Tuesday, April 22, 2008

BERSAHABAT DENGAN POHON







Mzm 150:6 berkata, "Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan". Pengetahuan saya tentang biologi memang sangat terbatas. Tetapi guru biologi saya dulu memberitahu bahwa pohon juga 'bernafas'.
Bersama dengan berbagai kalangan yang peduli pada alam semesta ini, saya juga memberi sedikit kontribusi khususnya dalam penanaman dan pemeliharaan pohon. Sejak tahun 1986 saya sudah menanam lebih dari 3000 pohon (pinus, mahoni dan jati). Sampai sekarang hampir semuanya masih ada di Desa Siringoringo, kecamatan Parlilitan (Sumatera Utara) dan di Pematangsiantar. (Beberapa di antaranya seperti terlihat dalam foto-foto ini).



Mari Saudara yang kekasih, kita menghormati Allah melalui tanggung jawab kita merawat alam ciptaanNya ini antara lain dengan: menanam pohon (jika tidak memungkinkan paling tidak jangan merusak pohon), menggunakan segala sesuatu sesuai kebutuhan, mengindari diri dari racun konsumerisme.

Salam sejahatera.

Thursday, April 17, 2008

HUBUNGAN EMOSI DENGAN KESEHATAN




90% penyakit yang biasa diderita oleh orang pada zaman sekarang ini,
ada kaitannya dengan gangguan emosional.
(Sejumlah dokter terkemuka)

Dalam pola hidup yang diwarnai oleh keadaan terburu-buru,
saat-saat menunggu menjadi sangat menyebalkan.
Tetapi dalam pola hidup sederhana, kita dapat melakukan sesuatu yang bermakna
pada masa menunggu lima atau tiga puluh menit.
(Jose Hobday)

Kesibukan, kebisingan, kemacetan, kepengapan dan sebagainya merupakan pemandangan dan pengalaman keseharian penduduk kota-kota dunia. Kenyataan kehidupan demikian, jika tidak dihadapi dengan iman dan emosi positif akan amat mudah menghanyutkan seseorang ke dalam depresi, kecemasan dan persoalan kehidupan lainnya. Namun, di balik kenyataan itu, saya percaya bahwa Tuhan tetap bekerja dan karena itu setiap pelayan dan orang percaya punya alasan yang lebih kuat untuk melakukan pelayanan dalam suasana sukacita sorgawi, hikmat dan kekuatan yang dari pada-Nya.

ADA APA DENGAN EMOSI?

Dalam percakapan keseharian kata ’emosi’ sering diidentikkan dengan ’marah’. Ungkapan seperti ’dia langsung emosi’ untuk mengatakan ’dia langsung marah’. Sebenarnya ’emosi’ tidak sama dengan ’marah’.

Sampai sekarang ada puluhan definisi ‘emosi’. Tetapi secara sederhana dapat disebut bahwa emosi merupakan reaksi menyeluruh terhadap orang, peristiwa atau kenyataan kehidupan baik yang menggembirakan atau menyenangkan maupun yang menyakitkan, yang menjengkelkan dan sebagainya. Ed Hindson secara sederhana merumuskannya sebagai berikut:

Emosi adalah berbagai perasaan yang ’menyulut’ reaksi kita terhadap tantangan-tantangan kehidupan. Emosi dapat membuat kita menggapai puncak kegembiraan atau menenggelamkan kita ke dalam keputusasaan yang mendalam. Kadang-kadang emosi kita melukai kita sendiri dan kadang-kadang bisa juga mengejutkan kita secara positif.

Emosi-emosi yang menyenangkan atau yang sering juga disebut emosi positif seperti gembira, penuh harapan, damai, kasih sayang, dan lain sebagainya tidak terlalu banyak memberikan rangsangan dan juga tidak terlalu sedikit, sehingga dapat menjaga keseimbangan yang membuat organ-organ tubuh berfungsi dengan baik. Sedangkan emosi-emosi yang tidak menyenangkan atau juga disebut emosi negatif seperti marah, cemas, gelisah, sedih, takut, benci, dendam, putus asa, dan lain sebagainya, memberikan rangsangan yang berlebihan pada berbagai organ tubuh, sehingga organ-organ tubuh tidak dapat berfungsi secara normal, daya tahan tubuh terhadap infeksi diperlemah, dan timbullah berbagai macam penyakit.

Florence Wedge dengan tepat mengatakan bahwa emosi yang tidak menyenangkan dapat menyebabkan banyak penyakit fisik yang kelihatannya benar-benar disebabkan oleh penyakit organik, seperti gangguan pada lambung, hati, usus, jantung, kulit dan otot. Emosi tersebut juga dapat menyebabkan rasa nyeri pada tulang, persendian, dan kepala. Maka tidak mengherankan, masih menurut Wedge, kalau sejumlah dokter terkemuka menyatakan bahwa 90% penyakit yang biasa diderita oleh orang pada zaman sekarang ini, ada kaitannya dengan gangguan emosional. Hal ini dapat dimengerti karena emosi yang kuat lebih melelahkan organisme tubuh daripada pekerjaan berat dari otot atau otak. Maka orang yang secara emosional stabil, tidak akan membiarkan masalah sepele menjadi besar.

Benar bahwa tidak ada alur tunggal yang selalu dimulai dari ’emosi negatif’ ke ’penyakit’. Ada kalanya penderitaan karena suatu penyakit (yang bukan akibat emosi negatif) menimbulkan emosi negatif bagi seseorang. Hal ini nampak dari banyak yang menderita sakit yang mudah tersinggung, gampang marah, sedih, putus asa dan sebagainya. Namun, karena keterbatasan ruang, tulisan ini dimaksudkan untuk menawarkan pentingnya memelihara dan mengembangkan emosi positif yang sekaligus menghalau kegalauan dan menghindari penyakit atau penderitaan yang bukan merupakan salib.

Perlu ditekankan bahwa emosi positif dan emosi negatif adalah merupakan pilihan kita. Artinya, kita sendiri yang memutuskan apakah kita mau memiliki emosi positif atau negatif, bukan orang lain. Kata-kata Wayne Dyer berikut ini dapat menjelaskannya dengan baik:

Saat seseorang memeras Anda, dengan cara tertentu menekan Anda, atau mengatakan sesuatu yang merendahkan atau mengkritik; dan dari dalam diri Anda keluar kemarahan, kebencian, kepahitan, ketegangan, depresi, atau kekhawatiran, itu karena inilah yang ada di dalam. Ironinya adalah bahwa Anda tidak dapat memberikan yang tidak Anda miliki karena Anda selalu memberikan apa yang Anda miliki.

Sehubungan dengan itu, berikut ini dapat disebut dua emosi positif (sukacita dan penuh harapan) untuk mengalahkan emosi negatif (depresi dan kecemasan).

SUKACITA MENGUSIR DEPRESI

Depresi merupakan salah satu dari berbagai jenis gangguan mood (suasana perasaan) yang mengakibatkan penderitaan dan disfungsi dalam menjalani kehidupan, menjalankan aktivitas sehari-hari, peran dalam keluarga dan masyarakat, hingga menurunkan derajat kesehatan fisik penderita.

Pada umumnya gejala utama depresi nampak dalam afek yang depresif, kehilangan minat/ kegembiraan dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas. Di samping itu, penderita depresi biasanya mengalami beberapa atau semua hal berikut:
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri (baik yang bersifat ’kredit’ dengan merokok, mengkonsumsi alkohol dan narkoba, maupun yang ’dibayar kontan dengan bunuh diri).
- Nafsu makan berkurang

Menurut Dharmayati Utoyo Lubis, penyebab depresi sedikitnya ada tiga. Pertama, faktor psikologis. Untuk para remaja hal ini disebabkan oleh perpisahan dan penolakan. Sedangkan untuk dewasa lebih banyak karena urusan pekerjaan dan tanggungan hidup. Kedua, faktor biologis atau faktor keturunan. Ketiga, ketidakseimbangan kimiawi dalam otak. (Dalam otak terdapat banyak sekali zat-zat kimiawi yang mempengaruhi emosi).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa depresi yang serta merta diikuti dengan perasaan putus asa, marah, benci, pahit, tertekan (kumpulan emosi negatif) berakar dari kecemasan ego dan sikap berkeras untuk mencapai standar eksternal. ”Ego akan jarang membiarkan Anda beristirahat, dan terus menuntut lebih karena takut Anda disebut gagal”

Sedihnya, orang yang ditimpa depresi tidak saja merusak dirinya tetapi biasanya merusak kehidupan orang lain juga, mulai dari sikap ketidakpeduliannya, kesinisannya, kemarahannya hingga kekerasan yang mungkin dilakukannya.

Biasanya, therapy untuk mereka yang dihinggapi depresi adalah: (1) Farmakoterapi, yakni pemberian obat-obatan yang di antaranya memulihkan ketidakseimbangan kimiawi penyebab depresi. (2) Psikoterapi, dengan berbagai jenisnya seperti: Cognitive Behavior Therapy, logotherapy, supportive psychoterapy; (3) Psikososial: informasi, edukasi keluarga, familytherapy, social support group; (4) Electro Convulsive Therapy (ECT).

Semua therapy di atas dilakukan oleh psikiater atau psikolog klinis dan yang berkompeten untuk itu. Bagi orang Kristen, therapy ini dapat diterima secara teologis. Perlu dihindari perasaan negatif seolah-olah hanya orang gila yang perlu ke psikiater, yang kelihatannya masih agak mengental dalam benak banyak orang sekarang ini. Hanya saja perlu dikenali psikiater dan psikolog dengan berbagai ’aliran’ sesuai dengan kebutuhan penderita. Misalnya, ada psikiater yang hanya mengandalkan obat penenang tanpa sungguh-sungguh mengenali permasalahan atau pergumulan si penderita. Ada pula yang menekankan pentingnya ’percakapan’ yang dilengkapi dengan obat-obatan dan sebagainya.

Dalam waktu yang sama, penderita depresi sebaiknya meminta pertolongan pelayan Tuhan yang diperlengkapi secara khusus untuk melakukan pendampingan pastoral. Berbagai kasus yang ditemukan, ada juga depresi yang diakibatkan oleh keterikatan pada okultisme (kuasa kegelapan) baik yang aktif (melakukan perdukunan untuk kekebalan, pelaris dagangan, supaya disegani untuk naik jabatan dan sebagainya) maupun yang ’pasif’ (misalnya, sewaktu kecil dibawa orangtuanya berobat kepada dukun). Untuk kasus-kasus seperti ini harus dilakukan pelepasan dari kuasa kegelapan.

Di samping pengobatan medis dan pelayanan pastoral, penderita depresi atau untuk menghindari depresi seseorang perlu melakukan meditasi secara teratur. Mengenai hal ini akan diuraikan secara singkat di bagian akhir tulisan ini.

PENGHARAPAN MENGUSIR KECEMASAN

Cemas adalah perasaan khawatir atau takut yang dirasakan terhadap sesuatu atau keadaan yang tidak jelas objeknya. Cemas sering disertai oleh tanda-tanda fisik akibat hiperaktivitas sistem saraf otonom, seperti: berkeringat dingin, ketegangan otot, jantung berdebar-debar, nafas pendek, mudah terkejut dan lain -lain.

Tanda-tanda gangguan cemas secara psikis antara lain adalah fobia (rasa takut berlebihan), panik, kekhawatiran terhadap berbagai hal, takut mati, merasa menderita sesuatu penyakit. Sedangkan tanda-tanda secara fisik antara lain adalah: gemetar, keringat dingin, nyeri dada, jantung berdebar-debar, gangguan pencernaan, pusing kepala dan sebagainya.

Kecemasan mempunyai potensi untuk mendominasi kehidupan. Alkitab berkata, “Kekhawatiran dalam hati membungkukkan orang” (Amsal 12:25). Mengapa orang yang cemas selalu letih? Energi untuk bekerja dan menikmati hidup terbuang percuma oleh rasa cemas. Terus menerus mempedulikan pelbagai masalah emosional yang tidak akan berakhir melemahkan tubuh. Pada waktu menanggapi kekhawatiran, tubuh bekerja keras –otot-otot menegang, denyut jantung bertambah cepat, dan perut sesak. Dalam kondisi sistem tubuh bekerja keras, efisiensi kerja otak berkurang dan pikiran yang menakutkan mengganggu konsentrasi.

Kecemasan tidak menguntungkan pula bagi penampilan lahiriah kita. Kerisauan mempercepat proses ketuaan, menggoreskan jejaknya di wajah. Di bawah beban tuntutan kecemasan, sifat-sifat kita pun terpengaruh. Kejengkelan dan ketegangan meliputi suasana, menyentuh siapa pun yang berhubungan dengan kita.

Teraphy untuk masalah kecemasan ini hendaknya juga mengikuti teraphy sebagaimana disebutkan dalam masalah depresi di atas. Hanya saja, perlu mendapat perhatian kita secara serius bahwa Tuhan sama sekali tidak menghendaki kita untuk hidup cemas. Yesus memperingatkan kita agar kehidupan kita jangan sampai dikuasai oleh rasa cemas: Jangan cemas akan hidupmu...dan jangan cemas akan tubuhmu...jangan cemas akan hari esok...” (bnd. Mat. 6:25).

Hal yang sama juga ditekankan oleh Rasul Paulus yang menegaskan, ”Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Fil. 4:), atau seperti yang ditegaskan dalam Amsal Salomo, ”hati yang gembira adalah obat”.

Pengharapan di dalam Tuhan menghalau segala bentuk kecemasan dan kekuatiran. Yang penting adalah keterbukaan kita untuk senantiasa terhubung dengan Sang sumber sukacita kita, yaitu Tuhan sendiri. Ia telah memberi undangan istimewa kepada kita, ”Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu...” (Yoh 15:4). Hanya dengan demikianlah hidup ini tetap berada dalam sukacita dan sekaligus dapat mewujudkan keberadaannya sesuai dengan tugas panggilan kita masing-masing.

SIKAP RAMAH TERHADAP DIRI SENDIRI

Ada kesan bahwa pada umumnya budaya dan ajaran kekristenan lebih banyak menekankan keramahan kepada orang lain. Hal ini terdengar dari nasihat orangtua, khotbah di gereja, tulisan-tulisan kristiani dan sebagainya. Jarang sekali kita dengar nasihat untuk bersikap ramah terhadap diri sendiri.

Ramah terhadap diri sendiri bukanlah ungkapan ’cinta diri’, tetapi bagian dari ’mengasihi diri’. Bagi orang Kristen, ’mengasihi diri’ bukanlah sesuatu yang salah. Yang salah adalah self-pity (rasa kasihan terhadap diri sendiri), selfishness (pementingan diri sendiri). Allah sendiri mengasihi kita, karenanya kita harus mengasihi apa yang Tuhan kasihi.

Keramahan terhadap diri sendiri mewujud dalam sikap menerima diri dengan segala keberadaannya, mensyukuri apa yang Tuhan anugerahkan, mensyukuri apa yang Tuhan anugerahkan kepada orang lain. Secara negatif dapat dikatakan bahwa keramahan terhadap diri sendiri nampak dengan tidak memaksa diri, tidak cemburu pada keberhasilan orang, tidak memendam dendam dalam hati. Dengan kata lain, keramahan terhadap diri sendiri juga berkaitan dengan menerapkan emosi positif dan menghindari emosi negatif. Hal-hal demikian amat menentukan dalam kesehatan fisik seseorang.

Benar bahwa kesehatan bukanlah segalanya. Rasul Paulus sendiri menderita suatu penyakit yang menurutnya sudah berulangkali dia mohon supaya Tuhan mengambilnya, tetapi ternyata Tuhan berkata lain. Namun, kita tidak perlu menanggung penderitaan atau penyakit yang bukan salib. Itu sebabnya, sebagai orang Kristen kita terpanggil sedapat mungkin merawat kesehatan seirama dengan Tuhan yang merawat dan memelihara tubuh kita juga.

Sehubungan dengan itu, kepanjangan kata SEHAT berikut ini kiranya dapat menolong kita mengingat hal-hal yang perlu kita hidupi:

S = Saat Teduh (Serahkan diri pada Tuhan)
E = Enyahkan asap rokok (aktif atau pasif).
H = Hindari stress.
A = Awasi tekanan darah.
T = Tetap dan teratur berolahraga.

1. Saat Teduh

Saat-saat hening di hadapan Tuhan merupakan kebutuhan kita yang sangat mendasar. Kita ditolong oleh Tuhan melihat kehidupan ini dari sudut Tuhan sendiri. Doa dalam hal ini tidak sekadar daftar permohonan, tetapi benar-benar menyadari dan mengimani kehadiran Tuhan serta penyertaanNya masih sedang berlangsung. Ini juga mengasah kepekaan untuk melihat dengan jernih karya Tuhan melalui orang lain dan kejadian sehari-hari. Kejernihan pikiran, kebeningan hati, dan gerak hidup yang bermakna dapat mengalir dari keheningan perjumpaan dengan Tuhan dalam meditasi.

Kita membutuhkan kedamaian yang murni. Yesus sendiri mengetahui yang terbaik bagi kita sehingga ia menganugerahkan damaiNya kepada kita. Ia menjamin, “damai sejahtera Kutinggalkan bagimu”. (Yoh 14:27). Akan tetapi, pemberian yang berharga itu hanya berlaku ketika kita menyambutnya. Sekali lagi, Dyer mengungkapkannya dengan amat mengesankan:

Perasaan kedamaian batin Anda bergantung pada menghabiskan sejumlah energi hidup Anda dalam keheningan untuk mengisi ulang baterai Anda, menyingkirkan ketegangan dan kekhawatiran, berkenalan kembali dengan sukacita mengenal Tuhan, dan merasa lebih dekat dengan semua manusia.

2. Enyahkan Asap Rokok (aktif atau pasif)

Rokok merupakan salah satu pembunuh terbesar di dunia. Memang, dari segi ekonomi industri rokok merupakan salah satu penyangga pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Indonesia, misalnya, mendapat devisa sekitar 10 triliun dari industri dan perdagangan rokok setiap tahun. Rokok adalah devisa bagi pemerintah tetapi menyisakan penyakit berbisa bagi masyarkat.

Mengapa justru di negara miskin seperti Indonesia jumlah perokok jauh lebih banyak dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika dan Singapura? Untuk menjawab pertanyaan ini masih dibutuhkan pengkajian lebih lanjut. Tetapi barangkali ada baiknya negara kita mempertimbangakn kebijakan Singapore yang mencantumkan foto-foto penyakit ‘menyeramkan’ akibat rokok pada kemasan rokok sebagai wahana memberi pemahaman yang lebih konkret kepada para perokok. Sebab, alangkah bijaksananya kalau uang yang Tuhan anugerahkan itu kita gunakan untuk hal-hal yang menopang kehidupan bukan untuk ’membeli penyakit bahkan kematian’.

3. Hindari Stress

Mengapa orang stress? Jawabannya bisa beragam. Saya dibesarkan di lingkungan pedesaan yang secara ekonomi sangat miskin. Saya mengamati para pekerja keras dengan makanan seadanya seperti ikan asin bakar, nasi dan sayur daun singkong. Tetapi mereka dapat dengan mudah tidur terlelap di bawah pohon tanpa kasur dan bantal empuk. Sekarang ini saya tahu tidak sedikit orang kota yang menu makanannya amat beragam yang dihidangkan di meja makan yang mahal serta memiliki tempat tidur spring bed berharga puluhan juta, tetapi sangat sulit tidur (kecuali kalau duduk dalam kebaktian di gereja!). Apa yang terjadi? Banyak orang stress, bukan karena tidak memiliki kecukupan, tetapi terlalu fokus pada apa yang belum dia miliki. Orang terlalu perduli dengan sukses ukuran dunia, haus akan harta dan tahta. Akibatnya, ’persaingan’ digunakan sebagai kendaraan meraih sukses tanpa menyadari bahwa dengan kendaraan seperti itu amat rawan akan kecelakaan atau sedikitnya ketegangan atau stress.

Rasul Paulus sudah mengingatkan agar orang percaya tidak memikirkan hal-hal yang di luar kemampuannya. Bahkan, Yesus sendiri dengan amat jelas dan tegas menekankan pentingnya ’rasa cukup’ sebagaimana tercermin dalam ’Doa Bapa Kami’ dan dalam amanatnya untuk tidak kuatir. Ketika seseorang sungguh-sungguh menerima diri sendiri sebagai yang berharga di hadapan Tuhan, menerima keberadaan yang tidak dapat diubah, mematahkan mata rantai beban masa lalunya, maka ia akan sungguh-sungguh merdeka. Hidup tanpa beban yang tidak perlu! Ini dapat terwujud ketika seseoang lebih banyak memikirkan apa yang Tuhan sudah perbuat bukan pada apa yang belum dimiliki.

Pernyataan di atas sama sekali tidak berarti mengharamkan kekayaan atau jabatan. Kekayaan dan jabatan sah-sah saja sejauh datangnya dan penggunaannya selalu terhubung dengan Tuhan. Dengan demikian seseorang akan terhindar dari apa yang Gede Prama prihatinkan, ”berhasil kaya gagal bahagia” yang menghinggapi banyak manusia pada zaman ini.

4. Awasi Tekanan Darah

Untuk menjaga kesehatan dan kebugaran kita perlu melakukan medical check up secara teratur. Hal ini sekaligus mengingatkan perlunya menerapkan ’pola makan’ sehat dengan mengkonsumsi cukup kalori, sayur, buah-buahan dan air murni dan sedapat mungkin menghindari makanan dan minuman instan yang menggunakan zat pengawet dan pewarna. Kebiasaan pola makan khas Batak yang melahap sangsang B1dan B2 –cincang daging babi dan anjing-- (dan di berbagai tempat kucing, tikus dan ular juga sudah menjadi korban!) tanpa diimbangi dengan sayur dan buah-buahan tidaklah pro-kesehatan.

5. Tetap dan Teratur Berolahraga.

Untuk melakukannya, kita tidak harus masuk ke club mewah seperti yang tersedia di kota-kota. Tuhan menyediakan alam yang segar (yang perlu tetap dipelihara) di mana kita dapat berjalan kaki setengah jam setiap hari (jangan hanya 20 menit, karena itu hanya akan menambah selera makan dan pengantar tidur!). Olahraga juga tidak bisa ’dirappel’ berjalan kaki satu hari sekaligus dalam satu bulan. Bagi para petani dan pekerja fisik sehari-hari, olahraga sudah termasuk di dalamnya (saran dokter juga dibutuhkan olahraga mana yang tepat bagi seseorang). Yang jelas, aktivitas di sekitar rumah seperti memelihara tanaman di pekarangan, merapikan rumah juga termasuk olah raga yang sah lagi murah meriah. Ia berfungsi ganda: olah raga dan wahana untuk ramah terhadap diri sendiri.

Selamat menikmati hidup bahagia, bugar dan bermakna di dalam Tuhan!

Friday, April 11, 2008

MENGENALI DAN MENGATASI KEKERASAN

PRAWACANA

Kekerasan sudah setua manusia. Kini kekerasan juga hadir di mana-mana: di tengah masyarakat luas, di kantor-kantor, di lingkungan industri, di tengah-tengah keluarga, di jalan, dan ironisnya juga terkadang (bahkan mungkin biasanya) terdapat di lingkungan agama dan kebudayaan. Bentuknya pun amat beragam, mulai dari yang sangat halus, tidak kasat mata hingga yang terang-terangan di depan mata. Ia dilakukan oleh yang berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi, orang miskin atau kaya, orang kota atau orang desa, orang beragama aktif atau ‘beragama KTP’ (sekadar tertulis dalam Kartu Tanda Penduduk).

Menyikapi kenyataan kekerasan yang kian mencengkream, tidak sedikit diskusi, seminar, lokakarya, persidangan yang dilakukan serta doa syafaat yang dipanjatkan dari tingkat lokal hingga mondial demi kehidupan dunia yang damai dan layak dihuni. Tidak terhingga pula dana yang habis untuk keperluan berbagai forum dimaksud untuk fotokopi materi dan konsumsi peserta (yang dalam arti tertentu merupakan kekerasan juga). Namun, kekerasan tidak kunjung teratasi. Malahan bagi banyak orang kepekaan pun hampir lenyap. Banyak orang yang tidak merasa ngeri lagi mendengar adanya ratusan korban pemboman atau kecelakaan. Ternyata, kekerasan menciptakan semacam ‘pembiasaan’ atau ‘pembiusan’. Tidak sedikit pula yang lalu begitu pesimis dan sinis menyikapi realitas.

Menyadari kenyataan demikian, sebetulnya cukup beralasan jika ada keengganan membahas tema di atas. Namun, umat percaya tetap berpengharapan dan terpanggil untuk berbuat sesuatu. Dewan Gereja-gereja Sedunia (DGD), misalnya, dalam Sidang Raya ke-8 di Harare (1998) melihat bahwa abad ke-20 yang sudah dilalui merupakan abad yang paling penuh kekerasan dalam sejarah dunia. (Indonesia, dalam hal ini rezim Soeharto, disebut-sebut sebagai rezim peringkat satu dunia di bidang tindak kekerasan atau rezim yang paling kejam pada abad ke-20).

Belajar dari abad yang penuh kekerasan itu dan demi kehidupan dunia yang lebih damai, dalam Sidang Raya tersebut, DGD menetapkan dasawarsa ini sebagai Decade to Overcome Violence (Dasawarsa untuk Mengatasi Kekerasan: Gereja-gereja Mencari Rekonsiliasi dan Damai)
Sebagai warga bangsa Indonesia, di satu segi dapat berbesar hati dengan dicanangkannya tahun 2003 oleh Presiden Megawati sebagai tahun perdamaian dan tanpa kekerasan. Akan tetapi di segi lain, dalam waktu yang sama terjadi kekerasan ekonomi melalui kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL) dan tarif telepon dan kekerasan demi kekerasan masih terjadi dalam berbagai segi kehidupoan hingga saat ini.

Mencermati semua itu, sebenarnya apa yang disajikan berikut ini amat jauh dari standar penulisan ilmiah. Ia dengan sengaja disajikan tanpa mengandalkan catatan kaki, melainkan lebih mengungkapkan catatan hati –hati yang merindukan kehidupan tanpa kekerasan.

AKAR KEKERASAN

Kekerasan berakar pada keberdosaan manusia. Keberdosaan ini pada gilirannya begitu akrab dengan egoisme (pementingan diri sendiri) dan/ atau sikap penolakan diri (benci diri). Egoisme dan penolakan diri manusia sangat tipis jaraknya dengan aneka kejahatan dan kekerasan. Sebab, egoisme biasanya menyatu sedemikian rupa dengan iri hati, kedengkian, rasa takut berlebihan, kekuatiran dan dendam yang berujung pada kekerasan (lihat Yak 4:2)

Demikian halnya dengan sikap benci diri dapat berujung pada kekerasan, baik terhadap diri sendri maupun terhadap orang lain. Secara negatif dapat dikatakan bahwa kekerasan adalah anak kandung ketidakbahagiaan. Sebaliknya, bahagia dengan diri sendiri merupakan obat manjur melawan iri hati, dengki dan kekerasan.

Dalam kaitan itu, Thomas Hobbes (abad ke-17) tidak keliru mengungkap kenyataan zamannya dimana yang terjadi ialah homo homini lupus (manusia merupakan serigala bagi sesamanya), karena manusia memiliki sifat-sifat competitio (berlomba mengatasi orang lain atas rasa takut), defentia (mempertahankan diri) dan gloria (keinginan untuk dihotmati dan dipuji).

MENGENALI KEKERASAN

Kekerasan mencakup kekerasan fisik dan non-fisik dalam berpikir, berucap, bersikap dan bertindak -- mulai dari yang paling halus, tidak kasat mata hingga yang terang-terangan. (1) Kekerasan berpikir antara lain: menghendaki (malah mendoakan) malapetaka bagi orang lain, merancang kekerasan bagi orang lain. (2) Kekerasan berucap dan bersikap yang juga berkaitan dengan kekerasan non-fisik antara lain: kata-kata atau gerak-gerik yang melecehkan, menggoda (secara seksual), menghina, mengancam, menakut-nakuti, memaksakan pendapat yang melukai perasaan orang lain. (3) Kekerasan dalam bertindak, terutama berkaitan dengan kekerasan fisik baik secara langsung maupun tidak langsung. Langsung, misalnya: pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, penculikan, pemukulan, penyiksaan dsb.); dan tidak langsung misalnya, perusakan dan pencemaran alam, penciptaan struktur ekonomi dan sistem politik yang tidak adil. Kekerasan fisik dan non-fisik ini terjadi hampir di semua bidang kehidupan, antara lain:

1. Kekerasan Individual

Kekerasan individual dapat terjadi terhadap diri sendiri, orang (-orang) lain, dan alam. Khusus yang disebut pertama, (kekerasan terhadap diri sendiri), misalnya melalui upaya memaksa diri untuk mencapai ‘ideal diri’ menurut ‘gambar’ diri sendiri atau ‘gambar’ orang lain, demi ‘sukses’ menurut ukuran dunia. Di samping itu, kekerasan terhadap diri sendiri terjadi ketika seseorang merusak diri sendiri dengan mengkonsumsi narkoba, minuman keras berlebihan, menyiksa diri dan sebagainya. Semuanya ini merupakan ‘angsuran kematian’ atau ‘bunuh diri kredit’.
Lebih keras dari itu adalah ‘bunuh diri’ secara langsung. Kemajuan zaman dan tingkat perolehan materi yang semakin banyak ternyata tidak menjamin kebahagiaan banyak orang. Hal ini terbukti dari tingkat bunuh diri yang cukup tinggi di negara maju, seperti di Jepang dan negara maju lainnya.

Kekerasan individual terhadap orang lain merupakan peristiwa keseharian dalam kuantitas dan kualitas yang kian meningkat, seperti:

- Pembunuhan (di Indonesia sebagai peringkat atas),
- Pemerkosaan (menempati peringkat kedua, yang terjadi sekali dalam 6 jam
- Maraknya ‘Pedagang kematian’ (meminjam istilah Paus Paulus II) yang menjajakan narkotika dan obat-obat terlarang yang menghancurkan banyak orang dan meningkatnya kekerasan di tengah masyarakat.
- Peredaran atau penjualan produk makanan yang mengandung zat berbahaya atau makanan kadaluarsa yang mencelakakan kesehatan konsumen.
- Pembuangan limbah rumah tangga atau perorangan yang mengganggu khalayak
- Merokok di rumah dan tempat-tempat umum: kantor, ruang pertemuan (bahkan di gereja) di bus dan sebagainya, yang merusak kenyamanan dan kesehatan orang lain.
- Menunda bahkan mengabaikan pengobatan orang sakit hanya demi uang. (Jadinya, emas gemuk tetapi orangnya kurus dan batuk-batuk).
- Ancaman teror, intimidasi, dan sebagainya.

2. Kekerasan dalam Lingkungan Keluarga

Sadar atau tidak, sebenarnya kekerasan sangat sering terjadi di lingkungan keluarga. Di antaranya banyak yang terungkap, tetapi bisa saja lebih banyak lagi yang tidak tersingkap ke permukaan.

(1) Orangtua terhadap anak, yang terjadi dalam berbagai bentuk, di antaranya:
Kata-kata yang memperlemah semangat (apalagi disertai dengan nada suara dan raut wajah marah), seperti: “Belum pernah ada yang saya tahu anak sejahat engkau di dunia ini”.
· Membentak dan menakut-nakuti anak kecil, mengejek yang melemahkan semangat hidup anak.
· Diskriminasi kesempatan mendapat pendidikan dengan mengesampingkan perempuan hanya karena dia perempuan, yang dianggap akan menjadi ‘milik’ orang lain.
· Pemberian beban kerja berlebihan, yang merupakan tindakan merampas masa depan si anak.
· Pemerkosaan. Tidak sedikit jumlah anak yang diperkosa (terutama) oleh ayah kepada putrinya.
· Pemukulan bahkan penganiayaan atau penyiksaan secara langsung maupun tidak langsung (misalnya, menunda atau malah mengabaikan pengobatan yang layak bagi anak yang sakit).
· Pigmalion: Orangtua berusaha ‘membentuk anak-anak sesuai dengan gambaran dan keinginannya sendiri’.

(2) Hubungan suami-istri. Dalam konteks masyarakat paternalistik, kekerasan sering bersumber dari suami kepada istri, misalnya: suami menuntut istri untuk tunduk kepada suami sebagai kepala keluarga yang menganggap sudah ‘membeli’ istrinya dengan jujuran tinggi; suami memperkosa istri (kedengarannya aneh, tetapi hal ini sering terjadi); suami membiarkan istri bekerja keras sementara ia memboroskan waktu dan uang duduk di warung meneguk alkohol sambil ‘ngobrol’ dan main kartu domino (berjudi). Sebaliknya, kekerasan istri terhadap suami, misalnya: istri memaksa suami bekerja di luar kemampuan hanya demi uang; mendukung suami bertindak tidak adil (korupsi, menindas ‘bawahan’).

Bagi sebagian suami-istri yang tidak dikaruniai anak, mungkin merupakan keadaan yang sangat rawan kekerasan yang bisa saja berujung pada perceraian. Dalam hal ini perlu disadari bahwa sebuah keluarga bukanlah sebuah industri yang tujuan satu-satunya untuk memproduksi anak, kalau tidak ‘berproduksi’ keluarga ‘gulung tikar’. Secara teologis dapat dikatakan berkat Tuhan bisa saja melalui kehadiran atau kelahiran anak dan juga tanpa kelahiran anak dalam sebuah keluarga.

(3) Hubungan anak dengan anak. Terjadinya persaingan tidak sehat, kecemburuan, iri hati di antara sesama anak, yang seringkali diikuti dengan tindak kekerasan. Alkitab bersaksi tentang hal-hal seperti itu. Kain membunuh Habel karena ketidaksenangan dan kecemburuan. Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya karena kecemburuan. Dalam perumpamaan Tuhan Yesus tentang ‘anak yang hilang, kita juga melihat bagaimana anak sulung itu marah terhadap ayahnya atas sambutannya pada adiknya sendiri. Ini hanya sebagian dari contoh yang dapat ditemukan dalam Alkitab.

(4) Anak terhadap orangtua. Anak-anak pun tidak jarang melakukan tindak kekerasan kepada orangtuanya, mulai dari kekerasan psikis hingga kekerasan fisik (bahkan hingga membunuh), baik secara langsung maupun tidak langsung (anak yang sudah dewasa misalnya menelantarkan, tidak mengusahakan pengobatan ketika orangtuanya sakit). Banyak orangtua yang menderita secara fisik dan psikis karena tindakan anak-anaknya yang durhaka.

3. Kekerasan Institusional

Kekerasan institusional merupakan kekerasan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan di tengah masyarakat, baik yang mendapat legitimasi dari institusi terkait maupun karena pelanggaran pribadi yang menjadi bagian dari sebuah institusi. Berikut ini beberapa bidang kehidupan tempat berlangsungnya kekerasan.

(1) Pertahanan keamanan. Sudah sejak lama negara-negara di dunia secara tidak bijaksana menetapkan prioritas kebijakannya dengan pemborosan dana membangun persenjataan pemusnah kehidupan. Belum lama ini Hans Kung menyebutkan bahwa setiap menit dunia memboroskan sekitar 2 juta USD untuk biaya persenjataan tentara di seluruh dunia. Hal ini mengakibatkan berbagai dampak buruk, di anataranya: (i) Terganggunya pengadaan sarana dan pra-sarana yang membangun kehidupan (penyediaan kebutuhan primer, pelayanan pendidikan, kesehatan dan sebagainya). (ii) Mengakibatkan masyarakat dunia hidup dalam ketakutan akan ancaman persenjataan tersebut. Diyakini, jika semua senjata nuklir dan biologi yang ada sekarang dilepas, semuanya cukup menghancurkan kehidupan di bumi ini. (iii) Begitu banyaknya korban perang dan akibat lanjutan sebuah perang.

(2) Ekonomi. Di bidang ekonomi kekerasan mewujud dalam aneka bentuk, baik yang langsung mapun tidak langsung. Ekonomi terutama berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan bahwa pertumbuhan itu justru terjadi melalui pertumpahan keringat bahkan pertumpahan darah.

Masyarakat menghadapi sistem perekonomian dunia yang tidak adil yang diperparah struktur perekonomian domestik yang juga tidak adil, semakin meminggirkan masyarakat lemah. Saat ini diperkirakan sedikitnya 1,2 miliar manusia di dunia ini hidup dalam kemiskinan absolut. Hal ini antara lain mengakibatkan kesenjangan ‘harapan hidup’ antara negara-negara makmur dan negara-negara miskin. Kesenjangan harapan hidup demikian merupakan kekerasan juga.[2]

Di dalam negeri, hal itu diperparah dengan praktek monopoli (pengadaan barang tertentu dikuasai oleh orang tertentu), oligopoli (produsen hanya dikuasai orang tertentu sehingga dapat menentukan harga) dan kartel (organisasi perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi barang sejenis) yang semakin memperbesar perusahaan raksasa dan menghancurkan usaha kecil. Hal ini semakin buruk karena praktek K3N, sehingga meski perekonomian Indonesia melorot, yang melarat adalah rakyat kecil bukan para konglomerat, penguasa dan pengusaha.

Di samping itu, kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat sebagai kompensasi ketidakmauan dan ketidakmampuan memberantas korupsi harus dilihat sebagai tindak kekerasan. Lihat saja, koruptor miliaran bebas berkeliaran sementara pencuri sepeda mini meringkuk di penjara.

Dengan mata telanjang dapat diamati bahwa sekelompok kecil masyarakat menikmati devisa dan yang tersisa adalah penyakit berbisa bagi banyak orang. Sangat ironis memang, bagaimana mungkin Indonesia yang alamnya kaya raya tetapi mayoritas rakyatnya miskin raya. Banyak sekali warga masyarakat kita yang diperlakukan tidak ubahnya seperti sepasang mur dan baut dalam mesin produksi, yang hanya memiliki tanggung jawab tanpa menerima haknya secara adil.

Yang lebih memprihatinkan ialah kerusakan alam yang amat parah saat ini sebagai konsekuensi logis dari ekonomi tanpa pertimbangan ekologi. Perlu dicatat bahwa dunia kehilangan hutan tropis setiap tahunnya seluas wilayah Korea. Indonesia sendiri mengalami kerusakan hutan seluas hampir 2 juta hektare setiap tahun. Karena kekerasan manusia, satu spesies punah setiap hari, yang tetap tersisa ialah sikap kebinatangan manusia yang kian menjadi-jadi. Hutan rimba hampir habis ditebas, seang yang tersisa ialah hukum rimba yang kian merajalela.
Kekerasan terhadap alam atau penghancuran hutan dan makhluk lain pada gilirannya merupakan kekerasan terhadap manusia juga:

- Polusi udara merusak saluran pernafasan manusia. Di samping itu, hasil penelitian telah membuktikan bahwa polusi udara juga merontokkan tingkat kecerdasan manusia, khususnya anak-anak. Kita perlu menghindari hadirnya generasi yang bodoh dan loyo.
- Limbah berbahaya (terutama merkuri atau logam berat) dari industri atau tambang yang dialirkan ke laut di mana ikan tanpa sadar memakannya, dan manusia tanpa sadar pula mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi zat beracun.
- Polusi suara dan kenaikan temperatur sangat mempengaruhi emosi manusia dan memicu tindak kekerasan.

(3) Politik. Kekerasan dalam bidang politik terjadi ketika penguasa menindas warga negara, melalui berbagai pembatasan dan pembatalan hak, penangkapan yang sewenang-wenang, penculikan, bahkan pembunuhan lawan-lawan politik.
Juga merupakan kekerasan kalau rakyat tidak terwakili dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Era reformasi ini sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan, meskipun hingga hari ini belum pernah ada perwakilan rakyat yang sebenarnya. Yang ada masih sebatas perwakilan partai. Hanya keberuntungan saja memiliki beberapa orang anggota dewan yang sungguh-sungguh memihak dan memperjuangkan rakyat.

(4) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang sudah membawa begitu banyak berkat. Akan tetapi ia juga memiliki sisi negatif, dimana manusia terkadang diperlakukan sebagai objek atau ‘kelinci percobaan’. Sungguh memprihatinkan teknologi sudah memangsa tuannya sendiri. Selain itu, teknologi tidak mampu memulihkan kerusakan dan penderitaan yang ditimbulkannya.

(5) Perhubungan. Kekerasan terjadi melalui pengoperasian armada transportasi darat, laut dan udara yang jelas-jelas tidak layak jalan atau tindakan sengaja menampung penumpang melebihi kapasitas armada angkutan demi meraup keuntungan sehingga mencelakakan banyak orang.
Juga, tindakan sengaja membiarkan bagian ruas jalan yang berlobang atau membiarkan trotoar menganga yang bisa menjebak dan mencelakakan pengguna jalan.

(6) Media komunikasi. Kekerasan terjadi misalnya melalui siaran televisi yang mengeksploitasi khalayak melalui tayangan film kekerasan dan iklan yang menyesatkan. Bagi dunia pers, kekerasan malah dapat merupakan ‘mesin penghasil uang’ atas pemberitaannya tentang peristiwa kekerasan. Kekerasan yang menggemparkan dunia, meningkatkan minat masyarakat berpaling kepada media massa. Semakin media massa diminati, semakin terbuka peluang meraup untung melalui iklan-iklan. Banyak ahli yang berkesimpulan bahwa tayangan film-film yang berbau kekerasan memicu tindak kekerasan bagi pemirsa yang antara lain dalam bentuk (a) Peniruan langsung seperti yang terjadi di TV (b) Memacu tindak kekerasan yang sebenarnya masih bisa dicegah (c) Menghilangkan kepekaan terhadap tindak kekerasan. Artinya, orang tidak merasa terganggu menyaksikan aneka kekerasan yang terjadi.

(7) Pendidikan. Secara struktural, institusi pendidikan –ironisnya- ternyata tidak terbebas dari tindak kekerasan dalam berbagai modusnya. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan, meski akhir-akhir ini sudah menunjukkan perbaikan, masih tergolong dianaktirikan dalam APBN (mungkin juga dalam APBD). Sudah sejak lama tingkat kesejahteraan guru sangat memprihatinkan yang memaksa para guru untuk mencari nafkah tambahan yang pasti menyita perhatiannya meningkatkan kualitas pendidikan.

Kondisi demikian dikeruhkan melalui hubungan-hubungan dalam dunia pendidikan yang sering diwarnai oleh kekerasan, mulai dari kekerasan psikologis hingga kekerasan fisik baik dari pendidik kepada peserta didik dan sebaliknya dari peserta didik dan anggota keluarganya terhadap pendidik. Beberapa kasus yang terungkap menunjukkan berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada peserta didik, baik kekerasan psikis maupun fisik. Sebaliknya, tidak sedikit pula guru yang mendapat perlakuan kekerasan mulai dari ancaman hingga siksaan dari peserta didik atau angota keluarga siswa.

Di samping itu dapat dicatat beberapa bentuk kekerasan dalam lingkungan institusi pendidikan, a.l.:
- Guru atau dosen yang mengacungkan pena yang disertai ancaman kepada peserta didik, ‘hidup-matimu berada di ujung pena saya’. Kita pun mendengar berbagai kasus di mana nilai akademis mahasiswa harus dikompensasi dengan uang, ‘kerja paksa’ bahkan hubungan seksual.
- Guru atau dosen yang terlalu banyak jam mengajar (bentuk kekerasan terhadap diri sendiri dan keluarga, yang bisa saja berlanjut pada kekerasan terhadap peserta didik).
- Mahasiswa mengontrak mata kuliah terlalu banyak dan di luar kemampuan, dll.

(8) Kebudayaan. Dalam lingkup kebudayaan, sistem paternalistik sangat rawan kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan. Merupakan kekerasan juga jika pernikahan harus dibatalkan hanya karena ketidakmampuan membayar jujuran yang terlalu tinggi, yang mendapat legitimasi dari kebudayaan.

(9) Agama. Yang amat memilukan dan sungguh memalukan ialah kenyataan bahwa lembaga agama dan umat beragama tidak sepenuhnya terbebas dari sikap dan tindak kekerasan. Kekerasan terjadi dari lembaga agama kepada warga, seperti diskriminasi atas dasar gender, kewajiban (atas nama ayat kitab suci) membangun sarana dan prasarana meski di luar kemampuan warga dan sebagainya.

Kekerasan juga mengemuka dalam hubungan antar umat beragama. Bangsa Indonesia telah mengalami sejarah pahit dengan terjadinya berbagai perang (bukan hanya konflik) antar umat beragama di tanah air. Di antaranya ada yang mengabsahkannya melalui penafsiran kitab suci (contoh konkrit lihat topik “Reformasi Kemandirian Gereja” dalam Victor Tinambunan, Menjadi Gereja Pro-Kehidupan). Ironis! Manusia dengan mudah memperkosa ayat-ayat Alkitab untuk mengabsahkan tindakan kekerasan. Karena itu, ini juga merupakan kekerasan dalam hermeneutik (tafsiran) Alkitab.

Selain itu, pertanyaan yang pantas juga diajukan dan direspon ialah, ‘Apa perbedaan mendasar antara Yesus dan Gereja?’ Yesus berpihak pada orang miskin dan tersisih (korban kekerasan), sementara gereja biasanya lebih berpihak pada orang kaya dan berjasa. Secara jujur harus diakui bahwa gereja sering terjatuh pada kenyataan bahwa: uang diperilah dan yang ilahi diuangkan (demikian Sebastian Kappen menggambarkan kehidupan gereja akhir-akhir ini). Padahal Alkitab bersaksi, akar segala kejahatan adalah cinta akan uang.

MENGIKUT YESUS MENGATASI KEKERASAN DENGAN DAMAI

Acuan utama orang Kristen dalam mengatasi kekerasan ialah pengajaran dan kehidupan Yesus. Panggilan gereja tidak hanya sekadar mengatasi kekerasan seperti cara yang dilakukan oleh Yesus, seolah-olah Ia tidak melakukannya lagi sekarang. Akan tetapi, setiap orang mengatasi bersama kekerasan dengan dan seperti cara Yesus yang masih tetap melakukannya sampai hari ini.

1. Mengatasi Kekerasan Struktural

Yesus adalah korban kekerasan. Orang-orang yang dikasihiNya sejak dulu hingga hari ini juga banyak yang menjadi korban kekerasan. Yesus bukan tidak sanggup melenyapkan pelaku kekerasan dengan kekerasan yang lebih dahsyat, tetapi Ia mengatasi kekerasan dengan damai (bnd. Mat 5:44-45).

Yesus mewartakan bahwa kekuasaan Allah akan segera ditegakkan dan Ia mengajak umat untuk bertobat (Mrk 1:15 dst; Luk 10:9, 11). Akan tetapi, kejahatan di dunia ini tidak pertama-tama berakar pada keadaan sosial dan politik, melainkan dalam hati masing-masing orang jahat. Oleh karena itu tegaknya Kerajaan Allah tidak dilandaskan pada perubahan struktur politik dan ekonomi tertentu secara revolusioner. Kerajaan Allah menuntut pertobatan orang-orang jahat. Dengan demikian, struktur politik dan ekonomi akan berubah ke arah yang baik. Yesus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah yang memerdekakan (menentang Romawi) tetapi menolak hukum pembalasan dan kekerasan. Yesus datang mengubah hati keras menjadi hati lembut.

Yesus menekankan hukum kasih bukan sikap keras yang dilandaskan pada rasa benci. Hanya pengalaman kasih Allah yang dapat mengubah hati manusia yang seperti batu, membebaskan manusia dari perhambaan dan membuatnya mampu untuk melepaskan diri dari struktur-struktur yang beku. Dengan demikian Ia mengambil sikap yang tegas melawan pandangan umum yang berlaku pada waktu itu. Inilah unsur yang benar-benar baru dan khas dalam pewartaan Yesus. Hanya hati yang sudah diubah mampu membangun komunitas manusiawi yang baru, mampu melakukan yang baik.

Dalam konteks ini dapat dipahami penegasan Yesus “Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Ucapan bahagia ini merupakan satu kesatuan dengan ucapan ‘berbahagialah’ seperti dalam Matius 5:3-11. Di sini bukan sembilan macam orang yang dimaksudkan, melainkan sembilan segi dari orang yang sama, yang salah satu di antaranya adalah pembawa damai.

Dalam dunia yang dipenuhi oleh perselisihan, anak-anak Allah hendaknya berperan sebagai pelaku-pelaku damai. Pengikut Kristus yang membawa damai, disebut anak-anak Allah. Sebab seorang anak mempunyai kesamaan dengan bapaknya. Allah menghendaki perdamaian dan orang yang berusaha menciptakan perdamaian, memperlihatkan kesamaannya dengan Bapanya di sorga.

Kebahagiaan yang sejati hanya dimungkinkan kalau ada hubungan yang benar dengan Tuhan: Menerima Tuhan dan kedaulatanNya dalam kehidupan; menerima pemberian Tuhan kepada kita dengan rasa syukur; mengimani akan rancangan Allah yang sempurna dalam hidup. Singkatnya, penerimaan Allah dan diri sendiri serta kepasrahan yang aktif kepada penyelenggaraan Allah.

Atas dasar ini, ‘damai’ tidak merupakan syarat kebahagiaan. Artinya, orang akan merasa bahagia karena ada damai. Melainkan, orang-orang yang berbahagia yang dapat mewujudkan damai. Dengan kata-kata lain, yang benar adalah: karena saya orang yang berbahagia (karena Tuhan), maka saya dimungkinkan membawa damai; bukan: saya menjadi berbahagia hanya karena ada damai.

Jelas bahwa ‘kebahagiaan’, damai dan keberadaan sebagai anak-anak Allah adalah anugerah Allah. Tidak satu pun bersumber dari diri sendiri. Damai berasal dari Allah (Rm 15:33, 2 Kor. 13:11; Gal 1:3; Ef 1:2; Why 1:4). Damai disebut juga sebagai pemberian Kristus (Yoh 14:27).

2. Pribadi Pembawa Damai: Mengatasi Egoisme

Menyadari bahwa kekerasan terutama bermula dari kehidupan pribadi yang merambat ke dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan komunitas dunia, maka upaya mengatasi kekerasan pun seharusnya bermula dari kehidupan pribadi.

Orang yang berbahagia karena Tuhan akan secara serta merta dapat menjaga hati (bnd. Ams 3:14), kata-kata dan tindakan yang membangun kehidupan. Orang yang berbahagia mampu mengembangkan ‘bahasa kelembutan dan menanggalkan bahasa iri hati dan bahasa kekerasan. Jadinya, hidup menjadi alat perdamaian.

Tugas panggilan orang percaya tidak saja bersih dari tindak kerasan tetapi juga terpanggil menjadi pembawa damai. Sebab, suasana damai tidak hanya hidup tanpa kekerasan atau perang, tetapi di mana syalom diwujudkan. Ini adalah bagian dari keberadaan orang percaya sebagai garam dan terang dunia dalam rangka merawat kehidupan. Karena itu, orang percaya terpanggil memberitakan Injil kepada semua makhluk, merawat dan memelihara ciptaan.
Dalam hal ini setiap individu membutuhkan spiritualitas yang tangguh. Spiritualitas merupakan sikap dan gerak hidup yang berpadanan dengan iman kepada Tuhan. Artinya, menyatunya kehidupan ibadah dengan perilaku sehari-hari. Spiritualitas mestinya menjadi bagian integral bagi profesi dan fungsi seseorang, sebagai guru, pelayan Rumah Sakit, pelayan perhubungan, pegawai pemerintah, pelayan gereja, politisi, kontraktor, penguasaha, tukang bangunan, tukang becak, suami, istri, anak dan lain-lain.

Dunia terberkati melalui kehidupan dan perjuangan banyak orang yang mengatasi kekerasan dengan budaya damai. Menyebut beberapa contoh saja antara lain, Martin Luther King Jr, Ibu Theresa, Nelson Mandela, juga orang yang menerapkan ajaran Yesus meskipun tidak pernah dibaptis menjadi Kristen seperti Gandhi dan yang semuanya dapat menjadi acuan berpikir, berucap, bersikap dan bertindak damai dalam mengatasi kekerasan.

3. Keluarga Pembawa Damai

Kehidupan keluarga yang baik dan damai memang tidak menjamin kehidupan terciptanya masyarakat yang baik dan damai. (Hitler yang sadis dan membunuh sekitar 6 juta Yahudi, adalah orang yang mengasihi keluarganya, ia berdoa dan membaca Alkitab di rumahnya. Tetapi ia amat sadis di luar rumah). Akan tetapi kehidupan keluarga-keluarga yang dipenuhi dengan kekerasan hampir menjamin kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekerasan. Kasih semacam ini dapat disebut kasih ‘jarak pendek’.

4. Gereja Pembawa Damai

Kekerasan kian merajalela seiring dengan memudarnya kehidupan ibadah dalam arti yang sesungguhnya. Yesus menuntut ibadah yang menyatu dengan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (Mat 23:23). Karena itu, secara konkret Gereja terpanggil untuk berbuat sesuatu, di antaranya:

· Sungguh-sungguh belajar kebenaran firman Tuhan sehingga Gereja dapat memberi sumbangan yang bernilai di tengah masyakat melalui pelayanan dan kesaksian gereja secara kelembagaan dan oleh para warganya sendiri.
· Gereja-gereja seharusnya terbebas dari segala bentuk kekerasan. Dalam kaitan itu, Gereja terpanggil menyatakan perilaku kenabian dan suara kenabian. Suara kenabian saja tidak cukup, tetapi gereja sungguh-sungguh pelaku kebenaran dan keadilan dan bebas dari tindak kekerasan.

AKHIRULKALAM

Tidak ada jalan mudah dan mulus menuju perdamaian. Ia menuntut kesungguhan bahkan pengorbanan (tanpa kekerasan). Ini semakin meyakinkan bahwa hanya bersama Tuhan, yang sudah mengalahkan kekerasan itu dengan cinta kasih, setiap orang layak menjadi pembawa-pembawa damai di setiap waktu dan tempat, mulai dari kesediaan mengembangkan bahasa kelembutan, membiasakan gerak-gerik persahabatan hingga membudayakan perdamaian dan tindakan pro-kehidupan.
[2] Penjelasan lebih lanjut lihat UEM, It’s time to talk about it!” Violence agaisnt women in culture, society and the church, Geneva: UEM, 2000, p. 56

Monday, April 7, 2008

BERTANYA

Henri J.M. Nouwen dengan amat mengesankan memberi petunjuk pengajuan pertanyaan.[1] Kita menggunakan banyak waktu dan enerji mengajukan berbagai pertanyaan. Apakah itu perlu? Dalam hal ini perlu selalu bertanya kepada diri kita sendiri mengapa kita mengajukan pertanyaan:

- Apakah kita ingin mendapat informasi yang berguna?
- Apakah kita ingkin menunjukkan bahwa orang lain salah?
- Apakah kita ingin menunjukkan bahwa kita lebih tahu dari orang lain?
- Apakah kita ingin menguasai suatu ilmu?
- Apakah kita ingin bertumbuh dalam hikmat dan kebijaksanaan?
- Apakah kita ingin memperoleh jalan menuju kesucian?
.
Jika kita mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan di atas sebelum mengajukan pertanyaan, kita mungkin saja menemukan bahwa kita membutuhkan sedikit waktu dan enerji untuk pertanyaan-pertanyaan kita. Barangkali kita sudah memiliki informasi. Barangkali kita tidak perlu menunjukkan bahwa seseorang itu salah. Sebab, dengan mempertimbangkan dan memikirkan ulang pertanyaan kita, mungkin kita sudah memiliki jawabannya, jika kita bersedia dengan penuh perhatian mendengar hati kita sendiri.

Jangan buang enerji untuk hal-hal yang tidak berguna, tetapi biarlah semuanya demi damai sejahtera.



[1] Henri J.M. Nouwen, Bread for the Journey: A Daybook of Wisdom and Faith, (New York: HarperSanFrancisco, 1997), reading for April 25.

Friday, April 4, 2008

KHOTBAH YANG HIDUP

Pengkotbah harus menghidupi apa yang ia kotbahkan, kalau ia mau kotbahnya hidup.
***************
Sebelum berkotbah pertimbangkan:
Bukan saja
I have to say something
(Saya harus mengatakan sesuatu)
Melainkan juga
I have something to say
(Ada sesuatu yang saya sampaikan)
Bukan yang dihasilkan si Pengkotbah
melainkan yang diberikan oleh Tuhan
******************************************
Pengkotbah bagaikan sebuah telunjuk
yang menunjuk ke 'atas'
bukan
ke diri sendiri.
Ia bukan selebriti melainkan pewarta
+++++++++++++++++++++++++

Thursday, April 3, 2008

LATIHAN DOA KONTEMPLATIF


Pendahuluan

Berikut ini disarankan beberapa penekanan doa yang kita lakukan setiap hari, kalau boleh dua kali sehari, masing-masing minimal 20 menit. Dalam keterbukaan akan Allah, dalam suasana rahmat, kita boleh memilih penekanan doa ini setiap hari, satu sehari atau dua setiap hari, sehinga pada akhirnya, kita menyadari bahwa bukan aktivitas rohani kita yang menghadirkan Allah bagi kita, tetapi kita menjadi terbuka akan bimbingan Allah yang mengajarkan kepada kita rahasia ketergantungan sejati.
Adapun penekanan-penekanan yang dimaksud adalah sebagai berikut, yang sebaiknya mengikuti nomor urut.

1. Menyadari kehadiran Allah

Duduklah dengan tenang, mulailah menenangkan tubuh melalui penyadaran akan nafas. Lalu bukalah diri akan kehadiran Allah.
…Ia hadir dalam rohku, Ia memperatikan kesadaranku
…Ia diam dalam pusat diriku yang terdalam…dalam lubuk hatiku…
…Sekarang aku berusaha mendapatkan kesadaran ini…
…tetapi pada suatu saat Ia akan memberi aku kesadaran ini dengan cuma-cuma…
…Ia lbih dekat dengan diriku, daripada aku sendiri dekat dengan diriku…
…Ia mengenal diriku lebih baik daripada aku sendiri mengenal diriku…
…Ia mengasihi diriku lebih daripada aku sendiri mengasihi diriku…
…Bila aku ternyata mampu mengasihi, itu adalah karena aku telah menerima kasihNya…
…Bila aku mencari kesadaran akan Dia, sebaliknyalah yang terjadi, karena Dialah yang membuat aku terbangun, sadar akan kehadiranNya dalam, dan melalui dan bersama Yesus…
…Dalam, melalui dan bersama Yesus, Ia mencurahkan mencurahkan RohNya, sehingga aku berseru kepadaNya “Abba”, Bapa…
…Ia memenuhi aku dengan syukur dan pujian atas kehadiranNya yang mengagumkan…

Carilah ayat-ayat Alkitab melalui konkordansi kalau agak sulit, yang berhubungan dengan kehadiran Allah, untuk dilakukan dalam lectio, meditatio, dan oratio. Misalnya Ulangan 32:10-12; Yeremia 31:2-3, dll.
Nanti akan menjadi nyata, bahwa Allah-lah yang membiarkan diriNya disadari, bukan kita yang mencari Dia. Dengan demikian, kita mampu melihat Allah dalam hidup ini, dan berjalan bersama dengan Allah. Lalu, kitapun mampu untuk hidup bersama dengan “saudara-saudara Yesus yang hina itu”, yang tertindas, tersisih, terluka secara fisik dan sosial.

2. Penyerahan diri

Di hadapan wajahNya, dan sadar akan kehadiranNya,
Aku menyerahkan seiap segi kehidupanku,
Kuserahkan diriku kembali kepadaNya.
Aku melepaskan nafsu bermilik yang menguasai aku.
Aku minta supaya Dia sajalah yang menguasai aku
Karena Dia penebusku
Dengan demikian, aku bukan lagi milik cita-citaku
Aku menjadi milik rencana Allah
Menjadi milik masa depan
Asal aku sedia, menyerahkan diriku, hidupku…
Kuserahkan segala tanggungan, kegelisahan, dan ketakutanku kepadaNya. Ia akan mengurusnya. Ia akan menyelesaikannya bagiku
Di dalam, melalui dan bersama Kristus….
Mulai sekarang ini aku membiarkan diriku dibimbing oleh Dia, setapak demi setapak…
Kasihku, cintaku, juga menjadi milikNya
Kuserahkan seluruh pribadiku
Melampaui batas-batas rasa,
Melampaui batas-batas akal budi dan keterampilanku…
Aku meraba-raba maju melampaui semuanya itu
Hingga aku tiba pada kenyataan,
Bahwa Dia sendirilah yang datang kepadaku
Sehingga aku berani berserah padaNya
Akhirnya, pujian semata keluar dari hidupku.

Terhadap semua ini carilah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa kita orang percaya adalah milik Kristus, bahwa hidup kita berada dalam rancanganNya.

Dengan demikian, kita lebih peka terhadap lingkungan kita, tidak dibatasi keinginan, harapan dan cita-cita, yang sering menghalangi kepekaan kita. Kita pasrah pada rencana Tuhan dan inilah membuat hidup kita lebih aktif melebihi keaktifan orang yang bergerak didorong oleh cita-cita.

Keaktifan yang mantap, dan tenang dimungkinkan, kalau yang mendorongnya adalah tindakan Allah yang selalu datang dari depan. Orientasi hidup jadinya adalah keterbukaan akan masa depan. Jadi, pelayanan kita pada msyarakat yang terluka menjadi lebih nyata.

3. Menerima keadan

Banyak reaksi-reaksi kita yang spontan mengungkapkan sikap tidak menerima, memberontak, melarikan diri dari kenyataan untuk menekan sesuatu. Amarah kita meluap. Ketidaksabaran kita merasuki kita. Rasa tak senang dan dendam membuat hati kita keras. Hati kita terluka oleh campur tangan orang lain. Jadinya kita tidak menerima orang tertentu, kejadian tetentu, bahkan diri kita sendiri. Kekecewaan menguasai sikap, pikiran dan tingkah laku kita.

Apakah tidak ada kehendak Tuhan yang tersembunyi di balik semua itu? Sehingga bila itu ditolak, jadinya kita menolak kehendak Allah?

Atau mungkin ada ketakutan, bila hal itu diterima, bisa membuat hidup tidak aktif dan membiarkan saja hal itu dipertahankan (mempertahankan status quo)? Tidak mungkin, bila manusia meemukan kehendak Allah, dalam situasi yang tia dia ingini, aktivitasnya terarah, bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi dari Allah yang memang sedang menjalankan rencanaNya.

Di dalam doa,
Aku menjadi sadar akan penghalang buah sikap tidak menerima…
Kuamati penghalang itu satu demi satu
Dan secara sadar kuterima kehendak Allah terhadapnya
Kutarik kembali sikap mau mengadili
Kutarik kembali kesenanganku mengeritik
Kusadari jadinya bahwa aku tidak mungkin lagi mempengaruhi keadaan atau orang lain dengan paksa…
Kusadari bahwa kuasa kasih dan pengampunan, jalan penderitaan, penerimaan dan ucapan syukur, itu sajalah yang boleh mempengaruhi keadaan…
Aku menjadi mutlak masuk dalam kehendak Allah,
Dengan demikian aku menerima bimbingaNya,
Setapak demi setapak,
Melalui keadaan konkret sepanjang hidupku,
Hingga masuk ke dalam kerajaanNya…

Pilihlah ayat-ayat yang berhubungan dengan pokok di atas untuk lectio, meditatio, dan oratio. Dengan rahmat Allah, yang akhirnya menyadarkan kita bahwa penyerahan kita didorong oleh Dia, kita terbuka pada karya Allah, yang mendatangkan kebebasan bagi orang tertindas, orang miskin, orang buta, terluka, dan berduka. Dengan sendirinya kita, dalam kasih dan iman, masuk ke dalam karya Allah. Tidak ada lagi penghalang. Kita menjadi “kawan sekerjaNya.”

4. Menyesal dan Mohon Ampun

Dosa dan kesalahan kita sering menghalangi kita berdoa. Bila ini selalu disadaro, dan dosa selalu dibawakan kepada Kristus yang telah menebus dosa, maka pengampunan menjadi suatu kekuatan nyata dalam hidup kita. Kita digerakkan oleh pengampunan. Kita disadarkan, bahwa pengampunan membuat kita bebas berdoa.

Ada kalanya, di mana sebaiknya kita tidak terlalu merinci dosa, dan tidak membuat analisa. Jenisnya juga tidak perlu dipersoalkan, seperti dosa besar dan dosa kecil. Dosa tetap dosa. Sekecil apa pun dosa, tetap memisahkan kita dari Allah dan membuat kedamaian menjadi mustahil.

Rasakan dosa sebagai keseluruhan, bagaikan sebuah gumpalan. Sadarilah bahwa Andalah semuanya itu. Lalu berteriaklah terus-menerus dalam pribadimu yang paling dalam. Berteriaklah pada Allah, dan Allah sendirilah yang membuat kita menyadari dosa-dosa dan kelemahan kita.

Menyerahkan dosa kepada Allah malah membuat kita sadar, betapa Allah mengasihi kita, di dalam, melalui dan bersama Kristus.
Kuasa pengampunan, mengerakkan kita untuk mampu mengampuni. Kuasa pengampunan menjadi suatu kekuatan tersendiri karena darah Kristus. Dengan demikian, kita menjadi terbuka terhadap sesama, tanpa menyembunyikan apa pun.
Mata kita tercelik melihat Allah berkarya dalam derita, tingal bersama manusia yang tertindas, tersisih, buta, terluka, dan berduka…
Dan hati kita tidak mungkin diam lagi, tetapi terus berlari turut besertaNya di dalam kenyataan itu, di dalam karya itu. Pengampunan mendorong aktivitas kita, aktivitas bersama Allah.

5. Menerima Jawaban Allah

Allah selalu menjawab.
Ia tidak menolah orang yang datang dengan iman dan kasih
Perkataan “carilah, maka kamu akan menemukan” terjadi karena “Carilah, karena engkau telah lebih dahulu ditemukan”. Allah sudah mencari kita sebelum kita mencariNya. Ia menjawab, Ia berpaling kepadaku, Ia menguasai kehidupanku yang terdalam.
Aku berlindung aman daalam kehangatan kasihNya
Aku merasakan pandanganNya menatap aku dalam kasih…

Tertolonglah kita untuk bergerak dalam dunia.
Allah menjawab pertanyaan-pertanyaan kita tentang dunia ini.
Berarti dunia kita ini mampu kita pahami. Jelaslah langkah kita. Dan terlihatlah Allah ada bersama kita, dan Ia juga bergerak dan berkarya di tengah-tengah masyarakat yang menderita. Lalu kitapun mampu masuk sebagai kawan sekerjaNya di sana. Jawaban Allah memberikan kuasa untuk mewartakan, bergerak, mengabarkan Injil.
Kita tentu bisa menemukan nas Alkitab yang menolong kita memahami pokok di atas.

6. Tahap Mendoakan Sesama

Mengapa sesama harus kita doakan juga/
Kristus terus mendoakan kita,
agar iman kita tidak gugur.
Mungkin ini di luar kesadarn kita.
Bahkan sebenarnya kita tidak “ahli” dalam doa,
Semua doa tetap tidak sempurna.
Itulah sebabnya, Roh berdoa untuk kita dengan keluhan-keluhan yang tidak tedengar.

Kita meneladani itu,
Sebagai orang yang sudah mengalami bahwa Ia mendoakan kita,
Kita tidak mungkin diam,
Doa Yesus bagi kita dan Roh Kudus untuk kita, mendorong kita untuk bergerak pada sesama,
Tidak berpusat lagi pada diri kita…

Lalu dunia pun terbukalah bagi kita. Terlihatlah manusia dengan penderitaan dan luka-lukanya. Terlihatlah bahwa ternyata Allah sudah tinggal di situ, dan kita pun terpana, lalu tak terelak lagi, kita langsung ikut dalam karya itu, di tengah masyarakat yang terluka, terindas, tersisih.

7. Tahap Bersyukur dan Memuji

Apakah lagi yang keluar dari mulut orang yang berdoa, setelah mengalami semuanya itu, kecuali syukur dan pujian kepada Tuhan?
Dia tidak lagi mempertimbangkan suasana sakit atau senang, gembira atau duka, mudah atau sulit. Di situ Allah bergerak dan berkarya dengan rahmatNya. Jadinya syukur memenuhi setiap hati kita. Kuasa syukur mengantar kita ke dunia, menuju masyarakat yang terluka, tertindas dan tersisih.
(Disarikan dari James Borst, Latihan Doa Kontemplatif, (Yogyakarta: Kanisius, 1981)

TINJAUAN KRITIS TATA GEREJA HKBP


MODEL GEREJA HKBP

Avery Dulles menguraikan lima model Gereja (yang dapat kita temukan dalam gereja Katolik maupun Protestan sekarang ini),[2] yang dapat menolong mengenali model gereja HKBP.

Model 1: Gereja sebagai institusi, dengan ciri-ciri (1) Gereja dipahami terutama dalam struktur-struktur yang kelihatan khususnya hak dan kekuasaan para pejabat Gereja. (2) Gereja dipahami sebagai suatu perkumpulan yang berporos pada struktur hirarki yang berfungsi terutama untuk mengajar, menguduskan dan memimpin. (3) Tujuan utama adalah memberi jaminan kehidupan kekal kepada anggota-anggotanya, dan anggota-anggotanya harus taat kepada institusi.

Model 2: Gereja sebagai persekutuan, yang (1) menggambarkan gereja sebagai tubuh Kristus dan gereja sebagai umat Allah. (2) Menekankan a) pentingnya pribadi dan hubungan antarpribadi, dan b) kesatuan satu sama lain di dalam Kristus.

Model 3: Gereja sebagai sakramen. Model ini memandang peranan gereja sangat menentukan, karena Gereja dipahami sebagai alat yang nyata menunjukkan kehadiran Kristus di bumi.

Model 4: Gereja sebagai pewarta (Menurut Dulles, model ini terutama dianut oleh Protestan). Model ini dicirikan tiga hal: (1) Tujuan Gereja adalah memberitakan Injil, dalam arti menghadirkan kuasa Kristus di dunia. (2) Orientasi model ini mengacu pada perhatian Reformasi yaitu memberitakan Injil secara murni. (Lihat misalnya Konfesi HKBP yang secara explisit mencatat bahwa “ciri gereja yang benar adalah kalau Injil diberitakan secara murni). (3) Kurang mementingkan struktur gereja. (Mengacu pada model ini, barangkali HKBP kurang tepat sebagai Protestan)

Keempat model ini mempunyai dua ciri yang sama. Pertama, Gereja dilihat sebagai subjek yang aktif, sedangkan dunia adalah objek, yang terhadapnya Gereja harus berbuat sesuatu dan memberi pengaruh. Kedua, Gereja dilihat sebagai pengantara Allah dengan manusia. Allah datang ke dunia melalui Gereja, manusia datang kepada Allah melalui Gereja, kalau manusia percaya kepada Gereja, mengikuti ajarannya dan terlibat dalam kegiatan Gereja.

Model 5: Gereja sebagai hamba,[3] yang mencirikan:
1. Mengutamakan Kristus sebagai hamba. Kristus datang untuk melayani, mendamaikan, dan membalut yang terluka.
2. Model ini juga menggunakan istilah “Tubuh Kristus”, tetapi dipahami berhubungan dengan “tubuh hamba yang menderita demi pelayananNya”. (Istilah “tubuh Kristus” ditekankan juga oleh model 2 “Gereja sebagai persekutuan”, tetapi “tubuh” dipahami terutama dalam hubungannya dengan “kesatuan”.
3. Tugas Gereja adalah mewartakan datangnya Kerajaan Allah, tidak hanya dalam kata-kata melalui khotbah, Pekabaran Injil tetapi teristimewa melalui pelayanan, sebagaimana pelayanan Kristus: mendamaikan orang yang bermusuhan, menyembuhkan orang yang terluka secara fisik dan sosial.
4. Sebagaimana manusia adalah “manusia bagi sesamaNya” maka (a) Gereja harus merupakan “persekutuan bagi sesamanya, dan (b) manusia menjadi manusia bagi sesamanya.
5. Tugas Panggilan Gereja mencakup: mendamaikan, meringankan beban penderitaan, menghapus rasialisme, dan menyatukan gereja-gereja.

Sangat jelas bahwa tidak mungkin menempatkan HKBP dalam salah satu model, tetapi nampaknya model gereja sebagai institusi lebih mengental dalam HKBP. Kalaupun kelihatannya ia masuk dalam model “pewarta” dan “hamba” sebenarnya masih dalam rangka membesarkan institusi.


DASAR TEOLOGIS TATA GEREJA HKBP

Konfesi HKBP (1951, psl 11 dan 1996, psl 10) mengacu pada 1 Kor 14:33[4] sebagai dasar alkitabiah Tata Gereja (TG). Sedangkan TG 1994 mengutip 1 Kor 14:12 sebagai dasar teologisnya. Kedua nas tersebut sebenarnya berbicara dalam konteks peranan ‘karunia roh’ dalam membangun jemaat. Artinya nas tersebut merupakan ‘peraturan’ liturgi atau kehidupan ibadah, bukan struktur gereja. Hal ini ditegaskan lagi dalam ayat 40 “segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur”. Ini juga dalam konteks ibadah.

TG 1962 sampai 1994 lebih mengatur organisasi atau struktur gereja, bukan tata ibadah dan kehidupan bergereja, berbeda dengan TG sebelumnya yang mengatur kehidupan bergereja, yang meliputi ibadah, sidi, Perjamuan Kudus, pernikahan kristiani dsb. Salah satu dasar Alkitabiah TG 1881 (Gereja Mission Injili di Tanah Batak) adalah Ef 4:11-12 “Dialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan bagi pembangunan tubuh Kristus”. Dasar Alkitabiah tersebut sesuai dengan isi TG 1881 yang banyak mengatur kehidupan bergereja.

TG HKBP: DARI YANG BERCORAK ‘PENGGEMBALAAN’ MENJADI ‘KEPEMIMPINAN’

Sampai sekarang HKBP telah menggunakan 12 Aturan tertulis (1866, 1881, 1907, 1912, 1930, 1940, 1950, 1962, 1972, 1982, 1994, 2004). Perubahan yang paling menonjol dari TG terdahulu sampai yang sekarang adalah pergeseran dari tata gereja yang mengatur kehidupan bergereja menjadi tata gereja yang mengatur kehidupan berorganisasi gereja, dan dari corak ‘penggembalaan’ menjadi ‘kepemimpinan’ (Bnd. Juga istilah yang digunakan dalam AP 1972 dan 1982: Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (sebagaimana layaknya sebuah organisasi atau yayasan).

Menyangkut pergeseran ini, Dr. J.R. Hutauruk merumuskannya sebagai berikut:[5]

Pada awalnya Tata Gereja HKBP berperan untuk menggembalakan kehidupan warga jemaat. TG tidak terpisahkan dengan kehidupan bergeraja, seperti Ibadah Minggu, pengajaran, dsb. Berdasarkan usia dan berbagai pengalaman HKBP yang semakin bertambah dan bertambahnya jumlah angota jemaat, unsur penggembalaan itu bergeser oleh unsur lain, yaitu unsur ‘kepemimpinan’. Tetapi unsur itu hanya sekadar bergeser karena tidak lagi tercantum dalam TG, namun unsur penggembalaan itu tertulis dalam Hukum Siasat Gereja, “Agenda Huria”, dan yang terakhir (tahun 1951) dalam Konfesi HKBP.

Pergeseran tersebut dapat juga dilihat dari kekhasan beberapa TG berikut ini.

· TG 1866 yang disebut dengan “Peraturan Jemaat dan Tata Ibadah” a.l. mengatur (1) perkawinan, (2) kewajiban setiap orang Kristen Batak mengaku dirinya Kristen (3) Tata Ibadah, mencakup: nyanyian, liturgi (perintah-perintah), Pengakuan Iman dan doa, nyanyian, kotbah dan doa, nyanyian, berkat, menyanyikan haleluya 9 kali dan amin 6 kali. Kemudian, doa hening dan jemaat bubar. (4) Perjamuan Kudus dilakukan sekali dalam 3 bulan. (JRH 52).
· TG 1881 yang disebut “Peraturan Jemaat, Gereja dan Sinode untuk Gereja Mission di Tanah Batak”, masih melanjutkan TG 1866. Tetapi dalam TG ini sudah diatur syarat untuk menjadi satu jemaat minimal 10 keluarga. Dalam arti tertentu TG ini sudah menunjukkan peranan ‘struktur’ seperti bunyi pasal 20:

Seluruh jemaat Kristen yang berada di tanah Batak yang terdiri dari beberapa ressort, distrik disatukan menjadi Gereja Mission di tanah Batak yang dipimpin oleh seorang Ephorus.

· TG 1907 yang disebut “Aturan ni Ruhut di angka huria na di tongatonga ni Halak Batak”, antara lain mengatur Ibadah, baptisan, Perjamuan Kudus, sidi, pernikahan, pemakaman. Tentang kotbah, dalam TG tersebut dicatat: “Setiap kotbah haruslah disusun sedemikian, hingga di dalamnya dengan ringkas dan gamblang diberitahu jalan keselamatan. (JRH 59-61).

Di samping itu, TG 1907 juga menyinggung ‘struktur’ gereja. Dengan bertambahnya jumlah warga jemaat, J. Warneck (‘arsitek’ TG 1907) memandang perlu menyusun dan menyelenggarakan seluruh aparat suatu jemaat yang berukuran besar. Karena itu ia sangat mementingkan bakat organisasi dan kepemimpinan pada saat itu. (JRH 65). Berdasarkan penilaian (negatif) Warneck terhadap ‘pendeta Batak’, ia melihat pentingnya diadakan ‘hierarki’ yang membedakan kedudukan para misionaris dan para pendeta pribumi. (JRH 58). Karena itu, TG yang disusun oleh Warneck dianggap terlalu banyak menampakkan rasa superioritas orang Eropa. Dalam waktu yang sama sedang marak perjuangan HKB untuk menjadi gereja yang ‘merdeka’.
· TG 1950: Istilah ephorus digunakan kembali (menggantikan Voorzitter yang sempat digunakan ketika misionaris Jerman di tanah Batak dipenjarakan oleh kolonial Belanda), dan TG yang sama mulai mencantumkan jabatan “Sekretaris Jenderal”. Artinya, ‘struktur’ kian menguat dalam kurun waktu itu
· AP 1962 mempunyai kekhasan: (1) Pertama sekali dicantumkan Peraturan (Anggaran Rumah Tangga), (2) perububahan Kerkbestur menjadi Parhalado Pusat, (3) Kasbestur ditiadakan (4) Sinode Distrik ditiadakan, (5) Syarat menjadi penatua adalah ‘laki-laki’[6], dsb. Pertanyaannya, apakah ada hubungan perubahan-perubahan itu dengan berbagai gejolak dan skisma periode 1960-an, perlu pengkajian lebih lanjut.
· AP 1972, 1982, menunjukkan struktur yang semakin ketat. Khususnya dalam AP 1994 sangat menonjol pentingnya administrasi seperti buku daftar warga, buku tamu dll di jemat, ressort, distrik. Selain itu, syarat-syarat untuk menjadi ephorus dan sekjend pun semakin ketat, seperti pembatasan usia antara 45 – 59 tahun (yang belum pernah muncul dalam TG sebelumnya). Dalam hal ini memang sangat terbuka kemungkinan perumusan AP sebagai reaksi atau bahkan koreksi terhadap figur pimpinan tertentu atau semacam antisipasi ‘mencocokkan’ AP kepada figur yang sedang dibayangkan (baca: diperjuangkan) menjadi pimpinan HKBP.

STRUKTUR

Pada awal kekristenan di tanah Batak, ‘struktur’ diciptakan lebih merupakan ‘unit kecil’ dari misi (=struktur dalam rangka misi). Berbeda dengan yang ada sekarang: misi menjadi ‘unit kecil’ dari struktur (=misi melayani struktur).

Dalam arti tertentu HKBP menerapkan sistem ‘demokrasi’, meskipun istilah itu pernah ‘diharamkan’ dalam Konfesi HKBP 1951 yang dengan tegas menyatakan “ndang demokrasi na mangarajai huria, alai “Kristokrasi” do. Juga ditolak pandangan yang mengatakan “organisasi sambing huria i”.[7] (Pasal 8. A.2 dan 3). Pernyataan ini tidak disebut lagi dalam Konfesi 1996. Penghapusan pernyataan itu dalam Konfesi 1996, bisa saja merupakan indikasi pengesahan ‘demokrasi’ dalam kehidupan ber (organisasi)gereja.

Struktur HKBP terkesan sangat dekat dengan struktur Negara RI. Ephorus berperan sebagai ‘mandataris’ Sinode Godang, yang menurut AP Sinode Godang adalah rapat tertinggi di HKBP. (Bedanya, MPR mempunyai ketua, sedangkan Sinode dipimpin oleh ‘mandataris’ SG). Kalau Ephorus berhalangan, Sekretaris Jenderal menjalankan tugas keephorusan (bnd. Kedudukan wakil presiden). Kebijakan-kebijakan dalam selang waktu sinode diambil oleh Majelis Pusat. Anggota Sinode Agung adalah para utusan ressort, praeses, direktur lembaga dan departemen dan sebagainya (utusan daerah dan golongan). Dalam sidang, warna ‘demokrasi’ sangat dominan seperti dalam pemilihan, pengambilan keputusan dengan voting pun bisa dilakukan.

Di samping itu, sudah sejak lama HKBP menerapkan semacam ‘Otonomi Daerah’, khususnya ressort-ressort. Yang menjadai ‘kewenangan Pusat’, antara lain adalah: hubungan ‘dalam dan luar negeri’, ‘kurikulum’: tata ibadah, Aturan, Konfesi, Siasat Gereja, pengajaran sidi dan sebagainya. Perimbangan keuangan Pusat dan daerah juga diterapkan. Para pelayan dilengkapi dengan Surat Ketetapan (SK) yang memuat ruang/ golongan, masa kerja, jumlah gaji dan tunjangan dsb. SK terkesan tidak berpesan teologis.Ciri lain gereja model institusi adalah menempatkan kaum klerus menjadi profesional dan warga tetap menjadi pasien, mulai dari rawat jalan, rawat inap, hingga operasi besar (dengan atau tanpa tarif).

Berkaitan dengan struktur HKBP ada beberapa ‘elemen’ yang perlu mendapat perhatian, di antaranya:

1. Sinode Godang dan Rapat.

Dengan ditetapkannya pelaksanaan Sinode Agung sekali dua tahun dalam AP, sebenarnya HKBP berhadapan dengan dua kemungkinan. Kemungkinan 1: HKBP harus ‘men-sinode-kan’ sesuatu (sesuatu ini bisa dicari atau dicari-cari) karena sudah diatur dalam AP. Kemungkinan 2: Ada sesuatu yang harus disinodekan. Hal ini mengasumsikan bahwa sinode dilakukan sesuai dengan kebutuhan, tidak atas dasar keharusan AP (sekali dua tahun).

Akhir-akhir ini berkembang wacana seputar pencegahan ‘pemborosan’ pelaksanaan sinode. Hal ini dapat dimengerti, kalau sinode dilakukan atas dasar kemungkinan 1 tadi. Model gereja sebagai institusi, memang lebih memboroskan daya dan dana untuk struktur (rapat, gaji dan biaya perjalanan pekerja, pengadaan harta bergerak dan tidak bergerak dsb.) ketimbang pelayanan atau misi gereja itu sendiri. Misi Departemen yang ada pun lebih banyak mengeluarkan dana operasional kantor ketimbang pelayanan di ‘lapangan’.

Akan tetapi kalau pelaksanaan sinode bertolak dari kemungkinan 2 “ada sesuatu yang akan disinodekan” dan SG itu dilakukan dalam suasana ibadah kepada Pemilik gereja itu, ini adalah sebuah panggilan dan keharusan. Dengan demikian penegasan AP bahwa (1) sidang-sidang dalam sinode harus diawali dan diakhiri dengan doa dan (2) ditutup dengan Perjamuan Kudus, serta (3) didoakan oleh seluruh jemaat akan sungguh-sungguh punya makna. (Mungkin perlu juga dipertimbangkan: bahwa Perjamuan Kudus sebaiknya dilakukan pada pembukaan Sinode Godang. Melalui itu, para peserta dapat mengawali Sinode Godang setelah masuk dalam misteri Kristus itu sendiri).

Dapat dicatat juga bahwa AP 1982 menekankan pentingnya rapat dalam jemaat, Ressort, Distrik dan Pusat. Dalam AP 1982 sedikitnya ada 17 jenis rapat (bnd. juga lebih dari 330 kata ‘rapat’ dan ‘sinode’ yang terdapat dalam AP 1982). Angka ini ‘membengkak’ menjadi sekitar 30 jenis rapat dalam AP 1994. Kalau Pdt Dr Sormin pernah mengatakan bahwa HKBP merupakan huria rapot (mengacu pada AP 1982), maka AP 1994 mungkin mencirikan huria yang terlalu repot rapat. Sebab, semangat demikian sangat klop dengan gereja model institusi.

2. Ephorus

Pada awalnya jabatan ephorus (disebut dengan voorzitter) merupakan ‘tugas tambahan’ kepada tugas utama dalam misi, pelayanan spiritual dan liturgis. Tetapi, sekarang ‘misi’ menjadi salah satu tugas jabatan ephorus. Terbalik! Dalam Agenda HKBP, misalnya, tidak dicantumkan Tata Ibadah pengukuhan Ephorus.[8]

Struktur HKBP yang ada sekarang ‘merelakan’ seorang ephorus menguras tenaga dan perhatian mengurus organisasi, struktur, harta dan sebagainya ketimbang memberi ruang sebagai seorang gembala spiritual dan liturgis. Di dalam Sinode Ephorus menyampaikan ‘pertanggungjawaban’ tugasnya kepada Sinode (AP 1982) atau “menyampaikan laporan tentang kehidupan HKBP” (AP 1994). Mengapa bukan Pesan Pastoral atau Teologis melalui ‘ceramah thema’, misalnya? Jawabannya kembali ke ‘struktur’ HKBP yang menempatkan seorang ephorus lebih memusatkan diri pada struktur/ organisasi.

Dalam AP sekarang ephorus bertugas ‘manguluhon sandok HKBP’. Itu berarti lebih bercorak pemimpin struktur organisasi. Hal ini dipertegas lagi dengan berbagai pengaturan persyaratan (yang membutuhkan tinjauan teologis). Syarat untuk menjadi Ephorus mencerminkan ‘profesionalisme’ yang identik dengan syarat-syarat jenjang kepangkatan pegawai negeri atau swasta: (1) 20 taon mangulahon hapanditaon (AP 1994 atau 20 taon dung Pandita (AP 1982), (2) Sudah pernah 5 tahun sebagai Pandita Ressort (AP 1994); 3 tahun (AP 1982). (3) Usia 45-59 (AP 1994 (4) Periopodenya pun dibatasi sangat ketat: 1 periode (AP 1994); 2 periode (AP 1982). Singkatnya, pengalaman stuktural sangat dominan, seolah-olah Timotius tidak pernah disebut dalam Alkitab.

3. Sekretaris Jenderal

Jabatan Sekretaris Jenderal mulai berlaku pada tahun 1950. Tata Ibadah pengkuhan Sekjend (sama seperti pengukuhan ephorus) tidak terdapat dalam Agenda HKBP. Ibadah pengukuhan tersebut (termasuk tata ibadah pengukuhan ephorus) disusun sedemikian rupa yang terutama berisikan ikrar kesediaan melakukan tugas sebagaimana tercantum dalam AP. (Lihat Notulen SG 1998).

Dalam AP 1972 dikatakan bahwa Ephorus dan Sekjend mempimpin HKBP dengan pelayanan bukan dengan kuasa. Isi AP ini implisit menempatkan Ephorus dan Sekjend sebagai ‘Pucuk Pimpinan’ HKBP, meskipun istilah itu tidak pernah tertera hingga AP 1982. Istilah itu baru muncul dalam AP 1994, yang menyatakan bahwa “pucuk Pimpinan’ hanya berlaku pada Ephorus.

AP 1994 juga menggariskan tugas seorang Sekretaris Jenderal terutama di bidang administrasi. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada tugas ‘gereja’[9], kecuali pada saat menggantikan ephorus. Mencermati uraian tugas tersebut, jabatan Sekretaris Jenderal bisa saja diemban oleh seorang non-pendeta. AP 1994 pasal 107 berbunyi: “Sekretaris Jenderal HKBP i ma na manguluhon nasa ulaon administrasi di hatopan dohot patupa kordinasi di ulaon ni biro, departemen, lembaga, yayasan dohot komisi ni HKBP na martanggungjawab tu Ephorus”. Di sini tidak disebut “siradotanna do ulaon i hombar tu Konfesi, Aturan Huria dohot Ruhut Parmahanion paminsangon ni HKBP dibagasan pangoloion tu Raja ni Huria i”, sebagaimana dicantumkan dalam fungsi ephorus).

HURIA DAN HARTA MILIK

Pengaturan tentang “parartaon” semakin penting sejak TG 1930, yang menggariskan hak milik gereja khususnya karena pengalaman perpecahan gereja pertama, pada tahun 1927 (HChB, Mission Batak) dimana para warga jemaat saling berebut harta milik gereja. Ketentuan “kalau warga jemaat pindah gereja secara keseluruhan, harta gereja dikelola oleh Pusat”, sudah berlaku sejak 1929 (JRH 110) dan berlanjut terus hingga AP 1982: 20-21; 1994 : 20-21.

Berikut ini beberapa petunjuk berdasarkan AP yang menyatakan keberadaan ‘ruas’ dan jemaat untuk membesarkan struktur dan pentingnya posisi harta dalam gereja.

· Syarat utama menjadi ressort didasarkan atas kemampuan finansial (1) mampu menanggung biaya ressort dan membangun rumah pendeta Ressort tanpa mengambil uang Pusat (2) Harus ada 500 ripe sigarar guguan na gok. Syarat utama menjadi distrik, antara lain: mampu menanggung biaya dan menyediakan rumah Praeses tanpa harus mengambil uang Pusat.
· Kewajiban warga jemaat: mempersembahkan harta milik dan tenaga untuk gereja. Malahan apa yang disebut hak (dalam AP 1982) juga dalam rangka kewajiban. Dapat ditambahkan bahwa: mansohot do haruason ni sahalak ruas na so manggohi/ mangoloi aturan ni huria.
· Sipagandaon ni huria do arta ni huria marhite angka ulaon na tupa laho pahembanghon angka panghobasionna”. (1994: psl 20). Usaha ini dipertegas lagi dalam konsep yang diajukan Komisi AP yang baru di antaranya disebutkan: “Di tingkat Pusat perlu dibentuk Badan Usaha Pusat HKBP untuk mengembangkan dan meningkatkan Sumber Dana Tetap untuk kegiatan dan pelayanan HKBP”.

Persoalan yang sangat serius di sini adalah bahwa kehidupan bergereja seringkali ‘ditaklukkan’ untuk mencapai target finansial. Dengan kata lain, misi membesarkan struktur. Misalnya, perayaan Jubileum, menjadi sebuah ajang mencari dana, Partangiangan sektor, yang tadinya mengumpulkan ‘persembahan’ satu kali, sudah banyak jemaat yang mengumpulkan persembahan dua kali (satu untuk huria, satu untuk pembangunan –yang bedanya tidak jelas); dalam kebaktian gereja diedarkan 3 kantong persembahan[10], iuran dipatok, lelang disahkan, amplop khusus dijalankan dsb. Gereja model institusi biasanya “menakar sukses seturut dengan pertambahan aset” dan “siapa mempunyai uang, pendidikan, kuasa, ia mempunyai misi”.

POKOK-POKOK DISKUSI

1. Minat mempercakapkan AP terkesan lebih marak beberapa tahun belakangan ini. Komisi Aturan pun jauh lebih menyita waktu, daya dan dana dibandingkan dengan semua Komisi yang ada di HKBP seperti Komisi Teologi, Liturgi, Konfesi dll. Namun, ‘minat’ ini terkesan lebih terfokus pada muatan atau detil-detil AP. Mungkinkah forum ini memberi perhatian pada dasar teologis AP, atau bahkan perlu tidaknya AP? Kalau perlu, apakah itu harus terpisah dengan Konfesi dan RPP, atau sebaiknya satu kesatuan?

2. Para rasul secara sungguh-sungguh merespon persoalan-persoalan yang dihadapi oleh jemaat mula-mula. Satu pernyataan para rasul, dalam konteks pengambilan suatu keputusan, sebagaimana tertulis dalam Kis 15:28 berbunyi, “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami..” Dapatkan Sinode dan rapat yang ada di HKBP menyerukan hal yang sama? Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada hakekat dan mekanisme Sinode atau rapat itu sendiri.

3. Ephorus dan Sekjend dipilih secara ‘demokratis’. Apa yang terjadi dalam HKBP akhir-akhir ini dalam hal pemilihan adalah: “orang yang mencari Sinode” bukan “Sinode yang mencari dan menemukan orang”. Padahal, ada model pemilihan pemimpin gereja yang dilakukan dalam suasana ‘ibadah’ yang dapat dijadikan sebagai mode pemilihan di HKBP.

Dalam kaitan itu, ada baiknya kalau tawaran Komisi Aturan yang baru untuk menciptakan 3 wakil ephorus dipertimbangkan urgensinya dan dasar teologisnya. (Pdt Balosan Rajagukguk menyebut struktur seperti ini sebagai ‘organisasi balga ulu’).

4. Ke depan HKBP akan mampu berbuat lebih banyak untuk menambah asetnya. Misalnya dengan mendirikan bank, surat abar, galon minyak, hotel dan usaha lainnya. Akan tetapi sejauh ini HKBP belum merumuskan secara jernih teologi uang, yang sebaiknya tercantum dalam TG. Sebab, dalam kondisi sekarang, HKBP bisa digiring menjadi sebuah gereja yang (meminjam istilah Sebastian Kappen) ‘mata duitan kepada Allah’. Malah, demikian Kappen, ‘uang diperilah yang ilahi diuangkan’.

[2] Selengkapnya lihat Avery Dulles, Model-model Gereja, Ende: Nusa Indah, 1990. Uraian ringkas lihat “Bergereja dalam Konteks Indonesia”, dalam Immanuel, edisi Mei 2000, hal 40dst.
[3] Model ini mendasari banyak pernyataan gereja resmi sejak tahun 1966. Salah satu di antaranya sangat jelas dalam Laporan Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia (DGD) di Upsala, 1968.
[4] “Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan tetapi damai sejahtera”.
[5] Terjemahan bebas penulis dari J.R. Hutauruk, “Angka Aturan/ Peraturan Naung Adong di HKBP. Motifna dohot Sasaranna”, makalah disampaikan di Lumbansoit, Juni 1980.
[6] Dalam TG 1950 disebut ‘halak’ (orang). Kemudian, dalam AP 1972 disebut ‘ruas’ (yang terbuka bagi laki-laki dan perempuan).
[7] Senada dengan itu Pdt Dr Justin Sihombing pernah mengatakan, “ndang mangolu huria marhite organisasi sambing, alai huria na mangolu do na marorganisasi”.
[8] Agenda HKBP edisi I terbit pada 1904 dan edisi II pada 1918), kurun waktu dimana ephorus dipilih oleh RMG.
[9] AP 1994 Bindu 101 tentang fungsi Ephorus disebut: “Siradotanna do ulaon i hombar tu Konfesi, Aturan dohot RPP HKBP dibagasan pangoloion tu Raja ni huria i.” Pernyataan ini tidak disebut dalam penjelasan fungsi Sekjend.
[10] Sekedar perbandingan, GKJ Gondokusuman Yogyakarta baru-baru ini mengubah 3 kantong menjadi satu kantong persembahan. Jumlah persembahan malah meningkat.

Wednesday, April 2, 2008

TUMBUR TINAMBUNAN




Singapura 02 Agustus 2009











































Foto-foto di atas adalah Foto Keluarga Tumbur Tinambunan, SE, MSi./ Rosna A.W. Sihotang. Sebelumnya, Bpk Tumbur Tinambunan adalah Deputi Manajer Akuntansi PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah & D.I. Yogyakarta. Sejak April 2008 menjadi Manajer Keuangan dan Niaga Pembangkitan Muara Tawar.



Anak-anaknya:




1. Shintauli Sionparli Widya Chritianti Tinambunan (20 th/Pr) Mahasiswa Fak.Ekonomi Jurusan Akuntansi SM VI Universitas Diponegoro



2. Dame Anastasya Tinambunan ( 16 th/Pr) Siswa Kls II SMA Katolik Don Bosco Semarang



3. Joshua Parlindungan Tinambunan ( 14/Lk) Siswa Kls II SMP Katolik Maria Goretty



4. Semarang Hanna Tiurma Tinambunan ( 12 /Pr) Siswa Kls I SMP Katolik Maria Goretty Semarang



Keluarga ini adalah keluarga yang berbahagia, penuh ceria dan amat bersahabat dengan semua orang.

ShoutMix chat widget