Sunday, July 25, 2010

TEST TINGKAT KESADARAN

REFLEKSI SENIN KE-30
26 Juli 2010

Hidup yang tidak disadari tidak layak dijalani
(Socrates)
**********
Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku
dan kenallah pikiran-pikiranku.
(Mzm. 139:23)


Sebuah mobil membutuhkan pedal gas untuk bisa maju dan pedal rem untuk tidak melaju. Ia juga membutuhkan kemudi untuk memandu arah. Tetapi, yang paling penting pengemudi harus mengetahui jalan yang harus ditempuh dan sadar betul kapan menekan pedal gas dan kapan menekan pedal rem.

Dengan segala keterbatasannya, ini dapat menggambarkan perjalanan kehidupan manusia. Tidak ada keraguan akan pentingnya mengenal dan memahami ‘tingkat kesadaran’ diri sendiri. Wyne Dyer mengelompokkan tiga tingkat kesadaran mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi yakni: tingkat kesadaran ego, kesadaran kelompok dan kesadaran mistis. Pengelompokan ini tetap digunakan disini dengan menyertakan refleksi terhadap setiap tingkat kesadaran tersebut.

1. Tingkat Kesadaran Ego

Dalam kesadaran ego, penekanan seseorang adalah pada kepribadian dan tubuhnya. Orang yang berada dalam tingkat kesadaran ini banyak menghabiskan waktunya untuk mengukur kesuksesannya berdasarkan perbandingan dengan orang lain. Kalau ia memiliki lebih banyak daripada orang lain, ia merasa lebih enak tentang diri sendiri. Ia sangat peduli dengan piagam penghargaan dan gengsi. Untuk ini ia bersaing dan selalu membandingkan. Ia berusaha memberi kesan kepada orang lain. Tetapi, justru di sinilah masalah muncul. Di sinilah kedamaian batin tidak mungkin terjadi, sebab ia harus selalu berjuang untuk berada di posisi lain, ia selalu berlari lebih kencang untuk selalu ‘lebih’ dari orang lain.

Perasaan putus asa, marah benci, pahit, tertekan dan depresi berakar dari kecemasan ego dan sikap berkeras mencapai target yang ia tetapkan sendiri. Ego akan jarang membiarkannya beristirahat dan terus menuntut karena takut disaingi dan takut disebut tidak sukses.

Di samping itu, ia sangat peka dan amat cepat bereaksi terhadap pendapat orang lain. Jika orang lain memujinya (meskipun niat mereka hanya untuk menjilat dan memanfaatkan), ia merasa lebih enak. Ia pun mengobral pujian kepada orang lain, yang sebenarnya hanya mencerminkan keinginannya untuk dipuji dan disanjung. Sebaliknya, kalau ada yang mengkritiknya, ia merasa sakit hati yang sering disertai dengan pembelaan diri sambil balik menyerang.

Bagaimana kehidupannya bergereja? Secara ‘formal’ bisa saja tidak ada masalah. Artinya, ia selalu hadir pada kebaktian Minggu, menghadiri Persekutuan Pemahaman Alkitab (PA), memberi persembahan secara rutin, menyumbang ke gereja dan sebagainya. Hanya saja, semua ini menjadi sebuah alat untuk memenuhi keinginan sang ego.

Itu sebabnya ketika menghadapi suatu penderitaan seperti penyakit misalnya, ia bertanya setengah protes kepada Tuhan dan orang lain, “mengapa saya menderita seperti ini, padahal saya sudah membangun gereja dan rajin dalam semua kegiatan gereja?”

Di samping itu, ibadah biasanya dibelokkan sedemikian rupa untuk memenuhi selera dan keinginan. Mereka mengukur ibadah dengan istilah ‘enak’ atau ‘tidak enak’, ‘semarak’ atau ‘dingin dan sepi’. Jadinya, ibadah tidak ubahnya seperti shopping: memilih sesuai dengan selera. Betapa sedihnya! Sumbangan mereka kepada gereja bisa saja banyak. Untuk memenuhi selera, mereka menyumbangkan perangkat musik band. Mereka bisa mendapat ‘keuntungan’ dalam bentuk yang lain dari situ seperti: (1) Merasa enak karena menganggap sudah ‘menolong’ Tuhan, (2) Merasa enak mendengar musik band, (3) Lebih enak perasaan karena ia diketahui orang lain menyumbang ke gereja dan sekaligus mempunyai “SIM” untuk mengkritik orang yang pelit.

Doa-doanya biasanya menyamarkan inti kehidupan bergereja dan sikap hidup kristiani. Doa menjadi pameran kemampuan merangkai kata-kata; doa menjadi tumpukan proposal untuk disahkan oleh Tuhan; doa menjadi alat penymuman keberhasilan diri sekaligus mengkritik orang lain, doa menggantikan kepedulian dan pertolongan nyata. Yang lebih menyesatkan lagi, ada pula yang berdoa agar menang dalam berjudi atau lotere dan akan membaginya 50% kepada Tuhan yang akan disalurkan melalui gereja.

Di dalam doa tertentu kita memang menggunakan kata-kata dan sebaiknya kita ungkapkan dengan baik. Bermohon kepada Tuhan melalui doa adalah bagian dari doa. Mendoakan orang lain juga tugas orang Kristen. Bedanya, doa-doa yang muncul dari ‘tingkat kesadaran ego’ hanyalah memperalat Tuhan dan orang lain untuk kepuasan diri sendiri.

‘Penampilan’ di gereja, mulai dari tempat berkoor (di tempat duduk atau ke depan), isi warta jemaat (apakah mewartakan pelayanan atau si pelayan sendiri), cara memegang uang persembahan ketika memasukkannya ke kantong persembahan (warna uangnya kelihatan atau digenggam rapat) sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat kesadaran. Ketika tingkat kesadaran ego yang mendominasi, semua penampilan akhirnya mengarahkan perhatian kepada yang tampil itu sendiri.

Orang dalam tingkat kesadaran ini termasuk orang bermasalah dan juga menimbulkan masalah, yang membutuhkan jamahan Tuhan.

2. Tingkat Kesadaran Kelompok

Ini ada kemiripan dengan kesadaran ego. Bedanya, ego perorangan ditekan dan masuk dalam ego kelompok. Keanggotaan seseorang didasarkan pada keluarga, warisan, latar belakang rasial, suku, agama, bahasa, pertalian politik dan seterusnya. Di sini orang-orang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya, berjuang sesuai dengan harapan kelompoknya bahkan ada yang sampai ikut berperang.

Kesadaran ego bisa lebih ‘nyaman’ dalam kesadaran kelompok. Sebab, kesalahan kelompok bukan kesalahan saya dan kesalahan saya adalah kesalahan kelompok.

Dalam konteks yang lebih sempit kita bisa lihat dalam kehidupan orang-orang Batak yang masih terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok kecil. Bahkan, yang satu marga pun masih memiliki kelompok yang berbeda bahkan bermusuhan hingga generasi yang ke-17.

Ciri yang amat kentara dalam kesadaran ini adalah ‘fanatisme sempit’. Artinya, kelompokku paling benar, kelompok lain lebih rendah; kelompok lain sedapat-dapatnya dimanfaatkan untuk kepentingan kelompokku. Kita bisa melihat tewasnya ribuan orang pada persitiwa hancurnya gedung kembar WTC, 11 September dan invasi Amerika ke Irak dalam konteks ini. Sekelompok orang membenci sekelompok orang Amerika, yang korban adalah orang-orang yang kebetulan berada di gedung WTC yang belum tentu satu pun dikenal oleh pelaku penyerangan itu. Sebagian orang Amerika membenci kelompok tertentu di Irak, yang korban adalah juga orang-orang yang tidak bersalah.

Jangankan marga, masyarakat, atau negara, gereja-gerejapun masih banyak yang bercokol dalam tingkat kesadaran ini. Sangat menyedihkan memang. Banyak perselisihan yang terjadi di tengah dan di antara gereja-gereja hanya karena ego kelompok. Dalam hal ini gereja-gereja selalu membutuhkan pengampunan.

3. Tingkat Kesadaran Mistis

Kata mistis perlu diperjelas lebih awal, karena sering kata ‘mistik’ digunakan berkaitan dengan perdukunan dan guna-guna. Kata mistis disini menunjukkan keterhubungan dengan Tuhan, dengan setiap dan semua orang, dan dengan setiap makhluk. Kesadaran mistis tidak melenyapkan sepenuhnya kesadaran ego dan kesadaran kelompok, tetapi memberinya tempat yang wajar. Perasaan senang dan perasaan bangga yang terkandung dalam ego dalam batas-batas tertentu sah-sah saja sejauh ia tidak tergelincir pada pengutamaan kesenangan diri sendiri dan kesombongan. Kelompok juga dibutuhkan, bukan sebagai tembok tetapi sebagai pintu menuju persahabatan sejati dengan semua orang.

Merasa terhubung berarti Anda benar-benar merasa bahwa kita semua satu, dan bahwa kekerasan yang ditujukan kepada orang lain sebenarnya adalah kekerasan yang ditujukan kepada diri kita sendiri. Di sini, kerjasama menggantikan persaingan, kebencian dimusnahkan oleh kasih, dan kesedihan dihapus dengan sukacita. Pada tingkat ini Anda adalah anggota ras manusia, bukan kelompok yang lebih kecil. Karenanya, penganut agama Islam seharusnya merasa sedih tatkala orang-orang di WTC itu dibom. Orang-orang Kristen menolak invasi Amerika ke Irak yang memakan begitu banyak korban. Mengapa? Kita melihat manusia bukan berdasarkan agamanya, melainkan kemanusiaannya sebagai yang berharga bagi Tuhan.

Dalam tingkat kesadaran ini, Anda tidak akan menjadi apa yang Anda miliki, apa yang Anda capai, atau yang orang lain pikir tentang Anda. Di sini, doa-doa kita lebih merupakan pengakuan, penyerahan diri dengan mengatakaan “bukan kehendakku, tetapi kehendakMulah yang jadi”. Ibadah bukan lagi menyangkut apakah berkenan di hati saya tetapi apakah berkenan kepada Tuhan; bukan apakah itu menyenangkan hati saya, melainkan apakah itu menyukakan hati Tuhan. Kehidupan bergereja kita, pertolongan kita kepada yang lain, persahabatan kita adalah wujud kasih kita kepada Tuhan, sesama manusia, diri kita sendiri dan seluruh ciptaan Tuhan. Kebahagiaan sejati hanya ada disitu. Para rahib sering disebut sebagai mistikus karena mereka tidak melekat pada milik, pencapaian dan pendapat orang terhadap mereka.

Mungkin Anda bertanya, “Jika demikian, bukankah hidup ini jadinya monoton dan membosankan?” Untuk menjawabnya adalah sebuah pertanyaan juga, yaitu, “Anda membandingkan dengan apa? Bukankah pertanyaan itu lahir dari tingkat kesadaran ego?”

Dari miliaran orang Kristen di bumi ini, berapa orang yang memiliki tingkat kesadaran mistis? Tidak ada yang tahu. Lagi pula, dalam hitungan hari seseorang bisa saja berpindah dari tingkat kesadaran yang satu ke yang lain. Yang jelas, Anda dan saya dapat ‘mendaftarkan’ diri dan masuk dalam tingkat kesadaran ini. Syaratnya sangat sederhana: hanya kesediaan kita. Allah senantiasa bersedia menyambut kita bersatu dengan-Nya dan di dalam Dia kita bersatu dengan semua orang, tanpa meniadakan persekutuan kita sebagai jemaat. Firman Tuhan dalam Lukas 2:14 ini pun akan terwujud dalam kehidupan kita: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi….”

Selamat memasuki ‘tingkatan’ baru: ‘tingkat kesadaran mistis’.

Sumber:
Victor Tinambunan, Apa Yang Kamu Cari?
Pematangsiantar: L-SAPA, 2008

Wednesday, July 21, 2010

ANAK: TITIPAN SANG PENCIPTA

Refleksi Senin Ke-29
19 Juli 2010

Ketika berusia lima tahun, anak saya, William, ingin menjadi sapi. Dia pun bertanya, “Apakah bapak tetap menyayangiku kalau aku menjadi sapi?” Tanpa berpikir panjang saya menjawab, “Tidak!” “Tapi aku ‘kan’ tetap anak bapak? Bapak tidak adil!”, protesnya sambil menangis.

Sampai hari ini, pertanyaan itu terus mengunjungi benak saya. Memang, menjadi manusia atau menjadi sapi bukan sebuah pilihan melainkan ketetapan Sang Pencipta. Akan tetapi, keinginan dan pertanyaan itu berkembang. Pertama, bagaimana jika William bermental sapi? Ia hanya merumput dan tidur.Tidak belajar, tidak mengikuti perkembangan iptek, tidak menggunakan internet, tidak masuk dalam persekutuan sosial dan agama. Apakah saya tetap menyayanginya? Kini pertanyaan William mendorong saya di satu segi berusaha sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya agar kelak dia terhindar dari pola hidup sapi. Di segi lain, saya perlu terus menerus melatih diri untuk menerima dan mengasihinya sebagai anak meskipun terkadang hidupnya tidak sepenuhnya berpadanan dengan keinginan saya.

Kedua, keinginan William menjadi ‘sapi’, mengingatkan saya menghindari diri dari keinginan menjadikannya menjadi ‘sapi’: sekadar untuk menghasilkan susu dan daging. Mengharapkannya untuk memenuhi kepentingan dan selera saya. Kata-kata penulis James Dobson berikut amat mencerahkan nurani, “while the baby is on the way, we profess only to want a child who is normal. But from birth on, we want a super-kid! We want for him either the life we didn’t have or a replay of the life we did have. Somehow, their grades, their friends, their style are never good enough. We focus on what they need to improve, seldom on what they have achieved.”

Saya masih terus dalam proses belajar bagaimana mendampingi dan mendidik William. Hanya saja, tugas saya semakin jelas: membuatnya bahagia tanpa memanjakan dan memaksa. Dengan begitu saya dapat memiliki rasa takjub dan syukur kepada Sang Pencipta yang menitipkannya. Dan saya bahagia William menjadi dirinya sendiri seturut rancangan Sang Khalik.

Sumber: Indoconnex Edisi Juli 2010
Penulis: Victor Tinambunan

Sunday, July 11, 2010

GAGAL KAYA BERHASIL BAHAGIA

REFLEKSI SENIN KE-28
12 JULI 2010

Kebahagiaan membuat orang miskin merasa kaya,
dan ketidakbahagiaan membuat orang kaya merasa miskin.
(Benjamin Franklin)

**********
Allah tidak menghendaki kita semuanya untuk
menjadi kaya atau berkuasa atau ternama,
Tetapi Ia menghendaki kita semuanya bersahabat.
(Ralph Waldo Emerson)


Judul di atas berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Gede Prama, “berhasil kaya gagal bahagia” dalam bukunya: Jalan-jalan Penuh Keindahan: Dari Kejernihan untuk Kepemimpinan Kehidupan. “Gagal kaya berhasil bahagia” mau menegaskan bahwa gagal menjadi kaya tidak mesti menjadi gagal bahagia, malahan keadaan itu dapat menjadi sarana untuk tetap berbahagia.

1. Mencermati ‘Posisi’ Kita

Ada yang mengelompokkan manusia menurut keberadaan ekonominya berkaitan dengan soal ‘makan’ sebagai berikut:

Kelompok 1 : Besok apa makan?

Mereka ini adalah yang ragu apakah akan mendapat makanan untuk besok, karena mereka tidak mempunyai persediaan makanan. Mereka miskin secara materi.

Kelompok 2 : Besok makan apa?

Makanan untuk besok sudah ada. Tinggal memilih, apakah ayam goreng, capcai goreng, sangsang B2 atau B1 (cincang daging babi dan anjing). Tetapi, makannya tetap di rumah, yang dimasak oleh si ibu atau mbak Iyem. Mereka ini bisa dikatakan berkecukupan.

Kelompok 3 : Besok makan di mana?

Pilihan untuk kelompok ini makin terbuka seiring dengan keadaan keuangan yang lebih memadai. Mereka tinggal pilih: makan di restoran mewah di pinggir pantai atau di hotel berbintang. Jika perlu, sarapan di Singapura makan siang di Hongkong makan malam di Tokyo. Credit Card selalu terselip di dompet. Barangkali mereka dapat disebut “kaya”.

Kelompok 4 : Besok makan siapa?

Mereka adalah pemilik modal dan perusahaan raksasa yang tidak berperikemanusiaan yang bisa dengan gampang membuat perusahaan lain gulung tikar. Mereka ini mungkin dapat disebut “kaya raya”.

Barangkali pengelompokan ini terlalu sederhana dan tidak dapat mencerminkan kenyataan yang dialami setiap orang. Namun pengelompokan ini sedikitnya dapat menolong kita memahami keadaan kaya dan miskin secara ekonomi tanpa mendefinisikan kemiskinan dan kekayaan.

Pengelompokan di atas tidak bisa menjadi pengelompokan tingkat kebahagiaan. Tidak menjadi jaminan bahwa kelompok “besok makan dimana” lebih bahagia dibandingkan dengan kelompok “besok apa makan”. Di samping itu kelompok “besok makan siapa” pastilah bukan orang-orang yang berbahagia secara kristiani.

2. Pesan Alkitabiah

Alkitab tidak memberi definisi “kaya” dan “miskin”, tetapi di dalam Alkitab kita dapat menemukan beberapa contoh orang miskin dan kaya. Contoh itupun sebenarnya tidak dapat disejajarkan dengan kenyataan sekarang. Misalnya, kalau dulu seseorang disebut kaya karena ia punya kereta kuda, sekarang ia mungkin masuk dalam kategori miskin jika dibandingkan dengan orang yang memiliki pesawat jet pribadi. Tetapi yang jelas, orang-orang miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan kebutuhan sehari-hari, baik karena kesalahan mereka sendiri (misalnya karena malas) maupun karena diperlakukan orang lain secara tidak adil (tidak mendapat upah yang pantas, diperbudak, dirampas, dan sebagainya).

Yang mengejutkan bagi saya ialah, bahwa Alkitab tidak mengidealkan kekayaan atau kemiskinan. Mari kita simak sebuah doa berikut:

Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa Tuhan itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku. (Ams. 30:8b-9).

Berdasarkan ayat Alkitab ini, sedikitnya ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian kita: (1) Yang terpenting adalah menerima dan menikmati apa yang diperuntukkan oleh Tuhan. Hal ini mengingatkan kita kepada suatu yang lebih ideal, yakni “kecukupan”. Yesus sendiri mengajar kita berdoa “Berikanlah kepada kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. (2) Kekayaan bisa menjadi ilah, membuat orang tidak peduli pada Allah dan menjadi sombong. Ada yang mengibaratkan harta dunia ini seperti meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Rasul Paulus menasihatkan, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan….karena akar segala kejahatan ialah cinta uang (1Tim. 6:8-10). Memang kita membutuhkan uang, tetapi kita tidak boleh “cinta uang” –yang adalah akar segala kejahatan. (3) Kemiskinan juga bisa menjadi godaan bagi seseorang untuk mencuri, khususnya kemiskinan yang dikarenakan oleh kemalasan.

Apakah menjadi kaya boleh menurut kekristenan? Jawabannya tergantung sedikitnya pada tiga hal. Pertama, apakah itu panggilan Tuhan untuk seseorang. Saya percaya, Tuhan tidak menghendaki semua orang menjadi kaya. Saya tidak bisa bayangkan kalau masing-masing semua yang 6 miliar penduduk dunia sekarang punya pesawat jet pribadi, mobil pribadi, rumah pribadi dan ‘kepribadian’ yang lain. Tetapi, Tuhan menghendaki semua manusia hidup berkecukupan. Kedua, bagaimana kekayaan itu diperoleh. Ketiga, bagaimana kekayaan itu digunakan. Jika jawaban ketiganya berdasarkan kehendak Tuhan, maka kekayaan seperti itu adalah “berkat Tuhan” dan si kaya juga dapat “menjadi berkat” bagi sesama. Inilah orang kaya yang berbahagia. Orang kaya seperti itu pasti terhindar dari apa yang disebut dalam bahasa Batak: Mardasar mardosor tutungon porapora. Na sala i gabe sintong molo hata ni na mora. (Yang salah menjadi benar kalau yang mengatakannya orang kaya). Gereja juga hendaknya tidak akan pernah terinfeksi oleh virus seperti itu.

Apakah miskin itu dosa? Tunggu dulu! Seperti disebut di atas, kalau kemiskinan itu terjadi karena kemalasan, itu adalah dosa dan akan melahirkan dosa-dosa baru: mencuri, dengki, iri, bersungut-sungut bahkan membunuh. Tetapi, ada yang disebut dengan “kemiskinan sukarela” seperti mereka-mereka yang hidup di biara dan mereka yang mengabdikan diri untuk pelayanan sesama. Ada juga orang yang meskipun secara ekonomi mampu membeli lebih banyak, tetapi mereka memilih untuk hidup sederhana. Dengan demikian mereka bisa menolong orang miskin.

3. Yang Miskin Yang Berbahagia

Terry Hampton dan Ronnie Harper benar ketika mereka mengatakan:

"Kadang-kadang hal-hal yang kita pikirkan, mungkin termasuk impian-impian kita, sesungguhnya sekadar rasa iri kita terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Beberapa hal yang kelihatannya memikat kita hanyalah karena hal tersebut milik orang lain dan kita tidak mampu memilikinya….Orang sering kali membuat diri mereka sendiri tidak bahagia dengan melihat milik orang lain, padahal kebahagiaan itu harus dimulai dengan berpuas dan bersyukur untuk segala sesuatu yang kita miliki saat ini."

Tuhan Yesus mengajarkan “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5:3). Apa yang dikatakan oleh Yesus sulit diterima oleh pikiran manusia, apalagi di tengah zaman ini yang ditandai dengan pengejaran kesenangan dan kenikmatan belaka dengan berbagai cara. Kita perlu memahami pengajaran Yesus ini sebaik-baiknya.

Miskin di hadapan Allah adalah menyangkut kesederhanaan hidup dengan membiarkan diri kehilangan berbagai hal yang kelihatan perlu seperti gengsi, prestasi dan lain-lain. Ini adalah menyangkut sikap hidup yang tidak menggantungkan diri pada apa dan siapapun kecuali kepada Allah. Orang yang berbahagia dalam konteks ini adalah yang tidak menumpuk harta karena kuatir akan masa depan.

Apa yang dikatakan Yesus sama sekali bukan orang yang tidak mendapat makan, tidak punya pakaian atau kebutuhan pokok lainnya yang berbahagia. Orang yang berbahagia seperti ini adalah kita yang menerima Tuhan dan segala kehendak-Nya terjadi dalam hidup kita serta dengan sukacita mewujudkan kehendak Tuhan dalam hidup kita yang di antaranya menolong orang-orang miskin.

Untuk mengakhirinya, cerita berikut amat baik menjadi renungan bagi orang kaya dan yang ingin kaya:

Aku punya kenalan.
Hidup ekonominya semakin kuat.
Menu makanan tinggal pilih.
Rumah dan perabotnya besar dan lengkap.
Lapangan dan bidang bisnisnya semakin luas.
Pegawainya juga tambah banyak.
Tersedia kendaraan sesuai bidang kebutuhan.
Rekening uang di bank bertambah.
Bersamaan dengan itu pengaruhnya meningkat.
Tetangganya bertambah hormat dan taat.
Orang semakin yakin Tuhan memberkatinya.
Pikiran dan perasaan kenalanku lain.
Sekarang yang dituntut dariku bertambah, keluhnya.
Aku harus hati-hati memilih makanan.
Aku perlu menghindari lemak dan gula.
Aku harus membuat pagar kuat demi keamanan.
Aku khawatir para pegawaiku mogok kena hasut.
Aku perlu garasi besar dan perawat kendaraan.
Aku perlu cepat tanggap bila bank kalah kliring.
Aku harus mempertahankan nama baik perusahaanku.
Aku khawatir orang datang minta sumbangan.
Aku semakin takut situasi akan berubah.

Kalau begitu,
Serahkan semuanya pada saudaramu
Biar engkau bebas dari beban, kataku menasihati.
Tak mungkin, keluhnya.
Roda sudah terlanjur berputar.

Sumber:
Victor Tinambunan, Apa Yang Kamu Cari?,
Pematangsiantar, L-SAPA, 2008.

Sunday, July 4, 2010

PENJARA MEMORI

REFLEKSI SENIN KE-27
05 Juli 2010

Seorang bekas tahanan di kamp konsentrasi Nazi mengunjungi seorang kawan yang juga mengalami malapetaka itu bersamanya.
“Apakah engkau sudah melupakan orang-orang Nazi?” tanya kawannya.

“Ya, sudah.”
“Saya belum. Saya masih dikuasai rasa benci terhadap mereka.”
“Kalau begitu,” kata kawan itu dengan tenang, “mereka masih memenjara dirimu.”
…..(musuh kita bukanlah mereka yang membenci kita tetapi mereka yang kita benci)…
(Anthony de Mello)


Tidak ada orang berpikiran normal ingin meringkuk di penjara. Bukan saja karena label ‘sampah masyarakat’ yang kerap ditempelkan ke identitas mereka tetapi juga karena berbagai kekangan. Itu sebabnya penghuni penjara selalu dengan segala usaha untuk keluar, melalui usaha halal bahkan penyogokan hingga melarikan diri.

Berbeda dengan pemenjaraan pikiran. Sebenarnya, manusia sepenuhnya punya pilihan untuk terpenjara atau bebas. Tetapi sadar atau tidak seringkali manusia lebih memilih terpenjara oleh olahan memorinya sendiri. Sebutlah sebuah pengalaman peristiwa pahit atau kata-kata orang lain yang menggores hati. Tidak sedikit orang yang begitu kuat dipengaruhi oleh pengalaman pahit di masa lalu dalam berpikir, bersikap dan bertindak hari ini. Bukan saja mempengaruhi sikap kepada pelakunya sendiri, tetapi –sedihnya—juga terhadap orang-orang yang berhubungan dengan pelakunya, bahkan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan si pelaku. Bukankah rasa gundah kita karena perlakuan orang lain mempengaruhi raut wajah kita yang pada gilirannya mempengaruhi interaksi kita dengan orang lain?

Di samping itu, ada pula pemenjaraan oleh pinjaman memori orang lain. Ketika tim Belanda bemain sepak bola beberapa waktu lalu, muncul berbagai komentar bernada tidak mendukung tim Belanda karena melabeli mereka sebagai ‘penjajah’. Padahal, yang mengalami langsung penjajahan Belanda di Indonesia sudah hampir tidak ada lagi. Para pemain sebak bola Belanda pasti tidak ikut menjajah Indonesia. Ketidaksenangan kepada tim Belanda merupakan buah dari pemenjaraan pinjaman memori --suatu penghalang menikmati pertandingan sepak bola.

Yang lebih memprihatinkan adalah pemenjaraan oleh suntikan fitnahan orang lain. Si A tidak suka si B. Kemudian A menyebarkan fitnahan tentang B kepada C. Sebenarnya C tidak ada masalah apa-apa dengan B. Tetapi, celakanya, C percaya pada A dan merelakan diri terpenjara oleh pikirannya hingga menutup pintu hatinya ke B.

Apa pun penyebab dan bentuknya, setiap pemenjaraan menghalangi pertumbuhan emosional dan spiritual seseorang. Pemenjaraan pikiran menghalangi kita bergerak mewujudkan keberadaan kita, membelokkan arah perjalanan hidup kita, meredupkan rasa takjub kita, hingga melumpuhkan kehidupan itu sendiri. Kata-kata “rasa benci kita kepada musuh lebih melukai kebahagiaan kita ketimbang mereka” mengandung kebenaran yang tidak membutuhkan perdebatan.

ShoutMix chat widget