Saturday, October 31, 2009

EMPAT PINTU SEBELUM MULUT

REFLEKSI SENIN KE-44
02 NOPEMBER 2009

Banyak persoalan di dunia ini yang disebabkan oleh perpaduan antara
“pikiran sempit” dan “mulut lebar.”

(Anonim)


Dari pengalaman kita belajar bahwa kata-kata dan cara bertutur kita yang buruk sering berujung pada perselisihan bahkan pertengkaran, baik dalam lingkup kecil maupun dalam skala yang lebih luas seperti pertengkaran suami-istri atau perpecahan dalam jemaat. Hubungan baik kita di tengah keluarga dan jemaat biasanya rentan percekcokan jika ada orang yang memiliki hobbi atau kebiasaan membicarakan kekurangan orang lain (baik yang mengandung kebenaran, apalagi banyak pula yang hanya sebagai prasangka dan –lebih buruk lagi-- buatan sendiri secara sengaja). Mungkin ada semacam kelegaan tersendiri dari kebiasaan ini.

Jika kita runut ke akarnya, hal yang paling menentukan kata dan cara bertutur kita adalah ‘suasana hati kita’. Ada kalanya keburukan yang kita lihat pada orang lain sebenarnya mencerminkan keberadaan diri kita. Misalnya, jika seseorang mengatakan si anu itu sombong, kikir, bisa saja karena ia dihinggapi perasaan rendah diri atau tidak ada orang yang memujinya. Dapat dicatat bahwa membicarakan kebobrokan orang lain merupakan cara yang tidak jujur untuk memuji diri kita sendiri.

Berikut ini ada empat pintu yang harus kita lalui sebelum membicarakan kekurangan atau dosa orang lain kepada yang bersangkutan:

Pintu 1: Motivasi jernih

Untuk merefleksikan apa yang ada di luar kita, seperti kekurangan atau keburukan orang lain, kita perlu menyadari apa yang sedang terjadi dalam diri kita saat itu. Ada kalanya (tidak selamanya): keburukan yang kita lihat dalam diri orang lain, mencerminkan keadaan kita saat itu. Jadi, kalau kita melihat langit mendung, kita harus memastikan bahwa kita tidak sedang mengenakan sunglasses. Kita perlu memeriksa suasana hati kita. Ketika kita sedang gundah, marah, memendam rasa benci, kecewa, biasanya raut wajah, kata-kata dan penampilan kita juga akan tercemar. Penilaian kita juga biasanya tidak objektif. Jadi, kita perlu melakukan “emosional check-up”: memeriksa kesehatan emosi kita. Janganlah kita buru-buru melakukan penilaian atau mengambil sebuah keputusan ketika kita dalam keadaan emosi tercemar.

Jika kita benar-benar menemukan kekurangan orang lain, maka untuk memberitahukannya mestilah mengalir dari niat hati yang benar-benar murni dan dengan semangat persaudaraan, bukan hanya dengan modal ‘keberanian’. Jika seseorang mengetahui dan merasakan bahwa kita mengasihi seseorang itu, biasanya ia akan menerima apa yang kita sampaikan. Meskipun rasanya pahit, ia akan menelannya sebagai obat penyembuh dirinya sendiri dan pemulih hubungannya dengan orang lain.

Kata-kata kita dapat meneguhkan dan menghancurkan, tergantung pada ‘mesin penggeraknya’ dari dalam diri kita. Sapi meminum air dan ia mengeluarkan susu, ular meminum air dan mengeluarkan bisa berbahaya.

Pintu 2: Tujuan yang jelas

Tujuan utama adalah untuk terjadinya perubahan diri yang bersangkutan dan mencegah agar dosa tidak berkembang. Tidak mencelakakan yang bersangkutan dan tidak menular kepada yang lain. Jadi, tidak ada unsur mempermalukan orang lain atau merendahkannya di hadapan orang lain.

Lagi pula, jika kita benar-benar melihat kekurangan orang lain, kita seharusnya pertama-tama ‘kembali’ ke diri kita sendiri. Seperti pesan sebuah kata bijak, “Melihat kekurangan orang lain, orang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri.” Orang yang tergolong ‘sempurna’ pun, membeli pensil yang disertai penghapus juga. Artinya, semua manusia memiliki kelemahan dan selau membutuhkan rahmat pengampunan dan pembaharuan diri.

Dalam hal ini, jika ada seseorang yang memiliki kebiasaan membicarakan kekurangan-kekurangan orang lain kepada kita, kita hendaknya tidak menikmatinya. Bukan saja karena akan ada saatnya kekurangan kita sendiri menjadi pokok percakapannya kepada orang lain, tetapi juga karena secara tidak langsung kita melanggengkan kebiasaannya. Yang lebih celaka, kalau pengungkapan kekurangan orang lain justru menggiring pada perilaku yang lebih berbahaya. Seorang istri, misalnya, mesti waspada ketika seorang laki-laki lain membicarakan kekurangan istrinya sendiri. “Aduh, istri saya itu luar biasa cerewet, tidak bisa mengurus diri, tidak romantis; beda dengan Anda yang lembut, keibuan dan romantis!” Kalimat ini adalah tanda-tanda bahaya!

Pintu 3: Doa

Kita percaya bahwa urusan Tuhan belum selesai kepada setiap orang. Proses pembentukan-Nya masih tetap berlangsung. Dalam hal ini kita hendaknya berserah diri pada Tuhan dan memohon hikmat dan pimpinanNya. Hikmat selalu berisikan semangat penyelesaian masalah tanpa menambah atau memperparah masalah. Kita menyerahkan yang bersangkutan dan menyerahkan masalah yang ada pada Tuhan.

Kehidupan doa dalam hal ini menyadarkan kita bahwa yang mengubah bukan kita, melaiankan kuasa Tuhan sendiri. Di samping itu, sesungguhnya doa juga berperan untuk ‘mengubah diri kita sendiri’.

Pintu 4: Cara dan waktu yang baik

Kita perlu mencari waktu dan situasi yang lebih tepat, seperti saat-saat mood seseorang itu dalam kondisi baik. Orang cenderung menolak kebenaran jika ia sedang menghadapi situasi, kondisi dan cara yang tidak tepat.

Jika kita dapat menemukan cara dan waktu yang tepat, maka untuk menegur suami, misalnya, seorang istri tidak perlu menggunakan jasa ibu mertua. Sebaliknya, untuk mengingatkan istri, seorang suami tidak perlu memakai jasa ibu mertua atau kakak ipar.

Di sini kita dapat merenungkan dan menghidupi firman Tuhan berikut ini:
Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah
seperti buah apel emas di pinggan perak.
Teguran orang yang bijak adalah seperti cincin emas dan hiasan kencana untuk telinga yang mendengar

( Amsal 25:11-12).

Dari firman Tuhan ini kita bisa belajar akan pentingnya perpaduan ‘isi’ dan ‘cara:’ (1) Kita bertanggungjawab mengingatkan sesama akan kekurangan dan dosa-dosanya. (2) Dalam penyampaiannya, kita mesti mempertimbangkan berbagai hal. Salah satu di antaranya adalah “menyampaikan tepat pada waktunya”. Itu yang digambarkan sebagai buah apel emas di pinggan perak, yang artinya berharga, bermanfaat dan memungkinkan sebuah perubahan ke keadaan yang lebih baik.

BEASISWA T.A. 2009-2010

Terima kasih banyak kepada para donatur yang sudah menjadi perpanjangan tangan Tuhan menolong siswa-siswa SMP di Parlilitan pada tahun ajaran 2008/2009. Untuk tahun ajaran 2009/2010 ada banyak siswa yang tetap membutuhkan bantuan agar mereka dapat menjalani studinya dengan baik. Yang tergerak oleh Roh untuk membantu, mohon menghubungi kami di victor.tinambunan@gmail.com

Yang sudah menyatakan komitmen membantu adalah:

Anthon Simangunsong (Singapura) S$1200/ tahun untuk 10 orang
JM (Solo)……………………… Rp. 100.000/ bulan untuk dua orang
NS (Singapore)…………….. Rp. 250.000/ bulan untuk 5 orang

PENERIMAAN

NS (Singapore) Oktober 09 ....... Rp. 1.670.000 (S$250xRp. 6700)
Anthon Simangunsong Jan 2010 Rp. 7.920.000 (S$1200xRp. 6600)

****************************************************
Yang sudah membantu dan sudah disalurkan kepada para siswa selama tahun ajaran 2008/2009 adalah

1. Anthon Simangunsong (Singapore) - Ags 08-Juli 09 :Rp.7.680.000
2. JM (Solo-Jawa Tengah)- Ags 08-Juli 09 …………… :Rp. 1.500.000
3. John Sihotang (New York) – Ags 08 – Juli 09…….. : Rp. 750.000
4. Johnny Tobing (Singapore)………………………………. : Rp.1.626.000
5. NN (Singapore) – Ags 08-Juli 09 .......................... : Rp. 600.000
6. NS (Singapore – Ags 08 – Juni 09……………………. : Rp. 2.725.000
7. Ramses Butarbutar (Spore) – Okt 08-Ags 09……… : Rp. 3.085.000

TOTAL.......................................... Rp. 17.966.000

Friday, October 30, 2009

LAPORAN AKHIR TA 2008-2009

LAPORAN AKHIR PENYALURAN DANA BEASISWA
KEPADA 27 SISWA SMP NEGERI PARLILITAN
T.A. 2008/2009

I. UNTUK SMPN 2 PARLILITAN
.
PENERIMAAN:

1. Anthon Simangunsong (Singapore) - Ags 08-Juli 09 :Rp.7.680.000
2. JM (Solo-Jawa Tengah)- Ags 08-Juli 09 …………….... :Rp. 1.500.000
3. John Sihotang (New York) – Ags 08 – Juli 09…….... : Rp. 750.000
4. NN (Singapore) – Ags 08-Juli 09 ............................ : Rp. 600.000
5. NS (Singapore – Ags 08 – Juni 09……………………..... : Rp. 2.725.000
6. Ramses Butarbutar (Spore) – Okt 08-Ags 09……….. : Rp. 3.085.000
7. Johnny Tobing (untuk SMPN 3, lihat di bawah)

Total Penerimaan………………………………………… : Rp. 16.340.000

PENGIRIMAN/ PEMBAYARAN

1. 12 bulan x Rp. 1.350.000 …………............................ = Rp. 16.200.000
(27 siswa x Rp. 50.000/ bulan = Rp. 1.350.000)
2. Biaya transfer 12 x Rp. 5000………………………………… = Rp. 60.000

Total pengiriman………………………………………. = Rp. 16.260.000

Untuk informasi penyaluran beasiswa dapat menghubungi kepala SMPN Parlilitan, Bapak Drs Mangansam Sagala, HP +6281376844860
.
.
II. SMPN 3 PARLILITAN dan SDN Siringoringo
.
Penerimaan dari:
1. Bpk Johnny Tobing....................... Rp. 1.626.000
2. Christi dan William....................... Rp. 337.500
.
Jumlah Penerimaan ........................ Rp. 1.963.500
Pengiriman:...................................... Rp. 1.525.000

Sunday, October 25, 2009

H O R M A T

REFLEKSI SENIN KE-43
26 OKTOBER 2009

Untaian kata-kata bijak Mark Twain berikut amat mencerahkan nurani: “Lebih baik berhak mendapat kehormatan dan tidak memilikinya, ketimbang memiliki kehormatan tetapi tidak layak memilikinya”.

Dengan rasa malu tanpa malu-malu saya ingin mengungkapkan disini beberapa ‘penilaian’ yang disertai dengan kerinduan yang saya dengar baru-baru ini dalam perjalanan ke Sumatra. Intinya adalah krisis karakter para pemimpin dan pelayan masyarakat dan gereja. Terlepas dari objektif tidaknya penilaian mereka, yang jelas kesan dan harapan mereka perlu direnungkan dengan sungguh-sungguh demi sebuah perubahan menuju kebaikan.

Di antara ungkapan hati yang terdengar adalah menyangkut tata krama, estetika, kepantasan berpakaian dan kemampuan memimpin para pendeta muda. Seorang pentua misalnya, mengisahkan seorang pendeta yang ‘brewokan’ mengenakan singlet dan celana pendek sambil menyuapi anaknya di depan gereja ketika sebuah acara berlangsung di gereja dan banyak orang yang meyaksikannya. Setahu saya memang tidak ada peraturan tertulis yang mengatur jenggot dan pakaian pendeta dan argumentasi bisa saja tak kunjung usai soal boleh tidaknya seorang pendeta mengenakan celana pendek atau buka baju di depan umum. Tetapi masalahnya bukan hanya soal ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’. Kita juga perlu mempertimbangakan soal ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’. Keteladanan pelayan gereja akan memperkuat ajakan kepada warga jemaat yang akhir-akhir ini ada kecenderungan sulit membedakan orang mau ke gereja atau mau tidur atau bahkan ke kolam renang.

Masyarakat juga mempercakapkan kenyataan begitu banyaknya para pejabat pemerintahan di Indonesia yang saat ini meringkuk di penjara yang umumnya karena korupsi. Umumnya yang menjadi sorotan adalah perilaku para koruptor. Jarang sekali terdengar sorotan kepada masyarakat sendiri yang dalam artian tertentu juga berperan menyuburkannya: (1) Menginginkan anak-anaknya menjadi pejabat, tidak peduli apakah mereka jujur atau tidak. (2) Memberi suap untuk urusan tertentu; (3) Meminta bantuan dana untuk pembangunan sarana ibadah agama tertentu; (4) Mengelu-elukan dan memuja-muji ketika menyambut mereka; (5) Merasa bangga kalau punya kesempatan berfoto dengan mereka, dan sebagainya. Mohon tidak disalahmengerti seolah menyambut pejabat dan berfoto bersama mereka sesuatu yang salah. Yang salah adalah menganggap lumrah bahkan setuju terhadap tindak korupsi ketika dekat dengan mereka.

Sejatinya, orang terhormat adalah orang-orang yang benar-benar melakukan hal-hal yang terhormat. Sayangnya, pengalaman kita menunjukkan begitu banyak orang yang dihormati hanya karena jabatan atau posisinya, bukan karena karakter pribadinya.

Jika demikian, apakah kita tidak perlu menghormati pejabat pemerintahan, pelayan gereja yang tidak menunjukkan perilaku terhormat? Begini saja. Semua dan setiap orang harus kita hormati sebagai manusia yang berharkat. Hormati dan kasihi orangnya, tolak perilaku buruknya. Kunjungan Yesus kepada Zakheus menunjukkan hal ini. Yesus membenci dosa tapi mengasihi Zakaheus yang adalah orang berdosa. Berbeda dengan sikap orang banyak yang membenci Zakheus. Dan, justru pendekatan Yesus yang seperti itulah yang mengubah Zakheus.

Jangan kita minta orang lain menghormati kita. Tugas kita adalah menghormati dan menghargai sesama serta menunjukkan perilaku terhormat.

Saturday, October 24, 2009

TERIMA KASIH

Dari ketulusan hati, kami mengucapkan terima kasih banyak atas doa dan kata penghiburan (melaui kunjungan, email, FB, SMS, telepon, bunga), serta bantuan dana yang kami terima pada saat bapak mertua saya, Kapt (Purn) Pondang Pangaribuan meninggalkan kami pada tanggal 15 Oktober lalu. Kebaikan hati bapak dan ibu sungguh-sungguh meneguhkan hati kami.

Nama-nama yang kami sebutkan dibawah ini adalah mewakili semua yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan menyapa dan menolong kami dalam berbagai cara:

Gereja Presbyterian Orchard-Singapura
Gereja Presbyterian Bukit Batok-Singapura
HKBP Sidorejo-Medan
HKBP Singapura
Ikatan Alumni Haggai Institute Indonesia di Singapore (IAHII-Singapaura)
Komunitas Indonesia di Trinity Theological College - Singapore
Komisi Wanita GPO - Singapore

Pdt. A. A. Zaitun Sihite - Pekanbaru
Pdt Adolv Bastian Marpaung - Pematangsiantar
Allen Bintang/ Mama Pasha - Singapore
Anthon Simangunsong/ Veronika manurung - Singapore
Pdt Ayub Yahya - Singapore
Pdt Basa Hutabarat - Singapore
Benhard Ambarita/ br Pangaribuan - Singapore
Bontor Panjaitan/ br Simbolon - Singapore
Christovita Wiloto/ Novita Saragih - Singapore
Dr. Darwin Tobing - Pematangsiantar
Dolf/ Debora Situmeang - Singapore
Edwin saragih - Medan
Eliakim Sitorus - Medan
Dr. Ferdinand Nainggolan - Singapore
Hamonangan Sitorus/ Lasma Saragih - Singapore
St Harry P. Sianturi/ br Lubis - Singapore
Helena Simatupang - Singapore
Pdt. Johny Hermawan - Singapore
St. J. Sibuea/ br Simanjuntak - Singapore
Pdt Jones Nainggolan/ br Pangaribuan - Medan
Johny L. Tobing /Christianti Hutagalung – Singapore
Jonny Simanjuntak/ br Silitonga - Singapore
Maria Lumbantobing (Mama Daniel) - Singapore
Mama Ramoti - Singapore
AKBP Drs M.P. Nainggolan - Medan
Praeses MTH Tampubolon - Batam
Kel. Op. Mikhael Manik br Gultom - Singapore
Pdt Paul Munthe/ br Purba - Singapore
Ramses Butarbutar/ br Hutabarat - Singapore
Dr. Renhard Silalahi/ br Sihombing - Singapore
Roma Lumbantobing - Medan
Ronald Hutagalung - Medan
St Sabar Halomoan Butarbutar - Singapore
Sahala Sianipar/ Natasha Napitupulu - Singapore
Sahat Lubis/ br Hutabarat - Singapore
Sahat P. Gultom/ Gloria Sinaga - Singapore
Pdt Sanggam Siahaan - Batam
Suwardi Nahampun - Surabaya
U.P. Sihaloho/ br Saragi – Batam
Kel. Tambunan/ br Simatupang (Mama Matayas) - Singapore
Toga Sihombing/ br Simanjuntak - Singapore
Ibu Zega-br Aritonang - Batam

Doa dan harapan kami, kiranya Tuhan sumber segala kebaikan dan berkat, senantiasa menyertai dan memberkati bapak dan ibu hari demi hari.

Riwayat Singkat Bapak Kapt (Purn) Pondang Pangaribuan.
Lahir 23 Maret 1929 di Laguboti
Masuk sekolah Polisi tahun 1953 dan tugas pertama di Aceh
Menikah dengan Moinar Matondang; dikaruniai Tuhan 8 anak (4 laki-laki dan 4 perempuan)
Pensiun dari tugas Polisi di Polda Sumatra Utara-Medan tahun 1989

Tuesday, October 20, 2009

MENGAPA

REFLEKSI SENIN KE-42
19 oKTOBER 2009


Setiap orang mempunyai pertanyaan ‘mengapa’. Tapi tak semua pertanyaan ‘mengapa’ ada jawabnya. Misalnya, “mengapa” orang-orang baik mendapat nasib buruk dan orang-orang berperilaku buruk justru ‘baik-baik’ saja? Mengapa orang yang makan tidak teratur, istirahat tidak teratur, dan bicara ngawur, tapi bernasib mujur, bahkan pilek pun tidak pernah? Padahal, orang yang begitu ketat menjaga kesehatan justru sakit-sakitan?

Seorang ibu pernah mengeluh setelah berpuluh tahun berpeluh mengusahakan kesembuhan suaminya. Padahal, suaminya begitu aktif bergereja, memberi banyak sumbangan untuk pembangunan gereja, tetapi penyakitnya tidak kunjung sembuh. Sementara orang yang tidak pernah berdoa, tidak pernah bergereja, apalagi memberi perpuluhan malah makin ‘makmur’ saja. Mengapa? Mengapa? Tak ada jawab.

Anda mempunyai pertanyaan ‘mengapa’ sekarang? Mungkin pertanyaan itu begitu kuat menyita perhatian Anda. Bagaimana kita menyikapinya? Begini. Setiap pertanyaan 'mengapa' yang tidak mendukung pertumbuhan iman, apalagi menghantar kita sampai menggugat kedaulatan Allah, seharusnya kita tanggalkan dan tinggalkan. Sebab, jika kita larut dalam pertanyaan seperti itu, yang tidak ada ujungnya, bia saja membuat kita semakin frustrasi.

Sebagai penggantinya, kita bisa menjawab dua pertanyaan ‘apa’. Pertama, pelajaran APA yang kita petik dari situasi ini. Mungkin kita bisa belajar kesabaran, ketabahan, penghematan dan sebagainya dari suatu peristiwa kehidupan yang tidak kita mengerti. Kedua, APA yang bisa kita lakukan dalam situasi ini? Artinya, daripada larut atau bahkan tertekan oleh pertanyaan ‘mengapa’ yang tidak terjawab, kita dapat melakukan sesuatu. Misalnya, daripada bertanya, mengapa gempa menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat, lebih baik kita berbuat sesuatu seperti mendoakannya dan memberi bantuan konkrit sesuai kemampuan kita masing-masing. Daripada hanya bertanya ‘mengapa’ lalulintas di kota-kota Indonesia semrawut dan jorok, lebih baik kita memberi keteladanan berlalulintas. (Di Medan, yang dianggap ‘jago’ atau hebat adalah pengendara motor yang berhasil menerobos lampu merah, tanpa mengenakan helm pengaman dan bonceng tiga pula!).

Banyak pertanyaan ‘mengapa’ (walaupun tidak semua) yang harus dijawab dengan pertanyaan baru ‘apa’ untuk mendapaat solusi.

Tuesday, October 13, 2009

GEMPA PADANG

Bersama dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air di Padang, warga jemaat dan gereja HKBP Padang juga menjadi korban bencana gempa beberapa waktu lalu. Bapak Pdt Sampur Manullang, Pendeta HKBP Ressort Padang yang berhasil kami hubungi via telepon mengatakan bahwa:

- Seorang warga jemaat HKBP meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan
- 200 KK warga HKBP kehilangan rumah karena hancur
- Dua gedung gereja hancur
- Sebuah gedung serbaguna rusak

Alangkah baiknya jika kita merelakan diri sebagai perpanjangan tangan Tuhan untuk sedikit meringankan beban saudara-saudara kita dengan apa yang bisa kita lakukan. Di samping mendoakannya, kita juga bisa memberi bantuan konkrit.

Bantuan dapat kita salurkan langsung ke HKBP Padang ke rekening:
POSKO PEDULI KASIH HKBP PADANG
BRI Cab Khatib Sulaiman Padang
No Rek. 0669-01-002962-50-7
A.n. Noar Pakpahan dan Togang Simangunsong


Atau ke:

HKBP PEDULI GEMPA SUMATRA BARAT;
BNI Capem Tarutung,
No. Rek. 0178620759.


Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, jangan kita tinggalkan Dia dan sesama kita.


Foto-foto kondisi gereja HKBP Padang pasca-gempa dapat kita lihat di:
http://picasaweb.google.com/andreorajagukguk/GempaPadang#

Sunday, October 11, 2009

DARI MATAKU KE MATANYA

REFLEKSI SENIN KE-41
12 Oktober 2009


Pernah mendengar vonis di luar ‘sidang’ oleh yang tidak berwewenang? “Musibah yang ia alami merupakan balasan dari Tuhan”. “Bencana alam yang menimpa mereka karena tanggal lahir pemimpin adalah angka sial”.

Kata ‘menghakimi’ berasal dari kata Yunani krino, yang kita temukan beberapa kali di dalam Alkitab. Pengertian berbeda-beda, i antaranya, penilaian atau perkiraan biasa (Luk 7:43); memperkarakan dalam pengadilan (Mat 5:40); penghakiman terakhir oleh Yesus (Mat 19:28); penentuan sebuah hukuman sebelum kesalahan seseorang jelas (Yoh 7:51); penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang (Yoh. 5:22; 8:16).

Kedua pengertian terakhir: (1) penentuan sebuah hukuman sebelum kesalahan seseorang jelas dan (2) penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang) ini lebih dekat pengertiannya dengan kata ‘menghakimi’ dalam Mat 7:1-5. Yesus memperingatkan murid-murid-Nya dan orang-orang Yahudi pada zaman itu agar tidak menempatkan diri mereka sebagai ‘hakim’ bagi yang lain dan mengumumkan kesalahan orang lain atas nama Allah. Peringatan yang sama juga ditujukan kepada kita yang hidup pada zaman ini, yang juga belum lepas dari kebiasaan menghakimi.

Contoh konkrit yang kita alami sehari-hari, misalnya mengajak orang lain untuk menjaga jarak atau bahkan menyingkirkan seseorang hanya karena sebuah prasangka bahwa seseorang itu berkelakuan buruk. Hal ini dapat merusak persekutuan dan persaudaraan termasuk dalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat. Yang lebih parah adalah mengatakan bahwa bencana yang terjadi kepada sebuah daerah adalah karena hukuman Allah atas dosa-dosa masyarakat setempat. Atau, kalau seseorang mendapat musibah kita dengan mudah mengatakan bahwa itu hukuman dari Allah. Itu termasuk ‘menghakimi’.

Di samping itu, sikap yang lebih cepat dan lebih suka melihat kesalahan orang lain (yang juga tergolong menghakimi) disoroti secara tajam oleh Tuhan Yesus. “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Memang ada orang yang merasa lega dengan membahas kesalahan-kesalahan orang lain, karena langkah itu dianggap bisa mengangkat ‘harga dirinya’. Agar harga diri meningkat, harus merendahkan orang lain! Untuk menghindari diri dari sikap demikian, bernarlah kata-kata bijak yang berbunyi, “dari kesalahan-kesalahan orang lain, orang yang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri”.

Inti masalahnya, yang menghakimi adalah seorang yang ‘munafik’ (7:5). Itu sebabnya Tuhan Yesus selanjutnya memberi perintah “keluarkanlah dahulu selumbar itu dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” Yang menghakimi tidak dapat menolong orang lain karena mata rohaninya terhalang oleh tiang di matanya sendiri. Selain itu, untuk mengubah orang lain harus dimulai terutama dengan mengubah diri sendiri. Ketika pengikutNya membuang tiang ‘pembenaran diri’, maka ia akan dapat melihat dengan mata kerendahan hati ‘noda’ yang mungkin ada pada sesamanya. Bukan untuk memperalat ‘noda’ orang lain itu untuk menghukumnya, melainkan untuk pembaharuan hidupnya. Tanda dari persekutuan orang percaya yang sehat adalah adanya tanggung jawab setiap orang untuk menolong satu sama lain menghilangkan ‘noda’ dosa setiap anggota persekutuan. Tetapi, itu harus mengalir dari kerendahan hati dan hidup pribadi yang sudah diuji (bnd Gal 6:1-5).

Hal ini berpadanan dengan pengajaran Yesus sebelumnya yang menegaskan “Berbahagialah orang yang murah hati (Mat 5:5). Menghakimi adalah kebalikan dari kemurahan hati. Itu juga yang nampak dari bagian doa Bapa Kami: “Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami (Mat. 6:12).

Saturday, October 3, 2009

KOTA: DIKEJAR MESKI TAK SEGAR

REFLEKSI MINGGU KE-40
Senin, 05 Oktober 2009

“1,4 Juta Warga Jakarta Sakit Jiwa” demikian judul Renungan Harian yang dikirimkan Christovita Wiloto ke beberapa milis (termasuk milis Ikatan Alumni Haggai Institut-IAHI- di Singapura). Dalam uraiannya disebutkan bahwa stres menjadi salah satu gangguan kejiwaan yang sering dialami warga Jakarta. Ia mengutip hasil riset Strategic Indonesia yang diungkapkan dalam sebuah talkshow Kamis (1/10) "Carut Marut Kota Jakarta, Picu Tingkat Stres", yang mengatakan bahwa dari total jumlah pasien puskesmas se-Jakarta tahun 2007, warga Jakarta yang mendapat perawatan akibat stres mencapai sekitar 1,4 juta jiwa. “Bila dirunut lebih jauh, penyebab stres ini antara lain berakar pada carut marutnya tata ruang di Jakarta. Masalah lingkungan dan tata ruang kota yang tidak terbenahi memperburuk tingkat stress”, demikian Wiloto menambahkan.

Sebenarnya, stress sudah merupakan ‘penyakit kota’, baik kota yang tertata rapi maupun yang semrawut. Hanya saja, kesemrawutan kota dapat menggandakan tingkat stres. Kota-kota di Indonesia semua semrawut. Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Pekanbaru, Medan, semua tak tertata rapi, tidak hijau dan jauh dari bersih. Ditambah lagi dengan kenyataan di kota-kota tersebut yang panas, udara terpolusi, jalan macet, klakson mobil dan deru knalpot kendaraan memekakkan telinga, saluran air penuh sampah dan berbau busuk. Semuanya menambah tingkat ketegangan. Belum lagi keamanan dan rasa nyaman yang tidak terjamin dengan berkeliarannya para penjambret. Keadaan keseharian seperti ini amat mudah menyulut amarah kaum kolerik yang tidak dapat mengontrol diri dan memacu kecemasan bagi mereka yang introvert. Di kota-kota itu juga banyak saudara-saudara sebangsa yang mengemis, membuat yang berperikemanusiaan merasa iba dan yang angkuh memandang hina. Kontras dengan kehidupan pahit itu muncul pula mobil Audi, Volvo atau Jaguar, yang bisa saja memunculkan berbagai rasa: mulai dari rasa rendah diri hingga iri dan dengki sambil menghakimi. Semuanya menambah intensitas stres.

Celakanyaa, keadaan kota-kota seperti itu tidak mengurungkan niat orang-orang berlomba ke kota. Agaknya, 'uang' menjadi alasan utama. Semakin uang dikejar ke kota, semakin sesak pula kota-kota, tata ruang kota makin rumit, pasokan oksigen segar berkurang, akhirnya urat saraf pun makin tegang pula.

Bagaimana dengan kota-kota yang tertata rapi seperti Singapura dan kota-kota di Jerman atau AS? Tingkat stres juga tergolong tinggi. Tetapi, sekiranya kota-kota itu tidak tertata rapi, kita tidak bisa bayangkan bagaimana parahnya tingkat stres di sana. Kota-kota di Jerman tidak ada berpenduduk sepuluh juta ke atas. Hal ini membuat persebaran penduduk lebih merata, yang tentu menjadi lebih mudah ditata. Kota Singapura misalnya, ditata begitu apik dengan jalan-jalan yang bagus dilengkapi dengan trotoar untuk pejalan kaki, pohon-pohon yang subur memenuhi pinggir jalan dan hunian penduduk. Tidak ada polisi lalau-lintas lalu-lalang, tetapi para pengendara sangat berdisiplin. Hampir tidak ada yang menerobos lampu merah. Perhentian bus yang teratur membuat para penumpang bus dapat memperkirakan berapa menit dari mana ke mana. Banyak pejabat Indonesia yang sudah berulangkali mengunjungi Singapura dan kota-kota lain di luar negeri untuk berobat, berbelanja atau sekadar mengaso. Barangkali mereka, pada saatnya yang tepat, akan menerapkan apa yang baik di Singapura dan kota-kota di negara maju lainnya untuk kebaikan Indonesia.

Perpaduan antara penataan yang baik dari pihak pemerintah dan tingkat kesadaran masyarakat membuat keadaan kota yang indah dan bersih di Singapaura. Itulah masalah kita sekarang: perpaduan antara komitmen pemerintah yang rendah dan kesadaran masyarakat yang rendah pula. Akibatnya? Parah! Pemerintah Indonesia di semua tingkat tidak memanfaatkan dana pembangunan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya yang mebuat kualitas bangunan kurang baik dan penataan lingkungan dan kebersihan kurang memadai. Keadaan ini diperparah oleh beberapa anggota masyarakat yang memiliki ketegaan ekstra mengambil sarana publik untuk kepentingan pribadi. Tong sampah saja hilang dari pinggir jalan. Bahkan, besi jembatan dicabut dan dipakai untuk kepentingan pribadi. Ditambah pendirian bangunan dan penempatan harta benda masyarakat sesuka hati. Semua ini menambah kesemrawutan dan semakin memacu tingkat stres.

Sejauh ini kita masih lebih banyak bicara soal pemicu stres dari luar diri kita: dari lingkungan sekitar. Kita mesti melihat juga apemicu yang paling dahsyat dari dalam diri kita. Dari harapan-harapan kita, kejengkelan, sakit hati, kemarahan, kesombongan, ketidakpedulian, kerakusan. Ini yang benar-benar sepenuhnya dalam kendali kita. Kita bisa menebas akarnya agar stres tidak sampai menjadi sesuatu yang kronis.

Kita membutuhkan keheningan dan kejernihan batin. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Pemazmur: (ayat ini mudah diingat Mazmur 62:2 dan 62:6)

Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari padaNyalah keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.
Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab daripadaNyalah harapanku. ********...............

Ketika kita hidup dan berjalan di kota yang semrawut pun kita bisa teduh dan dari keteduhan yang sama kita dapat berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Kita juga tidak perlu mengejar kota hanya karena ‘keinginan’ saja, walaupun tidak ada salahnya tinggal di kota seturut dengan kebutuhan dan tugas panggilan.


ShoutMix chat widget