Tuesday, December 28, 2010

NASI GOSONG DAN KEMESRAAN

REFLEKSI SENIN KE-52
27  Desember 2010

Untuk Senin ke-52, Senin terakhir di 2010 ini, saya ingin membagikan sebuan cerita yang saya terima baru-baru ini. Konteksnya memang Barat, tapi terbilang sarat makna yang dapat menginspirasi seluruh lapisan masyarakat.
Ketika saya masih kecil, ibu saya suka membuat makanan yang layaknya sarapan untuk makan malam. Saya ingat pada suatu malam ketika dia membuat makan malam setelah hari yang melelahkan bagi ayah. Ibu saya menyajikan telur, sosis dan roti gosong di depan ayahku. Saya menunggu untuk melihat apakah yang bakal terjadi. Namun ayah saya meraih roti gosongnya, tersenyum pada ibu saya dan menanyakan bagaimana keadaan saya di sekolah hari itu. Saya tidak ingat apa yang saya katakan malam itu. Yang saya ingat adalah bagaimana ayah saya mengolesi roti gosong itu dengan selai dan tampak menikmatinya.
Ketika saya bangkit dari meja malam itu, saya ingat bahwa ibu saya meminta maaf kepada ayah atas gosongnya roti itu. Dan saya tidak akan pernah melupakan apa yang ayah katakan: "Sayang, saya menyukai roti gosong."
Sebelum tidur malam itu, ketika saya pergi mencium ayah, saya bertanya apakah dia benar-benar menyukai roti gosong. Dia mendekap saya dalam pelukannya dan berkata, "Ibumu melakukan banyak pekerjaan yang melelahkan sepanjang hari ini. Lagi pula, sepotong roti gosong tidak dapat menyakiti siapa pun. Kau tahu, anakku, hidup ini penuh dengan hal-hal yang tidak sempurna dan orang tidak sempurna. Ayah juga bukan pemasak yang sempurna”.
Penulis cerita ini memaknai cerita tersebut sebagai berikut.

Apa yang saya pelajari selama bertahun-tahun adalah bahwa belajar menerima kesalahan-kesalahan orang lain dan memilih untuk merayakan perbedaan masing-masing adalah kunci terpenting untuk menciptakan hubungan yang sehat, bertumbuh, dan bertahan lama.
Dan itu jugalah doa saya untuk Anda hari ini. Bahwa Anda akan belajar untuk mengambil yang baik, yang buruk, dan bagian-bagian jelek dari kehidupan Anda dan meletakkannya di kaki Tuhan. Karena pada akhirnya, hanya Dialah satu-satunya yang dapat memberikan suatu hubungan di mana roti bakar tidak mampu menjadi perusak suasana.
Dengan berakhirnya tahun 2010 ini, berbagai hal bertambah dalam hidup kita. Pilihan kitalah yang menentukan apa yang kita bawa memasuki dan menjalani 2011 dengan konsekuensinya masing-masing. Kesalahan orang kepada kita pada 2010 ini kemungkinan besar( bahkan pasti) ada. Menjalani 2011 pun kita masih akan menghadapi ‘nasi gosong’ dengan berbagai bentuknya. Tugas kita ada tiga. (1) Menikmati yang ada, sejauh tidak membahayakan tubuh, roh dan jiwa demi terciptanya hubungan yang sehat, bertumbuh dan bertahan lama. (2) Melupakan masalah-masalah sepele demi yang terutama. Nasi gosong adalah masalah sepele. Istri jauh lebih berharga ketimbang sesuap nasi gosong. Manusia jauh lebih berharga ketimbang benda apa pun. Lagi pula, marah-marah karena nasi gosong membuat nasi semakin terasa lebih gosong dan sakit tenggorokan. (3) Sedapat-dapatnya, ketika kita menjalankan tugas atau pekerjaan, kita melakukannya sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Sebab dengan demikian kita mengurangi celah di mana Iblis merusak suasana dan merusak hubungan baik.



Sunday, December 19, 2010

KEMBALI KE MAKNA AWAL NATAL

REFLEKSI SENIN KE-51
20 Desember 2010

Domba-domba lebih memahami peristiwa Natal pertama ketimbang para imam di Yerusalem. Hal yang sama juga terjadi sekarang.
(Thomas Merton)



DI MANA KITA BERADA?

Perayaan natal di Indonesia barangkali memiliki kekhususan dibandingkan dengan yang terjadi di seantero dunia ini. Misalnya, natal sudah dirayakan sejak awal bulan Desember yang sebenarnya masih masa minggu-minggu Advent. Bagi orang Kristen Batak, mungkin banyak di antara mereka yang mengikuti ibadah natal lebih dari sepuluh kali mulai natal kumpulan marga, kantor atau lingkungan kerja, lingkungan domisili, dan di gereja mulai natal anak-anak sekolah Minggu sampai perayaan natal tanggal 26 Desember. Karena banyaknya, bahkan ada yang merayakannya pagi atau siang hari. Di sini nyanyian ‘malam kudus’ atau dalam bahasa Batak Sonang ni bornginna i juga dinyanyikan sambil mematikan lampu dan menyalakan lilin tetapi tetap terang benderang karena di siang bolong.

Di samping itu, tidak rahasia lagi bahwa bagi sebagian orang perayaan natal tidak bisa dipisahkan dengan menu istimewa. Itu sebabnya ada yang meplesetkannya dalam bahasa Batak, yang inti dalam natal adalah sukacita karena tubu Tuhanta (kelahiran Tuhan) menjadi tu butuhanta (urusan perut). Bagi sebagian orang, Natal tidak lengkap tanpa binda (potong-memotong ternak secara bersama).

Kenyataan-kenyataan demikian dapat mengakibatkan perayaan natal hanya menyisakan sedikitnya empat hal yang tidak perlu, yakni:

(1) Sampah, baik sisa dan bungkus makanan maupun bahan dekorasi. Sisa-sisa ini menambah pekerjaan petugas kebersihan kota dan (terutama) menambah kehancuran alam semesta.

(2) Penyakit. Sebab, sejak masa latihan dan perayaan yang begitu banyak diikuti bisa membuat tubuh menjadi lelah, masuk angin (apalagi karena Desember umumnya musim hujan), dan kelebihan kolestrol. Belum lagi, bagi sebagian ibu-ibu yang karena lama menunggu di salon terpaksa malam harinya tidur telungkup supaya riasan rambutnya tidak rusak dan bisa dipakai untuk perayaan natal yang lain besok harinya. Maklumlah, di samping agak mahal biayanya juga terlalu lama menunggu di salon. Kalau tiga malam telungkup, apa tidak menyebabkan penyakit? Ada pula kaum perempuan yang mengubah rambutnya. Yang keriting diluruskan alias direbonding (untuk itu butuh lima jam). Yang rambutnya lurus dikeritingkan. Yang ubanan dicat atau disemir hitam. Yang hitam diubah menjadi warna abu-abu atau merah jambu bahkan ada juga yang berbelang-belang. Agak repot memang.

(3) Hutang. Baik hutang Panitia yang mungkin tidak berhasil mengumpulkan dana yang dibutuhkan, maupun hutang keluarga-keluarga karena pengeluarannya yang membengkak. Saya mengamati bahwa Dinas Pegadaian di beberapa tempat lebih ramai dikunjungi orang pada bulan Desember. Banyak orang menggadaikan barang-barangnya untuk biaya yang berkaitan dengan perayaan natal. Sebenarnya tidak ada hubungan perayaan natal dengan kursi atau gordin jendela baru. Tetapi bagi sebagian orang, saat natal merupakan waktu untuk membeli semua itu. Tidak salah memang, asal jangan sampai orang Kristen kehilangan sukacita dan damai pada saat perayaan ini, hanya karena faktor-faktor lahiriah.

(4) Perselisihan. Mengapa? Orang yang lelah biasanya gampang tersinggung dan marah. Perselisihan bisa terjadi di dalam tubuh kepanitiaan Natal, di tengah keluarga dan lain-lain. Amat menyedihkan jika hal-hal inilah yang tersisa, sehingga inti natal sebagai’ sukacita dan damai sejahtera’ menjadi sirna.

Agar perayaan natal yang kita lakukan sungguh-sungguh menjadi kemuliaan Tuhan dan sukacita serta damai sejahtera bagi kita, kita perlu berpaling sejenak pada sejarah natal, bagaimana perayaan gerejawi seharusnya dilakukan, dan bagaimana merayakan natal yang bermakna.

SEJARAH PERAYAAN NATAL

Di sini perlu dilihat tradisi Timur dan tradisi Barat yang dalam kedua tradisi ini perayaan natal pada kedua tradisi ini dilaksanakan pada waktu yang sama dengan perayaan kafir pada zamannya. Juga, ada perbedaan penekanan inti atau tema perayaan sebagai berikut.

1. Tradisi Timur

Perayaan natal pertama dirayakan di Mesir (abad ke-3) dan menyusul di Galilea (tahun 360). Keduanya merayakannya pada tanggal 6 Januari. Ketika itu, pada tanggal yang sama masyarakat sekitar merayakan hari lahir Aion, dewa Yunani yang mewakili ‘waktu yang kekal’. Penekanan makna natal ketika itu ialah “kelahiran yang kekal dari Logos (Firman yang menjadi manusia).

Kemudian, menyusul lagi dirayakan di Konstantinopel (379), Antiokia (386), Mesir (430) dan Yerusalem (abad ke-6 atau ke-7). Penekanan perayaan natal pada waktu itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba.

2. Tradisi Barat

Di Barat, Natal pertama sekali dirayakan di Roma (akhir abad ke-4), yang dirayakan pada 25 Desember. Pada waktu yang sama juga ada perayaan non-kristen yaitu Pesta Sol Invictus, perayaan kelahiran ‘Dewa matahari yang tdk terkalah-kan’. Penekanan perayaan Natal ketika itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba.

Satu hal yang dapat kita garisbawahi dalam hal ini ialah persamaan waktu perayaan natal dengan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Orang-orang Kristen mau menyaksikan bahwa seorang Raja dan Tuhan yang melampaui semua raja dan tuan sudah lahir.

MAKNA AWAL PERAYAAN NATAL

Pada awalnya, perayaan natal dirayakan sedikitnya berkaitan dengan tiga hal penting sebagai berikut.

(1) Sarana Kesaksian

Seperti sudah disinggung, pada mulanya perayaan natal berlangsung bersamaan waktunya dengan perayaan kafir. Dengan demikian perayaan natal berperan sebagai sarana kesaksian kepada dunia tentang kebenaran sejarah kelahiran Yesus Kristus ke dunia ini, sekaligus mengajak kafir dalam persekutuan Kristen. Sebab, Yesus yang lahir itu adalah Juruselamat dunia.

(2) Peristiwa Liturgis

Perayaan natal tersebut menekankan peranan ibadah dan penghayatan pentingnya kedatangan Tuhan. Hal ini mengacu pada suasana seperti dalam Injil Lukas: (1) dunia dengan egoismenya; (2) Kesederhanaan kandang domba; (3) Gerak hidup yang dipimpin oleh terang cahaya bintang, yang menekankan pimpinan Tuhan dalam kehidupan.

(3) Sarana Penggembalaan

Perayaan natal dimaksudkan agar warga jemaat tidak campur atau terlibat dalam perayaan yang dilaksanakan oleh orang-orang kafir. Orang Kristen merayakan suatu peristiwa yang jauh lebih besar dari perayaan-perayaan kafir itu di gereja.

PERAYAAN NATAL YANG BERMAKNA

Menurut Konfesi Augsburg (pengakuan Iman Lutheran), pasal XV, perayaan gerejawi yang dapat dipelihara adalah:

• Yang dapat dilaksanakan tanpa berdosa
• Yang menciptakan damai dan ketertiban dalam gereja
• Bukan alat demi keselamatan
• Bukan mengambil hati Allah untuk memperoleh anugerah

Bertolak dari makna natal sebagaimana dalam awal sejarahnya dan makna perayaan gerejawi (termasuk perayaan natal) sebagaimana disebut dalam Konfesi Augsburg tadi, berikut ini ada beberapa hal yang menurut hemat saya perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian kita, yakni:

1. Hendaknyalah perayaan natal dilakukan sejak 24 Desember dan bisa dilanjutkan hingga minggu pertama Januari. Jika perayaan dilakukan sebelum natal, alangkah baiknya kalau yang dirayakan adalah ‘perayaan penyambutan natal’ atau perayaan ‘Advent’.

2. Yang menjadi penekanan adalah ibadah, perenunungan, kesederhanaan dan aksi konkret, tidak terutama kemeriahan fisik dan ‘pesta makan’. Secara khusus jemaat-jemaat yang memiliki uang banyak, perayaan natal inilah kesempatan membantu saudara-saudara kita yang berkekurangan. Pengeluaran perayaan natal ribuan dollar atau jutaan rupiah hanya untuk diri sendiri (makan, hadiah, dekorasi dsb) sudah menyimpang dari hakekat perayaan natal. Kita perlu mendidik anak-anak untuk ‘memberi’ pada masa natal, bukan malah menerima hadiah-hadiah.

3. Acara perayaan hendaknya disusun sedemikian rupa, bukan menjadi ajang pamer diri tetapi mengajak semua peserta ibadah merenungkaan makna natal. Tidak terlalu panjang atau bertele-tele, sehingga tidak ada lagi perhatian yang tersisa untuk mendengarkan kotbah atau pemberitaan firman.

4. Kelahiran Yesus adalah dalam rangka ‘Imanuel’ (Allah beserta kita) dan demi damai sejahtera. Karenanya, perayaan natal kiranya menolong kita semua menghayati kasihNya yang begitu besar dan kita sungguh-sungguh memiliki ‘damai sejahtera’ jauh dari ketegangan apalagi perselisihan pada masa-masa perayaan Natal.



Sunday, December 12, 2010

MACET TANPA GELISAH DAN GUNDAH


REFLEKSI SENIN KE-50
13 Desember 2010

Yang menanti gelisah, sementara yang dalam perjalanan merasa susah dan gundah. Itulah biasanya yang terjadi di saat kemacetan lalu lintas. Itulah yang tergambar dari wajah dan terdengar dalam percakapan melalui telpon teman-teman seperjalanan saya Sabtu lalu dari Siantar menuju Medan dengan taksi. Ada yang harus terbang ke Jakarta. Ada yang harus mengikuti pertemuan. Tapi, apa daya kemacetan lalu lintas membuat perjalanan hamapir empat jam. Padahal, perjalanan Siantar-Medan biasanya dapat ditempuh dua setengah jam dengan mobil pribadi atau taksi. Berbeda dengan dua tiga terakhir ini yang terkadang ditempuh tiga setengah sampai empat jam pada jam tertentu. Pasalnya, ada perbaikan jalan. Bukan jembatan. Yang diperbaiki sebenarnya kurang dari seratus meter. Tetapi entahlah, waktu pengerjaannya begitu lama.

Kemacetan lalu lintas tidak saja terjadi antara Siantar-Medan. Bagi penduduk kota-kota di Indonesia, ‘macet’ di jalanan sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Jakarta, misalnya, sudah puluhan tahun masalah ini tidak bisa diatasi. Jalan tol pun macet. Begitu juga kota Medan, yang jalan-jalan utamanya sudah hampir seperti kondisi Jakarta. Bahkan, kota kecil seperti Siantar pun, yang lima tahun lalu masih sangat lancar di dua jalan utama (Jln Sutomo dan Jln Merdeka), belakangan ini sudah sangat padat. Hal yang sama terjadi di jalan-jalan antar kota.

Dari pengamatan sementara sedikitnya ada tujuh faktor penyebab macetnya lalu lintas di Indonesia:

Pertama, pertambahan atau perluasan jalan yang tidak sebanding dengan pertambahan kendaraan. Mobil dan sepeda motor bertambah tiap hari, sementara ruas jalan relatif sama dari tahun ke tahun.

Kedua, angkutan kota (angkot) yang di satu segi terlalu banyak dan di segi lain perilaku para pengemudinya yang hampir semuanya tidak peduli pada pengendara lain. Para supir harus mengejar setoran. Kota Bogor, Medan, Siantar dipenuhi oleh angkutan kota.

Ketiga, perilaku para pengguna jalan yang hanya mementingkan diri sendiri dan sangat sering melanggar ketentuan berlalu-lintas yang semakin memperparah kemacetan.

Keempat, perjalanan yang tidak perlu. Mereka-mereka yang baru membeli mobil atau sepeda motor sering melakukan perjalanan yang tidak terlalu perlu tetapi hanya karena ingin mengendarai mobil atau sepeda motornya yang baru dibeli.

Kelima, penggunaan ruas jalan tertentu menjadi tempat pesta atau karena kemalangan. Anehnya (lebih tepat: sedihnya) ada yang sudah menutup jalan jauh sebelum hajatan berlangsung dan lama pula sesudahnya jalan baru dibuka kembali.

Keenam, pengaturan dan pengawasan polisi laluntas yang tidak maksimal.

Ketujuh, kurangnya perawatan jalan dan kurang cepatnya perbaikan jalan yang rusak. Jalan yang berlobang sering dibiarkan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Padahal, jika diperbaiki lebih cepat, pengerjaannya lebih mudah dan biayanya lebih murah.

Ketujuh penyebab utama ini menunjukkan bahwa banyak pihak yang terlibat langsung menciptakan kemacetan lalu lintas. Mungkin Anda sendiri termasuk dalam salah satu atau lebih dari penyebab tersebut. Ketika setiap orang memperhatikan tanggung jawabnya, kemacetan dapat diatasi.

Ada tiga kerugian terbesar dalam kemacetan lalu lintas adalah kebocoran enerji, penumpahan emisi, dan pengeruh emosi.

Bahan bakar jauh lebih boros ketika kendaraan melambat. Bahan bakar yang habis dalam satu jam berada kemacetan yang hanya dapat menempuh satu atau dua kilometer sudah bisa digunakan menempuh enampuluh kilometer atau lebih. Dengan kata lain, kemacetan lalu lintas memperparah krisis enerji atau bahan bakar.

Akibat pemborosan bahan bakar ini adalah penambahan polusi dan emisi. Udara menjadi tercemar oleh asap kenderaan yang mengganggu kesehatan dan termasuk ikut menyumbang terhadap terjadinya pemanasan global.

Secara emosional, ada orang yang tidak bijaksana menghadapi kemacetan: mulai dari yang merasa gundah, jengkel, mengutuki, berang dan sebagainya. Padahal, reaksi-reaksi demikian biasanya tidak menolong. Malahan, reaksi negatif akan menimbulkan persoalan baru. Dapat kita bayangkan kalau seorang pengemudi mobil melampiaskan amarahnya dengan menabrak pengendara sepeda motor yang menyalip. Manusia menjadi korban, kendaraan hancur, dan jalan semakin macet.

Sambil semua pihak bergerak menjalankan tanggung jawabnya mengatasi kemacetan, ketika kita sedang mengalaminya, kita tidak perlu gundah, berang atau mengutuki. Pikiran dapat dialirkan kepada hal-hal yang baik. Membaca, merencanakan dan berdoa dalam kemacetan bukan sesuatu yang terlalu suci untuk dilakukan. Apalagi, jalan ke hati, ke buku dan ke sorga tidak macet.

Sunday, December 5, 2010

KRISTEN-MUSLIM

REFLEKSI SENIN KE-49
06 Desember 2010

Saya sangat gembira ketika menerima undangan Bapak Suyanto dan Ibu Suana untuk menghadiri acara pernikahan anaknya, Bambang Prasetya. Rasa gembira ini saya wujudkan dengan menghadirinya kemarin, 05 Desember 2010, bersama istri dan kedua anak saya. Kami dapat melihat dan mengalami bagaimana rasa sukacita Bapak Suyanto dan Ibu Suana menyambut kami. Sambil menikmati hidangan yang lezat kami sempat berbincang-bincang di sela-sela kesibukan mereka menyambut para tamu.

Kami mengenal keluarga ini delapan tahun lalu. Sejak itu kami bersahabat dan beberapa kali saling mengunjungi. Beliau tahu bahwa saya seorang Kristen dan seorang pendeta. Saya juga mengetahui beliau seorang muslim. Sejujurnya, saya tidak pernah dan tidak akan pernah mempengaruhi keluarga ini untuk menjadi Kristen. Tentu, saya tidak keberatan malah senang, jika beliau menjadi Kristen atas pilihan sendiri. Saya juga yakin, beliau tidak ada niat mempengaruhi saya untuk menjadi muslim.

Persahabatan kami terbanagun karena kami (1) Mengakui dan menghargai perbedaan agama. (2) Tidak ada agenda terselubung untuk mempengaruhi satu sama lain khususnya untuk menarik ke agama sendiri. (3) Menekankan bahwa kami adalah “sesama manusia”: yang sama-sama berharkat, sama-sama mempunyai tugas panggilan untuk membanagun persahabatan, sama-sama merindukan kedamaian, mempunyai tanggung jawab saling menolong. Jadi, ketika kami bersalaman, yang bertemu bukan terutama tangan Kristen dan tangan Muslim, tetapi tangan sesama manusia; sesama manusia yang adalah sama-sama ciptaan Allah yang sama.

Atas dasar itu pulalah persahabatan saya terbangun dengan beberapa penganut agama Islam lainnya, seperti Keluarga Pak Sardoyo dan Ibu Iyah di Yogyakarta, Keluarga Pak Sanimin di Medan, Keluarga Pak Suryono di Pematangsiantar dan lain-lain. Persahabatan sebagai ‘sesama manusia’ tanpa dipisahkan oleh perbedaan.

Sebagai seorang Kristen dan pendeta, hubungan seperti ini bukanlah mengingkari tugas panggilan saya di bidang missi Kristen. Sebab, tugas panggilan Kristen bukan ‘mengkristenkan’ orang lain, melainkan terutama untuk ‘mengasihi’ sesama manusia. Memberitakan Injil, bukan terutama melalui kata-kata, apalagi hanya menjelaskan isi Alkitab, melainkan melalui perbuatan dan tingkah laku yang mengalir dari kasih Kristus. Tugas seorang Kristen bukan pula menetapkan seseorang masuk sorga atau tidak. Itu adalah sepenuhnya hak Tuhan Yesus. Memang, menjadi tugas panggilan Kristen juga untuk menyambut penganut agama lain menjadi Kristen, jika itu pilihan sadar mereka. Yang jelas, tidak ada unsur pemaksaan dan tanpa iming-iming duniawi.

Kehadiran sahabat-sahabat muslim ini, tidak menggantikan sahabat-sahabat yang Kristen, melainkan 'perluasan'. Perluasan yang melintas tembok sempit ras, etnis, agama, dan sebagainya.Ungkapan 'seribu sahabat terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak' benar adanya. Memang menyedihkan karena terkadang persahabatan dengan penganut agama lain justru lebih baik ketimbang sesama Kristen. Hanya saja, jika kita sudah berbuat sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya, tapi ada saja orang yang memusihi kita, dari kita tidak akan dituntut apa-apa.

Rindu melihat dunia yang lebih damai dan toleransi umat beragama tidak hanya tertulis dalam dokumen dan bergema dalam ruang seminar, tetapi terbukti tumbuh mekar di seantero bumi.



Sunday, November 28, 2010

T E M P A T

REFLEKSI SENIN KE-48
29 Nopember 2010

Seorang sahabat menuturkan betapa indahnya pengalamannya dua puluh tahun lalu semasih kuliah. Ia mengaku kampusnya begitu indah, teman-temannya sangat baik, dosen-dosennya berkualitas. Padahal, dulu ketika ia menjalani perkuliahannya, kampus itu dirasa bagai penjara yang kalau bisa sesegera mungkin ditinggalkan dan memulai suatu suasana kehidupan yang baru.

Agaknya sahabat saya ini tidak sendirian. Mungkin setiap orang pernah merasa jenuh bahkan membenci suatu tempat atau keadaan dan berusaha keluar dari tempat tersebut tetapi justru berhadapan dengan keadaan yang jauh lebih tidak mengenakkan. Sering kali suatu keadaan yang kita bayangkan jauh lebih indah pada saat diidam-idamkan dibandingkan dengan ketika mencapai atau menemukannya.

Yang jelas, setiap tempat dan keadaan yang tidak kita sukai adalah penjara bagi kita. Ada dua cara utama untuk keluar dari penjara seperti itu. Pertama, keluar secara fisik. Tanggalkan dan tinggalkan! Langkah ini dapat diambil jika masalahnya terutama pada orang sekitar atau lingkungan itu sendiri. Langkah ini memang tidak selalu mudah, tetapi butuh keberanian dan usaha gigih. Misalkan Anda menyewa rumah atau kost di lingkungan yang terpolusi s atau tempat-tempat mangkalnya para pemabuk, penjudi, pencuri. Memang yang paling ideal adalah kalau kita tidak terkontaminasi oleh lingkungan sekaligus bisa mengubah keadaan. Tetapi, jika keadaan tidak berubah bahkan kita cenderung terkontaminasi oleh lingkungan maka lebih baik meninggalkannya. Rasul Paulus pernah menegaskan, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Jika ini yang terjadi, maka keadaan masa lalu bukanlah sesuatu yang kita rinddukan.

Kedua, mengubah sikap dan cara pandang kita terhadap tempat dan keadaan itu. Langkah ini dapat ditempuh terutama jika masalahnya terutama ada dalam diri kita. Mungkin harapan, gengsi, standard kita terlalu tinggi, kita kurang kesabaran dan toleransi dan sebagainya. Maka, mengubah sikap dan cara pandang kita menjadi sebuah keharusan. Orang yang benar-benar meringkuk dalam penjara pun dapat mempunyai sikap yang berbeda satu sama lain. “Dua orang meringkuk dalam penjara yang sama melihat ke luar dari jendela kecil. Yang satu melihat ke lumpur di jalanan, yang lainnya melihat indahnya bintang-bintang di langit”. Jadi, kalau orang yang meringkuk dalam penjara sungguhan pun dapat memaknai keadaan dan pengalamannya, apalagi kita yang bebas melakukan pilihan-pilihan baik kita.

