Sunday, September 27, 2009

TEST TINGKAT KEKUATIRAN

REFLEKSI MINGGU KE-39
Senin, 28 September 2009

Apakah Anda termasuk orang yang 'kuatir'? Sebelum menjawabnya, perlu jelas dulu apa yang dimaksud kuatir di sini. Dalam Matius 6:25-34 terdapat enam kali kata ‘kuatir’. Sebuah kata yang sifatnya negatif. Tidak menolong. Bahkan, merusak. Kata kuatir di situ diterjemahkan dari kata Yunani merimna yang dapat diterjemahkan begini: “mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan diri itu sendiri untuk suatu hal”. Yang dalam kotbah Yesus kekuataairan berkaitan dengan makanan, minuman, dan pakaian. Artinya, yang bersifat lahiriah. Jadi, kuatir akan makanan kurang lebih seperti motto “Hidup untuk makan; bukan makan untuk hidup.” Yang penting merasa enak dan puas. Tak peduli apakah makanan itu sehat atau tidak.

Sebenarnya, tidak ada masalah dengan makanan sejauh dalam kecukupan dan untuk kesehatan. Yesus sendiri menyertakan makanan sebagai bagian dalam Doa Bapa Kami: “Berikanlah kepada kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Kata ‘secukupnya’ perlu digarisbawahi. Ini sekaligus mengingatkan kita bahwa ketika bertemu dengan makanan, sebenarnya kita terutama bertemu dengan Bapa, sang Pemberi makanan. Bapa yang menghendaki kecukupan, bukan pemenuhan selera pelahap berlebihan. Makanan secukupnya juga berarti kebutuhan gizi untuk kesehatan. Tidak sedikit orang Indonesia, atas nama praktis dan pemenuhian selera, sarapan pagi dengan indomi, makan siang siang dengan supermi, dan makan malam dengan pop mi. Praktis, memang. Tapi kebiasaan ini termasuk ‘sadis’ juga. Sebab, pola makan seperti itu justru merusak kesehatan. Padahal, uang untuk membeli mi instant sudah dapat membeli sayur dan tempe yang sehat.

Keragaman dan cara penyajian makanan juga sah-sah saja, sejauh masih dalam koridor kecukupan, kesehatan dan penggerak terhadap pemebuhan tugas panggilan di dunia ini. Pernah seorang istri mengeluh dan berkata, “Saya heran melihat suami saya. Hari Senin dia suka tahu-tempe; Selasa dia suka tahu-tempe; Rabu dia suka tahu-tempe; hari Kamis juga dia suka tahu tempe. Eh, tiba-tiba hari Jumat dia tidak suka tahu-tempe. Aneh, bukan?” katanya. Yang aneh itu siapa?

Yesus juga menekankan agar kita tidak kuatir akan pakaian. Kuatir, seperti pengertian di atas, mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan hidup hanya untuk mengumpul pakaian –baju, rok/ celana, sepatu, perhiasan dan sebagainya. Memang, kuatir soal pakaian dulu dengan sekarang kelihatannya amat berbeda. Kalau dulu, karena kurangnya uang, orang kuatir tidak punya pakaian. Sekarang, kuatir tidak memiliki semua yang ditawarkan di internet atau mall. Orang-orang yang punya uang sekarang bukan karena kurang pakaian secara kuantitas dan kualitas bahannya. Ada yang kurang memang sekarang ini. Ada yang kurang besar, kurang panjang, kurang sopan (di kota-kota sering kita sulit membedakan orang mau ke mana; di angkutan umum bahkan di gereja mengenakan 'pakaian renang').

Terkadang kita sulit mengerti mengapa orang justru menghamburkan uangnya untuk yang mahal untuk sebuah penampilan yang ‘menakutkan’. Bukankah agak ‘menakutkan’ kalau seorang perempuan misalnya mengenakan pakaian hitam, sepatu hitam, alis mata ditato hitam, rambut dicat biru dan pakai lipstik hitam pula. Padahal biaya dan waktu yang dialokasikan untuk ‘merias’ diri seperti itu pasti lumayan banyak. Masalahnya adalah, ada orang yang lebih dikendalikan oleh ‘dunia luar’ (iklan, pikiran orang, pajangan mall) bukan dari suara hati. Orang yang kuatir akan pakaian adalah pewujudan dari hasrat menarik perhatian orang lain.

Apa tanda yang lebih konkret kuatir akan pakaian?
Misalnya saja: ketika seseorang naik angkutan umum, menghadiri pertemuan atau pesta, ke gereja, nonton TV yang terutama diperhatikan adalah pakaian, tas, sepatu dan aksesoris orang lain. Dari penglihatan itu muncul keinginan untuk memilikinya atau yang lebih bagus dan lebih mahal dari yang dilihat. Atau, ketika seseorang hendak ke gereja, untuk memutuskan pakaian mana yang akan dipakai sudah mulai memikirkannya sejak Sabtu. Hingga besoknya bolak-balik di depan lemari pakaian melihat mana yang akan dipakai. Orang-orang seperti ini adalah orang yang menyerahkan dirinya 'dikendalikan' oleh orang lain.

Sesunguhnya harga kekuatiran akan makanan dan minuman sangat mahal ditanggung oleh bumi ini. Karena itu, perintah Yesus, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan Kebenarannya” ada hubungannya dengan pola makan, pola hidup, dan bagaimana membelanjakan uang kita. Artinya, ketika hendak membeli makanan, minuman dan pakaian kita mesti berangkat dari keberadaan kita sebagai warga Kerjaan Allah, yang di antaranya nampak melalui kepedulian kita kepada sesama dan kelestarian alam, serta untuk kemuliaan Allah.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget