Sunday, July 26, 2009

MENGURUS GEREJA DENGAN HATI

REFLEKSI MINGGU KE-30
26 JULI 2009

‘Rekayasa’ ala pilkada dalam pemilihan kepengurusan gereja terasa agak menggejala akhir-akhir ini, khususnya dalam lingkungan gereja gereja main line (arus utama). Hal ini terjadi dari aras jemaat hingga tingkat sinode atau pusat. Untuk mengangkat majelis, panitia, komisi atau apa pun istilah yang digunakan masing-masing gereja sudah terjadi kasak-kusuk bukan dengan doa khusuk. Lobi untuk menggolkan yang ini dan menjegal yang itu. Amat memprihatinkan dan menyedihkan! Bagaimana mungkin kita memilih pengurus gereja dengan cara yang tidak gerejawi? Apa artinya berjalan apalagi berlari jika kita berada pada jalan yang salah? Maksudnya begini. Sebuah jemaat bisa saja melakukan aneka ‘ragam program’ (seperti outing, lomba, retreat, mission trip) sebagai tambahan terhadap ‘rutinitas’ ibadah, PA, persekutuan kategorial (lanjut usia, Bapak, Ibu, Pemuda/ Remaja, Sekolah Minggu). Ramai dan Sibuk? Mengeluarkan biaya? Ya. Tetapi, semuanya bisa terasa kering. Ada sesuatu yang mengganjal. Gereja ‘dijalankan’ oleh orang-orang yang punya kepala, dompet dan keahlian strategi saja. Kurang menggunakan hati –hati di mana Roh Kudus bertahta. Hati yang beriman.

Keadaan ini tidak lepas dari spiritualitas, integritas dan karakter gembala jemaat. Pengalaman menunjukkan terkadang tidak jelas siapa menggembalakan siapa dalam sebuah jemaat. Tidak jarang seorang gembala justru digembalakan oleh para 'domba'. Gembala digiring seturut keinginan orang-orang atau kelompok tertentu dalam sebuah jemaat. Entah demi mengurangi pekerjaan, entah dalam rangka ‘survive’, atau sekadar mengambil hati. Satu kecenderungan yang mulai kentara belakangan ini ialah seorang gembala tidak merasa bertanggungjawab kepada siapa pun. Pergi ke mana-mana sesuka hati. Menetapkan jam kerja sesuka hati. Mengatakan dan berbuat sesuatu sesuka hati tapa sedikit pun hati-hati.

Horace dengan tepat mengatakan bahwa “Mengawali sesuatu dengan baik sudah setengah selesai”. Masalahnya, kalau sebuah kepengurusan gerejawi dimulai dengan rekayasa duniawi, apakah mungkin mengharapkannya menjadi baik? Meski mungkin tidak dimaksudkan berkaitan dengan kehidupan bergereja, berikut ini ada beberapa amsal yang baik juga kita renungkan dan petik maknanya:

“Anda tidak dapat membuat kepiting berjalan lurus”. (Aristophanes)
“Seekor ikan mati membuat seluruh kolam berbau busuk”. (Pepatah China)
“Jangan mengharapkan musik yang merdu dari gitar yang rusak.” (Pepatah Yunani)
“Jika Anda melemparkan lumpur ke tembok, meski ia tidak melekat, akan menyisakan bekas noda.” (Pepatah Arab)

Berdasarkan ungkapan-ungkapan di atas, suatu awal yang buruk, suatu sikap yang buruk, suatu perilaku busuk, suatu tindakan tercemar akan mengakibatkan aneka persoalan dalam kehidupan khususnya dalam sebuah persekutuan. Pengalaman empiris membuktikan bahwa manusia sulit sekali berubah. Namun demikian, sebagai orang percaya kita tetap berpengharapan. Ketika seseorang berada dalam jalan yang salah, Allah senantiasa memberi kesempatan untuk mengambil jalan kembali.

Bagaimana memilih pengurus gereja? Setiap jemaat pasti memiliki aturan masing-masing. Tetapi, yang lebih mendasar dapat disebutkan sebagai berikut.
  1. Memilih dengan hati nurani. Hati nurani yang dipimpin oleh Tuhan. Hanya dengan demikian kehendak Tuhan dapat mengalahkan setiap kepentingan pribadi sekaligus mengedepankan kehendak Tuhan.
  2. Cara pemilihan dengan suasana doa. Setiap pemilih menyampaikan pilihannya terutama dalam hubungannya dengan Tuhan. Jauh dari sentimen pribadi atau kelompok.
  3. Membantu yang terpilih dalam doa, pikiran, tenaga, teguran dalam kasih, dan dengan apa saja yang Tuhan percayakan.
  4. Di antara yang sangat penting dan mendesak dipahami oleh pengurus gereja adalah: 'apa itu gereja', 'pelayan gereja yang bagaimana' dan 'bagaimana melayani.' Tanpa pemahaman yang jelas dan komitmen yang murni, maka gereja hanyalah organisasi duniawi belaka. Tubuh yang kehilangan roh!
  5. Ketika kita dipercayakan melayani dalam sebuah jemaat, itu lebih merupakan fungsi pelayanan bukan sebuah posisi yang berkaitan dengan gengsi. Kita tahu, kita tetap murid Kristus sampai kesudahan zaman. Kita perlu senanatiasa rendah hati, jauh dari sikap penonjolan diri dan arogan. Kalau kita merasa sebagai orang penting, perlu kita ingat bahwa orang-orang penting yang pernah dikenal dalam sejarah dunia ini, kuburan mereka saat ini ditumbuhi oleh rumput-rumput.

Ada pepatah indah orang Afrika seperti ini: “Sampan tidak dapat maju apalagi melaju menuju tujuan jika setiap orang mendayung menurut arah masing-masing pendayung “. Sangat Alkitabiah bukan? Rasul Paulus sangat menekankan agar dalam jemaat terpelihara kehidupan yang sehati sepikir yang berakar pada kehendak Tuhan.





Sunday, July 19, 2009

BUNGA BERDURI

REFLEKSI MINGGU KE-29
21 JULI 2009


Bayangkan sebuah acara sykuran ulang tahun pernikahan. Seorang undangan menyerahkan setangkai bunga mawar kepada yang berulangtahun dengan mengatakan seperti ini:


Saya akan memotong bunga mawar ini dari tangkainya dan menyerahkan bunganya kepada bapak dengan harapan bahwa bapak akan sukses, termasyhur, dan disenangi banyak orang. Sedangkan tangkai bunga yang berduri ini saya serahkan kepada ibu untuk mengingatkaan bahwa ibu harus menderita. Mempersiapkaan segala sesuatu yang bapak butuhkan untuk bekerja. Ibu harus menguras tenaga mengurus rumah dan merawat anak-anak. Jika anak-anak demam waktu malam, jangan bangunkan bapak, biarkan dia tidur pulas. Ibu harus menanggung derita kurang tidur. Saat bapak pulang kantor atau kerja, siapkan minumannya, letakkan sepatunya pada tempatnya. Jika bapak mau nonton TV, ibu harus menenteramkan anak-anak. Singkatnya, ibu harus menanggung 'duri' atau derita.

Seorang istri yang berpikir 'normal' pasti tidak menerima kata-kata itu. Suami yang berperikemanusiaan pun tidak akan menerima kata-kata itu. Suami-stri adalah satu, yang mestinya bersama-sama mengalami suka-duka kehidupan; sama-sama menanggung beban dan sama-sama merayakana kehidupan.
.
Bunga berduri juga dapat menggambarkan kehidupan ini. Kita mesti melihat kehdiupan secara utuh. Dalam kehidupan ini ada saja 'duri' yang kita alami sejak kecil hingga masa senja. Bentuknya bisa berbeda, tapi semuanya merupakan sesuatu yang tidak enak bahkan menyakitkan: mengerjakan PR untuk lulus ujian, sakit untuk mengingatkan keterbatasan kita; disalahmengerti orang, yang dapat untuk mendewasakan kita; difitnah yang dapat melatih kita untuk lebih bersabar dan tangguh; serta aneka 'duri' kehidupan lainnya. Tetapi, kita perlu memfokuskan diri pada 'keindahan dan keharuman bunga', yaitu anugerah Tuhan dan segala kebaikan-kebaikan yang kita terima dalam hidup ini. Itulah bunga berduri. Jangan hanya berfokus pada duri-duri kehidupan yang hanya akan menyakiti diri kita sendiri dan orang lain. Fokuslah pada Dia yang sudah menanggung puncak 'duri' kehidupan di kayu salib untuk kesembuhan kita dan sumber keuatan kita menjadi berkat bagi sesama.
.
Satu lagi, jika kita tidak mau (atau tidak mampu) memberi 'bunga' kepada orang lain, paling tidak jangan memberi 'duri'.

Saturday, July 11, 2009

PERASAAN


REFLEKSI MINGGU KE-28

13 JULI 2009


‘Penyedap rasa’ merupakan salah satu di antara yang paling diminati banyak orang saat ini. Tidak hanya dalam makanan, tetapi dalam hampir seluruh ranah kehidupan. TV untuk rasa bosan. Pil tidur untuk rasa ngantuk. Parfum, aksesori, dan pakaian bermerk untuk rasa percaya diri alias pede. Mengapa stimulan kian marak? Karena bagi banyak orang, hidup tidak punya rasa lagi.

Anthony de Mello membedakan dua macam perasaan. Pertama, feeling of the world (perasaan duniawi). Perasaan ini muncul ketika kita: dipuji, ditepuki, unggul dalam argumen, mencapai puncak karir, menjadi juara, menang taruhan, meraih sukses, menjadi bos, memiliki wewenang. Semua ini tidak alami, tetapi diciptakan oleh masyarakat dan ‘keakuan’ kita untuk mengontrol hidup kita. Ini berasal dari pengagungan diri dan promosi diri. Ujungnya adalah kehampaan. Dalam keadaan seperti ini kita mempunyai pilihan: (1) Berpaling ke berbagai ‘penyedap rasa’ yang juga akan berujung pada kesia-siaan dan kehampaan, atau (2) Fokus pada sang Pemberi hidup, yang tetap setia menjaga dan mengasihi kita. Sebab, fokus kita menentukan perasaan kita.

Kedua, feeling of the soul (perasaan jiwa) yaitu perasaan-perasaan ketika kita: menikmati indahnya matahari terbenam; alam yang sejuk dan indah; bunga yang harum dan menawan; sungguh-sungguh menikmati dan menghayati pekerjaan, hobi, membaca buku bagus, berada bersama teman yang kita kasihi, dan terutama menjalani hidup bersama Tuhan yang hidup.

Masih dalam kaiatan itu, pada kesempatan lain Mello mengatakan dengan amat meneguhkan demikian:
.
Hidup ini terlalu berharga diboroskan dalam pengejaran menjadi kaya, terkenal, berpenampilan ‘wah’, populer, kelihatan cantik/ ganteng atau kuatir menjadi miskin, tidak dikenal, dilupakan atau kelihatan berparas jelek. Apakah kita mau menggunakan naskah berharga untuk menyalakan api? Keinginan untuk ‘memberi kesan’ merupakan pemborosan kehidupan kita yang berharga. Sikap seperti inilah yang kebanyakan menyebabkan ketidakbahagiaan di dunia. Jadilah diri sendiri.

Kita dikondisikan oleh masyarakat, orang tua, keluarga untuk memainkan peran. Seolah hidup kita ini dekandilan oleh sebuah remote control: bagaimana kita harus bersikap, apa yang kita katakan, apa yang kita pakai ditentukan dari ‘luar’. Entah supaya kita diterima, disenangi, disanjung, diakui dan sebagainya. Hidup seperti ini adalah sebuah perbudakan. Kehidupan yang demikian biasanya membuat seseorang selalu membandingkan diri dengan orang lain. Kalau ia merasa lebih baik, ia merasa enak, bahkan bisa menjadi sombong dan gampang menghakimi. Kalau ia merasa lebih rendah dari orang lain, ia menjadi cemburu dan iri hati. Padahal, orang yang cemburu dan iri hati tidak mungkin bahagia.

Hidup yang merdeka adalah hidup yang dipimpin oleh suara hati --hati yang didiami oleh Tuhan sendiri. Hidup di dalam Tuhan memungkinkan kita untuk tidak dikendalikan oleh perasaan duniawi, tetapi sebaliknya hubungan kita dengan Tuhan menentukan perasaan kita. Kita tidak melihat peristiwa kehidupan secara sepotong-sepotong. Kita melihatnya secara utuh. Meyer menggambarkannya dengan baik melalui bahan-bahan kue: tepung, telor mentah, pengembang, garam, gula dan sebagainya, yang jika dimakan sendiri-sendiri rasanya tidak enak. Tetapi ketika semua bahan-bahan ini dicampur sedemikian dan dimasak menjadi kue, rasanya menjadi enak. Apakah Anda sedang mengalami rasa pahit, pedas, asam, hambar, manis saat ini? Anda dianugerahi hikmat untuk mengolahnya sedemikian rupa menjadi ‘kue’ kebahagiaan. Selamat mencoba.

Saturday, July 4, 2009

SUKSES dan RASA MALU

REFLEKSI MINGGU KE-27
06 JULI 2009



Agaknya, semua orang ingin ‘sukses’. Tapi tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang ‘sukses’. Umumnya orang mengukur sukses berdasarkan angka-angka atau pencapaian: meraih gelar sarjana, menduduki jabatan atau posisi tertentu, mendapat keuntungan besar, memiliki 2 perusahaan, mendapat sekian banyak piagam peng-hargaan dan sebagainya. Artinya, ‘sukses’ diukur terutama berdasarkan suatu perolehan atau pencapaian. Kelihatannya, ‘sukses’ seperti inilah yang terutama dikejar kebanyakan orang dari dulu hingga hari ini. Dan justru karena pengejaran ‘sukses’ yang demikianlah dunia ini kehilangan kedamaian dan kebahagiaan sejati. Sebab, untuk sebuah ‘sukses’ manusia memaksa diri, mengenakan berbagai topeng (untuk menarik perhatian anak gadis, laki-laki misanya tampil kren dan pinjam mobil, berlagak orang ‘sukses’), mengabaikan sesama manusia (dengan persaingan tidak sehat dsb), menghancurkan alam ciptaan Tuhan (dengan polusi dan konsumsi berlabihan).

Jika demikian, yang seharusnya malu bukan mereka yang memiliki cukup pakaian sederhana, tetapi mereka yang berlebihan pakaian dan super-mahal pula dengan berusaha menarik perhatian orang lain kepada diri mereka, bukan memperhatikan orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan.

Yang seharusnya malu, bukan orang yang gagal menempati suatu jabatan kepemimpinan walaupun dia lebih layak untuk jabatan itu, melainkan mereka yang ‘berhasil’ menduduki suatau jabatan karena berbagai cara dan rekayasa.

Yang seharusnya malu bukan mereka yang makan ala kadarnya di rumahnya dengan hasil jerih payahnya sendiri, melainkan mereka-mereka yang melahap makanan sambil pamer diri di restoran super-mahal padahal hasil curian dan korupsi.

Yang seharusnya malu, bukan mereka yang tinggal di rumah sederhana hasil perjuangan halal mereka, melainkan para penghuni rumah-rumah mewah dilengkapi perabot serba wah serta dilengkapi dengan kamera pengintai, satpam dan anjing raksasa, padahal hasil curian dan penindasan bawahan.

Tetapi, sekiranya orang-orang 'sukses' seperti itu sudah kehilangan rasa malu, kita tidak boleh ‘mempermalukan’ mereka. Toh mereka adalah saudara-saudara kita. Mereka perlu ditolong melalui doa dan sapaan yang menggugah untuk sebuah perubahan dari dalam diri mereka sendiri. Hanya kasih yang dapat menghasilkan perubahan yang baik. Perlu ditekankan pula di sini bahwa tidak semua yang berpakaian bagus itu yang pamer diri, tidak semua orang yang makan di restoran itu dari hasil curian, tidak semua orang yang memiliki rumah mewah itu tukang korupsi.

Dapat ditambahkan, bahwa Gereja yang sukses bukan diukur berdasarkan ‘keberhasilannya’ membangun gedung gereja miliaran rupiah, berhasil juara 1 sedunia paduan suara, memiliki saldo uang segudang (walaupun semua ini tidak salah pada dirinya). Gereja yang sukses adalah gereja yang mewujudkan kehendak Bapa, Sang Pemilik gereja itu sendiri. Singkatnya apakah jawaban gereja dan warga jemaat atas pertanyaan Yesus, “apakah Engkau mengasihi Aku?” Sedihnya, hingga saat ini, kedagingan, keakuan, kelompoksisme, kehausan akan keberhasilan material dan penampilan fisik begitu kuat menjerat gereja-gereja. Kita membutuhkan pertobataan terus-menerus.

Sukses yang sesungguhnya bukan terutama berkaitan dengan pencapaian sebuah prestasi atau posisi; bukan pula diukur dari jumlah uang yang dikumpulkan. Ada dua unsur hakiki keberhasilan yang kristiani. Satu, menerima dan mensyukuri keberadaan diri sebagaimana Tuhan kehendaki. Dua, mewujudkan tugas panggilan sebagaimana Tuhan amanatkan: menjadi garam dan terang dunia atau menjadi berkat. Jadi, sukses adalah ‘menerima’ dan ‘memberi’ diri seturut rencana dan rancangan Tuhan. Kita dapat melihat bagaiamana Yesus ‘mengukur’ sukses kehadiranNya di dunia ini yang berkata: “Aku datang, bukan untuk melakukan kehendak-Ku, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yoh 6:38). Dalam hal ini John C. Maxwell benar ketika ia menekankan salah satu defenisi SUKSES: ‘menaburkan benih yang membangun sesama'.

Akhirnya, kata-kata Jean Fleming berikut amat tepat kita hidupi:
"Jika kita mengijinkan masyarakat mendefenisikan sukses untuk kita, kita menjadi domba yang digembalakan oleh seorang gembala yang defenisinya 180 derajat dari kehendak Allah. Orang Kristen mestinya tidak memiliki motivasi berdasarkan penampilan, status, harta milik atau pencapaian, melainkan atas kesetiaan akan apa yang Allah firmankan. Tolaklah pengertian umum sukses dan suatu saat Anda akan mendengar Tuhan berkata, “baik sekali perbuatanmu, hambaku yang setia”(Mat 25:21).

ShoutMix chat widget