Friday, November 16, 2007

DAFTAR ISI

Untuk mempermudah Anda menemukan topik yang Anda minati, berikut ini adalah topik-topik yang ada dalam blog ini berdasarkan kategorinya:

RENUNGAN MENJALANI 2009

http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/AA-MENJALANI%20TAHUN%202009

Sekali lagi tentang "Memadamkan Amarah"
Yang Istimiwe dari Orang Percaya
Memecah keraguan akan Tuhan
Usia 40-an: usia krisis?
Melepas kelekatan
Hubungan kehidupan bergereja dan kehidupan sehari-hari
Memenangkan ujian hidup
Berbahagia di tahun Tuhan- Sebuah Renungan Menjalani 2009


CERITA CERMINAN HIDUP
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/CERITA%20CERMINAN%20HIDUP

Kucing atau Ibu Mertua?
Berkat, Mujizat dan Rahmat
Ketika perubahan terjadi
Singkong dan Keju Pendeta
Posisi Berdoa Tapi Otak Ternoda
Tidur dan Ibadah

EKOLOGI
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/EKOLOGI


Minyak habis 34 tahun lagi?

Air
Bersahabat dengan pohon
Tugas Panggilan Menghargai Ciptaan Tuhan
Eco-spirituality dalam konteks Asia
Kepemilikan Allah atas bumi & tanggung jawab manusia

HKBP

http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/Huria%20Kristen%20Batak%20Protestan%20%28HKBP%29

Persembahan: Perpuluhan atau Perseratusan?
HKBP: Berpusat di Sorga, Berkantor di Pearaja
The New Leadership of the HKBP
Pimpinan HKBP 2008-2012
Ephorus HKBP 2008-2012
Menanti Pimpinan HKBP 2008-2012
Pemimpin
Sapaan Tuhan Melalui Sahabat
Tata Ibadah HKBP
Tinjauan Kritis Tata Gereja HKBP
Pembaharan: mulai dari batin hingga ke masyarakat
Mewujudkan HKBP Yang Terbuka dan Dialogis

KECERDASAN EMOSIONAL

http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/KECERDASAN%20EMOSIONAL

Perasaan
Sukses dan Rasa Malu
Evaluasi Kehidupan
Surat Yang Menyembuhkan
Hati-hati dengan Hati
Mengatakan Keburuan orang lain, boleh?
Masalah Memberi Kesan
Menjadi Berkat, Bukan menjadi hebat
Test Tingkat Kesadaran
Tambah Usia Tanpa Gelisah
Hubungan Emosi dengan Kesehatan

KELUARGA
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/Keluarga


1. Pengampunan yang menyembuhkan
2. Orangtua dan Anak: Kuasa atau Kasih?
3. Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

4. Membuat bahagia tanpa Memanjakan

KEPEDULIAN SOSIAL

http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/KEPEDULIAN%20SOSIAL

Dari 'Melayat Politik' Hingga 'Kebaktian Politik'
Pemilu Indonesia di Singapura
Dukungan untuk Para Buruh di Batam
Mengenali dan Mengatasi Kekerasan
Kesederhanaan dan Solidaritas
Menghadapi Kekuasaan Yang Lalim
Coram Deo – Di hadapan Allah
Memoria
Pembaruan budi dalam rangka pembaharuan gereja dan masyarakat

KOMUNIKASI

Kehadiran
Tiga Tipe 'Problem Solver'
Reaksi
Masalah Triangulation dalam Komunikasi
Seni Mendengarkan

KOTBAH DAN PENGKOTBAH:
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/KHOTBAH%20DAN%20PENGKHOTBAH

Pengkotbah dan kotbah yang bagaimana
Kotbah Yang Hidup
Pengkotbah

KUNCI KEBAHAGIAAN:
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/KUNCI%20KEBAHAGIAAN

Perasaan

Memecah Keraguan
Apa yang kamu cari?
Keputusan Tanpa Keputusasaan (1)
Keputusan Tanpa Keputusasaan (2)

MEDITASI KRISTEN
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/MEDITASI%20KRISTEN

Meditasi Kristen
Cuti 10 Menit

MOTIVASI JERNIH

http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/MOTIVASI%20JERNIH

1. Bertanya
2. Kasih: jarak pendek dan jarak jauh
3. Motivasi

OBAT STRESS

http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/OBAT%20STRESS

Ketabahan Dalam Segala Keadaan
Khasiat Senyum dan Tawa
Cuti 10 Menit

PA (PEMAHAMAN ALKITAB)
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/PA

Memberi 'karena' bukan 'supaya'
Menanti Dengan Hati Damai
Lidah Ibadah dan Lidah Limbah
Fokus Pada Pemberi, bukan Pemberian
Hilang di rumah sendiri
Teguh Menghadapi Musuh

PELAYAN GEREJA
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/PELAYAN%20GEREJA

Transformational Leadership
Menebas Akar Perselisihan dalam Jemaat
Finishing Well
Seminar Haggai Institute
Jabatan Gerejawi
Karakter Pelayan

PERILAKU MANUSIA
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/PERILAKU%20MANUSIA

Affluenza
Angka
Memutus Mata Rantai Sakit hati Menahun
Lidah Ibadah dan Lidah Limbah
Tobat = Obat
Ketika Anda disalahmengerti
Rokok
Memberi Kesan
Menjadi Berkat Bukan Menjadi Hebat
Memilih: Sulit atau kita persulit?

SPIRITUALITAS:
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/SPIRITUALITAS

Memaknai Kehidupan
Evaluasi Kehidupan
Yang Pokok dan Yang Sampingan
Menyikapi Krisis Ekonomi
Hati-hati dengan hati
Memecah Keraguan
Yang Terutama
Burung
Khasiat Pengampunan
Prayer Therapy
Latihan Doa Kontemplatif
Mensyukuri Hari Pemberian Tuhan
Memaknai Perjumpaan Dengan Tuhan
Spiritual Check Up
Menguji Roh-Roh Zaman

TEOLOGI JEMAAT
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/TEOLOGI%20JEMAAT

Persembahan: Perpuluhan atau Perseratusan?
Mengapa Anda ke Gereja?:
Natal: Kembali ke Makna Awal
Menebas Akar Perselisihan dalam Jemaat
Allah dan Indonesia
Hepeng

TINAMBUNAN-MARGA
http://victor-tinambunan.blogspot.com/search/label/TINAMBUNAN-MARGA
































Tuesday, November 13, 2007

KASIH: Jarak Pendek & Jarak Jauh

“Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”
(Ibrani 10:24)


Berbicara tentang hubungan kehidupan bergereja dengan kehidupan sehari-hari, sedikitnya ada lima kelompok orang:

(1) Orang yang tidak perduli terhadap kehidupan bergereja (tidak hadir dalam ibadah Minggu dan PA, tidak mau membaca Alkitab dan berdoa) dan hidupnya sehari-hari pun penuh dengan kebiasaan buruk bahkan tidak bermoral.


(2) Orang yang rajin ke gereja, tidak pernah absen di perkumpulan PA, berdoa setiap kali mau makan, tetapi seolah-olah tidak ada pengaruhnya yang nyata terhadap kehidupan sehari-hari. Karakter buruk tetap melekat, seperti suka marah bahkan berang, memendam dendam, melakukan korupsi, pergi kepada dukun dan lain-lain.


(3) Tidak rajin ke gereja dan tidak banyak tahu tentang isi Alkitab, tetapi dalam hidup sehari-hari ia hidup baik, jujur, ramah, bekerja dengan sungguh-sungguh, suka menolong sesama manusia.


(4) Sesekali pergi ke gereja dan hidup biasa-biasa saja, tidak terlalu jahat dan tidak baik sekali. Sungkan menghujat Allah tetapi kehidupannya tidak sepenuhnya berpadanan dengan kehendak Tuhan. Tidak mau mengganggu orang lain, tetapi juga tidak bersedia menolong sesama.


(5) Rajin dan terlibat aktif dalam seluruh kehidupan bergereja, baik dalam ibadah pribadi maupun bersama-sama dan itu juga terpancar dalam hidupnya sehari-hari dalam berbagai perbuatan baik.

Kita boleh melihat di kelompok mana kita dan keluarga kita masing-masing berada. Yang ideal memang adalah nomor 5 ini.

Ibrani 10:24 berbicara tentang hubungan iman dan ibadah dengan kehidupan keseharian. Ayat ini mesti dilihat sebagai satu kesatuan mulai dari ayat 19 yang menegaskan bahwa Yesus Kristus telah membuka jalan bagi kita untuk masuk ke dalam tempat kudusNya, menjadi anggota keluarga Allah.

Bertolak dari karya Kristus yang begitu besar dan menentukan, menyusul tiga ajakan ‘marilah’ kepada umat percaya, yakni:

(1) Marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus iklas dan keyakinan iman yang teguh. Oleh karena hati kita telah dibersihkan…. (ay 22)
(2) Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab, Ia yang menjanjikannya, setia (ay 23)
(3) Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. (ay 24).

Oleh karena itu, pusat perhatian kita yang pertama dan terutama adalah ‘pekerjaan Kristus di antara kita’. Ketiga ajakan seperti disebut di atas merupakan buah dari sambutan umat percaya kepada karya Kristus itu sendiri.

Dalam hal ini kita diajak kepada hal-hal yang konkret dan praktis tentang sikap dan gerak hidup sebagai orang percaya. Dengan kata lain, firman Tuhan ini mau menegaskan keterkaitan antara iman, ibadah dan kehidupan yang berbuah.

1. Rintangan Saling Memperhatikan

Saling memperhatikan dalam kasih merupakan sesuatu yang terbilang langka pada zaman ini. Kalaupun ada, ia lebih merupakan ‘pertukaran kepentingan’. Saya menjaga kepentingan Anda, sejauh Anda menjaga kepentingan saya. Saya akan datang ke pesta Anda, kalau Anda datang menghadiri pesta saya. Saya akan datang mengikuti PA di rumah Anda, kalau Anda hadir ketika PA diadakan di rumah saya. Di sini, persahabatan dibelokkan sebagai alat pemenuhan pementingan diri. Bahkan, agama pun bisa saja diperlakukan sebagai alat pemenuhan kepentingan.

Di samping membawa berbagai hal yang baik, salah satu sisi kelam dari era globalisasi ini ialah kecenderungan manusia yang kian dicengkeram individualisme (karena itu menjadi kurang dalam saling memperhatikan) dan materialisme (sehingga yang dipuja adalah Mamon hingga mengorbankan orang lain).

Kehidupan yang serba individualisme dan materialisme sangat mudah membuat orang merasa kuatir dan cemas, yang dapat menekan kehidupan. Bahkan, yang lebih buruk, akan mengakibatkan berbagai penderitaan fisik. Sebab, pikiran dan suasana hati menyalurkan kecemasannya kepada tubuh. Banyak ahli yang berkesimpulan bahwa gangguan fisik seperti pusing kepala, gangguan saluran pernafasan, sakit perut, tekanan darah tinggi, sakit jantung dan sebagainya diakibatkan oleh tekanan terhadap rasa dan emosi.

Masih dalam hubungan itu, ambisi, menyimpan amarah, dengki, rasa benci, takut, kecewa menimbulkan stress (ketegangan) pada tubuh. Stress seperti itu dapat menyebabkan pernafasan dan detak jantung kita menjadi tidak normal. Kalau pasokan oksigen berkurang dalam tubuh, maka aliran darah juga akan terganggu. Dengan demikian, stress dapat menciptakan ketidakseimbangan kimia yang mengakibatkan kesalahan fungsi kelenjar dan organ-organ lain. Tubuh menjadi tidak mampu memberi perlawanan terhadap kuman-kuman yang biasanya dapat dikendalikan. Selanjutnya akan menimbulkan berbagai gangguan fisik.

Gangguan-gangguan semacam itu semakin membuat perhatian seseorang tertuju dan terpusat pada diri sendiri, cenderung lebih memikirkan keadaan diri sendiri dan amat kurang memberi perhatian terhadap sesama. Untuk itu perlu kita cermati berbagai gangguan kepribadian yang menghambat terciptanya kehidupan yang saling memperhatikan.

- Orang yang terlalu memikirkan diri sendiri kurang memiliki kesempatan memikirkan orang lain.

- Orang yang terlalu memperhatikan diri sendiri tidak mempunyai kesempatan memperhatikan orang lain
- Orang yang mengutamakan kenikmatan diri, akan cenderung merampas hak dan kebahagiaan orang lain.

2. Kasih Yang Melintas Batas

Bagi kita, ‘hukum yang terutama’ yang diamanatkan oleh Yesus, bukanlah sesuatu yang asing. Pengajaran dan kehidupan Yesus berpusat pada kasih. Yesus berkata, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39). Tidak disebut ‘kasihilah sesamamu segereja atau sesamamu sekeluarga’. Untuk lebih memperjelas ini kita dapat menghubungkannya dengan perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati. Pada waktu itu, bagi orang Israel, orang Samaria adalah kafir dan dianggap sebagai musuh. Tetapi, dalam perumpamaan itu, justru orang seperti itulah yang mendapat pujian dari Yesus karena dialah yang melakukan kasih. Imam dan orang Lewi yang lewat itu adalah orang-orang yang mengetahui tentang kasih tetapi tidak mempraktekkan kasih.

Rasul Paulus pun dengan sangat jelas memaparkan ‘apa itu kasih’ (1 Kor 13) dan ‘bagaimana mengasihi’ (Rm 12). Kasih merupakan yang inti dalam kehidupan kristiani. Bahkan, pengorbanan sekalipun jika tanpa kasih, ia tidak punya makna apa-apa.

Dewasa ini, kasih cenderung diamputasi dan menjadi sekadar ‘kasih jarak pendek’ (bahkan ‘jarak pendek’ ini pun sudah semakin lebih pendek lagi). Sejarah perjalanan dunia ini sudah membuktikan hal itu. Banyak orang yang mengasihi dan peduli pada anak-anaknya tetapi sangat kejam terhadap anak-anak orang lain. Hal itu juga terjadi misalnya dalam lingkungan industri atau di lingkungan perburuhan dimana para buruh dibebani dengan begitu banyak tanggung jawab tetapi hanya sedikit hak.

Selanjutnya, kita terpanggil untuk dengan tulus menghormati perbedaan, khususnya dalam kehidupan kita di Indonesia yang sangat beragam latar belakang etnis, budaya, partai politik, dan agama. Kita sudah mengalami sejarah hitam pekat, dimana ribuan orang terlah korban nyawa atas nama agama seperti kasus Ambon dan di berbagai tempat lain. Kasih seharusnya menjangkau semua dan setiap orang. Apalah artinya agama kalau bukan untuk kehidupan yang damai dan bermakna? Alkitab bersaksi, bukan manusia untuk Sabat, melainkan Sabat untuk manusia. Sejalan dengan itu, bukan manusia untuk agama melainkan agama untuk manusia.

3. ‘Baik’ Tetapi Belum Cukup

Iman merupakan satu kesatuan dengan pekerjaan baik. “Iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong” (Yak. 2:20; bnd. Ay. 18). Itu sebabnya seluruh kehidupan adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, Jadi, ‘pekerjaan baik’ yang dimaksudkan adalah berdasar dan mengakar pada pekerjaan Tuhan sendiri.

Bagi orang Kristen, menghindari perbuatan tercela dan jahat adalah baik, namun belum cukup. Gandhi, misalnya, mengajarkan ahimsa yaitu menolak keinginan untuk membunuh, tidak membahayakan orang, tidak menyakiti hati sesama, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan memperalat dan mengorbankan orang lain. (Semuanya ini, menurut Gandhi, berakar pada egoisme manusia).

Sambil menghindari perbuatan buruk, orang percaya juga sekaligus terpanggil untuk aktif berbuat kebaikan demi terwujudnya damai sejahtera, antara lain:

· Tidak membunuh sekaligus mencintai dan membangun kehidupan bersama
· Tidak membenci sekaligus mengasihi dan membawa damai bagi semua dan setiap orang
· Tidak membahayakan orang, sekaligus memberikan pertolongan yang terbaik bagi sesama, terutama mereka yang terabaikan, tertindas dan tersingkir.
· Tidak menyakiti hati orang lain sekaligus berusaha membuat orang bersukacita
· Tidak membuat orang marah sekaligus menghormati dan membuat orang tersenyum bahagia
· Tidak mencari keuntungan diri sendiri sekaligus memberi kesempatan kepada orang untuk mendapat keuntungan yang baik.

Berkaitan dengan itu, berikut ini dapat disebut beberapa hal yang lebih konkret:

(1) Pekerjaan atau profesi seseorang mestinya bukanlah hanya sekadar ‘mata pencaharian’ tetapi merupakan bagian dari pelayanan dan kesaksian. Sekadar catatan, dewasa ini berkembang sebuah pameo yang mengatakan bahwa untuk mendapat penghasilan yang haram saja sudah sangat sulit, apalagi mencari yang halal. Umat beriman terpanggil menjadi garam dan terang, tidak larut dalam kecenderungan dunia.
(2) Perkumpulan atau kelompok dalam jemaat, seperti kumpulan PA sektor atau lingkungan misalnya, dapat berperan sebagai kelompok aksi nyata bersama di samping mengadakan PA. Kelompok ini dapat mengemban tugas panggilan gereja sebagai jemaat misioner melalui program-program tertentu seperti pendampingan anak, pemberdayaan ekonomi, advokasi, proyek pelestarian lingkungan dan sebagainya. Untuk itu program-program dalam aras jemaat perlu dirumuskan dan dilaksanakan dengan baik.
(3) Gereja, sebagai pribadi, kelompok dan lembaga terpanggil untuk memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah yang cenderung menghancurkan kehidupan. Gereja terpanggil mengatasi segala bentuk kekerasan terhadap manusia dan ciptaan Tuhan. Sebab, dunia dan segala yang diam di dalamnya adalah milik Tuhan (Mzm 24:1).

Penutup

Anthoni de Mello dengan amat tepat mengatakan bahwa ‘hidup itu sebenarnya sederhana dan mudah, serta penuh dengan kegembiraan. Hidup terasa sulit jika hanya dikuasai oleh ilusi, ambisi dan keserakahan. Karenanya, hidup menjadi kaya makna dan menjadi berkat ketika dijalani bersama dengan Tuhan, Sang Pengasih yang sempurna itu.

Tuesday, October 30, 2007

MENGHADAPI KEKUASAAN YANG LALIM


Belajar dari Sikap Sadrakh, Mesakh dan Abednego[1]
(Bacaan: Daniel 3:13-23)

NEBUKADNEZAR DAN PARA PENGUASA ZAMAN INI

Kekuasaan seringkali diidentikkan dengan “hak istimewa” dan bahkan dimerosotkan ke dalam kesewenang-wenangan. Hal ini amat jelas dalam sikap Raja Nebukadnezar, yang dalam berbagai segi mencerminkan perilaku penguasa bangsa-bangsa hingga pada awal abad ke-21 ini.

Berikut ini adalah sikap Nebukadnezar yang menempatkan kuasanya di atas segala-galanya dan bagaimana hal itu mewarnai perilaku penguasa hingga awal milenium ke-3 ini :

(1) Memerintah dengan Marah dan Geram

Sosok raja yang tampil di sini adalah seorang raja yang ditakuti, bukan yang disegani. Raja tampil sebagai monster haus darah yang menyeramkan, bukan raja yang penuh hikmat dan wibawa yang mengayomi dan yang pantas dihormati. Padahal dunia ini membutuhkan lebih banyak pemimpin yang disegani, bukan yang ditakuti. Disegani, karena wibawa, ketulusan, bersih dari segala kecurangan, dan yang sungguh-sungguh mengusahakan keadilan dan damai sejahtera bagi setiap dan semua orang.

Yang amat menyedihkan ialah bahwa kemarahan dan kegeraman para penguasa tidak selalu tampak melalui raut wajah yang menyeramkan. Justru seringkali kemarahan dan kegeraman dibungkus rapi dengan senyuman yang sangat menawan, tetapi dengan berbagai cara melumpuhkan yang mengkritiknya dan melenyapkan orang-orang yang tidak disukainya.

(2) Menghakimi Menurut Kemauan Sendiri

Di sini Nebukadnezar bertindak sebagai jaksa dan hakim sekaligus. Keputusan mutlak ada di tangan raja, tanpa membutuhkan alasan, pembelaan atau nasihat orang lain. Raja menjadi pusat segala sesuatu keputusan.

Dalam dunia modern ini memang pengadilan berlangsung melalui lembaga peradilan. Tetapi lembaga tersebut seringkali bekerja berdasarkan skenario yang sudah digariskan oleh sang “sutradara” yang berada di balik pengadilan itu. Dalam pengadilan seperti itu biasanyan keputusan sudah tersedia sebelum proses pengadilan berlangsung. Keputusan yang menguntungkan mereka yang berkuasa dan mengorbankan orang-orang lemah!

Dunia ini akan jauh lebih indah dan layak huni kalaua manusia berhasil memenangkan perang terhadap egoisme (pementingan diri sendiri) dan menghormati kemanusiaan sesama manusia sebagai yang berharkat dan berharga di hadapan Allah.

(3) Menghabisi Nyawa Manusia yang Menolak Perintah Raja

Di hadapan raja hanya ada dua kelompok manusia: kawan atau lawan. Kawan adalah mereka yang taat, yang harus tunduk dan menuruti semua titah raja. Untuk kelompok ini biasanya raja memberi hadiah (Contohnya, lihat Daniel 2 : 48). Sama seperti banyak penguasa pada zaman ini, yang tidak segan mengobral “berbagai piagam penghargaan” atau medali kepada mereka yang tunduk, membeo, dan menjilat. Tetapi tidak sungkan melenyapkan dan menghabisi nyawa mereka yang berbeda pendapat dengan penguasa. Pelenyapan tersebut bahkan seringkali dilakukan terorganisasi secara rapi tanpa bekas. Yang dianggap membangkang dilenyapkan baik secara sadis dan tragis – terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
KETIDAKTAATAN YANG BERTANGGUNGJAWAB

Hukuman kepada Sadrakh, Mesakh, dan Abednego sudah jelas: akan dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala. Hukuman yang bukan main dan bukan main-main! Tetapi mari kita simak apa yang mereka katakan: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (ay 17 – 18).


Raja membuat keputusan atas dasar kuasanya sendiri, sedangkan ketiga orang ini membuat keputusan atas kepasrahan dan ketaatan kepada Allah. Hanya dengan demikian mereka tidak terjerumus ke dalam tindakan bodoh dan ceroboh dengan menuruti perintah raja yang sombong dan kejam itu.

Ketaatan kepada Allah dan menolak raja yang lalim memang mengandung dan mengundang risiko yang tidak ringan. Nyawa dipertaruhkan di sini! Tetapi lebih baik mati “terhormat” dalam kesetian kepada Tuhan daripada hidup menuruti kemauan raja yang sesat.

Kalau para murid Yesus mengatakan “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kisah 5 : 29), hal itu sudah dilakukan oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego jauh sebelumnya.

Baik ketiga orang ini dan para murid Yesus menunjukkan sikap “ketidaktaatan yang bertanggungjawab.” Tidak taat kepada kekuasaan yang lalim karena ketaatan dan tanggung jawab kepada Allah. Ketidaktaatan yang bertanggung jawab mesti kita lakukan ketika penguasa atau siapa pun juga di dunia ini memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Tetapi perlu kita ingat dan teladani bahwa Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tidak mencari-cari “hukuman” tetapi ketika menghadapinya harus siap dengan iman dan kesetiaan kepada Allah. Jangan mentang-mentang kita percaya kepada Allah yang Mahakuasa, lantas kita dengan pongah mencari lawan dengan keyakinan bahwa Allah akan melakukan mujizat asal kita percaya. Ini bukan kesetiaan kepada Allah melainkan kesesatan dan tindakan “mencobai” Tuhan. Pencobaan seperti inilah yang dihadapi dan dikalahkan oleh Yesus ketika Ia dicobai di padang gurun.

Alkitab menyaksikan bahwa “salib” harus kita pikul dalam mengikut Yesus. Salib sebagai simbol penderitaan karena kebenaran dan yang mengantar kita kepada kemenangan.




[1] Pernah dimuat dalam Majalah Berita Oikumene, PGI, Jakarta

Sunday, October 21, 2007

CORAM DEO




(Di hadapan Allah)[1]

Bangsa Indonesia seolah tak henti-hentinya digempur berbagai gelombang kehidupan. Dampak langsung beberapa kali kenaikan harga kebutuhan pokok pasti akan disusul oleh aneka permasalahan sosial. Harga sembako kian melangit, dan orang-orang miskin makin terjepit dan menjerit.

Memang pantas disyukuri karena masih ada orang kaya yang memiliki kepedulian terhadap sesama yang menderita dan berkekurangan. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang berpunya yang makin pelit dan suka berkelit. Makin pelit, karena mungkin kuatir akan krisis susulan yang mungkin manjamah atau bahkan menjarah rekening bank mereka. Karena itu, atas nama “penghematan” kepedulian terhadap sesama jadinya terabaikan. Sebagian orang berkelit, dengan anggapan (keliru) bahwa semua bentuk kemiskinan adalah karena kemalasan. “Orang miskin tidak perlu diberi hati, sebab mereka miskin karena kemalasan mereka!”, demikian mereka berdalih. Padahal, kemiskinan lebih sering disebabkan oleh faktor ketidakadilan dan ketiadaan kesempatan.


Pertanyaan pun menyambar benak, “di manakah Allah?” Anda mempunyai pertanyaan yang sama? Anda tentu tidak sendirian. Tetapi baiklah kita terlebih dulu melihat dengan jernih konteks di mana kita sedang hidup. Kemudian, dengan nurani yang jernih pula serta dengan rahmat pengasihan Allah, kita boleh mengimani dan merasakan kehadiran-Nya.

Amat jelas bahwa di satu pihak kita hidup di tengah aneka kemajuan, tetapi di pihak lain kita juga hidup di tengah berbagai kemunduran. Kita menyaksikan begitu pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang membawa berbagai kemudahan. Hasil teknologi telah memperpendek jarak tempuh satu wilayah ke wilayah lain melalui transportasi dan teknologi komunikasi ultra canggih. Sampai di sini, ia membawa berkat.

Tetapi perlu dicatat dan direnungkan bahwa ia juga membawa berbagai kesulitan. Hasil penemuan-penemuan baru di bidang iptek tidak mampu menghidupkan dan memanusiakan orang-orang yang sudah terlanjur gugur tergilas oleh dampak buruk iptek itu sendiri. Teknologi tidak mampu menyembuhkan luka-luka batin banyak orang yang terluka parah oleh “efek samping” dan “efek dalam” (inheren) iptek tersebut. Iptek juga tidak mampu menyembuhkan penderitaan alam yang tersiksa oleh polusi dan tindakan destruktif manusia.

Sikap destruktif (merusak) terhadap sesama manusia dan alam semesta sebenarnya mempunyai akar yang amat kuat pada egoisme manusia. Lihatlah sekeliling kita: persaingan telah merasuk dan merobek persekutuan umat manusia. Kehidupan kita kesehariannya dipenuhi oleh begitu banyak kisah tanpa kasih persaudaraan.

Kita hidup di tengah hiruk-pikuk pengilahan harta dan tahta. Memang, kenyataannya harta dapat menjadi tiket merebut tahta dan mereka yang bertahta amat mudahnya dapat meraup harta yang bukan miliknya. Ungkapan yang mengatakan bahwa “mendapat harta di dunia ini ibarat minum air laut; semakin diminum akan semakin harus”, mendapat lahan yang amat suburnya di planet bumi ini. Yang menyedihkan ialah, bahwa rasa tidak puas seringkali diikuti oleh sikap buas. Buas terhadap sesama dan buas terhadap mahluk dan alam ciptaan Tuhan. Sejarah telah bersaksi kepada kepada kita bahwa bangsa-bangsa seringkali memangsa sesamanya. Para pengurus negara acap berubah menjadi penguras harta negara.

Daftar keprihatinan yang melanda dunia dewasa ini masih sangat panjang. Masalahnya adalah, begitu banyaknya orang yang bertindak sebagai ‘tuhan’ kecil terhadap sesamanya dan terhadap bumi milik Allah ini. Yang terjadi adalah kebebasan tanpa tanggung jawab. Konsekuensinya: merajalelanya pola hidup liar bernafaskan hukum rimba the survival of the fittest (siapa kuat, ia menang).

Di manakah Allah? Mengajukan pertanyaan seperti ini tidak salah. Ia adalah pertanyaan yang sah, apalagi kalau ia lahir dari kerinduan akan Allah, yakni: kerinduan untuk melihat pintu rahmat Tuhan di tengah segala macam pergumulan hidup ini. Kita belajar dari Alkitab bahwa para tokoh Alkitab juga tidak jarang mengajukan pertanyaan senada. Elia, misalnya, pernah merasa sendirian di tengah tantangan yang membentang di hadapannya. Ia tidak melihat rahmat Allah yang jauh melampaui nalarnya. Elia berkata kepada Tuhan, “hanya aku seorang dirilah yang masih hidup…” Tetapi Allah berkata, “Aku akan meninggalkan tujuh ribu orang yang tidak sujud menyembah Baal dan yang mulutnya tidak mencium dia’ (selengkapnya, baca 1Raj 19;9-18). Satu perbandingan angka yang sangat signifikan bukan? Allah berkarya di luar perhitungan dan pengetahuan kita!

Reaksi kita menangapi persoalan-persoalan dunia ini bisa beraneka ragam. Mungkin ada yang menempuh jalur mencari kambing hitam. Mereka begitu tajam melihat sumber persoalan pada orang lain. Ada juga yang lebih senang dengan merasionalisasi dengan prinsip bahwa semuanya itu “wajar-wajar saja”, karena kita masih manusia (bukan malaikat) dan kita masih di dunia. Atau, ada orang yang meledakkan amarah dalam tindakan destruktif. Sikap-sikap demikian lebih merupakan pintu gerbang menuju persoalan dan penderitaan yang lebih parah ketimbang jalan keluar dari persoalan.

Coram Deo, artinya “di hadapan Allah.” Allah mengambil inisiatif menghidupkan kesadaran kita, menyentuh bagian hidup kita yang terdalam (inner life). Ia menyegarkan kesadaran kita akan kehadiran-Nya melalui pelayanan, penderitaan dan kemenangan Kristus. Proses penyelematan dan pemeliharaan Tuhan itu masih sedang dan akan berlangsung. Hal ini dapat terjadi melalui pelayanan orang-orang yang mengikut Kristus, atau mereka yang tidak percaya pun. Hanya dengan pengakuan dan kesadaran seperti inilah yang memungkinkan kita beranjak dari rasa frustrasi kepada kehidupan yang berpengharapan.


Coram Deo! Kita berhadapan dengan Allah yang pengasih dan pengampun. Bukankah menjadi murid Kristus berarti menjadi pengasih dan pengampun? Ketika amarah menghajar dan melumpuhkan kesabaran, semangat kasih dan pengampunan akan mampu meredam dendam dan sekaligus menyuburkan rasa persaudaraan. Ketika sikap pesimis dan sinis memborgol kemauan kita, karya dan keteladanan Kristus menyemangati perjuangan kita.

Apakah Anda merasa amat ‘kecil’ menghadapi mega permasalahan dunia ini? Perasaan demikian memang ada baiknya sejauh berperan sebagai rem untuk mencegah diri dari kepongahan atau kesombongan, bahwa segala sesuatu ada di bawah kendali kita. Tetapi perasaan seperti itu akan melumpuhkan inisiatif dan aksi kasih kalau ia mendapat dorongan dari rasa frustrasi berbaur pesimisme. Satu hal yang pasti adalah ini: Allah jauh lebih besar dari segala permasalahan dunia ini. Allah selalu dapat menjangkau kita di manapun kita berada. Perkataan, “carilah dan kamu akan menemukan” (Yer 31:3) harus kita pahami bahwa kita sudah terlebih dahulu ditemukan oleh Allah. Persoalannya ialah, apakah kita bersedia untuk selalu berada di mana Allah menghendaki kita seharusnya berada?

Juga, kiranya tidak terluput dari kesadaran kita bahwa Tuhan memberikan yang terbaik tepat waktu. Simaklah misalnya yang dikemukakan Yesus dalam Mat 7:9-11, “Adakah seorang daripadamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Karena itu, sungguh tidak tepat kalau para pemimpin negara-negara di dunia ini memberi pidato ketika masyarakat dunia meminta sembako. Sebab, pidato tidak penah mengenyangkan perut yang lapar. Dunia haus akan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan yang dapat dinikmati jika para penguasa bertindak adil.

Coram Deo mengimplikasikan tanggung jawab umat beriman untuk menanggapi panggilan Allah menjadi teman sekerjaNya. Singkatnya begini, di dalam doa kita bertemu dengan Kristus yang menanggung penderitaan dunia ini dan di dalam kehidupan dan pelayanan kita bertemu dengan orang-orang yang di tengah-tengah mereka Kristus hadir. Tuhan memimpin perjalanan hidup kita dan perjalanan dunia ini pada milenium ini.

[1] Pernah dimuat dalam Majalah Immanuel, HKBP.

Friday, October 19, 2007

APA YANG KAMU CARI?

Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup.
(Amos 5:6).

Tanyakan diri Anda: “Berapa banyak waktu yang saya gunakan mengagumi ciptaan Allah; dan berapa banyak waktu yang saya habiskan mengagumi harta milik saya?”
(J. Matthew Sleeth[1])
*********************************

Ini bukan pertanyaan saya kepada Anda, melainkan pertanyaan Yesus kepada saya dan Anda saat ini. "Apakah yang kamu cari?" (Yoh 1:38). Kita mesti dengan jernih mengenali apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini. Sebab, apa yang kita cari amat mempengaruhi seluruh gerak hidup kita.

Jika yang kita cari dan perjuangkan adalah apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita, pasti kita akan menjalani hidup ini dengan hati damai, penuh ceria dan bebas dari ketegangan yang tidak perlu. Tetapi jika kita berusaha mengejar cita-cita yang kita ciptakan sendiri atau yang orang lain ‘paksakan’ kepada kita, maka ‘sukses’ (kalau itu ada) akan dibarengi rasa tidak damai dan tanpa kegembiraan bagi diri kita dan orang lain. Keadaan ini terjadi karena untuk mencapai target yang kita kejar kita mungkin saja terjatuh menghalalkan segala cara, melawan kebenaran, berlomba tidak sehat, bekerja ekstra keras, memaksa diri lembur malam. Hidup kita pun menjadi tegang, gampang tersulut amarah, bermusuhan, curiga, tidak peduli pada orang dan sebagainya.[2]

Fakta menunjukkan bahwa “kesuksesan” sering membelenggu banyak orang saat ini. Kita ambil Amerika sebagai contoh, karena tidak sedikit orang di dunia ini yang ingin mencapai kemakmuran ekonomi setingkat orang-orang Amerika.

84% pebisnis di AS bekerja lebih dari 45 jam/ minggu. 81% mengalami stress, 48% stress setiap hari. 89% membawa pekerjaan ke rumah mereka. 65% tetap bekerja lebih dari satu weekend setiap bulan. 42% tidak memberi waktu membaca kepada anak-anak. 53% meluangkan waktu kurang dari 2 jam seminggu bersama anaknya. Pasangan mereka bertanya, “mengapa tidak ada waktu bersama untuk kita?” Mereka menjawab, “Masalahnya bukan engkau sayang, masalahnya adalah saya yang sendiri sudah tidak tahu bagaimana tidak bekerja.”

Berbagai persoalan kehidupan lainnya sedang menimpa banyak rakyat Amerika. Misalnya, diperkirakan ada 19 juta pil tidur yang diminum orang setiap malamnya di sana.[3] Begitu banyak orang yang menderita insomnia. Harga tempat tidur mereka ribuan dollar, tetapi tidak ‘sanggup’ memberi tidur nyenyak, karena berbagai pikiran berarak dan saling tabrak dalam benak. Di samping itu, sekitar 50% keluarga Amerika bercerai.[4] Orang tidak sedikitpun merasa malu mengatakan bahwa status mereka bercerai.

Saya tidak mengatakan bahwa Amerika sudah berubah menjadi ‘neraka’ kecil. Banyak orang di sana yang masih setia kepada Tuhan, berpikiran jernih, mempertahankan moral kristiani, peduli pada sesama yang menderita dan lain-lain. (Harapan kita bahw saudara-saudara kita warga HKBP di AS masuk dalam kelompok yang jernih ini). Tetapi kita tidak bisa mengabaikan kenyataan yang membelenggu sebagian saudara-saudara kita di sana. Dapat ditambahkan di sini bahwa antara 1958 dan 2005 orang-orang Amerika membelanjakan uangnya 27% untuk perawatan kesehatan[5] --yang merupakan jenis pengeluaran tertinggi sesudah rumah dan transportasi. Orang Amerika sendiri mengakui persoalan yang mereka hadapi seperti terungkap dalam pernyataan berikut:

“Jika kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam kepemilikan barang-barang dan dalam kemampuan memanjakan diri dengan memiliki apa saja yang kita inginkan, mengapa kebanyakan dari kita di Amerika kehilangan kegembiraan dan kebahagiaan yang amat parah? Orang-orang yang sudah memiliki banyak terus berusaha untuk mendapat lebih banyak lagi. Angka perceraian, bunuh diri, depresi, kekerasan terhadap anak amat tinggi dan berbagai persoalan pribadi dan sosial yang begitu banyak jumlahnya. Semuanya ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak ditemukan dalam kepemilikan semua yang kita inginkan dan dalam kemampuan kita untuk mendapatkan lebih banyak lagi”.[6]

Mencermati kenyataan seperti itu, jika kita berkeinginan dan berjuang untuk mencapai kemakmuran setingkat orang-orang Amerika, kita perlu memikirkan ulang niat kita. Kita akan capek mencapainya dan kita bisa sengsara karena terpenjara oleh pencapaian kita sendiri dan sekaligus menyengsarakan saudara-saudara dan keluarga kita.

Ada satu ironi yang menggejala dan mengganjal pada zaman ini. Penemuan-penemuan yang memudahkan pekerjaan manusia memang sudah banyak tersedia, akan tetapi aneka kesulitan tetap melilit hidup umat manusia. Bagi sebagian orang timba sumur sudah diganti pompa air listrik dan mesin cuci listrik. Pekerjaan gigi mengunyah makanan dibantu oleh blender dan juicer. Kendaraan tanpa roda dua (jalan kaki) diganti sepeda motor dan mobil. Mesin ketik diganti komputer. Kurir berita diganti layanan surat express, telepon seluler dan internet. Mesin-mesin makin banyak, tetapi manusia jadi ikut-ikutan seperti mesin. Mana lebih sibuk dan lebih capek orang dulu dan orang sekarang? Siapakah yang lebih ceria?

Sedikitnya dua hal penting yang kiranya perlu mendapat perhatian kita secara serius dalam menapaki perjalanan hidup kita dalam era hyper-konsumerisme ini, yakni menyangkut ‘nilai kebersamaan’ dan ‘nilai waktu’.

1. Kebersamaan versus Mainan dan ‘Voucher’

Banyak orang yang sudah menggantikan hubungan dengan sesama manusia dengan mobil, komputer, VCD dan rekening bank.[7] Untuk anak-anak misalnya, para orangtua memberi banyak mainan sebagai ganti ‘kasih’ dan ‘kebersamaan’. Anak-anak lebih akrab dengan mainannya ketimbang orangtuanya. Apalagi, mainannya kebanyakan yang berbau kekerasan seperti pesawat tempur, pistol, senjata laras panjang, spiderman, pasukan baja hitam dan sebagainya, yang semuanya ini bisa saja mempengaruhi kepribadiannya sejak kecil. Ketika ayahnya pulang kerja, ia disambut anaknya dengan dor…dor… sambil menodongkan ‘pistolnnya’. Suami memberikan ‘voucher’ belanja ke mall kepada istrinya sebagai kompensasi kebersamaan dan kemesraan.

Keadaan seperti ini mendorong banyak orang menganut apa yang disebut oleh Storkey sebagai Orientasi Konsumsi Kini (OKK) dan Orientasi Konsumsi Nanti (OKN).[8]

Orientasi Konsumsi Kini (OKK):
Ini dapat disebut hedonisme, yang mencari kenikmatan maksimum untuk saat ini. Model ini menarik masa depan ke masa kini. Apa yang menyenangkan saya sekarang lebih penting dari apa yang akan terjadi nanti. “Masa depan” dipinjamkan kepada “masa kini”. Konsekuensinya, ‘hutang’ menjadi pilihan utama. Hutang memberi saya ‘sekarang’ apa yang saya bayar ‘nanti’. Karena kenikmatan adalah yang utama, maka perencanaan, tujuan, pengembangan dan konsekuensi menjadi tidak penting. Makan, minum, dan beli apa yang engkau inginkan dan tidak ada perhatian pada akibatnya.

Orientasi Konsumsi Nanti (OKN):
Dalam pandangan ini, bekerja berarti untuk konsumsi masa depan. Orang menjadi gila kerja dan memaksa produksi yang dibayangkan dapat dinikmati pada masa depan. “Masa kini” dipinjamkan kepada “masa depan” Kita didorong ke depan, kepada hadiah konsumsi masa depan: rumah yang lebih besar, pekerjaan yang lebih baik yang berarti gaji yang lebih tinggi, mobil yang lebih mulus, liburan yang lebih banyak, cruise, gaji pensiun yang baik, dan acara pemakaman yang lebih ‘terhormat’. Tekanan terhadap masa depan begitu kuat, sehingga tidak ada ruang yang tersedia untuk saat ini. Berkaiatan dengan ini kita bisa bandingkan dengan ungkapan Indonesia “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Masalahnya, jika terlalu ekstrim maka yang terjadi adalah “bersakit-sakit dahulu, tewas kemudian”.

Konsumerisme (mengkonsumsi dan memiliki lebih dari yang dibutuhkan) begitu kuat merasuki kehidupan umat manusia pada zaman ini. Storkey mengatakan bahwa 20% - 50% apa yang diproduksi sekarang ini hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak ada nilainya bagi hidup manusia. Hidup kita lebih baik tanpa rokok, alkohol, fast food, senjata, narkotik, mobil berkemampuan cepat tetapi lambat di jalan, iklan, kosmetik, security systems, lotere dan masih banyak produk lain yang dijual. Semuanya itu membawa dampak buruk, ketidakpedulian atau sekadar sampah yang membuat manusia menjadi miskin,[9] tidak saja secara finansial tetapi juga secara emosional dan moral.

Ternyata, kekosongan jiwa manusia tidak bisa diisi dengan segudang mainan atau voucher belanja. Itu sebabnya rasa frustrasi sering menghinggapi banyak orang meskipun mereka tidak kekurangan secara materi. Dengar apa kata O.J. Simpson tentang masalah kehidupannya dan masyarakatnya: “saya duduk di rumah saya dan kadang-kadang amat kesepian. Saya memiliki istri yang menakjubkan, anak-anak yang baik, uang dan kesehatan –dan saya kesepian dan bosan….Saya sering bertanya mengapa begitu banyak orang kaya yang bunuh diri. Uang tidak menyelesaikan segalanya”.[10]

Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada yang salah jika kita makmur secara materi asal kita senantiasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan. Kehendak Tuhan menjadi kehendak kita. Hendaknyalah kemakmuran makin membawa kebersamaan dan keakraban –kepada orang lain dan terhadap diri sendiri. Ada begitu banyak orang yang tidak ramah dan ‘bersahabat’ dengan dirinya sendiri karena memaksa diri untuk mencapai keinginan. Apakah artinya harta kalau itu memisahkan kita dari keluarga, sahabat, sesama manusia dan diri kita sendiri? Kerja tanpa kasih hanyalah buang-buang tenaga.

2. Time is….(Waktu adalah…)

Awalnya, jam diciptakan di biara Benedictine pada abad ke-12 dan ke-13 untuk membantu para rahib memelihara jam-jam doa secara teratur. Dengan kata lain, jam diciptakan sebagai alat atau sarana untuk memperdalam kesalehan dan berguna dalam pelaksanaan ibadah. Tetapi, sayangnya, saat ini jam tidak banyak digunakan berkaitan dengan ibadah kepada Tuhan atau memperkokoh iman kita, tetapi untuk menolong kita lebih efisien dalam pekerjaan kita. Dalam berbagai hal, jam membuat manusia hidup dengan anggapan seolah-olah tidak ada Allah. Waktu sering diasosiasikan dengan pemenuhan keinginan ketimbang respon kepada Allah, sesama dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen.[11]

Justru karena kegagalan kitalah memahami dan menerima ‘waktu’ sebagai anugerah yang membuat orang sering menghidupkan handphone dan pagernya selama beribadah atau terus saja berbicara di teleponnya pada saat menikmati waktu bersama dengan keluarganya seperti ketika jalan-jalan ke taman atau rekreasi. Orang-orang seperti ini gagal menangkap misteri dan nilai berharga dari ‘waktu’ dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini Padovano mengatakan, “Kita merasa sukar saling berbagi waktu dan kehadiran apabila hidup kita produktif dan berhasil. Betapa ironisnya!”[12]

Kita mesti memahami bagaimana kita mengalami waktu, bukan sebagai “konsumer” tetapi sebagai orang yang mengasihi Allah dan sesama. Dunia berkata time is money tetapi kita percaya: time is grace (waktu adalah anugerah) dan time is love (waktu adalah kasih) –keduanya tidak bisa diuangkan dan tidak dapat dibeli dengan uang.

Apa yang Anda cari? Firman Tuhan berkata:
“Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup” (Amos 5:6).
“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).

Seruan ‘carilah’ di sini berarti ‘kembalilah’. Sebab, Allah dan Kerajaan-Nya sudah ada. Ia ada di tengah-tengah kita. Itu berarti bahwa sesungguhnya tidak ada yang perlu kita cari. Kita hanya perlu menjalaninya. Dalam perjalanan itulah kita menemukan segala keindahan. Kita mencari Tuhan, karena Dia lebih dulu menemukan kita. Kita membutuhkan keheningan untuk bertanya dan menemukan rencana dan kehendak Tuhan dalam hidup kita.

Dalam hal ini kita mungkin saja perlu mengubah cara pandang dan sikap kita terhadap pekerjaan kita bahwa pekerjaan bukan hanya sekadar ‘mata pencaharian atau cari nafkah’ tetapi juga sebagai tugas panggilan dan pelayanan kita di dunia ini. Atau, yang jauh lebih berat, mungkin saja kita perlu mengubah pekerjaan itu sendiri jika itu bukan pekerjaan yang baik dan tepat bagi kita. Untuk kasus seperti ini barangkali kita membutuhkan peritimbangan dalam suasana doa yang sungguh-sungguh. Mengubah pekerjaan dengan penghasilan yang berkurang tetapi dengan kualitas hidup yang lebih baik disertai kebahagiaan adalah lebih ‘sukses’ ketimbang mendapat upah yang lebih melimpah tetapi memenjarakan hidup.

Kini, mohon luangkan waktu sejenak untuk mengikuti nasihat Padovano berikut ini:

Dengan merasakan kehadiran Allah, mohonlah penerangan dan rahmat agar dapat bertekad bulat untuk mengikuti panggilan yang diberikan oleh Allah kepada Anda untuk menjadi diri Anda sendiri. Kita perlu merenungkan bagaimana kita dapat mengalahkan atau mengatasi kelemahan dan kekurangan kita, tetapi terlebih dahulu marilah kita bersyukur kepada Allah atas apa atau siapa diri kita sebagaimana adanya.[13]




[1] J. Matthew Sleeth, Serve God, Save the Planet: A Christian Call to Action (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 42
[2] Alkitab memberi pelajaran kepada kita dalam hal ini. Kejatuhan manusia pertama, Adam dan Hawa, sudah membuktikan hal itu. Orang-orang membangun menara Babel untuk ‘mencari nama’ (Kej. 11:4). Perumpamaan tentang anak yang meminta warisan dari ayahnya dan hidup berfoya-foya (Luk. 15), juga menyatakan apa yang dicari orang dan bagaimana akibatnya.
[3] Florence Wedge, Mengatasi Rasa Cemas, terj. (Jakarta: Obor, 1989).
[4] http://www.divorcerate.org/, diakses 16/9/2007
[5] Robert J. Shiller, “Good News –The World is Getting Richer”, dalam The Strait Times, Singapore October 19, 2006”, 27.
[6] Michael P. Green (ed.), 1500 Illustrations for Biblical Preaching (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 183.
[7] John F. Kavanaugh, Following Christ in a Consumer Society (Maryknoll: Orbis Books, 2006), 8
[8] Allan Storkey, “Postmodernism Is Consumption”, in Craig Bartholomew and Thorsten Moritz (eds.), Christ and Consumerism (Carlisle, Cumbria: Paternoster Press, 2000), 110
[9] Ibid., 103
[10] Michael P. Green (ed.), opcit., 249.
[11] Robert M. Solomon, Fire for the Journey: Reflection for a God-guided Life (Singapore: Genesis Book, 2002), 78
[12] Anthony T. Padovavno, Tujuh Hari Bersama Thomas Merton: Menjadi Diri Sendiri (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 34
[13] Ibid., 51.

Tuesday, October 16, 2007

KHOTBAH DAN PENGKHOTBAH (1)

PENGKHOTBAH


Setelah lama berkhotbah,
aku rindu duduk menjadi pendengar.
Awalnya agak sulit, lama-kelamaan terbiasa.
Kubuka telingaku dan kurasakan makna kata per kata.

Kuikuti sabda Tuhan dan uraiannya,
dengan hati yang pasrah tanpa prasangka.
Ternyata kedamaian mulai merasuki diriku.
Kekuatan baru mengalir, bahagia dan hidup.


Aku mulai curiga dengan khotbah-khotbahku.
Selalu kukumpulkan ilmu dan dasar-dasar teologi.
Kucari contoh-contoh selaras zaman.
Kuselipkan humor penyegar suasana.
Mereka kagum padaku, pada kehebatanku.
Arsip-arsip khotbahku diminta, bahkan direkam,
mereka terbantu oleh khotbah-khotbahku.
Namun mengapa aku menjadi lelah dan kering.
Kekaguman orang tak membuatku lebih damai.

Aku menjadi sadar,
lebih mudah berbicara tentang Tuhan,
dibanding duduk membiarkan diri mendengar Tuhan.
Berbicara tentang Tuhan menghasilkan kehampaan,
sedang mendengarkan Tuhan memberikan kedamaian.

Aku perlu menjadi pengkhotbah
yang mendengarkan.[1]



[1] Yohanes Rohmadi Mulyono, Dialog Hati:Dalam Beningnya Keheningan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 118.

Thursday, October 4, 2007

KEPUTUSAN TANPA KEPUTUSASAAN (2)

BAYI DEWASA

Kebahagiaan membuat orang miskin merasa kaya,
dan ketidakbahagiaan membuat orang kaya merasa miskin
.[1]
(Benjamin Franklin)

Berikut ini ada dua ilustrasi yang kiranya dapat kita petik maknanya:

HUKUM HAK MILIK A LA ANAK-ANAK

Jika saya menyukainya, itu adalah milikku
Jika berada di tangan saya, itu adalah milikku
Jika saya dapat mengambilnya dari tanganmu, itu adalah milikku
Jika saya sudah pernah memegangnya sebelumnya, itu adalah milikku
Jika itu punyaku, itu tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara apa dan bagaimana pun.
Jika saya membentuk atau membangun sesuatu, setiap keping bahan-bahannya adalah milikku
Jika kelihatan seperti punyaku, itu adalah milikku
Jika saya pikir itu milikku, itu adalah milikku
Jika itu punyamu dan berhasil kucuri, itu adalah milikku
Jika rusak, itu adalah milikmu

BAYI DAN BENDA-BENDA[2]

Kulihat seorang bayi dan pengasuhnya.
Pengasuh bayi itu pergi sejenak.
Si bayi berusaha merangkak ke mana-mana.
Tangannya menggapai-gapai.
Segala yang dipegangnya dimasukkan mulut,
mulai dari yang lunak sampai yang keras,
belum mampu memilih benda itu baik atau jelek.

Kulihat juga seorang dewasa.
Ia sudah bisa lari dan mengurus diri,
namun tidak beda dengan bayi tadi.
Segala yang ada diambil dan dimilikinya.
Sayang ia tidak tahu mana yang penting bagi hidupnya.

Berapa banyak ‘bayi’ seperti ini sekarang? Tidak ada sensus resmi dari PBB. Tetapi, jumlahnya pasti banyak. Mereka mampu mengenakan dasi sendiri. Lihat, mereka banyak di jalan raya dan di kota dan mampu mengendarai mobil (bukan mobil mainan). Mereka ada di restoran-restoran tanpa pengasuh. Mereka ada di mall dan supermarket bukan di dalam ‘kereta dorong’ tetapi mendorong 'kereta dorong'. ‘Bayi-bayi’ seperti itu ada di bandar udara dengan 5 koper besar di bagasi. Tidak semua memang yang di kota, di jalan raya, di mall, di restoran itu ‘bayi’, tetapi jumlahnya lumayan banyak.

Kebutuhan vs Keinginan

Iman kristiani sebenarnya amat menekankan orientasi kebutuhan. Hal ini sangat jelas dari ajaran dan anjuran Tuhan Yesus, Rasul Paulus dan yang lain. Tetapi, zaman ini agaknya sudah dikendalikan oleh ‘keinginan’ yang biasanya identik dengan kerakusan. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan kehidupan di dunia ini. Sebab, semangat untuk mengumpul, menumpuk barang-barang atau materi yang lain dan melahap makanan melampaui batas kebutuhan harus dibayar dengan ketidakpedulian terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan Tuhan. Untuk memenuhi keinginan yang tanpa batas itu, manusia tidak sungkan mencuri, korupsi, merampas bahkan hingga mengorbankan nyawa orang lain.

Mungkin ada yang berkata bahwa tidak semua penumpukan itu hasil pencurian. Bisa saja. Harta milik dan barang-barang yang ditumpuk mungkin diperoleh secara legal, meskipun tidak pantas secara moral.

Contohnya? Seseorang yang memiliki 25 pasang sepatu, 3 lemari penuh pakaian, dua gudang penuh barang-barang yang mahal tetapi tidak dipakai, mampu membeli banyak makanan –semuanya diperoleh dari hasil kerja keras. Legal, tentu. Hanya saja, perlu ditekankan bahwa ‘legalitas’ bukanlah satu-satunya norma kehidupan. Kita masih memerlukan hati nuranai dan kaidah-kaidah moral.

Dua puluh lima pasang sepatu, misalnya, menurut saya bukanlah kebutuhan. Penumpukan seperti itu menguras uang dan perhatian pemiliknya sekaligus menghalangi orang lain memiliki sepasang kasut yang dibutuhkannya dan alam ini menanggung penderitaan ketika sepatu terlalu banyak. Demikian juga soal makanan. Dari sudut pandang legalitas, seseorang bebas melahap makanan hasil ‘jerih payahnya’ hingga kelebihan berat badan. Polisi tidak pernah menangkap seseorang dengana kasus ‘kelebihan berat badan’. Tetapi secara moral, kita bertanggungjawab untuk peduli pada orang yang kekurangan makanan dan memelihara keseimbangan alam. Lebih dari 1 miliar penduduk bumi ini menderita (bahkan banyak yang mati) karena kurang manakan sementara 600 juta orang di dunia ini ‘menderita’ karena kelebihan berat badan karena melahap makanan terlalu banyak. (Mohon tidak disalah mengerti, tidak semua yang kelebihan berat badan karena kelebihan makanan, ada juga karena masalah hormonal).

Semangat mengumpul harta dan barang-barang biasanya disertai dengan beragam persoalan. Pemiliknya bisa terhalang bergerak karena begitu terpikat dan terikat oleh apa yang dimilikinya. Mereka bisa menjadi kesepian di tengah menara yang mereka bangun sendiri. Jadinya, mereka bisa menjalin keakraban dengan kucing dan anjing mewah dengan biaya hidup yang wah pula. Konon, konsumsi protein kucing di dunia Barat lebih tinggi ketimbang konsumsi protein kebanyakan orang miskin di seluruh dunia.

Memahami Keberadaan Kita di Dunia ini
Tuhan Yesus menghendaki kita untuk memiliki pikiran yang aktif, seperti anak-anak yang memiliki banyak pertanyaan. Yesus mengajar dengan menggunakan perumpamaan, cerita-cerita sederhana yang dimengerti bahkan oleh anak-anak. Inilah salah satu alasan mengapa Ia mengamanatkan kita harus seperti anak-anak agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga –sebab seorang anak masih mau dan mampu belajar.[3] Di samping itu, anak-anak sepenuhnya ‘tergantung’ pada pemeliharaan orangtuanya, menggambarkan ketergantungan kita sepenuhnya pada Tuhan. Jadi, ‘seperti anak-anak’ dalam pengajaran Yesus sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah pengumpulan mainan dan barang-barang yang tidak diperlukan.

Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa kita ditempatkan Tuhan di atas bumi ini tidak untuk mengumpulkan “mainan” tetapi antara lain untuk menjalani hidup sebagaimana Tuhan anugerahkan, untuk menjadi garam dan terang dunia dan untuk membuahkan buah-buah Roh.
Filsuf Marcus Aurelius dengan tepat mengatakan bahwa, “hanya sedikit yang dibutuhkan untuk membuat hidup kita bahagia”. Bloch mengaitkannya dengan firman Tuhan, “Manusia tidak hanya hidup dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”.[4]
Tuhan Yesus mengajarkan kita berdoa sekaligus menjadikannya sebagai gaya hidup kita, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Hal ini juga berarti “Berikanlah kepada kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan”. Kehidupan di dunia ini akan jauh lebih baik, damai dan sejahtera bagi semua umat manusia ketika doa ini menjadi acuan kehidupan.

[1] Douglas Bloch, Mendengarkan Suara Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 50
[2] Yoh Rohmadi Mulyono, Dialog Hati: dalam Beningnya Keheningan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 49
[3] J. Matthew Sleeth, Serve God, Save the Planet: A Christian Call to Action (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 62
[4] Douglas Bloch, opcit., 49

Friday, September 28, 2007

MEWUJUDKAN HKBP YANG TERBUKA DAN DIALOGIS


A. PENGANTAR

Keberadaan Gereja saat ini merupakan post Biblical development (perkembangan sesudah zaman Alkitab). Artinya, kehidupan Gereja seperti liturgi, jabatan gerejawi, struktur, Tata Gereja dan sebagainya tidak persis sama seperti yang berlaku dalam Gereja mula-mula sebagaimana disebutkan di dalam Alkitab. Hal ini terjadi karena Gereja dalam perjalanannya hidup, bertumbuh dan berkembang pada zaman dan konteks yang berbeda. Namun demikian, esensi Gereja tidak pernah berubah. Di antara yang esensi ialah keberadaan Kristus sebagai kepala gereja; Gereja adalah persekutuan umat percaya sebagai persekutuan milik Allah; Gereja menerima tugas panggilan mewujudkan missio Dei di dunia ini, dan sebagainya.

Sifat dan sikap terbuka dan dialogis Gereja bukanlah merupakan post Biblical development, melainkan suatu yang esensi. Keterbukaan gereja bukanlah sesuatu yang ditambahkan kemudian melainkan sesuatu yang inheren dalam dirinya sendiri. Dasarnya amat jelas, yakni: Allah terbuka bagi setiap dan semua orang. Dengan demikian, gereja yang setia kepada Allah adalah gereja yang terbuka kepada Allah dan pada saat yang sama juga terbuka bagi setiap orang.

Atas dasar itu, penggunaan kata ‘mewujudkan’ dalam judul di atas merupakan pilihan yang tepat. Allah sudah dan sedang melakukannya dan Gereja terpanggil untuk seirama denganNya. Ruang dan peluang untuk mewujudkan gereja yang terbuka dan dialogis telah disediakan oleh Allah. Dalam hal ini Gereja perlu memahami ulang tugas panggilannya di bidang marturia, koinonia dan diakonia.

B. KESAKSIAN MELALUI ORTODOKSI DAN ORTOPRAKSIS

Tidak jarang tugas panggilan Gereja di bidang marturia dipahami dalam arti sempit sebagai penginjilan kepada non-Kristen. Tetapi merujuk pada makna marturia dalam Perjanjian Baru, penginjilan hanyalah salah satu bagian dari marturia. Tugas panggilan marturia mencakup kesaksian dalam dan melalui ortodoksi (ajaran yang benar) dan ortopraksis (tindakan yang benar –yang mengacu pada firman Tuhan). Sehubungan dengan itu, dapat ditegaskan bahwa kesaksian tidak pernah mengandung pemaksaan tetapi selalu menghormati kemanusiaan dan kebebasan orang lain.

(1) Terbuka Pada Kehidupan

Secara konkret, marturia juga menyangkut tanggung jawab menyatakan dan memberlakukan perdamaian, kebenaran dan keadilan. HKBP sudah pernah mencanangkan upaya pewujudan marturia seperti itu sebagaimana secara eksplisit dirumuskan dalam Garis-garis Besar Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan HKBP (GBKPP HKBP) yang berbunyi: “Marturia adalah menyampaikan Injil yaitu berita tentang pertobatan, pengampunan dosa dan keselamatan (Luk 24:47) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan damai sejahtera kepada segala bangsa dan segala makhluk (Mrk 16:15)”[1]

Cakupan marturia seperti itu juga mengacu pada amanat Tuhan Yesus tentang keberadaan orang percaya sebagai garam dan terang dunia. Yesus tidak mengatakan pengikutNya sebagai ‘garam gereja dan terang gereja’. Keterbukaan Gereja dalam hal ini dapat diuji berdasarkan komitmennya memperbaiki keadaan masyarakat yang diwarnai oleh aneka bentuk kejahatan, kekerasan, ketidakpedulian dan sebagainya. Gereja memberi cita rasa yang baik dan mencegah ‘pembusukan’ dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat merasakan kehadiran gereja yang sungguh-sungguh merawat kehidupan.

Keberadaan Gereja sebagai ‘garam’ tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya sebagai ‘terang’ yaitu menyatakan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Akan tetapi Gereja harus dengan rendah hati menyadari bahwa terang Tuhan dapat bercahaya di luar Gereja, sebab Kerajaan Allah lebih luas dari Gereja. Itu sebabnya Gereja menerima dan mendukung perjuangan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga non-Kristen.

Mengacu pada keberadaan yang demikian, maka Gereja hendaknya mengemban misi politis,[2] dalam artian misi yang bertujuan demi kebaikan dan kesejahteraan segenap polis (masyarakat). Misalnya, tanggung jawab Gereja untuk terlibat dalam perjuangan agar masyarakat mendapat udara, air, dan makanan yang bersih dan sehat, mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah, buruh mendapat upah yang layak, kesetaraan perempuan dengan laki-laki, dan lain-lain

Konsekwensi tugas panggilan marturia memang tidak ringan. Gereja sebagai lembaga atau warganya secara perorangan bisa saja menanggung penderitaan sebagai konsekuensinya. Hal serupa sudah dialami oleh para saksi yang menanggung siksa sebagaimana para martir yang mengiringi perjalanan gereja sepanjang sejarah (martir sebagai konsekuensi dari marturia).

(2) Terbuka pada perkembangan sains dan teknologi

Yang kiranya perlu mendapat perhatian serius ialah perlunya keterbukaan Gereja secara posotif-kritis terhadap perkembangan sains dan teknologi yang makin canggih. Zaman ini dicirikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat yang menuntut kajian dan refleksi etis-teologis secara sungguh-sungguh. Teknologi kedokteran, misalnya, telah menampakkan wajah ganda. Di satu segi ia hadir sebagai berkat karena berhasil menyembuhkan berbagai penyakit melalui deteksi awal, analisis penyakit yang lebih akurat, tindakan pencangkokan organ tubuh dan sebagainya. Akan tetapi, di segi lain, teknologi kedokteran menampakkan wajah yang menyeramkan dan menakutkan dengan usaha-usaha rekayasa genetika yang dikuatirkan menempatkan manusia hanya sebagai objek uji coba dan menjadi korban.

Gereja dan orang-orang Kristen harus mampu menempatkan diri dalam posisi critical distance (jarak kritis) terhadap perkembangan dimaksud. Tidak bijaksana (dan tidak kristiani) jika Gereja menilai perkembangan tersebut secara hitam-putih saja. Gereja dapat menerima hal-hal yang positif atas dasar keyakinan bahwa teknologi kedokteran --sejauh diberlakukan untuk kebaikan umat manusia merupakan berkat Tuhan. Sebaliknya, Gereja harus secara tegas menolak proses dan praktek dehumanisasi yang mungkin terjadi dalam perkembangan teknologi kedokteran.

(3) Terbuka pada masa depan

Temuan-temuan yang mengejutkan bisa saja terjadi pada masa yang akan datang. Jika suatu saat para ahli menemukan bumi lain yang didiami ‘manusia lain’, Gereja tidak akan buru-buru memvonis bahwa temuan seperti itu menyesatkan dengan alasan (keliru) bahwa dalam Alkitab disebutkan bahwa Allah menciptakan hanya satu bumi. Padahal, tidak ada pernyataan explisit dalam Alkitab bahwa Allah menciptakan hanya satu bumi. Gerja perlu menghindari diri terjerumus ke dalam tindakan ceroboh seperti yang pernah dilakukan menghadapi para ahli dengan penemuan mereka seperti Galileo, Copernicus dan lain-lain.

Di sini Gereja perlu membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara positif-kritis. Positif, karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang baik adalah anugerah Tuhan. Kritis, karena keberdosaan manusia yang pada gilirannya bisa saja menyalahgunakan sains dan teknologi.

Dengan mempertimbangkan masalah di atas, HKBP (khususnya melalui Departemen Marturia HKBP) dapat mempertimbangkan dan melakukan hal-hal berikut.

· Memahami dan merumuskan ulang makna misi dan kesaksian dalam konteks dunia masa kini
· Melakukan kajian teologis-etis seputar persoalan kehidupan, misalnya masalah perkembangan sains dan teknologi, narkoba, HIV/AID, nilai-nilai keluarga, masalah seks bebas, kloning, euthanasia, pencangkokan organ tubuh dan sebagainya.
· Menyampaikan pesan kenabian kepada masyarakat, Gereja, kelompok agama, pemerintah nasional dan pemerintah bangsa-bangsa.
· Memperlengkapi umat menjadi jemaat misioner


C. PERSAUDARAAN SEJATI

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa daya konstruktif agama sering berubah menjadi kekuatan destruktif. Ada begitu banyak manusia yang korban dan rumah ibadah yang hancur dalam konflik antar umat beragama. Terlepas dari kontroversi seputar faktor pemicu konflik antar umat beragama yang terjadi belum lama ini baik di Indonesia maupun di luar negeri, hal yang jelas ialah rapuhnya rasa kemanusiaan. Fanatisme sempit agama telah mengalahkan ‘fanatisme’ rasa kemanusiaan.

Ketika rasa kemanusiaan mengedepan dalam perjumpaan antar manusia yang berbeda latar belakang agama, maka perbedaan akan dipandang sebagai kekayaan. Tetapi, ketika fanatisme (sempit) agama yang mengemuka, maka masyarakat amat rawan pada konflik bahkan peperangan.

Bagi orang Kristen, yang lebih mempersatukan manusia ialah keyakinan akan penciptaan dan kepemilikan Allah atas seluruh ciptaan dan manusia. Semua dan setiap manusia adalah Imago Dei (Gambar Allah). Jika Allah, mengasihi dan memelihara setiap manusia, apakah alasan manusia memusuhi sesamanya?

Dalam konteks dunia yang pluralistik ini, keterbukaan Gereja merupakan suatu bagian tidak terpisahkan dari keberadaan dan tugas panggilannya. Sebab, Gereja yang menutup diri di dalamnya akan terjadi pembusukan. Gereja yang membuka diri tanpa arah yang jelas dan teologis akan hanyut diterjang ganasnya ombak dunia ini. Gereja terpanggil untuk terbuka pada kebenaran yang Alkitabiah.

Bagi Gereja, upaya amewujudkan persaudaraan sejati di antara umat manusia mengacu pada tugas panggilannya di bidang koinonia dalam arti yang sebenarnya. Umumnya gereja-gereja memahami koinonia sebagai persekutuan orang percaya yang dijabarkan dalam bentuk aktivitas gereja seperti ibadah, kelompok Pemahaman Alkitab (PA), kumpulan koor dan lain-lain. Kemudian, koinonia juga dipahami dalam hubungannya dengan persekutuan gereja-gereja secara ekumenis.

Dewan Gereja Sedunia (DGD) sudah sejak lama menggumuli makna tugas panggilan Gereja di bidang koinonia dalam konteks dunia yang pluralistik. Dalam konferensinya yang secara khusus membahas tentang koinonia di Santiago de Compostela (1993) Komisi Iman dan Tata Gereja DGD dengan sangat tepat merumuskan bahwa Gereja sebagai koinonia terpanggil untuk berbagi bukan hanya di antara anggotanya tetapi bagi semua orang melalui pendampingan, kepedulian terhadap orang miskin, yang kekurangan dan yang terpinggirkan dengan memperjuangkan keadilan dan perdamaian di tengah masyarakat serta tanggung jawab memeliharan ciptaan.[3]

Semangat yang sama sudah sejak lama menggema dalam lingkungan HKBP. Bagi HKBP, sebagaimana tercantum dalam GBKPP, tugas persekutuan (koinonia) ini meliputi persekutuan jemaat, keluarga, oikumene (dalam dan luar negeri) dan hubungan dengan golongan lain dalam masyarakat serta dengan pemerintah.”[4]

Dalam tataran das Sollen, mengacu pada pernyataan ‘hubungan dengan golongan lain dalam masyarakat’ dalam GBKPP tersebut, HKBP sudah melangkah melintas sikap eksklusif kepada sikap yang inklusif. Yang dibutuhkan ialah penerjemahan dan pengejawantahannya, bagaimana HKBP ‘bersekutu’ dengan umat manusia tanpa membedakan latar belakang agama, suku, ras, pandangan politik dan sebagainya.

Di samping itu, dibandingkan dengan Konfesi HKBKP 1951, Konfesi HKBP 1996 sudah menunjukkan pergeseran dari sikap eksklusif ke arah keterbukaan yang kreatif-positif. Dapat dicatat bahwa dalam Konfesi HKBP 1996 tidak dicantumkan lagi mengenai agama dan aliran kepercayaan seperti Katolik, Advent, Pinkster dan lain-lain yang tadinya dipahami sebagai sumber ajaran sesat dan ancaman bagi HKBP.[5]

Ada beberapa hal yang secara eksplisit dan implisit dalam Konfesi HKBP 1996 berkaitan dengan kemajemukan agama, antara lain:
- Pasal 1 menyatakan bahwa “hanya ada satu Allah yang memerintah seluruh umat manusia. Pernyataan ini mengandung makna sebuah panggilan untuk melihat dan memperlakukan sesama manusia (tanpa membedakan latar belakang gama dan ras) dari sudut Allah.
- Pasal 4 berbunyi “HKBP memahami keberadaannya yang hidup dalam konteks pluralitas agama”. Meski tidak diurai secara detail, namun pemahaman seperti itu meunjukkan kesadaran akan kebersamaan dengan penganut agama lain.
- Pasal 13 yang secara tegas mengakui fungsi Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Memang wacana sekitar tinjauan teologis terhadap Pancasila terus berlangsung, akan tetapi pernyataan konfesi tersebut menunjukkan kesediaan HKBP menerima kenyataan bahwa Pancasila dapat mempersatukan warga bangsa yang beraneka ragam latar belakang.

Sehubungan dengan itu, berikut ini dapat disebut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian gereja:

(1) Adanya ‘tempat’ bagi orang lain dalam seluruh gerak pelayanan Gereja, mulai dari liturginya dimana penganut agama lain mendapat tempat dalam doa syafaat, hingga dalam pelayanan Gereja di tengah masyarakat.

(2) Peranan Departemen Koinonia HKBP untuk mengambil inisiatif melakukan dialog dan kerja sama antar umat beragama.

(3) HKBP (warga dan lembaga dalam semua aras pelayanan) terpanggil mewujudkan dialog yang jujur terhadap penganut agama lain, antara lain melalui:

a. Dialog kehidupan

Dialog seperti ini sebenarnya sudah lama berlangsung, yaitu ketika warga jemaat hidup bertetangga dengan penganut agama lain, bekerja dalam lingkungan kerja yang sama, bertransaksi dalam dagang dengan yang berbeda latar belakang agama, suku dan sebagainya. Dalam lingkungan seperti itu orang bertemu tanpa mengedepankan perbedaan melainkan kesamaan sebagai sesama manusia.

b. Dialog Teologis

Dialog teologis terutama melibatkan para tokoh, ahli, pimpinan agama-agama yang bertemu dan membahas seputar masalah-masalah aktual ditinjau dari sudut pandang masing-masing agama. Di Indonesia terdapat cukup banyak forum seperti ini, dimana HKBP dapat ambil bagian. Di samping itu, HKBP dapat memprakarsai forum dialog teologis yang lain dan lebih intensif.

c. Dialog kerja sama

Di sini pusat perhatian tidak terutama ajaran atau dasar teologis secara formal-ilmiah, tetapi membangun kehidupan bersama, peduli pada permasalah bersama dan bersama-sama berbuat sesuatu untuk kebaikan bersama. Misalnya, penganut-penganut agama yang berbeda bekerja sama di bidang penanggulangan bencana, gotong royong, menjaga keamanan bersama, proyek-proyek kemanusiaan, gerakan peduli lingkungan dan lain-lain. Memang, HKBP harus bergerak dalam hal ini atas dasar iman dan ketaatannya kepada Tuhan.

D. DIAKONIA TRANSFORMATIF

Seruan perlunya pergeseran diakonia karitatif (yang biasanya diibaratkan dengan ‘memberikan ikan’) dan diakonia reformatif (diibaratkan dengan ‘pemberian pancing’) kepada diakonia transformatif (menolong mendapatkan akses ke kolam yang berisi ikan) kian nyaring digaungkan akhir-akhir ini.

Seruan dan perjuangan demikian dapat dimengerti karena diakonia karitatif –meskipun baik dan masih tetap dipertahankan, tetapi tidak cukup. Sebab, pemberian yang sifatnya karitatif akan menciptakan ketergantungan. Sama halnya dengan diakonia reformatif, tidak ada manfaatnya jika keahlian dan ketrampilan seseorang tidak dapat digunakan jika peluang dan akses tidak tersedia baginya.

HKBP memahami tugas panggilannya untuk melayani dunia, bukan dilayani (Mrk 10:45): untuk memerangi kebodohan, keterbelakangan, kelemahan, penyakit, ketidakadilan dalam masyarakat sebagaimana diperbuat oleh Yesus (Mat 4:23; Luk 4:18-19).[6]

Tugas HKBP secara lembaga (khususnya Departemen Diakonia) dan warga jemaat pada umumnya dalam hal ini, antara lain adalah:

Memperlengkapi dan menggerakkan warga HKBP dan jemaat-jemaat terlibat dalam upaya-upaya diakonia transformatif melalui keterlibatannya merawat kehidupan melalui usaha-usaha nyata.
Menjalin hubungan dan kerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya memahami dan mengatasi permasalahan yang ada.
Mempertahankan pelayanan di panti-panti asuhan baik yang dikelola sendiri maupun dengan keikutsertaannya mengupayakan bantuan kepada panti asuhan yang dikelola oleh penganut agama lain.
Menumbuhkan kesadaran serta menggerakkan seluruh komponen masyarakat terlibat merawat dan memelihara alam ciptaan Tuhan di tengah krisis ekologis dewasa ini.
Mengadakan diskusi dan sharing terbuka seputar masalah bersama seperti masalah krisis lingkungan, sistem pendidikan yang memerdekakan, masalah kesehatan, masalah anak jalanan, kehidupan buruh, persoalan gender dan sebagainya.
Pengelolaan Rumah sakit dan Sekolah secara profesional.
Mensinergikan potensi yang ada di departemen marturia dan koinonia.


E. PENUTUP

Tuhan Yesus Kristus mengundang umatnya, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh. 15:4).

Undangan ini juga berlaku bagi Gereja dan orang-orang Kristen pada hari ini. Sebagaimana Kristus terbuka bagi setiap manusia, demikian juga Gereja dan orang Kristen yang tinggal dalam Kristus, akan terbuka terhadap sesamanya. Dialog yang dilakukan oleh Gereja dan orang Kristen yang tinggal di dalam Kristus akan mengalir dari ketaatannya kepada Kristus yang menghendaki kebaikan dan keselamatan semua ciptaan.

















[1] HKBP, Garis-garis Besar Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan HKBP, Tarutung: HKBP,1989. hlm. 12
[2] Untuk menghindari kesalahpahaman, ‘politis’ dalam hal ini dimaksudkan menyangkut kehidupan orang banyak, bukan ‘politik praktis’. Sebab, Gereja seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis.
[3] Thomas F. Best and Gunther Gassmann, On the way to Fuller Koinonia, Official Report of the Fifth World Conference on Faith and Order, Geneva: WCC Publication, p. 275
[4] GBKPP, hlm. 11
[5] Lihat Bagian Pendahuluan Konfesi HKBP 1951.
[6] GBKPP HKBP hlm. 12

Tuesday, September 18, 2007

M E M O R I A


(Pengingatan dengan Perenungan Mendalam)[1]

Nama Pilatus tidak mungkin diabaikan dalam peristiwa penyaliban Kristus. Sebagai seorang wali negeri, ia mempunyai peranan yang amat menentukan dalam penyaliban Yesus. Keputusan atas tuduhan dan tuntutan massa berada di tangannya.

Tuduhan terhadap Yesus tidak tanggung-tanggung. Ia dituduh menghujat Allah, dan karena itu Ia divonis menodai kesucian agama. Ia juga dituduh menentang kebijakan Kaisar, karena itu Ia dianggap pantas menyandang “cap” subversif. Tuduhan-tuduhan inilah yang akhirnya menghantarkan Yesus ke hadapan penguasa setempat sebagai terdakwa.

Bagaimana sikap Pilatus? Ia mempunyai pilihan yang amat sulit. Bukan karena perkaranya yang pelik, tetapi karena adanya pertarungan dahsyat antara nurani dan taktik politik. Pilatus mengaku bahwa ia tidak mendapati kesalahan apapun untuk menghukum Yesus. Ia tahu persis kehadiran para pemuka agama dan massa yang membawa Yesus adalah karena kedengkian mereka. Bahkan, Pilatus mempunyai hasrat untuk membebaskan Yesus.

Apa yang terjadi? Satu kalimat membuat Pilatus gusar tidak kepalang. “Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar,” demikian teriakan massa (Yohanes 19 : 12). Apakah istilah “takut” ada dalam kamus kekuasaan? Oh, tentu. Lihat saja pada Pilatus. Sebabnya sangat logis walaupun amat tidak etis. Soalnya, posisinya dipertaruhkan di sini. Jabatan dan tentu, penghasilan turut memberi andil membuat hatinya gelisah. Membebaskan Yesus memang tindakan jujur, tetapi konsekuensinya sangat mahal: tergusur atau bahkan bisa hingga menganggur.

Demi survive (bertahan hidup dan bertahan posisi) akhirnya Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan. Biar ia tidak jujur asal bisa “mujur”. Tidak hanya sampai disitu, demi memuaskan hati umat ia membebaskan Barabas seorang pelaku pembunuhan dan pemberontakan. Penjahat boleh bebas berkeliaran tetapi Yesus dikamabinghitamkan sebagai penjahat.

Semangat serupa memang merupakan suatu mode kekuasaan ketika itu. Lihat saja Herodes misalnya, yang tidak sungkan terlibat dalam pembangunan Bait Suci, dengan bantuan finansial dan dukungan moril! Namun ia tidak merasa enggan juga menumpas lawan-lawan politiknya dengan tentaranya yang kuat. Ia menampilkan kedermawanan yang sungguh-sungguh munafik.

Dengan santainya, Pilatus mencuci tangan sambil dengan ringannya berkata “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini. Itu urusan kamu sendiri!” Dengan gagah berani ia mengampuni kesalahannya sendiri dengan mencuci tangan dan bukan mencuci hati dan pikirannya. Dengan kekuasaannya ia menganggap dirinya memiliki kuasa melempar kesalahan. Kekuasaan mencari kambing hitam!

Akhirnya, Yesus harus menempuh jalan salib. Yesus memikul salibNya dan berjalan menuju Golgata di tengah olokan dan penghinaan. Di samping itu, perjalananNya juga diiringi deraian air mata banyak perempuan. Tetapi jangan terburu-buru memandang air mata ini sebagai pertanda kelemahan kaum perempuan. Ia malah bisa merupakan anugerah Allah untuk menunjukkan kepekaan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan kaum perempuan. Air mata ini juga dapat merupakan simbol perjuangan menolak segala bentuk kesewenang-wenangan.

Yesus tidak meremehkan tangisan itu. Hanya saja, Ia mengarahkan tangisan para perempuan itu kepada yang lain. Dengar apa yang Ia katakan “hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” Kata “anak-anakmu” di sini, mungkin saja menunjuk pada mereka yang dengan mata merah menyerukan penyaliban Yesus, pemuka-pemuka agama, penguasa atau para penonton.

Peristiwa di atas hadir sebagai hasil dari memoria jemaat mula-mula dan para rasul. Memoria artinya “pengingatan yang disertai dengan perenungan mendalam.” Peristiwa di sekitar penghukuman Yesus, yang diingat dan direnungkan oleh jemaat mula-mula dan disaksikan itu akhirnya menjadi memoria umat Kristen pada zaman ini. Memoria ini memungkinkan seseorang melihat keberadaan diri dan realitas dunia sekitarnya dengan penglihatan Kristus sendiri.

Memoria seperti ini tidak gampang bahkan ia mengandung dan mengundang risiko. Yaitu menangisi diri dan menangisi “anak zaman ini.” Menangisi diri, karena mungkin kita sedang memerankan Pilatus atau orang yang berada di sekeliling ‘Pilatus’ dan tidak bisa berbuat apa-apa. Di sini, mungkin saja kita kehilangan sesuatu. Tetapi, bukankah kehilangan sesuatu jauh lebih baik daripada kehilangan segala sesuatu?

Memoria bisa mencurahkan “hujan air mata” menangisi “anak zaman” ini. Menangisi orang-orang yang dengan mudah dan teganya mengorbankan manusia demi kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Tangisan yang mengantar perjuangan pemanusiaan manusia dengan segala tantangannya.

Memoria demikian bisa terjadi jika keselamatan yang Yesus perbuat tidak dipandang hanya sekedar keselamatan jiwa-jiwa. Tetapi keselamatan jasmani dan jiwa secara utuh. Keselamatan yang menyentuh sendi-sendi totalitas kehidupan. Ya, kehidupan bergereja, ya kehidupan bermasyarakat. Kehidupan rohani dan kehidupan jasmani. Sebab, Yesus adalah Juruselamat kehidupan jasmani dan rohani secara utuh. Itu juga yang Ia pelihara hingga hari ini dalam kehadiranNya di dunia yang konkret ini.

Jangan lupa, memoria penderitaan Kristus juga mengandung pengingatan dan perenungan akan perkataan Yesus yang penuh pengampunan. “Ya Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu yang mereka perbuat.” Pengampunan ini berlaku juga pada saat kebangkitan-Nya dan hingga hari ini.

Dengan demikian, memoria dapat menghantar setiap umat percaya mengimani kasih Allah, menyadari keberadaan diri, melihat kenyataan dunia ini, mendorong pengampunan serta menggerakkan aksi seiring dengan pekerjaan Tuhan. Sebab, Ia hidup dan berkarya kini dan di sini.
[1] Pernah dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, Jakarta.

ShoutMix chat widget