Bercermin pada yang kedua ini, maka kita tidak akan buru-buru angkat kaki meninggalkan pekerjaan, pindah rumah, memisahkan diri dari suatu persekutuan, seperti membuka gereja baru, kelompok baru dan sebagainya. Sebab, dengan menempuh langkah ini mungkin saja kita sedang menciptakan penjara bagi diri kita sendiri dan orang-orang yang kita kasihi. Menguji dan mengkaji segala sesuatu dengan hikmat merupakan bagian integral dari iman.

Sunday, November 21, 2010

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

REFLEKSI SENIN KE-47
22 Nopember 2010

Saya pernah menerima yang berikut melalui email, yang terjemahan bebasnya sebagai berikut:

Seorang laki-laki akan membayar Rp. 20.000 –yang biasanya hanya seharga Rp. 10.000 (sungkan menawar, ‘gengsi dong!”)-- suatu barang yang dia butuhkan.
Seorang perempuan akan membayar Rp. 10.000 –yang biasanya seharga Rp. 20.000 (mungkin sangat pintar menawar)—suatu barang yang tidak dibutuhkannya.

Seorang perempuan cemas akan masa depan hingga ia menemukan seorang suami.
Seorang laki-laki tidak pernah cemas akan masa depan; ia cemas ketika ia sudah mendapat seorang istri.

Seorang laki-laki sukses adalah yang menghasilkan uang lebih dari yang dapat dibelanjakan isterinya.
Seorang perempuan sukses adalah yang berhasil mendapatkan laki-laki seperti itu.

Untuk dapat hidup bahagia dengan seorang laki-laki: mengerti dia banyak dan cintai dia sedikit.
Untuk dapat hidup bahagia dengan seorang perempuan: Anda harus mencintainya lebih banyak dan mengerti lebih sedikit.

Setiap laki-laki yang menikah harus melupakan kesalahan-kesalahannya; tidak perlu dua orang meningat hal yang sama (artinya: istri akan tetap mengingatnya dengan baik!)

Seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki dengan harapan si laki-laki akan berubah, tetapi ternyata tidak berubah.
Seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan dengan harapan si perempuan tidak berubah, tetapy si perempuan justru berubah.

Daftar ini bisa lebih panjang lagi. Tapi, tidak bijaksana melakukan stereotyping. Malah bisa menimbulkan masalah. Apalagi, selama ini perempuan seringkali diperlakukan secara tidak adil dalam banyak hal. Bahkan, ada pula yang menyelewengkan ayat-ayat Alkitab untuk menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki. Misalnya dengan mengatakan bahwa (1) Perempuan diciptakan sesudah laki-laki (2) Perempuan diciptakan sebagai penolong laki-laki (3) Perempuanlah yang menggoda laki-laki sehingga jatuh ke dalam dosa, dan seterusnya. Padahal, kalau mau memperbandingkan dari urutan penciptaan, justru ‘kualitas’ perempuanlah lebih baik. Sebab, laki-laki diciptakan dari debu tanah sementara perempuan dari tulang manusia.

Bagi orang Kristen, keberadaan dan hubungan laki-laki dan perempuan mesti dilihat dari persamaan dan perbedaannya sebagaimana Tuhan menghendakinya. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Allah. Hal ini juga mau menegaskan bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan harus dilihat dari segi ‘kepemilikan’ Allah atas laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki memang berbeda tetapi keduanya adalah sederajat (Kejadian 1:26-27). Kodrat perempuan (yang sampai hari ini belum berubah) mengandung, melahirkan dan menyusui anak, tidak dapat digunakan sebagai pembenaran menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Di samping itu, perempuan dan laki-laki adalah sama-sama Imago Dei ‘gambar Allah’. Tidak ada dikatakan di dalam Alkitab bahwa laki-laki adalah Imago Dei dan perempuan adalah Imago Satanas (gambar setan). Sebagai sesama gambar Allah, laki-laki dan perempuan mewarisi sifat-sifat Allah yang mampu mengasihi, berbuat baik, bertanggung jawab dan sebagainya. Yang perlu sekarang adalah pemberlakuannya dalam hidup keseharian.

Sunday, November 14, 2010

BERBEDA, BOLEH?

REFLEKSI SENIN KE-46
15 Nopember 2010

Mobil suami-sitri Bapak dan Ibu Sipahutar terhenti sejenak. Seekor ular berwarna-warni melintas di tengah jalan pada malam itu. Sambil menyaksikan ular itu melintas Pak Sipahutar berkata kagum “Wah, cantik sekali”. Sedangkan ibu Sipahutar berkata, “Ah, menjijikkan dan mengerikan”. Dua kesan yang sangat berbeda terhadap suatu objek. Tetapi, mereka tetap menikmati perjalanan dan hidup damai meski berbeda. Si ular juga hidup dengan damai dalam dunianya.

Dua pendapat di atas sebenarnya berpotensi menjadi perdebatan sengit hingga pertengkaran Bapak dan Ibu Sipahutar. Bayangkan jika Ibu Sipahutar mulai mengembangkannya ke topik percakapan lain dengan mengatakan, “Papa kejam sekali, masakan papa bilang ular yang menjijikkan dan menyeramkan itu ‘cantik’, padahal kita sudah menikah 30 tahun satu kali pun papa tidak pernah bilang mama ini cantik”. Apalagi kalau Pak Sipahutar berkata begini, “Lha, mama baru tahu bahwa ular lebih cantik dari mama? Ini seius ma!” Kalau Ibu Sipahutar semakin tak terkendali, bisa-bisa ia berkata, “turunkan saya di sini, nikah sama ular aja kamu!” Pak Sipahutar dan Ibu Sipahutar bisa bertengkar dan ular sudah tenang dalam belukar.

Perbedaan pendapat akan selalu ada. Tetapi perbedaan tidak harus berujung pada pertengkaran. Hal ini bisa terjadi jika setiap orang yang memiliki sebuah pendapat berusaha sebaik-baiknya dan sejernih-jernihnya memahami sudut pandang orang lain. Misalnya, mengapa Pak Sipahutar mengatakan ular itu cantik dan mengapa Ibu Sipahutar mengatakannya menjijikkan dan mengerikan. Dengan mengetahui alasan di balik pernyataan sesama, seseorang paling tidak dapat memahami, meskipun tidak harus menerima atau sependapat dengan mitra bicaranyha.

Di samping itu, perbedaan pendapat harus disikapi dengan argumentasi bukan dengan emosi negatif, apalagi mengaitkannya dengan masalah lain yang tidak relevan. Misalnya, dalam kasus di atas, pernyataan suami bahwa ‘ular itu cantik’ dan tidak pernah mengatakan istrinya cantik itu sama sekali tidak bisa disamakan bahwa suami melihat ular lebih cantik dari istrinya. Persoalan muncul ketika si istri menafsirkan bahkan menyimpulkannya seperti itu. Jadi, perlu menanggapi suatu pendapat atau kesan berdasarkan sudut pandang yang memberi pendapat atau kesan bukan berdasarkan rekaan atau penilaian yang mendengarkannya saja.

Yang paling penting dari semua itu, hubungan antar pribadi sangat menentukan kualitas percakapan. Jika ada saling menerima dan saling mengasihi, percakapan akan mengalir dengan baik. Sebaliknya, kalau hubungan antar pribadi kurang harmonis, kata-kata yang baik pun bisa ditanggapi secara negatif. Maka terapi hubungan diperlukan setiap saat. Hubungan baik itulah yang membuat Bapak dan Ibu Sipahutar menikmati perjalanan dan hidup damai meskipun ada perbedaan pendapat mereka.

Sunday, November 7, 2010

ANTI BOCOR

REFLEKSI SENIN KE-45
08 Nopember 2010

Sudah hampir sebulan pipa air bocor di pinggir jalan. Terjadi pemborosan. Jalan juga menjadi rusak. Satu hal yang pasti: pipa air ini tidak mungkin pulih tanpa diperbaiki. Demikian juga kebocoran yang lain. Di sini dapat disebutkan tiga bidang kebocoran yang perlu disumbat.

Satu, bocor kata-kata (dalam Amsal 20:19 disebut dengan “bocor mulut”). Tidak sulit menemukan orang yang terlalu boros kata-kata yang biasanya banyak di antaranya yang tidak berguna atau bahkan merusak. Langkah terbaik mengontrol kran kata-kata ini adalah si pemilik kran itu sendiri. Hal ini termasuk orang-orang yang didaulat memberi kata sambutan, supaya benar-benar hanya 'menyambut' tidak malah berpidato atau berceramah. Demikian juga kepada mereka yang berdoa dalam ibadah Minggu yang lumayan banyak sangat bertele-tele, seolah-olah Tuhan baru mengetahui sesuatu yang terjadi di bumi ini setelah si pendoa memberitahukannya. Tidak baik kalau sampai orang lain menyumbat mulut seseorang dalam rangka menghemat kata-kata atau melakukan interupsi saat berdoa. (Dua kali Minggu berturut-turut saya mengikuti ibadah di sebuah gereja, doa syafatnya hampir sama dengan lama kotbah!)

Dua, bocor pikiran. Lai Chiu Nan pernah mengatakan bahwa pikiran adalah salah satu tempat terbesar bocornya enerji. Pikiran memang harus 'dipakai', tapi menjadi masalah kalau terlalu banyak apalagi saling tabrak dalam benak. Dalam hal ini Rasul Paulus menasihatkan, “Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” (Roma 12:3).

Tiga, kebocoran juga sering terjadi dalam bidang anggaran atau keuangan. Beberapa waktu lalu istri saya membeli mesin cuci pesanan mertuanya. Ketika istri saya meminta kwitansi, si penjual bertanya, “kwitansinya ditulis berapa, Bu?” Suatu pertanyaan yang aneh. Rupanya, sudah hal yang biasa para pembeli barang meminta kwitansi pembelian di atas harga yang sebenarnya. Hal ini terjadi dalam pembelian barang-barang untuk kantor pemerintah maupun swasta (dan celakanya dalam lingkungan agama juga). Bagaimana cara menutupi kebocoran seperti ini? Pertama dan terutama adalah integritas pribadi-pribadi yang terlibat langsung dalam pengelolaan keuangan. Kemudian, perlu pengawasan yang lebih ketat dari semua pihak yang terkait. Misalnya, untuk pengadaan barang-barang atau pembangunan yang dilakukan sebuah lembaga dibutuhkan transparansi dengan melakukan perbandingan harga, tim pengadaan bahan, dan pengawasan yang baik.

Saat ini, lubang-lubang kebocoran bertebaran di mana-mana, bahkan ada kalanya lubang kebocoran lebih besar dari aliran utama. Ada kalanya “pipa” lama yang perlu disumbat kebocorannya. Tapi, mungkin juga justru “pipa” baru yang dibutuhkan khususnsya jika lubang kebocoran sudah terlalu banyak atau terlalu lebar.

Sunday, October 31, 2010

K E T U A

REFLEKSI SENIN KE-44
1 Nopember 2010

Seorang anak kelas dua SD dengan amat ceria berlari menghampiri ibunya sepulang sekolah. “Mama, aku tinggal kelas, tapi ibu guruku bilang nanti aku jadi ketua kelas.” Nampaknya, baginya ketua kelas di kelas dua lebih baik dan lebih menggembirakan ketimbang naik ke kelas tiga yang belum tentu jadi ketua kelas. Berbeda dengan ibunya yang tidak terlalu peduli apakah dia menjadi ketua kelas atau tidak. Yang penting anaknya naik kelas. Lagi pula, menjadi ketua kelas belumlah suatu posisi bergengsi, apalagi tidak akan ada tunjangan atau diskon uang sekolah.

Agaknya, di luar sekolah dasar dan kelompok usia yang jauh lebih senior dari murid SD hal serupa sering terjadi. Menjadi ketua atau pemimpin suatu kelompok atau organisasi diminati begitu banyak orang. Tentu, suatu hal yang baik kalau masih ada yang bersedia menjadi pemimpin. Jika tidak, sebuah organisasi tidak dapat berjalan dengan baik mengemban misinya. Masalahnya ialah, kalau kualitas dan kelayakan seorang pemimpin lebih rendah dari jabatan yang yang disandang. Lebih bermasalah lagi, kualitas kehidupan seorang pemimpin lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata yang dipimpin. Pemimpin seperti itu biasanya dihormati hanya karena jabatannya, bukan pada wibawa dan kualitas hidupnya. Bayangkan seorang pemimpin jemaat misalnya, yang sifat pemarahnya saja tidak dapat diatasinya, bagaimana mungkin dia memimpin jemaat dengan baik. Atau, seorang calon hamba Tuhan yang orangtua atau mertuanya saja tidak dihargainya, bagaimana mungkin dia menghargai warga jemaat?

Dalam hal ini John Maxwell benar ketika ia berkata bahwa kualitas hidup seorang pemimpin seharusnya di atas rata-rata orang yang dipimpin. Bagi orang Kristen hal inibukan masalah baru. Rasul Paulus sendiri dengan tegas menasihatkan agar mereka yang menjadi penilik jemaat bukanlah pemarah tetapi peramah, sopan, dapat menahan diri, bukan yang baru bertobat, yang terkenal baik di dalam dan di luar jemaat, yang dapat memimpin keluarganya dengan baik, bukan peminum, bukan hamba uang dan seterusnya (Selengkapnya lihat 1 Tim 3:1-7).

Bagaimana kalau kita berhadapan dengan seorang pemimpin yang tidak sesuai dengan firman Tuhan di atas? Mendoakannya, mengingatkannya, mengusulkannya mundur kalau tidak mau berubah, menggantinya sesuai prosedur jika sama sekali tidak ada perubahan.

Sunday, October 24, 2010

PELAJARAN DARI HUJAN

REFLEKSI SENIN KE-43
25 Oktober 2010

Sudah seminggu lebih hujan tak turun. Debu jalanan mulai berterbangan. Tanaman yang tadinya mekar tampak tak segar. Suhu meningkat dan keringat pun bercucuran. Akhirnya, hujan deras pun turun seperti air ditumpahkan dari langit. Orang-orang berhamburan: menyelamatkan jemuran, menutup dagangan, dan mencari perteduhan. Terlihat ada yang merasa kesal dan sial. Rasa kesal dan sial ini tidak berdasarkan kelompok profesi, tetapi berdasarkan ‘suasana hati yang menyikapinya’. Ada pedagang es dan rujak yang merasa sial karena terpaksa harus pulang berhubung penurunan minat pembeli. Tapi, ada juga pedagang es dan rujak yang lain yang menerima tanpa perubahan raut wajah, karena sudah bersiap untuk menghadapinya dan tidak dapat berbuat apa-apa mencegah hujan. Di sudut yang lain tampak anak-anak telanjang dada berhamburan mandi hujan dengan teriak keceriaan. Berbeda dengan orangtua mereka yang suaranya meninggi menghardik anak-anak mereka untuk masuk ke rumah dan mandi. Beberapa orang dewasa lainnya yang sehari-hari menyiram depan rumahnya yang berdebu merasa lega karena curahan hujan mengambil alih tugas mereka. Lain pula sekelompok orang korban banjir bandang yang keluarga mereka beberapa waktu lalu terhanyut banjir. Kehadiran hujan kali ini membuka kembali memori duka.

Satu peristiwa turunnya hujan dapat menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Di sini, masalahnya bukan hujan melainkan keadaan orang-orang yang menerima curahan hujan. Keadaan ini menggambarkan hampir semua peristiwa kehidupuan. Reaksi-reaksi manusia amat teranyam ketat dengan kondisi (emosional) masing-masing. Karenanya, ketika kita bereaksi terhadap sesuatu kita tidak saja memperhatikan peristiwa ‘luar’ yang terjadi tetapi juga (dan terutama) memeriksa ‘ke dalam’, keberadaan, suasana hati atau kondisi emosional kita. Kita bisa saja kecewa, marah, mengutuki, padahal masalahnya bukan terutama suatu peristiwa yang terjadi, melainkan keadaan kita: ingin cepat mencapai sesuatu, merasa agenda pribadi kita terganggu, penghasilan kita menurun, orang lain untung dan kita merasa rugi, dan lain-lain.

Tetapi, kembali kepada hujan, ada yang berbeda sekarang ini. Hujan bukan semuanya lagi ‘alami’ tetapi sering terjadi ketidakteraturan dan curah hujan berlebihan atau malah sangat kurang untuk daerah tertentu karena perubahan iklim global; dan perubahan iklim global disebabkan oleh kerusakan alam ciptaan Tuhan ini. Kerusakan alam terutrama disebabkan oleh kerakusan manusia. Hujan juga sudah tercemar atau terpolusi. Jadi, menyaksikan hujan turun sekarang ini, kita tidak hanya menerimanya sebagai sesuatu yang alamai dan mensyukurinya sebagai pemberian Tuhan, tetapi juga berbuat secara konkrit merawat alam ciptaan Tuhan ini sebaik dan sebijaksana mungkin. Usaha konkrit yang dimaksudkan anatara lain: menghindari diri dari pola hidup konsumerisme, tidak atau sedikitnya sangat membatasi diri menggunakan barang-barang sekali pakai (kemasan minuman, manakan dll), menanam pohon, menggunakan kendaraan hemat bahan bakar dan sebagainya. Jangan sampai bumi ini kiamat sebelum waktu yang Tuhan tentukan.



Monday, October 18, 2010

DOA DAN PENDERITAAN

REFLEKSI SENIN KE-42
18 Oktober 2010

Adik perempuan saya, Bibelvrouw Nurmala Tinambunan, pergi untuk selamanya memasuki kumpulan yang dimenangkan dan ditebus oleh Tuhan pada Selasa, 14 Oktober lalu pada usianya yang ke-42. Sangat muda menurut ukuran rata-rata harapan hidup orang Indonesia. Memang sudah beberapa tahun ia menderita suatu penyakit. Karena pengobatan belum membawa kesembuhan, ia berobat ke Penang. Ia pun keracunan obat, yang membuat sekujur tubuhnya seperti terbakar. Empat hari dirawat di RS Horas Insani, Pematangsiantar yang kemudian, atas rujukan dokter, dipindahkan ke RS Herna, Medan. Sepuluh hari menahan beratnya derita di RS, ia pun pergi untuk selamanya.


Banyak yang berdoa memohon kesembuhan. Usaha sudah dilakukan sesuai dengan kemampuan keluarga. Di tengah duka seperti ini pertanyaan pun mengemuka: “Mengapa Tuhan tidak mendengarkan doa?” Tetapi sesungguhnya, Tuhan menjawab semua doa. Ada kalanya Tuhan memberi jauh melampaui apa yang kita harapkan. Terkadang kita menerima persis seperti apa yang kita dambakan. Tetapi ada kalanya kita menerima tidak seperti yang kita inginkan. Yang pasti, rancangan Tuhan selalu rancangan yang baik kepada anak-anakNya.

Di tengah duka karena kehilangan seperti ini, kesadaran seperti itulah yang menguatkan hati saya menerima kenyataan ini di dalam Tuhan. Hati saya terhibur juga mendengar banyak ungkapan turut berduka dan doa teman-teman dan banyak sahabat. Secara khusus, kotbah yang disampaikan Praeses Pdt B. Sidabutar dalam acara pemberangkatan jenazah di HKBP Parsaoran yang mengatakan, “Tuhan lebih mengasihi kedua anak Bvr Nurmala Tinambunan, Cintya dan Sahat Martua, daripada orangtuanya dan kita semua”. Ya, Tuhan lebih mengasihi Bvr Nurmala Tinambunan, Tuhan lebih mengasihi suaminya Charles Simanjuntak, Tuhan lebih mengasihi kedua anak mereka.

Kini, kami menjadi alat perpanjangan tangan Tuhan menyatakan kasihNya merawat dan membantu Cintya dan Sahat Martua menjalani hidup dan sekolahnya. Bvr Nurmala Tinambunan telah meninggalkan mereka, tetapi Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anakNya. Tuhan tidak pernah meninggalkan Anda.



Sunday, October 10, 2010

PERTUMBUHAN DI LUAR KESADARAN

REFLEKSI SENIN KE-41
11 Oktober 2010

Belum lama ini, seorang teman meneruskan cerita berikut kepada saya melalui email.

Seorang Katolik menulis surat kepada Editor sebuah surat kabar dan mengeluhkan kepada para pembaca bahwa dia merasa sia-sia pergi ke gereja setiap minggu. Tulisnya, "saya sudah pergi ke gereja selama 30 tahun dan selama itu saya telah mendengar 3000 khotbah. Tapi selama hidup, saya tidak bisa mengingat satu khotbah pun. Jadi saya rasa saya telah memboroskan begitu banyak waktu --demikian pun para pastor itu telah memboroskan waktu mereka dengan khotbah-khotbah itu." Surat itu menimbulkan perdebatan yang hebat dalam kolom pembaca. Perdebatan itu berlangsung berminggu-minggu sampai akhirnya ada seseorang yang menulis demikian: "Saya sudah menikah selama 30 tahun. Selama ini istri saya telah memasak 32.000 jenis masakan. Saya tidak bisa mengingat semua jenis masakan itu. Tapi saya tahu bahwa masakan-masakan itu telah memberi saya kekuatan yang saya perlukan untuk bekerja. Seandainya istri saya tidak memberikan makanan itu kepada saya, maka saya sudah lama meninggal." Sejak itu tak ada lagi komentar tentang khotbah.
Saya percaya bahwa cerita ini sama sekali tidak menganjurkan agar kita melupakan saja semua kotbah yang kita dengar. Cerita ini juga sama sekali tidak membenarkan para pengkotbah yang tidak sungguh-sungguh mempersiapkan dan menyampaikan kotbah. Kotbah harus dipersiapkan dengan hati dan harus diterima dengan hati.

Yang mau ditekankan adalah “tidak mengingat kotbah” tidak sama dengan “memboroskan waktu”. Sebab, ada yang terjadi dalam diri ini di luar kesadaran. Bayangkan sebuah tanaman yang kita lihat suatu sore yang sudah berbeda keesokan harinya, meskipun nampaknya sama saja. Hal seperti itu pula yang mau disampaikan seorang pemberi komentar terhadap keluhan pendengar kotbah dalam cerita di atas dengan mengangkat contoh jenis makanan selama tiga puluh tahun.

Kesediaan atau keterbukaan hati mendengarkan kotbah, nasihat, saran yang baik, tulisan yang mencerahkan bagaikan mempersiapkan lahan yang baik dan subur untuk sebuah tanaman. Jadi, mungkin kita tidak mengingat semua kotbah, nasihat, saran baik yang pernah kita dengar, tetapi tanpa mendengarnya sebelumnya hidup kita jauh lebih buruk dari keadaan sekarang.



Monday, October 4, 2010

SIAPA DI BALIK APA

REFLEKSI SENIN KE-40
04 Oktober 2010

Teringat pengalaman kuliah ketika masih duduk di semester 5. Karena kehidupan ekonomi yang masih di bawah pas-pasan, bersama dengan tiga orang teman seangkatan saya menerima pekerjaan mencat bangunan kampus [Agaknya upah yang kami terima masih di bawah UMR]. Mahasiswa baru sedang melakukan Kursus Intensif Bahasa Inggris (KIBI) sebelum memulai perkuliahan baru. Para mahasiswa mengira kami sebagai ‘pekerja tukang cat’ sungguhan. Hal ini tercermin dari ekspresi dan kata-kata mereka. Salah seorang di antara mereka pernah ‘menugaskan’ saya untuk membeli anti nyamuk bakar. Karena saya juga ketika itu kurang rela diketahui sebagai seorang mahasiswa merangkap ‘buruh kasar harian’, saya pergi juga membelinya. Ketika menyerahkan anti-nyamuk beserta dengan uang kembaliannya Rp. 500 (sekitar 10 sen dollar Singapura) si mahasiswa berkata, “kembaliannya sama abang aja!”. Kata ‘abang’ yang digunakan, bukan kepada seorang mahasiswa yang lebih senior (yang waktu itu sesuai ‘tradisi’ agak disegani bahkan ditakuti, tetapi kepada seorang tukang cat yang perlu disubsidi.

Peristiwa yang hampir sama dengan versi dan orang yang berbeda terjadi ketika saya baru saja ditugaskan menjadi dosen di perguruan yang sama pada 1999. Meskipun tinggal dalam satu rumah, tetapi karena belum berkeluarga saya sering sarapan di warung. Suatu pagi saya sama-sama sarapan di warung yang sama dengan seorang mahasiswa semester 7. Percakapan pun berlangsung. Entah bagaimana, si mahasiswa sampai pada satu pertanyaan, “Abang mau masuk S2 di kampus ini?” Jawaban ‘diplomatis’ saya waktu itu adalah, “Mungkin saya tidak diterima”. Tiga puluh menit kemudian, kami bertemu di ruang kuliah. Saya bisa lihat ekpresi wajahnya yang agak kaku mengingat kata-kata ‘abang’ yang dikatakannya setengah jam yang lalu harus berubah menjadi ‘bapak’ di ruang kuliah. [Catatan: yang jelas, tidak ada pengaruh peristiwa itu dengan nilai kuliah yang saya berikan kepada mahasiswa ybs, apalagi dia termasuk seorang mahasiswa yang cerdas]

Agaknya hampir semua orang pernah mengalami salah mengenal dan ‘disalah-kenal’. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana kita bersikap dan berkata-kata kepada orang lain, biasanya ditentukan oleh ‘siapa’ orang lain itu menurut pengenalan atau asumsi kita. Pengenalan yang dimaksudkan adalah berdasarkan label-label yang kita tempelkan pada orang lain yang umumnya amat dipengaruhi oleh pekerjaan, usia, penampilan seseorang itu, baik berdasarkan fakta maupun prasangka kita.

Kekristenan sangat menekankan pentingnya sikap ‘tidak memandang muka’ tetapi mengasihi dan menghormati semua dan setiap orang. Hanya dengan demikian kita terhindar dari sikap semena-mena terhadap pekerja upahan dan menjilat kepada orang yang punya tahta dan harta. Hubungan pun akan terbangun terutama atas dasar ‘kesiapaan’ seseorang sebagai sesama ciptaan Allah, sesama yang memiliki harkat yang sama, bukan pada ‘status’ ciptaan manusia.

Demikian pula halnya dalam menyikapi suatu peristiwa atau pengalaman kehidupan. Mengapa kita bersungut-sungut bahakan marah ketika mengalami suatu peristiwa kehidupan yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Mungkin kita tidak melihat rencana Tuhan dalam peristiwa itu untuk mendatangkan kebaikan kita. Atau, mungkin kita melihatnya sebagai pekerjaan Tuhan dan kita menganggap Ia tidak adil. Yang jelas, segala perbuatan Tuhan selalu bertujuan untuk kebaikan kita dan keadilan yang sempurna hanya ada dalam Dia. Masalahnya, bagaimana kita melihat setiap peristiwa kehidupan menentukan hubungan dan sikap kita kepada Tuhan. Dan rasa hormat kepada Tuhan memungkinkan kita berserah pada penyelenggaraanNya.







Sunday, September 26, 2010

CITRA DIRI

REFLEKSI SENIN KE-39
27 September 2010

Yang dimaksudkan dengan ‘citra diri’ di sini adalah ‘bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain’. Kita dapat membedakan tiga bentuk citra diri berdasarkan ‘penggeraknya’.

1. Menurut keinginan sendiri

Seseorang meginginkan dirinya seperti ini atau seperti itu dan sudah tampil seperti yang diinginkan walaupun belum atau bahkan tidak akan pernah mencapai seperti yang diinginkan itu. Ia pun tampil sebagai seseorang yang berbeda dengan dirinya yang sebenarnya. Ia hanya tampil ‘seolah-olah’: seolah-olah pintar, seolah-olah kaya, seolah-olah bintang film, seolah-olah penguasa. Sadar atau tidak, seseorang itu selalu mengenakan ‘topeng’. Menampilkan sesuatu yang berbeda dari yang asli. Itulah sebabnya mengapa remaja atau pemuda yang baru saja menonton film ‘action’ berjalan seperti jago karate. Baru menonton balab mobil, pulang mengendarai mobilnya merasa seperti Schumacher, padahal mobilnya hanyalah Suzuki Carry. Atau, seseorang yang ingin tampil kaya membeli dompet seharga Rp.1 juta yang didalamnya diselipkan beraneka kartu-kartu “seolah-olah” ATM atau kartu credit tapi isi yanag sebenarnya tidak pernah lebih dari Rp 300.000. Citra diri menurut keinginan ini pulalah yang membuat orang meniru model dan warna rambut orang lain. Tampillah rambut BUCARI –bule cat sendiri. Ada masih banyak contoh yang dapat kita saksikan (atau mungkin kita perankan sendiri) sehari-hari. Biasanya citra diri seperti ini amat melelahkan dan terkadang bisa membawa hingga ke frustrasi.

2. Menurut pendapat orang lain

Bayangkan seorang dosen mendengar orang lain menilainya sebagai seorang jenius. Dari penilaian objektif, dia sadar betul bahwa dia bukan seorang jenius. Tetapi karena ada orang yang mengatakannya seorang jenius, ia pun meampilkan diri seperti jenius: menyampaikan ide-ide yang sulit dicerna dan membuat orang bingung, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, memberi pendapat dan argumentasi untuk semua topik percakapan, mulai dari soal pilkada, politik luar negeri, hingga masalah ruang angkasa. Orang seperti ini biasanya sulit mengatakan ‘tidak’ terhadap permintaan orang lain walaupun ia tidak sanggup melakukannya. Ia pun sering memaksa diri supaya cocok dengan ‘citra diri’ seperti yang dicitrakan orang lain. Artinya, memakai citra diri seperti ini juga amat melelahkan dan dapat menjadi sumber ketegangan berkepanjangan.

3. Menurut keadaan sebenarnya dan seharusnya

Citra diri seperti ini lahir dari pemahaman objektif dan realistis terhadap diri sendiri serta berorientasi pada dampak positif setiap gerak hidup terhadap orang lain. Jika dalam ‘citra diri menurut yang diinginkan’ (nomor 1) seseorang yang ekonominya pas-pasan tapi tampil seperti konglomerat, sebaliknya dalam citra diri menurut keadaan yang sebenarnya seorang kaya raya justru tampil bersahaja. Dengan kebersahajaannya, seseorang itu menunjukkan bahwa dirinya tidak identik dengan yang dia miliki sekaligus meruntuhkan tembok pemisah kepada orang lain. Sebab, kesederhanaan dapat merupakan jembatan persaudaraan sejati. Dengan citra diri seperti ini pula seseorang tidak akan pernah meaksa diri. Ia bebas tanpa beban mengatakan ‘tidak’ terhadap sesuatu yang tidak mampu ia lakukan dan mengatakan ‘ya’ dengan sukacita jika memang mampu dan baik melakukan sesuatu tanpa memaksa diri. Ia tidak bergerak oleh celaan, pujian, amarah, paksanaan. Di sini, hati nurani lebih banyak bicara. Mereka yang hidup dengan citra diri menurut keadaan sebenarnya dan seharusnya adalah orang-orang merdeka dan mampu memerdekakan.



Monday, September 20, 2010

MENGUBAH DIRIKU

REFLEKSI SENIN KE-38
20 September 2010

Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini:

Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan selalu berdoa:
“Tuhan berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia”

Ketika aku sudah setengah baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: “Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas”.


Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat ajal sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: “Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri”.
Seandainya sejak semula aku berdoa demikian, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku.

(Anthoni de Mello)

Dari pengalaman empiris kita dapat belajar bahwa Sufi Bayazid tidak sendirian. Ada begitu banyak orang saat ini yang berusaha memperbaiki keadaan penjara, padahal mereka sendiri juga perlu keluar dari aneka bentuk penjara. Tidak sedikit orang yang dengan suara lantang menyerukan penegakan keadilan, tetapi –sedihnya—justru pada saat yang sama menindas orang lain. Seruan ekstra kencang juga sering terdengar untuk pembaharuan dalam lingkungan agama, padahal yang paling mendesak dilakukan adalah pertobatan mereka secara pribadi, yang pada akhirnya dapat terjadi pertobatan institusional.

Berubahlah oleh pembaharuan budimu” (Roma 12:2)





ALPA

REFLEKSI SENIN KE-37
12 September 2010

Sunday, September 5, 2010

B A R U

REFLEKSI SENIN KE-36
06 September 2010

Drg Theresa memncabut gigi kedua anak saya, Christi dan William, masing-masing dua buah. Gigi ‘asli’ mereka belum copot, sementara yang baru –yang juga ‘asli’-- sudah mulai muncul. Anak-anak saya merasa kesakitan. Mereka kelihatan lebih jelek dari biasanya. Istri saya harus membayar mahal pula. Sakit, jelek dan membayar berpadu sedemikian rupa melengkapi sebuah ‘pengorbanan’.

Mengapa pencabutan ini dilakukan? Yang pasti bukan bertujuan untuk melukai anak. Bukan memberi hukuman dengan membuat mereka kelihatan sedikit lebih jelek. Bukan pula membantu drg Theresa secara finansial (uangnya jauh lebih banyak!). Alasan dan tujuannya jelas: agar gigi mereka tumbuh normal, sehat dan kelihatan bagus.

‘Cabut-mencabut’ ini menyatakan hal-hal yang secara alami harus berlangsung dalam hidup ini yang tidak bisa ditolak jika kita mau hidup ini semakin lebih baik. Selain berkaitan dengan fisik, dalam beberapa hal ‘cabut-mencabut’ ini juga menggambarkan aneka segi kehidupan lainnya. Ada kalanya kita harus ‘mengorbankan’ sesuatu untuk keadaan yang lebih baik. Bertahan menghindari sedikit rasa sakit, tenaga maupun biaya bisa mengakibatkan penderitaan yang lebih parah dan lebih lama. Itu sebabnya, misalnya, anak sekolah rela berlelah dan orangtua tabah melangkah memperjuangkan anak-anaknya. Itu pula yang terjadi ketika operasi harus terjadi mengatasi suatu penyakit.

Di samping itu, dalam batas-batas tertentu ini juga dapat mengingatkan kita pada pergantian sebuah fungsi, jabatan atau tempat tugas seseorang. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi jika seseorang tidak mau meninggalkan tempat tugasnya padahal sudah ada yang menggantikannya. Perbedaan paling hakiki antara manusia dengan gigi adalah ‘kesadaran’. Jika gigi lama masih bertahan sementara yang baru sudah tumbuh, maka gigi lama harus dicabut. Manusia seharusnya tidak perlu ‘dicabut’ karena ia dapat melangkah –dengan kesadaran—untuk kebaikan dirinya dan kebaikan yang lebih luas.

Alm Eka Darmaputera benar ketika ia berkata, “Lebih baik kehilangan sesuatu daripada kehilangan segala sesuatu”.

Sunday, August 29, 2010

'MESIN' PENGGERAK KEHIDUPAN

REFLEKSI SENIN KE-35
30 Agustus 2010

Bayangkan seorang penguasa yang memiliki hampir segala-galanya. Mempunyai pembantu dalam semua bidang kerja. Apakah para pembantunya bisa membantu dalam segala hal? Pasti tidak! Ambil contoh yang sangat sederhana. Menyikat gigi. Setinggi apa pun jabatan seseorang, sebanyak apa pun pembantunya, tapi untuk yang satu ini: menyikat gigi, tidak bisa diwakilkan. Masakah seorang presiden memerintahkan ajudan atau pembantunya membawa giginya ke kamar mandi untuk disikat? Untuk menggosok gigi palsu saja seorang presiden harus ekstra hati-hati. Bayangkan ada pembantu yang nakal, membawa lari gigi palsu presiden saat hendak mencucinya. Padahal presiden segera akan mengadakan pertemuan resmi dengan kepala Negara tetangga dan gigi palsu dibawa lari oleh pembantu.

Jika bagian-bagian tubuh manusia dapat dengan mudah dipisahkan dengan mur dan baut, memang secara ‘praktis’ ada keuntungannya. Biaya pangkas rambut pria di Singapura minimal Rp. 65.000, sementara di Batam hanya Rp. 15.000. Sekiranya ‘sekrup’ leher dapat dibuka, kepala bisa dititipkan ke Batam agar rambutnya dapat dipotong. Masalahnya, yang punya kepala tidak bisa berbuat apa-apa. Agar kita hidup sebagaimana dirancang Sang Pencipta, maka setiap saat kepala kita harus bersama dengan kita.

Demikian halnya dengan inti kemanusiaan kita. Kita hanya bisa sungguh-sungguh menjadi manusia jika kita hidup sebagaimana dirancang oleh Tuhan. Tetapi, bukankah pikiran dan hati kita sering tidak bersama dengan kita? Bukankah manusia sering menggadaikan bahkan menjual habis harkatnya sebagai manusia menjadi tidak ubahnya seperti binatang –dan binatang buas pula?

Salah satu tolok ukur mengukur kadar kemanusiaan kita adalah jawaban atas pertanyaan ini: “Berapa persenkan hidup kita sehari-hari digerakkan oleh iman kita?” Hidup yang digerakkan oleh iman dan kesetiaan kepada Tuhan akan sangat berbeda dengan hidup yang dikendalikan oleh keinginan kedagingan, emosi negatif, semangat persaingan tidak sehat, kecemburuan, kerakusan dan lain-lain. Yang disedbut terakhir ini kelihatannya lebih mendominasi kehidupan akhir-akhir ini. Kehidupan yang demikian telah merusak persekutuan antar sesama manusia dan merusak alam ciptaan Tuhan.

Saatnya kita kembali kepada inti kemanusiaan kita dan lebih digerakkan oleh iman kepada Tuhan.

ABSEN

REFLEKSI SENIN KE-34
23 Agustus 2010
Mohon maaf karena tidak bisa terbit
karena transisi perjalanan Indo-Australia

Sunday, August 15, 2010

BEBAS DALAM TANGGUNG JAWAB

REFLEKSI SENIN KE-33
16 Agustus 2010


The happiness that appears in your mind for the good
that you have done, is itself a big reward.
(K. Sri Dhammananda)

Ada yang mengusik kehidupan di suatu sudut kota Medan siang itu. Sengatan terik matahari menusuk seolah tak berbelas kasihan. Deru kendaraan bermotor dan alat-alat konstruksi mengusir keheningan. Debu jalan berpadu dengan aroma tak sedap selokan air tak terurus amat menyesakkan pernafasan. Di tengah keadaan tak menyenangkan itu khayalak ramai membutuhkan kesejukan dan ketenangan. Sedihnya, keadaan kian runyam tatkala sebuah sepeda motor melintas kencang dengan suara knalpot menggelegar, mendera indera pendengaran dan mencederai perasaan.

Reaksi orang-orang yang menyaksikannya beragam. Ada yang geleng kepala. Ada yang mengangkat bahu. Yang lain mengutuki tak dapat menahan rasa jengkel. Ada pula yang kehilangan kata. Yang jelas, tidak ada yang menikmatinya.

Kejadian serupa bukan sesuatu yang asing di kota-kota Indonesia bahkan di berbagai kota dunia. Mungkin saja para pengemudi itu memiliki SIM dan STNK. Mungkin tak ada diktum hukum eksplisit yang dapat menjeratnya. Mereka bebas mengenderai kendaraannya. Masalah muncul ketika dalam kebebasannya pengemudi mengabaikan tanggung jawab menjaga kebaikan orang lain. Mungkin ada kenikmatan dan kepuasan tersendiri bagi para pengemudi kendaraan knalpot menggelegar. Suatu kenikmatan dan kepuasan dengan bayaran derita orang lain.

Amat kontras dengan kehidupan para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Ketika para penjajah memperlakukan anak-anak bangsa bagai ‘mesin produksi’ di negeri sendiri, mereka memiliki ‘pilihan bebas’: diam, masuk barisan penjajah, mencari wilayah jajahan, atau memperjuangkan kemerdekaan. Pilihan mereka jelas dan tegas: merdeka! Mereka pun merelakan kesenangan dan kenyamanan pribadi demi kebaikan bagi banyak orang.

‘Pengendara-pengendara kekerasan’ atau penjajahan dalam berbagai bentuknya masih mengitari kehidupan ini. Prinsip dan praktek hidup ‘bebas dari tanggung jawab’ hanya akan memperparah masalah. Hidup yang ‘bebas dalam tanggung jawab’ akan mengalirkan keindahan, kejernihan dan kebaikan. Para pahlawan kemerdekaan RI sudah membuktikannya. Dan kita membutuhkan lebih banyak lagi pahlawan.

Selamat Ulang Tahun RI tercinta.



Sumber: INDOCONNEX edisi Agustus 2010
Publisher: Wanhope Vista Media, Singapore
Penulis: Victor Tinambunan

Monday, August 9, 2010

P E R A H U

REFLEKSI SENIN KE-32
09 Agustus 2010

Jika seseorang sedang menyeberangi sungai dan sebuah perahu tanpa penumpang bertabrakan dengan perahunya, walaupun dia seorang pemberang ulung, ia tidak akan marah. Tetapi jika ia melihat ada orang di dalam perahu itu, ia akan berteriak agar ia menjaga jarak. Jika ia tidak didengarkan, ia akan kembali berteriak dengan keras. Jika teriakan ini juga tidak didengarkan, ia akan mulai memaki-maki. Ia bertindak demikian hanya karena ada orang di dalam perahu itu. Seandainya perahu itu kosong, ia tidak akan berteriak dan marah.

Jika Anda dapat mengosongkan sampan Anda sendiri dalam mengarungi sungai dunia ini, tidak akan ada yang menentang Anda, tidak akan ada orang yang mau menyakiti Anda.

Sunday, August 1, 2010

MENGALAMI KEKINIAN

REFLEKSI SENIN KE-31
02 Agustus 2010

Di meja sebelah –di rumah makan itu-- terdengar seorang ibu berkata, “Mereka membeli ikan lele ini cuma Rp. 15.000 per kilogram (delapan ekor satu kilogram), kita bayar Rp. 8.000 ekor. Pemilik rumah makan ini mendapat untung Rp. 65.000”. Bisa saja ibu ini lupa menikmati enaknya lele bakar karena pikirannya melayang ke uang. (Ia juga lupa bahwa pemilik rumah makan harus membayar minyak, listrik, bumbu, gaji karyawan dan harus membelanjai keluarganya dari dagangannya).

Ada contoh lain yang berhubungan dengan makan. Sekelompok sahabat sedang makan malam bersama. Menu yang tersaji ayam goreng klasan. Selagi menyantap makanan percakapan masih berhubungan dengan ayam klasan, tapi melayang ke tempat dan waktu yang sudah lalu. Ada yang bercerita tentang pengalaman makan ayam klasan yang paling enak di kota anu. Ada pula yang bercerita tentang kekecewaannya memesan ayam klasan di suatu rumah makan dengan bayaran mahal tapi tidak enak. Demikianlah percakapan berlangsung dan hanya mengunyah dan menelan makanan secara ‘mekanistis’ –tanpa benar-benar ‘mengalami’ makan.

Ada kalanya (bahkan mungkin saja sering) kita tidak benar-benar 'mengalami' hari ini karena pikiran kita berada di tempat dan waktu yang lain. Tempat yang paling umum pikiran kita ‘berkelana’ adalah masa lalu, masa depan dan angan-angan. Karena perkelanaan seperti itulah mengapa ada orang yang duduk beribadah di gereja pikirannya melayang terus ke bisnis, sahabat-sahabat, musuh-musuh, atau enaknya meneguk kopi hangat. Itu pula yang terjadi kepada para mahasiswa yang duduk tenang dan tatapan ke depan (tapi dengan tatapan kosong) di ruang kuliah tetapi pikirannya 98 persen tertuju pada gadis atau pria idamannya. (Ada juga memang yang duduk bersama dengan orang yang dicintainya tetapi pikirannya berkelana ke perkuliahan atau pekerjaannya. Kata-katanya pun terkadang tidak ‘nyambung’).

Orang-orang seperti itu gagal menangkap misteri dan makna kekinian. Gagal ‘mengalami’ hari ini, dengan segala keindahan dan tantangannya. Bukan berarti kita tidak boleh mengingat masa lalu, memikirkan masa depan dan berimajinasi. Semuanya sah sejauh tidak merampas kekinian. Untuk segala sesuatu ada waktunya, kata Pengkotbah. Maka, keseimbangan hidup itu perlu, dengan lima “si” : meditasi (kehidupan doa), kreasi, aksi, rekreasi, dan reflkesi.

Sunday, July 25, 2010

TEST TINGKAT KESADARAN

REFLEKSI SENIN KE-30
26 Juli 2010

Hidup yang tidak disadari tidak layak dijalani
(Socrates)
**********
Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku
dan kenallah pikiran-pikiranku.
(Mzm. 139:23)


Sebuah mobil membutuhkan pedal gas untuk bisa maju dan pedal rem untuk tidak melaju. Ia juga membutuhkan kemudi untuk memandu arah. Tetapi, yang paling penting pengemudi harus mengetahui jalan yang harus ditempuh dan sadar betul kapan menekan pedal gas dan kapan menekan pedal rem.

Dengan segala keterbatasannya, ini dapat menggambarkan perjalanan kehidupan manusia. Tidak ada keraguan akan pentingnya mengenal dan memahami ‘tingkat kesadaran’ diri sendiri. Wyne Dyer mengelompokkan tiga tingkat kesadaran mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi yakni: tingkat kesadaran ego, kesadaran kelompok dan kesadaran mistis. Pengelompokan ini tetap digunakan disini dengan menyertakan refleksi terhadap setiap tingkat kesadaran tersebut.

1. Tingkat Kesadaran Ego

Dalam kesadaran ego, penekanan seseorang adalah pada kepribadian dan tubuhnya. Orang yang berada dalam tingkat kesadaran ini banyak menghabiskan waktunya untuk mengukur kesuksesannya berdasarkan perbandingan dengan orang lain. Kalau ia memiliki lebih banyak daripada orang lain, ia merasa lebih enak tentang diri sendiri. Ia sangat peduli dengan piagam penghargaan dan gengsi. Untuk ini ia bersaing dan selalu membandingkan. Ia berusaha memberi kesan kepada orang lain. Tetapi, justru di sinilah masalah muncul. Di sinilah kedamaian batin tidak mungkin terjadi, sebab ia harus selalu berjuang untuk berada di posisi lain, ia selalu berlari lebih kencang untuk selalu ‘lebih’ dari orang lain.

Perasaan putus asa, marah benci, pahit, tertekan dan depresi berakar dari kecemasan ego dan sikap berkeras mencapai target yang ia tetapkan sendiri. Ego akan jarang membiarkannya beristirahat dan terus menuntut karena takut disaingi dan takut disebut tidak sukses.

Di samping itu, ia sangat peka dan amat cepat bereaksi terhadap pendapat orang lain. Jika orang lain memujinya (meskipun niat mereka hanya untuk menjilat dan memanfaatkan), ia merasa lebih enak. Ia pun mengobral pujian kepada orang lain, yang sebenarnya hanya mencerminkan keinginannya untuk dipuji dan disanjung. Sebaliknya, kalau ada yang mengkritiknya, ia merasa sakit hati yang sering disertai dengan pembelaan diri sambil balik menyerang.

Bagaimana kehidupannya bergereja? Secara ‘formal’ bisa saja tidak ada masalah. Artinya, ia selalu hadir pada kebaktian Minggu, menghadiri Persekutuan Pemahaman Alkitab (PA), memberi persembahan secara rutin, menyumbang ke gereja dan sebagainya. Hanya saja, semua ini menjadi sebuah alat untuk memenuhi keinginan sang ego.

Itu sebabnya ketika menghadapi suatu penderitaan seperti penyakit misalnya, ia bertanya setengah protes kepada Tuhan dan orang lain, “mengapa saya menderita seperti ini, padahal saya sudah membangun gereja dan rajin dalam semua kegiatan gereja?”

Di samping itu, ibadah biasanya dibelokkan sedemikian rupa untuk memenuhi selera dan keinginan. Mereka mengukur ibadah dengan istilah ‘enak’ atau ‘tidak enak’, ‘semarak’ atau ‘dingin dan sepi’. Jadinya, ibadah tidak ubahnya seperti shopping: memilih sesuai dengan selera. Betapa sedihnya! Sumbangan mereka kepada gereja bisa saja banyak. Untuk memenuhi selera, mereka menyumbangkan perangkat musik band. Mereka bisa mendapat ‘keuntungan’ dalam bentuk yang lain dari situ seperti: (1) Merasa enak karena menganggap sudah ‘menolong’ Tuhan, (2) Merasa enak mendengar musik band, (3) Lebih enak perasaan karena ia diketahui orang lain menyumbang ke gereja dan sekaligus mempunyai “SIM” untuk mengkritik orang yang pelit.

Doa-doanya biasanya menyamarkan inti kehidupan bergereja dan sikap hidup kristiani. Doa menjadi pameran kemampuan merangkai kata-kata; doa menjadi tumpukan proposal untuk disahkan oleh Tuhan; doa menjadi alat penymuman keberhasilan diri sekaligus mengkritik orang lain, doa menggantikan kepedulian dan pertolongan nyata. Yang lebih menyesatkan lagi, ada pula yang berdoa agar menang dalam berjudi atau lotere dan akan membaginya 50% kepada Tuhan yang akan disalurkan melalui gereja.

Di dalam doa tertentu kita memang menggunakan kata-kata dan sebaiknya kita ungkapkan dengan baik. Bermohon kepada Tuhan melalui doa adalah bagian dari doa. Mendoakan orang lain juga tugas orang Kristen. Bedanya, doa-doa yang muncul dari ‘tingkat kesadaran ego’ hanyalah memperalat Tuhan dan orang lain untuk kepuasan diri sendiri.

‘Penampilan’ di gereja, mulai dari tempat berkoor (di tempat duduk atau ke depan), isi warta jemaat (apakah mewartakan pelayanan atau si pelayan sendiri), cara memegang uang persembahan ketika memasukkannya ke kantong persembahan (warna uangnya kelihatan atau digenggam rapat) sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat kesadaran. Ketika tingkat kesadaran ego yang mendominasi, semua penampilan akhirnya mengarahkan perhatian kepada yang tampil itu sendiri.

Orang dalam tingkat kesadaran ini termasuk orang bermasalah dan juga menimbulkan masalah, yang membutuhkan jamahan Tuhan.

2. Tingkat Kesadaran Kelompok

Ini ada kemiripan dengan kesadaran ego. Bedanya, ego perorangan ditekan dan masuk dalam ego kelompok. Keanggotaan seseorang didasarkan pada keluarga, warisan, latar belakang rasial, suku, agama, bahasa, pertalian politik dan seterusnya. Di sini orang-orang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya, berjuang sesuai dengan harapan kelompoknya bahkan ada yang sampai ikut berperang.

Kesadaran ego bisa lebih ‘nyaman’ dalam kesadaran kelompok. Sebab, kesalahan kelompok bukan kesalahan saya dan kesalahan saya adalah kesalahan kelompok.

Dalam konteks yang lebih sempit kita bisa lihat dalam kehidupan orang-orang Batak yang masih terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok kecil. Bahkan, yang satu marga pun masih memiliki kelompok yang berbeda bahkan bermusuhan hingga generasi yang ke-17.

Ciri yang amat kentara dalam kesadaran ini adalah ‘fanatisme sempit’. Artinya, kelompokku paling benar, kelompok lain lebih rendah; kelompok lain sedapat-dapatnya dimanfaatkan untuk kepentingan kelompokku. Kita bisa melihat tewasnya ribuan orang pada persitiwa hancurnya gedung kembar WTC, 11 September dan invasi Amerika ke Irak dalam konteks ini. Sekelompok orang membenci sekelompok orang Amerika, yang korban adalah orang-orang yang kebetulan berada di gedung WTC yang belum tentu satu pun dikenal oleh pelaku penyerangan itu. Sebagian orang Amerika membenci kelompok tertentu di Irak, yang korban adalah juga orang-orang yang tidak bersalah.

Jangankan marga, masyarakat, atau negara, gereja-gerejapun masih banyak yang bercokol dalam tingkat kesadaran ini. Sangat menyedihkan memang. Banyak perselisihan yang terjadi di tengah dan di antara gereja-gereja hanya karena ego kelompok. Dalam hal ini gereja-gereja selalu membutuhkan pengampunan.

3. Tingkat Kesadaran Mistis

Kata mistis perlu diperjelas lebih awal, karena sering kata ‘mistik’ digunakan berkaitan dengan perdukunan dan guna-guna. Kata mistis disini menunjukkan keterhubungan dengan Tuhan, dengan setiap dan semua orang, dan dengan setiap makhluk. Kesadaran mistis tidak melenyapkan sepenuhnya kesadaran ego dan kesadaran kelompok, tetapi memberinya tempat yang wajar. Perasaan senang dan perasaan bangga yang terkandung dalam ego dalam batas-batas tertentu sah-sah saja sejauh ia tidak tergelincir pada pengutamaan kesenangan diri sendiri dan kesombongan. Kelompok juga dibutuhkan, bukan sebagai tembok tetapi sebagai pintu menuju persahabatan sejati dengan semua orang.

Merasa terhubung berarti Anda benar-benar merasa bahwa kita semua satu, dan bahwa kekerasan yang ditujukan kepada orang lain sebenarnya adalah kekerasan yang ditujukan kepada diri kita sendiri. Di sini, kerjasama menggantikan persaingan, kebencian dimusnahkan oleh kasih, dan kesedihan dihapus dengan sukacita. Pada tingkat ini Anda adalah anggota ras manusia, bukan kelompok yang lebih kecil. Karenanya, penganut agama Islam seharusnya merasa sedih tatkala orang-orang di WTC itu dibom. Orang-orang Kristen menolak invasi Amerika ke Irak yang memakan begitu banyak korban. Mengapa? Kita melihat manusia bukan berdasarkan agamanya, melainkan kemanusiaannya sebagai yang berharga bagi Tuhan.

Dalam tingkat kesadaran ini, Anda tidak akan menjadi apa yang Anda miliki, apa yang Anda capai, atau yang orang lain pikir tentang Anda. Di sini, doa-doa kita lebih merupakan pengakuan, penyerahan diri dengan mengatakaan “bukan kehendakku, tetapi kehendakMulah yang jadi”. Ibadah bukan lagi menyangkut apakah berkenan di hati saya tetapi apakah berkenan kepada Tuhan; bukan apakah itu menyenangkan hati saya, melainkan apakah itu menyukakan hati Tuhan. Kehidupan bergereja kita, pertolongan kita kepada yang lain, persahabatan kita adalah wujud kasih kita kepada Tuhan, sesama manusia, diri kita sendiri dan seluruh ciptaan Tuhan. Kebahagiaan sejati hanya ada disitu. Para rahib sering disebut sebagai mistikus karena mereka tidak melekat pada milik, pencapaian dan pendapat orang terhadap mereka.

Mungkin Anda bertanya, “Jika demikian, bukankah hidup ini jadinya monoton dan membosankan?” Untuk menjawabnya adalah sebuah pertanyaan juga, yaitu, “Anda membandingkan dengan apa? Bukankah pertanyaan itu lahir dari tingkat kesadaran ego?”

Dari miliaran orang Kristen di bumi ini, berapa orang yang memiliki tingkat kesadaran mistis? Tidak ada yang tahu. Lagi pula, dalam hitungan hari seseorang bisa saja berpindah dari tingkat kesadaran yang satu ke yang lain. Yang jelas, Anda dan saya dapat ‘mendaftarkan’ diri dan masuk dalam tingkat kesadaran ini. Syaratnya sangat sederhana: hanya kesediaan kita. Allah senantiasa bersedia menyambut kita bersatu dengan-Nya dan di dalam Dia kita bersatu dengan semua orang, tanpa meniadakan persekutuan kita sebagai jemaat. Firman Tuhan dalam Lukas 2:14 ini pun akan terwujud dalam kehidupan kita: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi….”

Selamat memasuki ‘tingkatan’ baru: ‘tingkat kesadaran mistis’.

Sumber:
Victor Tinambunan, Apa Yang Kamu Cari?
Pematangsiantar: L-SAPA, 2008

Wednesday, July 21, 2010

ANAK: TITIPAN SANG PENCIPTA

Refleksi Senin Ke-29
19 Juli 2010

Ketika berusia lima tahun, anak saya, William, ingin menjadi sapi. Dia pun bertanya, “Apakah bapak tetap menyayangiku kalau aku menjadi sapi?” Tanpa berpikir panjang saya menjawab, “Tidak!” “Tapi aku ‘kan’ tetap anak bapak? Bapak tidak adil!”, protesnya sambil menangis.

Sampai hari ini, pertanyaan itu terus mengunjungi benak saya. Memang, menjadi manusia atau menjadi sapi bukan sebuah pilihan melainkan ketetapan Sang Pencipta. Akan tetapi, keinginan dan pertanyaan itu berkembang. Pertama, bagaimana jika William bermental sapi? Ia hanya merumput dan tidur.Tidak belajar, tidak mengikuti perkembangan iptek, tidak menggunakan internet, tidak masuk dalam persekutuan sosial dan agama. Apakah saya tetap menyayanginya? Kini pertanyaan William mendorong saya di satu segi berusaha sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya agar kelak dia terhindar dari pola hidup sapi. Di segi lain, saya perlu terus menerus melatih diri untuk menerima dan mengasihinya sebagai anak meskipun terkadang hidupnya tidak sepenuhnya berpadanan dengan keinginan saya.

Kedua, keinginan William menjadi ‘sapi’, mengingatkan saya menghindari diri dari keinginan menjadikannya menjadi ‘sapi’: sekadar untuk menghasilkan susu dan daging. Mengharapkannya untuk memenuhi kepentingan dan selera saya. Kata-kata penulis James Dobson berikut amat mencerahkan nurani, “while the baby is on the way, we profess only to want a child who is normal. But from birth on, we want a super-kid! We want for him either the life we didn’t have or a replay of the life we did have. Somehow, their grades, their friends, their style are never good enough. We focus on what they need to improve, seldom on what they have achieved.”

Saya masih terus dalam proses belajar bagaimana mendampingi dan mendidik William. Hanya saja, tugas saya semakin jelas: membuatnya bahagia tanpa memanjakan dan memaksa. Dengan begitu saya dapat memiliki rasa takjub dan syukur kepada Sang Pencipta yang menitipkannya. Dan saya bahagia William menjadi dirinya sendiri seturut rancangan Sang Khalik.

Sumber: Indoconnex Edisi Juli 2010
Penulis: Victor Tinambunan

Sunday, July 11, 2010

GAGAL KAYA BERHASIL BAHAGIA

REFLEKSI SENIN KE-28
12 JULI 2010

Kebahagiaan membuat orang miskin merasa kaya,
dan ketidakbahagiaan membuat orang kaya merasa miskin.
(Benjamin Franklin)

**********
Allah tidak menghendaki kita semuanya untuk
menjadi kaya atau berkuasa atau ternama,
Tetapi Ia menghendaki kita semuanya bersahabat.
(Ralph Waldo Emerson)


Judul di atas berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Gede Prama, “berhasil kaya gagal bahagia” dalam bukunya: Jalan-jalan Penuh Keindahan: Dari Kejernihan untuk Kepemimpinan Kehidupan. “Gagal kaya berhasil bahagia” mau menegaskan bahwa gagal menjadi kaya tidak mesti menjadi gagal bahagia, malahan keadaan itu dapat menjadi sarana untuk tetap berbahagia.

1. Mencermati ‘Posisi’ Kita

Ada yang mengelompokkan manusia menurut keberadaan ekonominya berkaitan dengan soal ‘makan’ sebagai berikut:

Kelompok 1 : Besok apa makan?

Mereka ini adalah yang ragu apakah akan mendapat makanan untuk besok, karena mereka tidak mempunyai persediaan makanan. Mereka miskin secara materi.

Kelompok 2 : Besok makan apa?

Makanan untuk besok sudah ada. Tinggal memilih, apakah ayam goreng, capcai goreng, sangsang B2 atau B1 (cincang daging babi dan anjing). Tetapi, makannya tetap di rumah, yang dimasak oleh si ibu atau mbak Iyem. Mereka ini bisa dikatakan berkecukupan.

Kelompok 3 : Besok makan di mana?

Pilihan untuk kelompok ini makin terbuka seiring dengan keadaan keuangan yang lebih memadai. Mereka tinggal pilih: makan di restoran mewah di pinggir pantai atau di hotel berbintang. Jika perlu, sarapan di Singapura makan siang di Hongkong makan malam di Tokyo. Credit Card selalu terselip di dompet. Barangkali mereka dapat disebut “kaya”.

Kelompok 4 : Besok makan siapa?

Mereka adalah pemilik modal dan perusahaan raksasa yang tidak berperikemanusiaan yang bisa dengan gampang membuat perusahaan lain gulung tikar. Mereka ini mungkin dapat disebut “kaya raya”.

Barangkali pengelompokan ini terlalu sederhana dan tidak dapat mencerminkan kenyataan yang dialami setiap orang. Namun pengelompokan ini sedikitnya dapat menolong kita memahami keadaan kaya dan miskin secara ekonomi tanpa mendefinisikan kemiskinan dan kekayaan.

Pengelompokan di atas tidak bisa menjadi pengelompokan tingkat kebahagiaan. Tidak menjadi jaminan bahwa kelompok “besok makan dimana” lebih bahagia dibandingkan dengan kelompok “besok apa makan”. Di samping itu kelompok “besok makan siapa” pastilah bukan orang-orang yang berbahagia secara kristiani.

2. Pesan Alkitabiah

Alkitab tidak memberi definisi “kaya” dan “miskin”, tetapi di dalam Alkitab kita dapat menemukan beberapa contoh orang miskin dan kaya. Contoh itupun sebenarnya tidak dapat disejajarkan dengan kenyataan sekarang. Misalnya, kalau dulu seseorang disebut kaya karena ia punya kereta kuda, sekarang ia mungkin masuk dalam kategori miskin jika dibandingkan dengan orang yang memiliki pesawat jet pribadi. Tetapi yang jelas, orang-orang miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan kebutuhan sehari-hari, baik karena kesalahan mereka sendiri (misalnya karena malas) maupun karena diperlakukan orang lain secara tidak adil (tidak mendapat upah yang pantas, diperbudak, dirampas, dan sebagainya).

Yang mengejutkan bagi saya ialah, bahwa Alkitab tidak mengidealkan kekayaan atau kemiskinan. Mari kita simak sebuah doa berikut:

Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa Tuhan itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku. (Ams. 30:8b-9).

Berdasarkan ayat Alkitab ini, sedikitnya ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian kita: (1) Yang terpenting adalah menerima dan menikmati apa yang diperuntukkan oleh Tuhan. Hal ini mengingatkan kita kepada suatu yang lebih ideal, yakni “kecukupan”. Yesus sendiri mengajar kita berdoa “Berikanlah kepada kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. (2) Kekayaan bisa menjadi ilah, membuat orang tidak peduli pada Allah dan menjadi sombong. Ada yang mengibaratkan harta dunia ini seperti meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Rasul Paulus menasihatkan, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan….karena akar segala kejahatan ialah cinta uang (1Tim. 6:8-10). Memang kita membutuhkan uang, tetapi kita tidak boleh “cinta uang” –yang adalah akar segala kejahatan. (3) Kemiskinan juga bisa menjadi godaan bagi seseorang untuk mencuri, khususnya kemiskinan yang dikarenakan oleh kemalasan.

Apakah menjadi kaya boleh menurut kekristenan? Jawabannya tergantung sedikitnya pada tiga hal. Pertama, apakah itu panggilan Tuhan untuk seseorang. Saya percaya, Tuhan tidak menghendaki semua orang menjadi kaya. Saya tidak bisa bayangkan kalau masing-masing semua yang 6 miliar penduduk dunia sekarang punya pesawat jet pribadi, mobil pribadi, rumah pribadi dan ‘kepribadian’ yang lain. Tetapi, Tuhan menghendaki semua manusia hidup berkecukupan. Kedua, bagaimana kekayaan itu diperoleh. Ketiga, bagaimana kekayaan itu digunakan. Jika jawaban ketiganya berdasarkan kehendak Tuhan, maka kekayaan seperti itu adalah “berkat Tuhan” dan si kaya juga dapat “menjadi berkat” bagi sesama. Inilah orang kaya yang berbahagia. Orang kaya seperti itu pasti terhindar dari apa yang disebut dalam bahasa Batak: Mardasar mardosor tutungon porapora. Na sala i gabe sintong molo hata ni na mora. (Yang salah menjadi benar kalau yang mengatakannya orang kaya). Gereja juga hendaknya tidak akan pernah terinfeksi oleh virus seperti itu.

Apakah miskin itu dosa? Tunggu dulu! Seperti disebut di atas, kalau kemiskinan itu terjadi karena kemalasan, itu adalah dosa dan akan melahirkan dosa-dosa baru: mencuri, dengki, iri, bersungut-sungut bahkan membunuh. Tetapi, ada yang disebut dengan “kemiskinan sukarela” seperti mereka-mereka yang hidup di biara dan mereka yang mengabdikan diri untuk pelayanan sesama. Ada juga orang yang meskipun secara ekonomi mampu membeli lebih banyak, tetapi mereka memilih untuk hidup sederhana. Dengan demikian mereka bisa menolong orang miskin.

3. Yang Miskin Yang Berbahagia

Terry Hampton dan Ronnie Harper benar ketika mereka mengatakan:

"Kadang-kadang hal-hal yang kita pikirkan, mungkin termasuk impian-impian kita, sesungguhnya sekadar rasa iri kita terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Beberapa hal yang kelihatannya memikat kita hanyalah karena hal tersebut milik orang lain dan kita tidak mampu memilikinya….Orang sering kali membuat diri mereka sendiri tidak bahagia dengan melihat milik orang lain, padahal kebahagiaan itu harus dimulai dengan berpuas dan bersyukur untuk segala sesuatu yang kita miliki saat ini."

Tuhan Yesus mengajarkan “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5:3). Apa yang dikatakan oleh Yesus sulit diterima oleh pikiran manusia, apalagi di tengah zaman ini yang ditandai dengan pengejaran kesenangan dan kenikmatan belaka dengan berbagai cara. Kita perlu memahami pengajaran Yesus ini sebaik-baiknya.

Miskin di hadapan Allah adalah menyangkut kesederhanaan hidup dengan membiarkan diri kehilangan berbagai hal yang kelihatan perlu seperti gengsi, prestasi dan lain-lain. Ini adalah menyangkut sikap hidup yang tidak menggantungkan diri pada apa dan siapapun kecuali kepada Allah. Orang yang berbahagia dalam konteks ini adalah yang tidak menumpuk harta karena kuatir akan masa depan.

Apa yang dikatakan Yesus sama sekali bukan orang yang tidak mendapat makan, tidak punya pakaian atau kebutuhan pokok lainnya yang berbahagia. Orang yang berbahagia seperti ini adalah kita yang menerima Tuhan dan segala kehendak-Nya terjadi dalam hidup kita serta dengan sukacita mewujudkan kehendak Tuhan dalam hidup kita yang di antaranya menolong orang-orang miskin.

Untuk mengakhirinya, cerita berikut amat baik menjadi renungan bagi orang kaya dan yang ingin kaya:

Aku punya kenalan.
Hidup ekonominya semakin kuat.
Menu makanan tinggal pilih.
Rumah dan perabotnya besar dan lengkap.
Lapangan dan bidang bisnisnya semakin luas.
Pegawainya juga tambah banyak.
Tersedia kendaraan sesuai bidang kebutuhan.
Rekening uang di bank bertambah.
Bersamaan dengan itu pengaruhnya meningkat.
Tetangganya bertambah hormat dan taat.
Orang semakin yakin Tuhan memberkatinya.
Pikiran dan perasaan kenalanku lain.
Sekarang yang dituntut dariku bertambah, keluhnya.
Aku harus hati-hati memilih makanan.
Aku perlu menghindari lemak dan gula.
Aku harus membuat pagar kuat demi keamanan.
Aku khawatir para pegawaiku mogok kena hasut.
Aku perlu garasi besar dan perawat kendaraan.
Aku perlu cepat tanggap bila bank kalah kliring.
Aku harus mempertahankan nama baik perusahaanku.
Aku khawatir orang datang minta sumbangan.
Aku semakin takut situasi akan berubah.

Kalau begitu,
Serahkan semuanya pada saudaramu
Biar engkau bebas dari beban, kataku menasihati.
Tak mungkin, keluhnya.
Roda sudah terlanjur berputar.

Sumber:
Victor Tinambunan, Apa Yang Kamu Cari?,
Pematangsiantar, L-SAPA, 2008.

Sunday, July 4, 2010

PENJARA MEMORI

REFLEKSI SENIN KE-27
05 Juli 2010

Seorang bekas tahanan di kamp konsentrasi Nazi mengunjungi seorang kawan yang juga mengalami malapetaka itu bersamanya.
“Apakah engkau sudah melupakan orang-orang Nazi?” tanya kawannya.

“Ya, sudah.”
“Saya belum. Saya masih dikuasai rasa benci terhadap mereka.”
“Kalau begitu,” kata kawan itu dengan tenang, “mereka masih memenjara dirimu.”
…..(musuh kita bukanlah mereka yang membenci kita tetapi mereka yang kita benci)…
(Anthony de Mello)


Tidak ada orang berpikiran normal ingin meringkuk di penjara. Bukan saja karena label ‘sampah masyarakat’ yang kerap ditempelkan ke identitas mereka tetapi juga karena berbagai kekangan. Itu sebabnya penghuni penjara selalu dengan segala usaha untuk keluar, melalui usaha halal bahkan penyogokan hingga melarikan diri.

Berbeda dengan pemenjaraan pikiran. Sebenarnya, manusia sepenuhnya punya pilihan untuk terpenjara atau bebas. Tetapi sadar atau tidak seringkali manusia lebih memilih terpenjara oleh olahan memorinya sendiri. Sebutlah sebuah pengalaman peristiwa pahit atau kata-kata orang lain yang menggores hati. Tidak sedikit orang yang begitu kuat dipengaruhi oleh pengalaman pahit di masa lalu dalam berpikir, bersikap dan bertindak hari ini. Bukan saja mempengaruhi sikap kepada pelakunya sendiri, tetapi –sedihnya—juga terhadap orang-orang yang berhubungan dengan pelakunya, bahkan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan si pelaku. Bukankah rasa gundah kita karena perlakuan orang lain mempengaruhi raut wajah kita yang pada gilirannya mempengaruhi interaksi kita dengan orang lain?

Di samping itu, ada pula pemenjaraan oleh pinjaman memori orang lain. Ketika tim Belanda bemain sepak bola beberapa waktu lalu, muncul berbagai komentar bernada tidak mendukung tim Belanda karena melabeli mereka sebagai ‘penjajah’. Padahal, yang mengalami langsung penjajahan Belanda di Indonesia sudah hampir tidak ada lagi. Para pemain sebak bola Belanda pasti tidak ikut menjajah Indonesia. Ketidaksenangan kepada tim Belanda merupakan buah dari pemenjaraan pinjaman memori --suatu penghalang menikmati pertandingan sepak bola.

Yang lebih memprihatinkan adalah pemenjaraan oleh suntikan fitnahan orang lain. Si A tidak suka si B. Kemudian A menyebarkan fitnahan tentang B kepada C. Sebenarnya C tidak ada masalah apa-apa dengan B. Tetapi, celakanya, C percaya pada A dan merelakan diri terpenjara oleh pikirannya hingga menutup pintu hatinya ke B.

Apa pun penyebab dan bentuknya, setiap pemenjaraan menghalangi pertumbuhan emosional dan spiritual seseorang. Pemenjaraan pikiran menghalangi kita bergerak mewujudkan keberadaan kita, membelokkan arah perjalanan hidup kita, meredupkan rasa takjub kita, hingga melumpuhkan kehidupan itu sendiri. Kata-kata “rasa benci kita kepada musuh lebih melukai kebahagiaan kita ketimbang mereka” mengandung kebenaran yang tidak membutuhkan perdebatan.

Monday, June 28, 2010

PENCERAHAN DAN KESEGARAN DARI LIBURAN

REFLEKSI SENIN KE-26
28 JUNI 2010

Menurut James W. More tiga pembunuh terbesar saat ini adalah: jam, kalender dan telepon. Salah satu antidotenya adalah liburan –yang menyegarkan dan mencerahkan, bukan jadi beban pikiran.

Tidak jarang orang mempersiapkan liburan berbulan-bulan, tetapi saat liburan ia hanya sibuk mengambil foto-foto untuk ditunjukkan kepada orang lain. Ia gagal menangkap misteri dan inspirasi dari tempat dan peristiwa yang dialami. Agar liburan sungguh-sungguh bermanfaat, beberapa hal perlu dipertimbangkan.

Bagaimanakah kita menetapkan tujuan? penetapan tujuan. Proses penetapan tempat liburan tidak selalu berjalan mulus. Kadang, liburan keluarga bisa diawali dengan perang mulut karena perbedaan selera masing-masing anggotanya. Selaraskan dulu inti tujuan berlibur, yaitu “apa yang diharapkan terjadi dalam hidup ini melalui liburan”.

Sudahkah kita melepas beban yang tidak perlu? Ada orang yang pada saat ia bekerja selalu membayangkan betapa menyenangkan liburan, tetapi saat liburan pikirannya justru digempur oleh beban pekerjaan. Khusus liburan ke luar negeri beban kian sarat oleh kalkulator saat belanja. Belum lagi perasaan sial dan kecewa berat jika yang dibeli justru produk negeri sendiri. Ini bisa dihindari dengan fokus pada ‘perayaan’ liburan itu sendiri tanpa dikendalikan oleh kalkulator, handphone, laptop, dan kamera.

Liburan merupakan peluang emas untuk mengamati diri sendiri dari kejauhan. Seseorang dapat melihat bagaimana hidup keseharian dijalani. Bagaimana aksi dan reaksi berlangsung. Bagaimana keputusan diambil. Bagaimana hubungan dibangun. Dengan begitu, seseorang dapat mengetahui mana yang perlu dikembangkan, mana yang harus ditanggalkan dan ditinggalkan. Pencerahan baru akan terjadi saat liburan.

Akhirnya, apakah liburan kita bersahabat dengan alam? Kita perlu mempertimbangkan carbon footprint (total karbon dioksida (CO2) dan gas-gas rumah kaca lainnya yang dihasilkan oleh suatu produk atau jasa) aktivitas dan gaya hidup kita. Pesawat yang kita tumpangi, barang-barang yang kita beli semuanya punya carbon footprint. Bumi sedang menderita demam. Liburan kita hendaknya tidak memperparah masalah.



Sumber: INDOCONNEX edisi Juni 2010
Publisher: Wanhope Vista Media, Singapore
www.indoconnex.com
Penulis: Victor Tinambunan

Sunday, June 20, 2010

MENGASAH KECERDASAN INTERAKSI

REFLEKSI SENIN KE-25
21 JUNI 2010

Pelangi

Perpaduan aneka warna yang menyajikan keindahan. Tugas kitalah merajut perbedaan di antara kita untuk saling membangun dan saling meneguhkan.

Pohon gugur daun

Mengingatkan kita pada dua hal. Pertama, terkadang kita mengalami kehilangan yang bisa saja menyakitkan. Tetapi, kita membutuhkannya untuk suatu kehidupan yang baru. Kedua, banyak pohon yang terbunuh setiap hari karena kerakusan manusia yang mengakibatkan aneka bencana. Kita bertanggungjawab memelihara alam ciptaan Tuhan.

Jalan

Hidup ini adalah perjalanan. Jalan tersedia meskipun tidak selalu lurus dan mulus. Dalam perjalanan hidup ini, kita tidak saja menikmati ‘tujuan’ tetapi juga perjalanan itu sendiri dengan berbagai tantangan dan keindahannya.

Pelangi, pohon gugur daun, dan jalan mencerminkan isi buku:
MENGASAH KECERDASAN INTERAKSI
oleh
Victor Tinambunan
Yang baru saja terbit
(Juni 2010)

Pemesanan 10 ex atau lebih, silahkan email ke Logisto Ritonga logian_stick@yahoo.com atau ke Ibu Warni warni.pangaribuan@gmail.com


ShoutMix chat widget