Tuesday, November 13, 2007

KASIH: Jarak Pendek & Jarak Jauh

“Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”
(Ibrani 10:24)


Berbicara tentang hubungan kehidupan bergereja dengan kehidupan sehari-hari, sedikitnya ada lima kelompok orang:

(1) Orang yang tidak perduli terhadap kehidupan bergereja (tidak hadir dalam ibadah Minggu dan PA, tidak mau membaca Alkitab dan berdoa) dan hidupnya sehari-hari pun penuh dengan kebiasaan buruk bahkan tidak bermoral.


(2) Orang yang rajin ke gereja, tidak pernah absen di perkumpulan PA, berdoa setiap kali mau makan, tetapi seolah-olah tidak ada pengaruhnya yang nyata terhadap kehidupan sehari-hari. Karakter buruk tetap melekat, seperti suka marah bahkan berang, memendam dendam, melakukan korupsi, pergi kepada dukun dan lain-lain.


(3) Tidak rajin ke gereja dan tidak banyak tahu tentang isi Alkitab, tetapi dalam hidup sehari-hari ia hidup baik, jujur, ramah, bekerja dengan sungguh-sungguh, suka menolong sesama manusia.


(4) Sesekali pergi ke gereja dan hidup biasa-biasa saja, tidak terlalu jahat dan tidak baik sekali. Sungkan menghujat Allah tetapi kehidupannya tidak sepenuhnya berpadanan dengan kehendak Tuhan. Tidak mau mengganggu orang lain, tetapi juga tidak bersedia menolong sesama.


(5) Rajin dan terlibat aktif dalam seluruh kehidupan bergereja, baik dalam ibadah pribadi maupun bersama-sama dan itu juga terpancar dalam hidupnya sehari-hari dalam berbagai perbuatan baik.

Kita boleh melihat di kelompok mana kita dan keluarga kita masing-masing berada. Yang ideal memang adalah nomor 5 ini.

Ibrani 10:24 berbicara tentang hubungan iman dan ibadah dengan kehidupan keseharian. Ayat ini mesti dilihat sebagai satu kesatuan mulai dari ayat 19 yang menegaskan bahwa Yesus Kristus telah membuka jalan bagi kita untuk masuk ke dalam tempat kudusNya, menjadi anggota keluarga Allah.

Bertolak dari karya Kristus yang begitu besar dan menentukan, menyusul tiga ajakan ‘marilah’ kepada umat percaya, yakni:

(1) Marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus iklas dan keyakinan iman yang teguh. Oleh karena hati kita telah dibersihkan…. (ay 22)
(2) Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab, Ia yang menjanjikannya, setia (ay 23)
(3) Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. (ay 24).

Oleh karena itu, pusat perhatian kita yang pertama dan terutama adalah ‘pekerjaan Kristus di antara kita’. Ketiga ajakan seperti disebut di atas merupakan buah dari sambutan umat percaya kepada karya Kristus itu sendiri.

Dalam hal ini kita diajak kepada hal-hal yang konkret dan praktis tentang sikap dan gerak hidup sebagai orang percaya. Dengan kata lain, firman Tuhan ini mau menegaskan keterkaitan antara iman, ibadah dan kehidupan yang berbuah.

1. Rintangan Saling Memperhatikan

Saling memperhatikan dalam kasih merupakan sesuatu yang terbilang langka pada zaman ini. Kalaupun ada, ia lebih merupakan ‘pertukaran kepentingan’. Saya menjaga kepentingan Anda, sejauh Anda menjaga kepentingan saya. Saya akan datang ke pesta Anda, kalau Anda datang menghadiri pesta saya. Saya akan datang mengikuti PA di rumah Anda, kalau Anda hadir ketika PA diadakan di rumah saya. Di sini, persahabatan dibelokkan sebagai alat pemenuhan pementingan diri. Bahkan, agama pun bisa saja diperlakukan sebagai alat pemenuhan kepentingan.

Di samping membawa berbagai hal yang baik, salah satu sisi kelam dari era globalisasi ini ialah kecenderungan manusia yang kian dicengkeram individualisme (karena itu menjadi kurang dalam saling memperhatikan) dan materialisme (sehingga yang dipuja adalah Mamon hingga mengorbankan orang lain).

Kehidupan yang serba individualisme dan materialisme sangat mudah membuat orang merasa kuatir dan cemas, yang dapat menekan kehidupan. Bahkan, yang lebih buruk, akan mengakibatkan berbagai penderitaan fisik. Sebab, pikiran dan suasana hati menyalurkan kecemasannya kepada tubuh. Banyak ahli yang berkesimpulan bahwa gangguan fisik seperti pusing kepala, gangguan saluran pernafasan, sakit perut, tekanan darah tinggi, sakit jantung dan sebagainya diakibatkan oleh tekanan terhadap rasa dan emosi.

Masih dalam hubungan itu, ambisi, menyimpan amarah, dengki, rasa benci, takut, kecewa menimbulkan stress (ketegangan) pada tubuh. Stress seperti itu dapat menyebabkan pernafasan dan detak jantung kita menjadi tidak normal. Kalau pasokan oksigen berkurang dalam tubuh, maka aliran darah juga akan terganggu. Dengan demikian, stress dapat menciptakan ketidakseimbangan kimia yang mengakibatkan kesalahan fungsi kelenjar dan organ-organ lain. Tubuh menjadi tidak mampu memberi perlawanan terhadap kuman-kuman yang biasanya dapat dikendalikan. Selanjutnya akan menimbulkan berbagai gangguan fisik.

Gangguan-gangguan semacam itu semakin membuat perhatian seseorang tertuju dan terpusat pada diri sendiri, cenderung lebih memikirkan keadaan diri sendiri dan amat kurang memberi perhatian terhadap sesama. Untuk itu perlu kita cermati berbagai gangguan kepribadian yang menghambat terciptanya kehidupan yang saling memperhatikan.

- Orang yang terlalu memikirkan diri sendiri kurang memiliki kesempatan memikirkan orang lain.

- Orang yang terlalu memperhatikan diri sendiri tidak mempunyai kesempatan memperhatikan orang lain
- Orang yang mengutamakan kenikmatan diri, akan cenderung merampas hak dan kebahagiaan orang lain.

2. Kasih Yang Melintas Batas

Bagi kita, ‘hukum yang terutama’ yang diamanatkan oleh Yesus, bukanlah sesuatu yang asing. Pengajaran dan kehidupan Yesus berpusat pada kasih. Yesus berkata, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39). Tidak disebut ‘kasihilah sesamamu segereja atau sesamamu sekeluarga’. Untuk lebih memperjelas ini kita dapat menghubungkannya dengan perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati. Pada waktu itu, bagi orang Israel, orang Samaria adalah kafir dan dianggap sebagai musuh. Tetapi, dalam perumpamaan itu, justru orang seperti itulah yang mendapat pujian dari Yesus karena dialah yang melakukan kasih. Imam dan orang Lewi yang lewat itu adalah orang-orang yang mengetahui tentang kasih tetapi tidak mempraktekkan kasih.

Rasul Paulus pun dengan sangat jelas memaparkan ‘apa itu kasih’ (1 Kor 13) dan ‘bagaimana mengasihi’ (Rm 12). Kasih merupakan yang inti dalam kehidupan kristiani. Bahkan, pengorbanan sekalipun jika tanpa kasih, ia tidak punya makna apa-apa.

Dewasa ini, kasih cenderung diamputasi dan menjadi sekadar ‘kasih jarak pendek’ (bahkan ‘jarak pendek’ ini pun sudah semakin lebih pendek lagi). Sejarah perjalanan dunia ini sudah membuktikan hal itu. Banyak orang yang mengasihi dan peduli pada anak-anaknya tetapi sangat kejam terhadap anak-anak orang lain. Hal itu juga terjadi misalnya dalam lingkungan industri atau di lingkungan perburuhan dimana para buruh dibebani dengan begitu banyak tanggung jawab tetapi hanya sedikit hak.

Selanjutnya, kita terpanggil untuk dengan tulus menghormati perbedaan, khususnya dalam kehidupan kita di Indonesia yang sangat beragam latar belakang etnis, budaya, partai politik, dan agama. Kita sudah mengalami sejarah hitam pekat, dimana ribuan orang terlah korban nyawa atas nama agama seperti kasus Ambon dan di berbagai tempat lain. Kasih seharusnya menjangkau semua dan setiap orang. Apalah artinya agama kalau bukan untuk kehidupan yang damai dan bermakna? Alkitab bersaksi, bukan manusia untuk Sabat, melainkan Sabat untuk manusia. Sejalan dengan itu, bukan manusia untuk agama melainkan agama untuk manusia.

3. ‘Baik’ Tetapi Belum Cukup

Iman merupakan satu kesatuan dengan pekerjaan baik. “Iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong” (Yak. 2:20; bnd. Ay. 18). Itu sebabnya seluruh kehidupan adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, Jadi, ‘pekerjaan baik’ yang dimaksudkan adalah berdasar dan mengakar pada pekerjaan Tuhan sendiri.

Bagi orang Kristen, menghindari perbuatan tercela dan jahat adalah baik, namun belum cukup. Gandhi, misalnya, mengajarkan ahimsa yaitu menolak keinginan untuk membunuh, tidak membahayakan orang, tidak menyakiti hati sesama, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan memperalat dan mengorbankan orang lain. (Semuanya ini, menurut Gandhi, berakar pada egoisme manusia).

Sambil menghindari perbuatan buruk, orang percaya juga sekaligus terpanggil untuk aktif berbuat kebaikan demi terwujudnya damai sejahtera, antara lain:

· Tidak membunuh sekaligus mencintai dan membangun kehidupan bersama
· Tidak membenci sekaligus mengasihi dan membawa damai bagi semua dan setiap orang
· Tidak membahayakan orang, sekaligus memberikan pertolongan yang terbaik bagi sesama, terutama mereka yang terabaikan, tertindas dan tersingkir.
· Tidak menyakiti hati orang lain sekaligus berusaha membuat orang bersukacita
· Tidak membuat orang marah sekaligus menghormati dan membuat orang tersenyum bahagia
· Tidak mencari keuntungan diri sendiri sekaligus memberi kesempatan kepada orang untuk mendapat keuntungan yang baik.

Berkaitan dengan itu, berikut ini dapat disebut beberapa hal yang lebih konkret:

(1) Pekerjaan atau profesi seseorang mestinya bukanlah hanya sekadar ‘mata pencaharian’ tetapi merupakan bagian dari pelayanan dan kesaksian. Sekadar catatan, dewasa ini berkembang sebuah pameo yang mengatakan bahwa untuk mendapat penghasilan yang haram saja sudah sangat sulit, apalagi mencari yang halal. Umat beriman terpanggil menjadi garam dan terang, tidak larut dalam kecenderungan dunia.
(2) Perkumpulan atau kelompok dalam jemaat, seperti kumpulan PA sektor atau lingkungan misalnya, dapat berperan sebagai kelompok aksi nyata bersama di samping mengadakan PA. Kelompok ini dapat mengemban tugas panggilan gereja sebagai jemaat misioner melalui program-program tertentu seperti pendampingan anak, pemberdayaan ekonomi, advokasi, proyek pelestarian lingkungan dan sebagainya. Untuk itu program-program dalam aras jemaat perlu dirumuskan dan dilaksanakan dengan baik.
(3) Gereja, sebagai pribadi, kelompok dan lembaga terpanggil untuk memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah yang cenderung menghancurkan kehidupan. Gereja terpanggil mengatasi segala bentuk kekerasan terhadap manusia dan ciptaan Tuhan. Sebab, dunia dan segala yang diam di dalamnya adalah milik Tuhan (Mzm 24:1).

Penutup

Anthoni de Mello dengan amat tepat mengatakan bahwa ‘hidup itu sebenarnya sederhana dan mudah, serta penuh dengan kegembiraan. Hidup terasa sulit jika hanya dikuasai oleh ilusi, ambisi dan keserakahan. Karenanya, hidup menjadi kaya makna dan menjadi berkat ketika dijalani bersama dengan Tuhan, Sang Pengasih yang sempurna itu.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget