat yang rendah pula. Akibatnya? Parah! Pemerintah Indonesia di semua tingkat tidak memanfaatkan dana pembangunan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya yang mebuat kualitas bangunan kurang baik dan penataan lingkungan dan kebersihan kurang memadai. Keadaan ini diperparah oleh beberapa anggota masyarakat yang memiliki ketegaan ekstra mengambil sarana publik untuk kepentingan pribadi. Tong sampah saja hilang dari pinggir jalan. Bahkan, besi jembatan dicabut dan dipakai untuk kepentingan pribadi. Ditambah pendirian bangunan dan penempatan harta benda masyarakat sesuka hati. Semua ini menambah kesemrawutan dan semakin memacu tingkat stres.

Sejauh ini kita masih lebih banyak bicara soal pemicu stres dari luar diri kita: dari lingkungan sekitar. Kita mesti melihat juga apemicu yang paling dahsyat dari dalam diri kita. Dari harapan-harapan kita, kejengkelan, sakit hati, kemarahan, kesombongan, ketidakpedulian, kerakusan. Ini yang benar-benar sepenuhnya dalam kendali kita. Kita bisa menebas akarnya agar stres tidak sampai menjadi sesuatu yang kronis.

Kita membutuhkan keheningan dan kejernihan batin. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Pemazmur: (ayat ini mudah diingat Mazmur 62:2 dan 62:6)

Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari padaNyalah keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.
Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab daripadaNyalah harapanku. ********...............

Ketika kita hidup dan berjalan di kota yang semrawut pun kita bisa teduh dan dari keteduhan yang sama kita dapat berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Kita juga tidak perlu mengejar kota hanya karena ‘keinginan’ saja, walaupun tidak ada salahnya tinggal di kota seturut dengan kebutuhan dan tugas panggilan.

Sunday, September 27, 2009

TEST TINGKAT KEKUATIRAN

REFLEKSI MINGGU KE-39
Senin, 28 September 2009

Apakah Anda termasuk orang yang 'kuatir'? Sebelum menjawabnya, perlu jelas dulu apa yang dimaksud kuatir di sini. Dalam Matius 6:25-34 terdapat enam kali kata ‘kuatir’. Sebuah kata yang sifatnya negatif. Tidak menolong. Bahkan, merusak. Kata kuatir di situ diterjemahkan dari kata Yunani merimna yang dapat diterjemahkan begini: “mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan diri itu sendiri untuk suatu hal”. Yang dalam kotbah Yesus kekuataairan berkaitan dengan makanan, minuman, dan pakaian. Artinya, yang bersifat lahiriah. Jadi, kuatir akan makanan kurang lebih seperti motto “Hidup untuk makan; bukan makan untuk hidup.” Yang penting merasa enak dan puas. Tak peduli apakah makanan itu sehat atau tidak.

Sebenarnya, tidak ada masalah dengan makanan sejauh dalam kecukupan dan untuk kesehatan. Yesus sendiri menyertakan makanan sebagai bagian dalam Doa Bapa Kami: “Berikanlah kepada kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Kata ‘secukupnya’ perlu digarisbawahi. Ini sekaligus mengingatkan kita bahwa ketika bertemu dengan makanan, sebenarnya kita terutama bertemu dengan Bapa, sang Pemberi makanan. Bapa yang menghendaki kecukupan, bukan pemenuhan selera pelahap berlebihan. Makanan secukupnya juga berarti kebutuhan gizi untuk kesehatan. Tidak sedikit orang Indonesia, atas nama praktis dan pemenuhian selera, sarapan pagi dengan indomi, makan siang siang dengan supermi, dan makan malam dengan pop mi. Praktis, memang. Tapi kebiasaan ini termasuk ‘sadis’ juga. Sebab, pola makan seperti itu justru merusak kesehatan. Padahal, uang untuk membeli mi instant sudah dapat membeli sayur dan tempe yang sehat.

Keragaman dan cara penyajian makanan juga sah-sah saja, sejauh masih dalam koridor kecukupan, kesehatan dan penggerak terhadap pemebuhan tugas panggilan di dunia ini. Pernah seorang istri mengeluh dan berkata, “Saya heran melihat suami saya. Hari Senin dia suka tahu-tempe; Selasa dia suka tahu-tempe; Rabu dia suka tahu-tempe; hari Kamis juga dia suka tahu tempe. Eh, tiba-tiba hari Jumat dia tidak suka tahu-tempe. Aneh, bukan?” katanya. Yang aneh itu siapa?

Yesus juga menekankan agar kita tidak kuatir akan pakaian. Kuatir, seperti pengertian di atas, mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan hidup hanya untuk mengumpul pakaian –baju, rok/ celana, sepatu, perhiasan dan sebagainya. Memang, kuatir soal pakaian dulu dengan sekarang kelihatannya amat berbeda. Kalau dulu, karena kurangnya uang, orang kuatir tidak punya pakaian. Sekarang, kuatir tidak memiliki semua yang ditawarkan di internet atau mall. Orang-orang yang punya uang sekarang bukan karena kurang pakaian secara kuantitas dan kualitas bahannya. Ada yang kurang memang sekarang ini. Ada yang kurang besar, kurang panjang, kurang sopan (di kota-kota sering kita sulit membedakan orang mau ke mana; di angkutan umum bahkan di gereja mengenakan 'pakaian renang').

