Saturday, September 5, 2009

MENYIASATI RASA BOSAN


REFLEKSI MINGGU-KE-36
Senin, 07 September 2009

Tak selamanya menunggu itu membosankan. Buktinya? Semua pasien yang hendak menjalani operasi lusa, 48 jam dari sekarang, bisa saja merasa seperti 30 menit. Beda sekali ketika seorang suami yang baru menunggu istrinya 2 menit di mobil merasa 2 jam (Bahkan sampai ke tempat tujuan tidak ‘ngomong’ dengan istrinya karena ia tersulut amarah).

Mungkin akan lebih jelas jika kita menyebutkan beberapa perbandingan lain. Perjalanan lewat pesawat udara Medan-Jakarta membutuhkan waktu 2 jam, tetapi terasa lebih lama ketimbang berlibur yang menyenangkan selama 2 hari penuh. Atau kita merasa kotbah di gereja 30 menit sangat panjang atau lama padahal 1,5 jam di bioskop terasa sangat cepat berlalu. Satu setengah jam pelajaran matematika terasa lebih lama ketimbang keliling-keliling di dalam mall selama 4 jam.

Sebenarnya dari segi pergerakan waktu 2 jam sama dengan 2 jam. Di jam merk apa pun; merk Seiko atau Sieko. Tetapi mengapa terkadang 2 jam terasa 4 jam dan sebaliknya 4 jam terasa seperti 4 menit saja? Masalahnya ada di ‘perasaan’. Ketika kita ‘fokus’ pada waktu yang kita butuhkan cuma 15 lagi ke sebuah pertemuan, maka 3 kali lampu merah yang hanya tiga kali setengah menit, bisa ‘terasa’ seperti berjam-jam. Beda kalau kita mau membayar hutang banyak bulan depan (30 x24 jam) terasa 3x2 jam.

Jika masalahnya ada di ‘perasaan’, maka perasaan itulah yang perlu kita periksa dan tangani. Salah satu cara menangani perasaan kita adalah memeriksa ‘pusat perhatian’ kita. Sebab, ‘fokus’ kita menentukan ‘perasaan’ kita. ‘Perasaan’ perlu dikendalikan. Bahkan, ada kalanya perlu ‘dijinakkan’. Sebab, tidak semua yang ‘terasa enak’ itu menyehatkan dan membangun. Gula terasa enak, tetapi tanpa pengendalian diri, gula dapat mencelakakan. Sayur terasa hambar, tetapi ‘wajib’ untuk kesehatan.

Begitu juga dalam mengalami waktu. Ketika ‘perasaan’ berkata bahwa kotbah membosankan, misalnya, fokus mesti diubah: kita mengisi waktu untuk menangkap satu saja yang baik dan benar-benar meresapkannya atau berdoa agar Roh Tuhan memimpin sang pengkotbah. Lamanya khotbah tetap sama, tetapi ‘rasa bosan’ dapat disiasati dengan memikirkan dan melakukan yang lebih bermanfaat. Hati kita pun tetap bisa bening tanpa dicemari rasa dongkol. (Tentu, ini tidak menjadi pembenaran bagi para pengkotbah untuk mempersiapkan dan menyampaikan khotbah setengah hati. Seorang pengkotbah yang baik, di samping menghidupi apa yang ia khotaahkan, juga mempersiapkannya dengan sunguh-sungguh serta menyampaikannya dalam pimpinan Tuhan).

Jadi, ‘menunggu’ itu bukan membosankan. Yang benar adalah: ada orang yang merasa bosan menunggu –yang perlu menangani rasa bosannya dengan menghidupi perjalanan waktu dengan hal-hal yang bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Tetapi, kita juga hendaknya tidak memberi ‘rasa bosan’ kepada orang lain dengan berlama-lama menunggu apa yang perlu kita tunaikan tepat waktu, seperti kehadiran di pertemuan, membayar hutang, dan menepati janji.

Fokuslah pada Tuhan, dengan pertolonganNya kita tidak merasa bosan dan tidak membosankan.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget