Sunday, January 31, 2010

JALAN MANA YANG AKAN KUTEMPUH?

REFLEKSI SENIN KE-5
01 Pebruari 2010


Seorang turis berdiri di sebuah persimpangan jalan di Samosir dan bertanya kepada seorang warga setempat.

Turis: Jalan mana sebaiknya saya tempuh?
Warga: Anda mau ke mana?
Turis: Saya tidak tahu. Saya hanya mau jalan saja.
Warga: Kalau begitu, jalani yang mana saja.


Cerita yang kurang lebih sama dicatat oleh Anthoni de Mello kira-kira begini.
Seorang penunggang kuda sedang melewati sebuah desa. Seseorang bertanya kepadanya, “Anda mau ke mana?” “Saya tidak tahu, tanyakanlah kepada kuda saya!”, demikian si penunggang kuda menjawabnya.

Kedua cerita di atas sedikit banyak mencerminkan keadaan masyarakat dunia saat ini. Banyak orang kehilangan ‘tujuan’ hidup. Atau, menyerahkan tujuan hidupnya ditentukan oleh orang lain. Keadaan ini dicirakan oleh dua sikap hidup dalam hal kerja. Pertama, orang-orang yang luar biasa santai. Begitu dalam studi, begitu juga dalam bekerja, apalagi dalam hidup bergereja. Hidup mengalir begitu saja sesuai kecenderungan hati tanpa sebuah perencanaan. Kedua, orang-orang yang super-sibuk baik dalam pikiran maupun dalam pergerakan fisik. Kalander penuh dengan agenda kegiatan dan pertemuan. Mereka duduk di gereja, namun pikiran mereka berkeliaran ke perusahaan. Mereka mendengar khotbah sambil mengutak-atik handphone. Mereka berlibur bersama keluarga, tapi otak mereka tertancap di pekerjaan. Orang-orang seperti ini dapat digambarkan dengan lilin yang dibakar di kedua ujungnya. Padahal, "membakar sebuah lilin dari kedua ujungnya, membuatnya tidak dapat bertahan lama", demikian sebuah pepatah Denmark.

Kehilangan ‘tujuan hidup’, biasanya seiring dengan kehilangan jejak ‘awal hidup’. Firman Tuhan dalam Efesus 1:4-5 menyatakan bahwa “Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan” dan “dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya.” Artinya kita ada di sini bukan secara kebetulan atau karena kecelakaan sejarah. Kita ada dan hadir di bumi ini dengan sengaja. Sesuai rencana Allah. Dan pekerjaan Tuhan belum selesai atas diri kita.

Karena itu hendaknyalah kita menjalani hidup tidak sekadar ‘asal-asalan’ saja: asal hidup, asal bekerja, asal menabung, asal menikah, asal punya anak, asal bergereja, asal melayani. Asal….asal…... Kita hendaknya menjalani hidup seturut dengan kehendak Bapa kita. Ini tidak berarti bahwa Allah sudah ‘menetapkan’ kita untuk menjadi ‘apa’ dalam hal pekerjaan atau profesi: tukang pangkas, notaris, pilot, programmer komputer, tukang jahit, guru dan sebagainya. Ia memberi ‘kebebasan’ kepada anak-anakNya untuk memilih, sesuai dengan kemampuan atau bakat dan talenta yang Ia anugerahkan dipadu dengan kesediaan kita mengembangkan dan menekuninya. Yang penting adalah bagaimana kita hidup dan menjalankan pekerjaan kita: untuk kemuliaanNya, untuk kebaikan sesama, dan demi kebaikan kita. Pekerjaan kita bukan hanya sekadar lahan ‘cari makan’ tetapi sekaligus sebagai ladang pelayanan di mana kita menjadi murid dan saksi-Nya. Jika Anda penjahit, jadilah penjahit yang baik, bukan penjahit merangkap penjahat.

Agar kita dapat mewujudkan keberadaan kita sebagai anak-anak Allah, kita membutuhkan discernment, yaitu: kemauan dan kemampuan memahami kehendak Allah dalam kenyataan kehidupan termasuk pilihan-pilihan yang tersedia. Discernment dapat juga berarti proses di mana kita membedakan mana suasana hati, emosi, kecenderungan-kecenderungan kita dan kejadian keseharian yang “mendekatkan diri kita kepada Allah” dan mana “yang membawa kita jauh dari pada-Nya” (Joan Mueller). Jadi, discernment adalah sebuah karunia atau pemberian Tuhan. Kita tidak dapat meproduksinya dari diri kita. Namun, kita dapat bertumbuh dalam karunia discernment dengan menjadikannya sebagai sebuah “pola hidup” melalui kesetiaan dalam refleksi pribadi dan doa. Di sinilah kita berjumpa dengan Tuhan yang memberi diri kita dan memberi tujuan hidup kita.

Sunday, January 24, 2010

RASA DI BALIK KATA

REFLEKSI SENIN KE-4
25 Januari 2010


Kata-kata punya power, konstruktif atau destruktif. Tergantung pada yang mengatakannya atau yang meresponinya. Kata-kata bisa membuat hati berbunga-bunga, tetapi bisa juga membuat hati terluka amat dalam. Bisa membuat orang bangkit dari keterpurukan, tetapi bisa menjatuhkan semangat. Bisa membuat tidur nyenyak dengan mimpi indah, tetapi bisa juga sampai membuat orang tak bisa tidur hingga bunuh diri. (Ingat kisah seorang remaja di Jakarta yang bunuh diri hanya gara-gara temannya mengalamatkan kata-kata sebuah iklan “hari gini gak punya henpon?” kepadanya).

Tidak asing dalam pengalaman keseharian kita adanya orang-orang yang mulai hari Senin hingga Sabtu, kebanyakan kata-kata yang keluar dari mulutnya masuk dalam kategori 3K :keras, kasar, kotor. Senin sampai Jumat mulai dari perjalanan menuju hingga di tempat kerja kata-kata yang keluar adalah ‘brengsek kamu’, ‘dasar begu elo’, ‘kampungan banget kamu’, ‘kurang ajar kau’, ‘gila/ sinting/ edan elo’, 'biar disambar gledek aja kamu sekalian', dan semua jenis makhluk yang ada di kebun binatang atau binatang peliharaan bahkan yang ada di toilet. Pada hari Sabtu, mereka tidak bekerja, tetapi kata-kata yang sama ditujukan kepada anggota keluarganya di rumah. Seorang ayah misalnya berkata kepada anaknya, “dasar anak setan!” (Lha, siapa dulu dong, bapaknya?). Baru hari Minggu kata-kata 3K-nya berhenti. Bukan karena beribadah di gereja, tapi karena tidur seharian. Mungkin mimpinya masuk 3K juga.

Orang-orang seperti itu juga sangat bermasalah dalam bereaksi terhadap suatu kejadian. Bayangkan seseorang menerima telpon salah sambung. (Mudah-mudahan Anda bebas dari 'kasus' seperti ini). Ketika telpon berdering dan ternyata salah sambung ia sudah mulai marah. Hal ini kedengaran dari nada suaranya yang ketus: ‘salah sambung!’ Ketika telpon birdering keduakalinya, pikirannya masih ke telepon sebelumnya. Jika ternyata masih salah sambung (apakah orang yang sama atau orang yang berbeda) amarahnya semakin meninggi, “Salah sambung!”, sambil membantingkan gagang telpon. Celakanya, kalau berselang beberapa saat lagi telpon berdering ketiga kalinya, ia sudah memvonis bahwa itu tetap salah sambung dari orang yang sama. Ia tidak berpikir panjang dan langsung merespon dengan kata-kata keras dan kasar, “Sekali lagi kau telpon, kucari kau sampai ke ujung dunia dan kuhajar kau!” Bayangkan kalau di ujung sana si penelpon berkata, “jangan main hajar gitu dong Pak?” saya hanya mau mengucapkan ‘selamat ulang tahun’. Ketika hatinya mulai melunak bercampur malu ia bertanya (walau sudah sangat terlambat), “Dengan siapa ini Pak?”. “Saya Pendeta Nonhajar, Pak!”. Bayangkanlah percakapan selanjutnya.

Manusia cenderung memiliki ‘otomatisasi reaksi’. Reaksi sudah terformat sedemikian rupa untuk setiap kejadian. Jika seseorang berbuat begini, reaksinya begini. Jika seorang mengatakan seperti ini, balasannya seperti ini. Reaksi-reaksi ini sebenarnya selalu ditentukan oleh apa yang ada ‘di dalam’, di pusat diri kita yang terdalam. Sama seperti jeruk yang diperas, yang keluar pastilah air jeruk, tidak mungkin jus apel. Sia pun memerasnya, di mana pun diperas, kapan pun diperas, dengan alat apa pun diperas, yang keluar sama: air jeruk. Kata-kata manusia juga seperti itu. Jika kata-kata keras, kasar, kotor yang keluar, itulah yang ada di dalam. Kata-kata kita mencerminkan keberadaan kita.

Memang ada sedikit kekecualian. Ada kalanya kata-kata ‘manis’ yang keluar dari hati yang pahit. Tetapi pada saatnya yang tepat akan terasa juga aslinya. Pasangan suami-istri menghadiri suatu jamuan makan. Hidangan lezat, bergizi, berlemak, mengandung banyak kolerstrol. Si istri dengan lembut menyapa suaminya yang sedang makan agak lahap, “Honey, Sweety!”, sambil melambaikan tangan. Wajah sang suami memerah dan mengungkapkan kata-kata amarah kepada istrinya. Yang menyaksikan kejadian itu heran dan berkata, “kok bapak marah? Kata-kata itu ‘kan ungkapan cinta dan rasa hormat seorang istri kepada suami?” Si suami berkata, “Bukan begitu. Saya menderita penyakit diabetes dan harus membatasi makanan. Ia tidak mengatakan ‘sweety’ sebagai bahasa cinta, tetapi menyindir!”. Tapi yang ini hanyalah ‘kasus’ langka. Yang jelas, isi hati menentukan kata-kata: membangun atau merusak.

Saat ini sudah banyak tersedia buku, kursus bahkan jurusan di perguruan tinggi yang mengkhuskan diri dalam hal ‘berkata-kata’. Secara teknis, hal itu dapat menolong. Di berbagai studio televisi tersedia salon khusus untuk para pembicara yang diundang ke studio. Laki-laki juga diberi pewarna bibir atau lipstick warna alami. Sayangnya lipstik tak menolong agar terhindar dari salah bicara. Tetap saja ada yang ngawur. Sebab, di dalam memang ngawur.

Untuk itulah kita membutuhkan jamahan Tuhan. Ketika hati dan mulut kita dimurnikan oleh Tuhan, reaksi kita terhadap segala situasi selalu dalam pimpinan Tuhan. Kata-kata kita menjadi lain. Body language kita beda. Semuanya meneguhkan dan membangun. Awasi kata-kata Anda mulai hari ini dan sikapi kata-kata yang ditujukan kepada Anda dengan hati bijaksana.

Sunday, January 17, 2010

ANTI-VIRUS HUBUNGAN TERINFEKSI

REFLEKSI SENIN KE-3
18 Januari 2010


Berikut ini adalah kisah seorang yang merasa menanggung 'beban ganda'.

“Seorang teman meminjam uangku lebih dari setahun. Pada saat mau meminjam ia datang setengah ‘menyembah’ dan dengan alasan yang benar-benar masuk akal untuk meminjam. Ia juga dengan kata-kata yang sangat meyakinkan berjanji janji untuk mengembalikannya paling lama tiga bulan. Bulan dan tahun pun telah berlalu, tetapi pinjaman tak kunjung kembali. Kini aku tidak hanya terbeban karena uang saja tetapi juga terbeban dengan ‘body language’ dan sikapnya yang tidak bersahabat. Padahal, hampir setiap hari saya harus bertemu dengan dia karena berada dalam satu kantor. Aku kehilangan uangku dan kehilangan pertemananku dan sekaligus kehilangan ketenangan batinku”.

Dalam kisah di atas kita melihat bahwa ‘hubungan’ pertemanan sedang menuju pada ke suatu bahaya. Proses peminjaman yang didasarkaan pada trust (rasa percaya) mulai memudar ketika penangguhan bahkan tanda-tanda pembatalan janji sedang terjadi. Akal sehat kita berkata bahwa si peminjam mengalami ‘pengorbanan ganda’, uangnya dan ketengan jiwanya. Hubungan terganggu seiring dengan pudarnya rasa percaya.

Di samping itu, hubungan juga bisa terancam oleh perbedaan pendapat. Padahal, dalam perjalanan hidup ini, kita pasti pernah berbeda pendapat dengan orang lain. Masalahnya, ada orang yang menyamakan saja perbedaan pendapat dengan pertengkaran. Padahal, tidak harus demikian. Perbedaan merupakan yang wajar-wajar saja dalam kehidupan ini. Terganggunya hubungan baik hanya karena perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak sehat. Lebih celaka lagi, perbedaan yang berujung pada perselisihan itu merembes dan merambat ke mana-mana. Bayangkan Anda berbeda pendapat dengan seseorang, dan seseorang itu menanggapinya secara negatif hingga memicu permusuhan hingga teman dekatnya pun memusuhi Anda. Padahal Anda tidak ada masalah sama sekali dengan yang bersangkutan.

Ada begitu banyak virus yang menggerogoti hubungan sehat dengan sesama. Kita tidak mampu memproduksi anti-virus ampuh mengatasinya. Hal-hal berikut kiranya dapat menjadi acuan kita:

1. Kesediaan kita terhubung dengan Tuhan. Sebab, semakin kita terhubung dengan Tuhan, semakin terhubung pula kita dengan orang lain. Semakin kita terhubung dengan orang lain semakin sehat pula emosi dan fisik kita.

2. Sebuah keharusan untuk ‘memahami diri kita sendiri’ dan ‘memahami orang lain’. Lihatlah bagaimana Anda berhubungan dengan orang lain. Misalnya, kita perlu mengenali apakah kita lebih ektrovert atau introvert. Sebuah masalah hubungan biasanya dimulai dari yang ekstrovert dan menjadi langgeng karena ‘reaksi’ mereka yang introvert. Yang ektrovert “memulai” dan yang introvert “menyambut dan melanjutkannya”. Yang lebih menderita biasanya adalah yang introvert. Sebab, yang ekstrovert cenderung memiliki dua kekurangan. Di satu segi kurang peduli apakah kata-kata dan tindakannya melukai atau menyakiti orang lain dan di segi lain kurang peduli terhadap kesalahan atau kekurangannya sendiri. Mereka bisa tidur nyenyak meskipun ia tahu sendiri dia bersalah. Yang introvert bisanya menderita dua ‘luka’: (1) Merasa terluka karena sikap, kata-kata dan tindakan orang lain dan (2) Merasa terbeban dengan reaksinya sendiri. Dalam hal ini, bertumbuhlah dari kesalahan-kesalahan, apakah Anda seorang ekstrovert (yang biasanya memulai masalah) atau apakah Anda seorang introvert (yang biasanya lebih merasa tersiksa dan bereaksi kurang sehat). Ketika Anda secara perlahan membuka hati, pertumbuhan dimulai seperti suatu sumber mata air yang baru.

3. Kita perlu mengembangkan sikap menerima perbedaan tanpa berujung pada parbadaan (Bahasa Batak yang berarti “Pertengkaran”). Caranya, kita harus membedakan antara ‘pendapat’ dan ‘si pemberi pendapat’. Kalau pendapatnya tidak kita terima, bahkan kita tolak, kita tetap dapat menerima ‘orangnya’. Membenci ide-ide buruknya, tetapi menerima dan mengasihi orangnya. Hal ini memang sulit, tetapi dengan proses pembiasaan semuanya bisa terjadi.