Terkadang kita sulit mengerti mengapa orang justru menghamburkan uangnya untuk yang mahal untuk sebuah penampilan yang ‘menakutkan’. Bukankah agak ‘menakutkan’ kalau seorang perempuan misalnya mengenakan pakaian hitam, sepatu hitam, alis mata ditato hitam, rambut dicat biru dan pakai lipstik hitam pula. Padahal biaya dan waktu yang dialokasikan untuk ‘merias’ diri seperti itu pasti lumayan banyak. Masalahnya adalah, ada orang yang lebih dikendalikan oleh ‘dunia luar’ (iklan, pikiran orang, pajangan mall) bukan dari suara hati. Orang yang kuatir akan pakaian adalah pewujudan dari hasrat menarik perhatian orang lain.

Apa tanda yang lebih konkret kuatir akan pakaian?
Misalnya saja: ketika seseorang naik angkutan umum, menghadiri pertemuan atau pesta, ke gereja, nonton TV yang terutama diperhatikan adalah pakaian, tas, sepatu dan aksesoris orang lain. Dari penglihatan itu muncul keinginan untuk memilikinya atau yang lebih bagus dan lebih mahal dari yang dilihat. Atau, ketika seseorang hendak ke gereja, untuk memutuskan pakaian mana yang akan dipakai sudah mulai memikirkannya sejak Sabtu. Hingga besoknya bolak-balik di depan lemari pakaian melihat mana yang akan dipakai. Orang-orang seperti ini adalah orang yang menyerahkan dirinya 'dikendalikan' oleh orang lain.

Sesunguhnya harga kekuatiran akan makanan dan minuman sangat mahal ditanggung oleh bumi ini. Karena itu, perintah Yesus, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan Kebenarannya” ada hubungannya dengan pola makan, pola hidup, dan bagaimana membelanjakan uang kita. Artinya, ketika hendak membeli makanan, minuman dan pakaian kita mesti berangkat dari keberadaan kita sebagai warga Kerjaan Allah, yang di antaranya nampak melalui kepedulian kita kepada sesama dan kelestarian alam, serta untuk kemuliaan Allah.

Saturday, September 19, 2009

DUA MACAM STRESS

REFLEKSI MINGGU KE-38
SENIN, 21 SEPTEMBER 2009



Stephen R. Covery membedakan dua macam stress yaitu distress dan eustress. Distress datang dari rasa benci terhadap pekerjaan dan berbagai tekanan hidup yang datang menghadang serta merasa diri sebagai korban. Distress dapat melumpuhkan hidup.

Di antara sekian pemicu distress adalah perasaan khawatir akan berbagai hal dalam hidup ini. Padahal, lebih banyak dari yang kita khawatirkan itu tidak terjadi. Sebuah penelitian yang pernah dilakaukan oleh Universitas Wisconsin menunjukkan bahwa :
- 40 persen yang biasanya dikuatirkan orang tidak terjadi;
- 30 persen yang dikuatirkan orang adalah hal-hal yang sudah terjadi dan tidak bisa diubah;
- 20 persen yang dikuatirkan orang adalah hal-hal yang sangat sepele.
- Hanya 8 persen yang dikuatirkan orang yang tergolong serius.

Pertanyaannya, mengapa manuasia memboroskan enerji 92 persen untuk yang tidak berguna? Ini adalah soal pilihan. Kita yang memilih dan menentukan sendiri apakah kita mau khawatir atau tidak.

Bagaimana orang-orang menangani distress? Dalam era konsumerisme yang melanda dunia saat ini, banyak orang yang mengambil langkah keliru meneduhkan distress dengan ‘makan berlebihan’ dan ‘berbelanja pakaian’. Mereka mungkin merasa lega untuk sementara. Tetapi, langkah ini tidak menyehatkan bagi diri sendiri dan dunia sekitar. Ini akan menguras enerji, menguras dompet dan menguras sumber daya alam. Jadi, ada hubungan langsung penanganan stress seperti ini dengan kerusakan alam. Semakin stress, semakin banyak mengkonsumsi makananan dan barang-barang, semakin hancur pula lingkungan hidup.

Jenis stress yang kedua adalah apa yang disebut dengan eustress, yang datang dari ketegangan posotif antara ‘di mana kita sekarang’ dan ‘ke mana kita hendak pergi’. Beberapa pekerjaan dan kenyataan hidup yang benar-benar membuat kita bersemangat dan dapat mewujudkan bakat, talenta dan kemampuan kita untuk kebaikan”. Stress yang seperti ini jangan kita padamkan. Sebab, menurut Dr Selye, bahwa eustress menguatkan system imun tubuh kita, menguatkan dan mengembangkan kemampuan positif kita. Tetapi, esutress ini harus diseimbangkan dengan istirahat dan rileks yang cukup. Kita membutuhkan ‘management stress’ atau ‘management eustress’. Sebagai orang Kristen kita hendaknya secaraa teratur melakukan doa, kontemplasi (membaca dan merenungkaan firman Tuhan) dan meditasi (duduk, diam dan merasakan kehadiran Allah, tanpaa kata dan tanpa permohonan).

Jangan membakar lilin dari kedua ujungnya. “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).


ShoutMix chat widget