4. Indikator yang paling baik menunjukkan kepribadian dan kemampuan kita membangun hubungan yang sehat secara kristiani adalah buah-buah Roh (KSD 5KP): kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23).



Hubungan yang sehat tercipta
seiring dengan berkembangnya kedamaian hati

Sunday, January 10, 2010

S T A T U S

REFLEKSI SENIN KE-2
12 januari 2010


Poles-memoles sudah menjadi hal yang sangat biasa dalam kehidupan ini. Mobil tua dipoles dengan cat metalik. Jadilah, mobil yang eksteriornya mengkilat, tapi interior dan mesinnya keropos. Nama juga dipoles dengan penempatan aneka gelar di depan dan di belakang nama. Dan, tentu, wajah dan penampilan juga tidak ketinggalan. Operasi plastik masih terus diminati orang saat ini, walaupun harganya amat mahal. Bukan hanya dengan nilai uangnya, tetapi juga menjadi taruhan nyawa. (Minggu lalu seorang CEO meninggal karena operasi plastik, belum lama berselang seorang artis usia belia meninggal karena kasus yang sama).

Mengapa semua ini diminati banyak orang? Pemolesan ini dianggap sebagai bagian usaha naik kelas status. Biasanya status seseorang diukur berdasarkan jadwal sibuk, label, kartu dan koneksi.

Sibuk
Ada sebuah pemahaman keliru yang kian merambah dalam era posmo ini, yakni: “Semakin sibuk seseorang semakin bergengsi dia.” Kata-kata “Saya tahu Anda sibuk” biasanya orang telan sebagai sebuah pengakuan kekaguman. Padahal, ketika pusat perhatian hanyalah pada ‘kesibukan’, bukan pada apa dan bagaimana kualitas hasil ‘kesibukan’ itu sendiri, maka kesibukan hanyalah sebuah kekerasan: terhadap diri sendiri dan orang lain.

Kesibukan yang tidak sehat sering menjadi pembenaran pengabaian kepedulian terhadap kebutuhan orang lain. Kesibukan juga disalahgunakan menjadi sebuah SIM (Surat Izin Marah). Kita ingat cerita Marta yang menyalahkan Maria yang duduk mendengarkan Yesus. Marta malah mencari pembenaran dan pembelaan dari Yesus.

Hadirnya alat-alat seperti komputer, telepon, kendaraan dll seharusnya membantu manusia untuk tidak menguras tenaga habis-habisan. Sayang sekali bahwa kelihatannya bukan manusia yang ‘memakai’ komputer, handphone, dan berbagai alat-alat canggih itu, tetapi justru alat-alat itu yang ‘memakai’ (=menguasai) manusia. Manusia semakin sibuk dengan komputer, telepon, kendaraan, dan alat-alat canggih.

Label
'Merek' barang merupakan ilah baru yang menguasai banyak orang pada zaman ini. Labal-label (merek) pakaian, tas, sepatu, jam tangan, mobil, aksesoris biasanya ikut berperan dalam menentukan status seseorang. Foto-foto yang terpajang di ruang tamu, facebook, website bagi sebagian orang dianggap sebagai sarana menaikkan status. Ada foto liburan di pegunungan bersalju atau berlatar bangunan pencakar langit kota megapolitan. Ada pula foto bersama dengan 'orang penting' (apakah karena ada hubungan dekat atau hanya kebetulan bisa permisi berfoto bersama) dianggap bisa ‘mendongkrak’ status. Pada dirinya sendiri, sebenarnya tak ada yang salah dengan semuanya itu sejauh pengalaman-pengalaman seperti ini semakin memurnikan hati, semakin memperdalam pemahaman akan makna kehidupan, semakin membuka diri dan tangan demi kebutuhan dan kebaikan orang lain. Yang celaka adalah kalau label-label seperti itu berubah menjadi ‘senjata’ penobatan diri pada posisi superior sambil menindas orang lain melalui kata dan sikap menghakimi. Jadi, tak perlu menurunkan semua foto-foto dari ruang tamu. Yang penting adalah menurunkan semua penggerak negatifnya atau motivasi terpolusi.

Kartu
Dunia ini mengukur status dari penghuni tetap dompet: berapa jenis kartu ATM, apakah dilengkapi dengan Amex, Visa, MarterCard, kartu keanggotaan golf, dan lain-lain. Bagaimana dengan kartu nama? Orang menilai status dengan gelar di depan atau belakang nama. Alamat juga sering dianggap membedakan status. Orang yang beralamat di Jln. Sudirman No 212, amat berbeda dengan yang beralamat di Jln Sudirman Gg. Buntu No 212. Sama-sama ‘Sudirman’ tetapi Gg. Buntu ini yang membedakan status.

Koneksi
Hubungan seseorang, entah hubungan keluarga, satu RT, teman satu SD dulu, dengan seorang pejabat atau publik figur biasanya ikut mendongkrak status seseorang. Tidak heran urusannya bisa lebih mulus. Permintaannya gampang dikabulkan.

Semua yang disebutkan di atas, tidak ada yang salah pada dirinya. Kartu kredit sah-sah saja. Anda tak perlu merasa bersalah memilikinya (kesalahan biasanya ada pada menyikapi dan menggunakannya). Tidak salah berlibur (bahkan suatu kebutuhan). Tidak ada yang jelek kalau berfoto dengan publik figur. Intinya adalah ini: status kita bukan diukur berdasarkan ‘apa yang kita miliki’ tetapi terutama ‘siapa Pemilik kita’. Dalam hal ini secara singkat dapat disebut tentang ‘status kristiani seperti berikut ini.

Status Kristiani

Penggerak paling umum cita-cita dan aktivitas adalah ‘motivasi sukses’ dan ‘inspirational stories’. Misalnya, bagaimana seorang tukang sapu menjadi milioner, seorang muntir upah harian menjadi pemilik berusahaan mobil raksasa. Kita tidak sadar bahwa setiap kita unik, mendapat pemberian khusus. Artinya, ‘status’ biasanya diukur berdasarkan sukses ‘angka’ berhubungan dengan timbangan atau kalkulator.

Kita membutuhkan transformasi. Status dasar kita sebagai orang Kristen adalah: keberadaan kita sebagai anak-anak Allah, yang sudah ditebus, yang adalah rekan sekerja Allah. Karena itu, sibuk, label, kartu, dan koneksi juga menentukan ‘status’ kita. Hanya saja keempat hal itu tidak berdasarkan ukuran dunia. Kita harus ‘sibuk’, sama seperti Tuhan Yesus juga sibuk dulu hingga hari ini. Hanya saja kesibukan kita bukan mendongkrak status kita di mata dunia, tetapi agar kita semakin serupa dengan Kristus. Kita sibuk bukan memaksa diri, memaksa orang lain, memaksa sebuah kejadian. Kata-kata bijak ini mengandung kebenaran: “Siapa menjual masa mudanya untuk sebuah kekayaan, ia harus bersiap-siap menjual kekayaannya untuk kesehatan, yang belum tentu berhasil.”

Di samping itu, sebuah pepatah Denmark berbunyi, "Membakar sebuah lilin dari kedua ujungnya, membuatnya tidak dapat bertahan lama". Gambaran hidup supersibuk memaksa diri. Lilin memang harus dibakar pada saatnya dibutuhkan, itupun hanya dari bagian atasnya. Lilin yang tidak dibakar tidak melakukan fungsinya. Jadi, hidup seimbang itu perlu, dengan lima "si": meditasi, kreasi, aksi, rekreasi, dan refleksi". Meditasi, misalnya, merupakan kebutuhan kita untuk bisa bertumbuh. Dalam meditasi kita meneduhkan diri di hadapan Tuhan. Dalam meditasi kita tidak meminta kepada Tuhan. Kita hanya menyadari bersama dengan Allah (apa dan bagaimana meditasi Kristen silahkan lihat di dalam blog ini di bagian “MEDITASI KRISTEN).

Label yang kita kenakan adalah salib Kristus. Kartu-kartu kita tidak terutama dalam bentuk kertas atau plastik, tetapi keberadaan kita sebagai garam dan terang dunia. Kartu-kartu dunia ini adalah alat akses untuk menarik sesuatu kepada diri kita sendiri. Kartu kristiani adalah kerelaan kita menjadi berkat bagi sesama.

Sehubungan dengan ini, koneksi kita dengan apa dan siapa pun selalu ditentukan oleh koneksi kita dengan Tuhan, Pemilik kita. Kita tidak menunjukkan “foto bersama” kita dengan Tuhan, tetapi bagaimana orang lain dapat melihat ‘gambar Tuhan’ melalui seluruh kehidupan kita. Sebab, kita adalah gambar Allah. Kiranya orang lain bisa melihat dan mengalami kasih Allah melalui kasih kita.

Ternyata, dengan demikian, ‘status’ kita bukan sesuatu yang kita raih melalui segala usaha kita, melainkan apa yang kita terima dari Tuhan: Tuhan sendiri dan pemberianNya. Atau, Pemberi dan pemberianNya sekaligus.

Sunday, January 3, 2010

2 0 1 0

REFLEKSI SENIN KE-1
04 Januari 2010


Kita tidak ikut merencanakan kehadiran kita di dunia ini. Kita juga tidak ikut merencanakan adanya tahun 2010. Kenyataan ini sedikitnya membuat kita sadar diri: kita hidup dan berada oleh dan di dalam Pencipta kita. Bayangkan kita sedang tinggal di rumah orang lain. Kita adalah tamu. Sebagai tamu yang tahu diri pasti kita tidak berbuat sesuka hati kita, bukan? Tuan rumah mungkin saja mengatakan “anggap seperti rumah sendiri”. Akan atetapi, sekali lagi, sebagai tamu yang tahu diri kita seharusnya menyesuaikan diri dengan tradisi tuan rumah.

Memang kita bukanlah tamu di hadapan Allah. Ia adalah Bapa kita. Tetapi, sebagai anak yang sadar diri, kita yang menyesuaikan diri dengan kehendak Bapa, bukan sebaliknya Bapa yang kita paksakan menyesuaikan diri dengan kehendak kita. Apalagi, Bapa lebih tahu yang terbaik bagi kita anak-anakNya. Dalam hal ini kita dapat dengan mudah memahami mengapa Yesus berfirman, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu…..” (Yoh 10:15). Kita yang menyesuaikan diri dengan Tuhan, supaya kita dapat berbuah. Buah yang baik!

Pertanyaan yang perlu kita jawab bukan “Apa yang terjadi sepanjang tahun 2010?” melainkan "Apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita agar sesuatu terjadi dan tidak terjadi?" Kita dilibatkan Tuhan untuk memungkinkan sesuatu yang baik dan benar terjadi. Tuhan juga menghendaki kita terlibat dalam pekerjaanNya agar tidak terjadi yang ia tidak kehendaki: ketidakadilan, permusuhan, peperangan, kehancuran alam ciptaanNya dan sebagainya. Tuhan memang bisa melakukan segala sesuatu. Tanpa kita! Tetapi kita dirancang bukan seperti robot. Kita diciptakan memiliki hati, pikiran, kemauan, yang hendaknya semuanya itu kita tempatkan di bawah pimpinan RohNya.

Sedikitnya ada empat yang sangat penting kita hayati sepanjang tahun 2010 ini:

Pertama, dasar bangunan. Program dan rencana kita mungkin sudah ada. Kita hendaknya mengujinya berdasarkan kehendak Tuhan. Kita tidak hidup hanya kebetulan. Kita ada dan hidup atas rancangan Allah. PekerjaanNya belum selesai atas kita. Proses masih sedang berjalan. Jadi, apakah kita menekuni pekerjaan, pelayanan, studi, bisnis kita harus mencari kehendak Tuhan dalam semua itu. Kita tidak mengukur sukses berdasarkan standar dan kalkulator dunia. Kita mengujinya sejauh mana semua itu berkenan kepada Tuhan, membawa berkat bagi kita dan orang lain, hormat dan kemuliaan hanya bagi Allah. Jangan sampai pekerjaan yang memiliki kita. Jangan sampai uang yang memiliki kita. Jangan sampai jabatan yang memiliki kita. Keadaan seperti ini akan membawa ketegangan yang tidak perlu. Dan, biasanya obsesi demikian menjerusmuskan kita menghalalkan segala cara dan memaksa diri. Itu yang membuat banyak orang kehilangan kebahagiaan, sukacita dan damai sejahtera.

Kedua, mengingat tanpa memikirkan secara mendalam. Untuk beberapa hari ke depan ini, dalam menuliskan tanggal ada kalanya kita masih menulisnya dengan tahun 2009. Hal ini dapat dimengerti karena selama 12 bulan kita menggunakan angka 2009. Agak aneh kalau hingga bulan Pebruari kita masih menulis angka 2009 untuk 2010. Kenyataan ini mengingatkan kita untuk tidak mengingat yang tidak perlu yang sudah berlalu, apalagi yang merusak, di tahun yang lalu. Sekiranya peristiwa menyakitkan masa lalu singgah kembali dalam ingatan kita, kita tidak perlu mengulasnya lebih jauh. Sebab, dengan demikian kita memberi kekuatan padanya menguasai bahkan melumpukan hidup kita. Kita bisa membiarkannya berlalu atau menggantikannya dengan pikiran yang membangun. Kita adalah ‘tuan’ dari pikiran kita. Dengan tepaku pada masa lalu yang kelabu kita terhalang ‘mengalami’ hari ini dengan segala keindahannya dan tanggung jawab kita memaknainya.

Ketiga, siuman. Berjaga-jaga. Dunia ini akan semakin gencar mempromosikan diri sebagai pengganti Allah. Iklan akan tetap gencar menggoda dan menodai nurani kita. Umumnya, iklan menggiring kita untuk hanya memikirkan diri sendiri: bagaimana supaya ‘lebih’ keren, lebih sukses, lebih ganteng, lebih cantik dengan bayaran uang, tenaga, waktu yang tidak habis-habisnya. Godaan terbesar dalam zaman ini adalah keinginan untuk meng-upgrade ‘status’ di mata orang, bukan meng-upgrade iman dan kesetiaan kepada Tuhan. Di sinilah kita kehilangan jati diri sebagaimana dirancang dan dianugerahkan Tuhan. Kita ada di sini bukan untuk mengumpulkan barang-barang dan mainan dengan mempermaikan Tuhan. Kita ada di sini untuk menjalani hidup bersama dengan Allah dan mengemban misi-Nya demi damai sejahtera.

Keempat, bersiap pada yang terburuk tanpa mengutuk dan mengantuk. Tantangan pasti akan ada pada tahun 2010 ini. Di satu segi oleh kajahatan manusia (teroris, ekstrimis, konsumeris dan is is yang lain) dan di segi lain bencana alam berkaitan dengan krisis ekologi yang mungkin saja terjadi. Di dalam ancaman seperti ini, tidak sedikit orang yang ‘mengantuk’, pasrah passif. Memahaminya sebagai suratan tangan yang tidak bisa diedit (padahal kebanyakan karena ulah manusia yang harus ditolak). Ada pula yang hanya mengutuk dalam hati, perkataan dan perbuatan. Keduanya bukan solusi.

Mengandalkan Tuhan, kita dapat berbuat sesuatu: mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal kecil, dan mulai hari ini.

ShoutMix chat widget