Monday, January 31, 2011

MENGHALAU KEKUATIRAN

RENUNGAN MINGGU KE-5
30 Januari-5 Pebruari 2011

(Baca terlebih dahulu Matius 6:25-35)

Ada untaian kata-kata indah dari Teresa Avila seperti berikut ini:

 Jangan biarkan apa pun mengganggumu;
Jangan biarkan apa pun menakutkanmu;
Segalanya berlalu;
Tuhan tak pernah berubah.

Ia yang mempunyai Tuhan,
Menemukan bahwa ia tak kekurangan apa pun;
Tuhan saja cukup.

Apa yang diungkapkan Teresa dari Avila ini mengingatkan kita pada pengajaran Yesus tentang masalah ‘kekuatiran’ sebagaimana tertulis dalam Mat 6:25-35. Yesus meneguhkan hati pendengar-Nya agar menghindari diri dari kekuatiran. Hal ini merupakan satu kesatuan dengan ‘hal mengumpulkan harta’ (ayat 19-24). Yesus menjelaskannya dengan gambaran yang sangat mudah dimengerti, di antaranya:
  • Burung yang tidak pernah menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpul bekal, namun diberi makan oleh Bapa di sorga. Dan manusia lebih dari burung-burung itu.
  • Kekuatiran tidak ada gunanya, malah bisa merusak kehidupan. Yesus berkata, “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” (ayat 27).
  • Soal pakaian, Ia menunjuk pada bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan memintal, namun kemegahannya melebihi Salomo.
Jika demikian, apakah Yesus menganjurkan supaya manusia tidak bekerja? Sama sekali tidak! Manusia memang perlu bekerja. Tetapi, hidup manusia tidak tergantung pada pekerjaannya, apalagi bekerja yang disertai kekuatiran. Yesus tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan realitas masalah-masalah keseharian. Ia mengatakan kepada kita untuk meninggalkan ‘kekuatiran’ bukan ‘realitas’.

Persoalan yang sangat inti di sini adalah masalah manusia yang “kurang percaya” (ayat 30). Dalam hal ini Yesus menegaskan agar manusia sungguh-sungguh percaya pada penyelenggaraan Tuhan. Yesus mengatakan, “Bapamu yang di sorga tahu bahwa kamu memerlukan semuanya itu” (ayat 32). Kita perlu secara khusus memberi perhatian kata tahu di sini. Allah tahu apa yang kita perlukan. Ternyata, kita tidak perlu memberitahukan yang kita perlukan. Sebaliknya, justru kita yang perlu mendengarkan Tuhan, apa sebenarnya yang kita perlukan dan menerimanya dengan ucapan syukur.

Bagaimana kalau kita sedang menghadapi situasi yang membuat kita kuatir? Misalnya, ketika kita sedang bekerja di luar rumah kita kuatir anak-anak kita tidak dijaga dengan baik. Jangan-jangan dia jatuh, terluka dan sebagainya. Kalau orangtua kita sakit, kita kuatir jangan-jangan menjadi tambah parah atau menjadi komplikasi. Mungkin berbagai hal dapat membuat kita kuatir. Dalam situasi seperti itu kita dapat mengajukan pertanyaan, “Adakah sesuatu yang dapat saya lakukan dalam situasi ini?” Jika jawabannya, “ya”, maka kita tidak perlu kuatir. Lakukan sesuatu. Jika jawabannya “tidak”, sekali lagi “kuatir” sama sekali tidak berguna. Rileks saja dan terima keadaan. Jadi, baik dalam keadaan di mana kita bisa berbuat sesuatu maupun di tengah situasi di mana kita tidak dapat berbuat apa-apa, dalam semua keadaan kita perlu berserah kepada Tuhan.

Hari ini, kita tidak saja mendengar tentang firman Tuhan melalui ayat Alkitab, tetapi kita percaya bahwa Tuhan sendiri berbicara kepada kita hari ini bahwa Ia tahu apa yang perlu bagi kita. Untuk itu, kita diajak untuk pertama mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (ay 32). Artinya, kita menyerahkan diri sepenuhnya pada pemeliharaan Allah. Bersama Allah, kita bebas dari kekuatiran dan kita hidup dalam kedamaian, kegembiraan dan pengharapan. Pada saat yang sama adalah tugas kita menolong mereka yang berada dalam kekuatiran dengan hikmat dan kemampuan yang kita miliki.





Sunday, January 23, 2011

IMAN YANG SEHAT DI TENGAH DUNIA YANG SAKIT

RENUNGAN MINGGU KE-4
23-29 Januari 2011

Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.
(1 Korintus 15:58)


Rasul Paulus merangkum satu nasihat setelah agak panjang menjelaskan tentang kehidupan kekal (1 Korintus 15:1-56). Dalam ayat 19 dikatakan, “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.” Iman akan adanya kehidupan yang kekal amat mempengaruhi bagaimana kita menjalani hidup di dunia ini. Semua waktu dan kesempatan menjadi sangat berharga dan kita isi dengan segala sesuatu yang baik pula. Dalam kehidupan yang berpengharapan seperti itulah ditegaskan dalam ayat 1 Korintus 15: 58 dua hal yang sangat penting.

Pertama, nasihat yang berbunyi: “berdirilah teguh, jangan goyah.” Ini menyangkut iman dan pengharapan kepada Tuhan. Apa pun yang terjadi dan kita alami: yang manis atau yang pahit, yang menyenangkan atau mengecewakan, semuanya tidak memisahkan kita dengan Tuhan. Artinya, kita hendaknya teguh beriman di segala waktu dan dalam setiap keadaan. Godaan dan cobaan bisa saja datang silih berganti. Tetapi, kita dapat berdiri teguh dan tidah goyah karena kita berpegang kepada Tuhan yang jauh lebih kuat dari segala tantangan yang ada.

Kedua, seruan agar “giat dalam pekerjaan Tuhan.” Ini sama sekali tidak dimaksudkan bahwa kita semua harus melayani fulltime di gereja. Giat dalam pekerjaan Tuhan artinya: melakukan apa yang Tuhan kehendaki kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, lingkungan gereja, dan di lingkungan masyarakat luas. Kalau Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang Pengampun, kita juga hendaknya murah hati dalam pengampunan. Kalau Tuhan begitu peduli kepada mereka-mereka yang menderita dan kekurangan, kita juga seirama dengan Tuhan rela menolong orang-orang yang menderita dengan apa yang bisa kita lakukan: mungkin melalui sapaan yang membangun, meneguhkan, dan membangkitkan semangat; dengan mendoakannya, atau memberi pertolongan nyata.

Salah satu tantangan yang bisa membuat kita menyerah berbuat baik ialah jika mereka yang kita tolong sepertinya tidak memberi tanggapan positif. Mereka tidak menghargai dan tidak berterikasih atas kebaikan kita. Menghadapi orang seperti itu kita terkadang mendengar nasihat keliru yang mengatakan, “Kalau sama dia itu, jangan dikasih hati, ia bisa jadi menjadi-jadi. Dia tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih. Percuma berbuat baik kepada dia!” Misalnya, ada orang lanjut usia yang selalu saja cerewet dan selalu marah-marah (memang tidak semua orang lanjut usia yang seperti itu). Jangankan orang yang sudah tua, yang muda pun ada juga yang bandel, rewel dan cerewet. Tetapi, sikap baik dan perbuatan baik kita hendaknya tidak terpengaruh oleh respon orang lain. Mungkin mereka tidak berterima kasih. Tidak masalah! Walaupun kebaikan kita tidak dihargai dan disambut baik oleh orang lain, kita tidak perlu kecewa dan tawar hati! Kita dapat berpegang pada prinsip ini: Jangan ingat kebaikan yang kita lakukan atau bantuan yang kita berikan; jangan lupakan kebaikan yang kita terima dari orang lain. Ingat kekurangan sendiri (sambil berubah) tetapi lupakan kekurangan orang lain. Itulah keadaan hidup yang berbahagia dan menjadi berkat. Yang menjadi masalah adalah: kalau kita hanya mengingat kebaikan kita dan melupakan kebaikan orang lain; melupakan kekurangan kita dan selalu mengingat kekurangan orang lain. Inilah yang sering kita temukan dalam dunia yang sedang sakit ini. Hidup seperti ini adalah hidup yang tidak mungkin berbahagia dan tidak mungkin menjadi berkat bagi orang lain. Di tengah keadaan demikianlah kita membawa penyembuhan bagi dunia yang sakit ini mengandalkan pertolongan Tuhan.

Dalam firman Tuhan ini dikatakan, “dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” Ya, perbuatan baik kita tidak pernah sia-sia. Sebab, apa yang kita lakukan kepada orang lain adalah yang kita lakukan untuk Tuhan. Dan bagi Tuhan, sekecil apa pun yang baik yang kita lakukan, itu berkenan kepadaNya. Jadi, setiap jerih payah kita yang baik sebenarnya itu adalah terutama antara kita dan Tuhan. Jika orang tidak menghargai perbuatan baik kita, tetapi berkenan kepada Tuhan, itu cukup bagi kita. Lagi pula kita berbuat baik, bukan supaya kita dianggap orang baik tetapi karena Tuhan begitu baik kepada kita dan Ia menguatkan kita untuk berbuat baik.

Sunday, January 16, 2011

TEDUH DAN TEGUH MENGHADAPI MUSUH

RENUNGAN MINGGU KE-3
16-22 Januari 2011

(Baca terlebih dahulu Lukas 6:27-37)


Kita sudah biasa menerapkan ‘pemberian berbasalan setimpal’ dalam kehidupan sehari-hari. Kalau orang lain memberi hadiah ulang tahun kepada kita, kita merasa tidak enak kalau tidak memberi hadiah pada ulang tahunnya. Hadiahnya pun bisa saja diusahakan agar harganya kurang lebih sama. Kalau orang yang kita undang tidak menghadiri pesta kita, kita tidak merasa apa-apa kalau kita tidak menghadiri pestanya di kemudian hari. Bahkan, hal yang sama bisa merembes ke dalam kehidupan bergereja. Jika seseorang hadir pada saat PA di rumah kita, kita akan datang ke rumahnya pada saat PA diadakan di rumahnya. Itulah ‘hukum pemberian berbalasan”. Itu pula yang sudah lama terjadi bahkan pernah dihadapi oleh Yesus dalam pelayananNya.

Melihat kenyataan seperti itu, Yesus menantang pendengarnya dulu dan menyapa kita pada saat ini bahwa sikap demikian sebenarnya tidak ada istimewanya. Sebab, orang-orang berdosa pun melakukan hal yang sama. Kita dapat melihat lebih jelas:
  • Tidak ada istimewanya mengasihi orang yang mengasihi kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 32)
  • Tidak ada istimewanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 33)
  • Tidak ada istimewanya meminjamkan sesuatu kepada orang dengan berharap bahwa kita akan menerima sesuatu dari padanya, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 34)
Sebagai pengikut Tuhan, kita seharusnya menunjukkan sesuatu yang lain, melampaui kebiasaan umat maanusia. Dikatakan dalam ayat 35, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu......” Ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dari dulu hingga hari ini. Buktinya? Orang yang mengasihi kita saja terkadang kita tidak sungguh-sungguh mengasihinya. Kita terkadang tergoda ‘memanfaatkan’ mereka. Apalagi mengasihi musuh. Amat berat! Pada zaman Yesus, untuk mengatakan mengasihi musuh saja sangat sulit, apalagi melakukannya. Pada waktu itu, orang-orang menghendaki agar musuh-musuh mereka mendapat celaka. Kalau musuh mendapat celaka mereka mungkin berkata, “tahankan biar tahu rasa kau!” “Itu belum setimpal dengan kesalahanmu”. “Kok tidak mati saja dia sekalian!” dan sebaginya.

Bagaimana dengan sekarang? Pengalaman kita menunjukkan, bahwa apa yang terjadi pada zaman Yesus masih merupakan penyakit yang sama hingga hari ini. Itu sebabnya perang terjadi di mana-mana, dari perang urat saraf hingga perang dengan pedang dan senapan. Yesus dengan tegas mengamanatkan, “kasihilah musuhmu...” Amat berat, memang. Tetapi tugas panggilan kita adalah untuk menjadi berkat dan sahabat bagi semua orang. Kemauan dan kemampuan kita mengasihi musuh akan dapat melahirkan perdamaian di dunia ini.

Sedikitnya ada tiga hal penting berkaitan dengan mengasihi musuh. Pertama, kebahagiaan untuk diri kita sendiri karena hati kita tidak diracuni oleh permusuhan. Orang yang menyimpan kebencian, sakit hati dan kemarahan tidak mungkin berbahagia. Kedua, menjadi kesaksian bagi orang lain yang dapat menolong mereka untuk bertobat dan berbalik bersahabat dengan kita. Dalam hal ini, mengabarkan Injil bukanlah terutama melalui pengajaran atau pemberitaan dengan kata-kata, melainkan pertama dan terutama melalui keteladanan hidup. Ketiga, Allah kita dimuliakan karena kita anak-anakNya hidup dalam perdamaian dan saling mengasihi. Lagipula, ketika kita bermurah hati kepada orang lain bahkan kepada musuh, sesungguhnya kita telah terlebih dahulu menerima kemurahan hati Allah (ayat 36). Artinya, kemurahan hati bukanlah dari diri kita sendiri tetapi kita terima dari Tuhan dan kita teruskan kepada orang lain.



Sunday, January 9, 2011

PELAKU UTAMA

RENUNGAN MINGGU KE-2
09-15 Januari 2011

(Baca terlebih dahulu Lukas 10:12-17)

Ada satu pernyataan para murid yang diutus sebagaimana dikisahkan dalam Lukas 10:17-20 yang mudah terluput dari perhatian kita. Mari kita perhatikan isi ‘laporan’ mereka kepada Yesus. Para murid itu berkata, "Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu." Kata-kata: “takluk kepada kami demi nama-Mu” telah menggeser pelaku utama dari Yesus menjadi murid-murid. Mereka merasa berhasil ‘memakai’ nama Yesus. Mereka bergembira mengagumi keberhasilan mereka.

Yang indah dan meneguhkan dari cara Yesus ialah bahwa Ia tidak membiarkan mereka menjadi sombong. Yesus tidak membiarkan mereka fokus pada diri dan keberhasilan mereka. Yesus berkata, “Aku melihat Iblis jatuh dari langit”. Artinya: Yesus ada di situ. Ia tahu dan melihat persis apa yang terjadi. Dan, yang paling penting, yang melakukannya bukan murid-murid itu, tetapi Yesus sendiri. Dari pernyataan Yesus tersebut sudah seharusnya murid-murid itu mengubah pernyataan mereka menjadi, “juga setan-setan tunduk kepada-Mu”. Itulah kebenaran yang sesungguhnya. Sebab, Iblis tidak takut kepada orang percaya. Iblis takut dan takluk kepada Kristus yang diam dalam diri orang percaya.

Selanjutnya, Yesus mengarahkan para murid dan kita juga kepada yang bernilai kekal, bukan kegembiraan yang bersifat sementara saja. Murid-murid gembira karena keberhasilan mereka. Ini adalah semacam perasaan senang yang tidak bernilai kekal. Dalam hal ini Yesus mengatakan, “bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga" (ayat 21). Yesus menawarkan sukacita yang bernilai sorgawi atau bernilai kekal. Bukankah sesuatu pemberian yang luar biasa berharga bahwa kita satu kewargaan dengan Kritus sendiri? Kita hidup, bekerja dan melayani di dunia sebagai warga sorga. Anugerah yang luar biasa!

‘Status’ kita sebagai warga kerajaan sorga mengubah hidup kita, mengubah pemahaman kita akan pekerjaan dan pelayanan, mengubah cara kita memperlakukan dan menghadapi orang lain. Salah satu di antaranya adalah kuasa untuk “menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kita”. Ini adalah gambaran. Jangan kita coba-coba memegang kalajengking atau ular dan sejenisnya. (Ular dan kalajengking yang mau menggigit tidak pernah lebih dulu bertanya apakah seseorang itu Kristen atau bukan!). Ular dan kalajengking menggambarkan berbagai godaan licik dan bahaya-bahaya yang ditabur dan ditebarkan oleh Iblis dan orang-orang yang menyerahkan dirinya pada pekerjaan Iblis.

Hidup kita tidak lagi ditentukan oleh faktor-faktor luar, baik yang kelihatan seolah-olah baik dan menjanjikan seperti pujian, pengakuan, kesuksesan menurut ukuran dunia dan lain-lain maupun yang jelas-jelas menyesatkan seperti menyangkal dan meninggalkan Tuhan. Reaksi kita juga akan berbeda. Kita tidak begitu gampang tersulut amarah, tidak cepat menghakimi, tidak memendam dendam, tidak gampang bersungut-sungut, tidak suka mengeluh. Mengapa? Kerajaan sorga tidak memiliki itu semua. Karena itu, sebagai warga sorga kita hidup dan bekerja dalam sukacita sorgawi.

Sebagai warga kerajaan sorga kita akan memasuki kehidupan kita: pekerjaan dan pelayanan kita sehari-hari. Mari kita resapkan dalam hati kita:

(1) Tuhan sudah lebih dulu ada di tempat di mana kita berada. Bukan kita membawa Kristus atau membawa kuasaNya. KuasaNya lebih besar dari kita. Karenanya, kita tidak pergi ‘membawa’ kuasa Yesus, tetapi kita pergi, melayani, menjadi saksi oleh kuasaNya.

(2) Kita tidak menggunakan Tuhan untuk rencana-rencana kita, meskipun kelihatan sangat ‘rohani’. Tuhanlah yang memakai kita untuk pekerjaan-Nya. Tanpa kita pun sebenarnya kerajaan dan pekerjaan-Nya dapat berjalan terus. Dengan kerendahan hati kita bersyukur karena kita diiuktsertakan dalam pekerjaan-Nya.

(3) Setiap kali Tuhan mengutus Ia selalu menyertai. Ia yang mengutus kita menjadi saksi-Nya, Ia juga yang menyertai kita.

(4) Kita harus melepaskan ketergantungan kita pada indikator atau tolok ukur keberhasilan dengan prestasi yang kita capai. Tuhan lebih melihat kasih yang mendorong tindakan kita ketimbang ‘keberhasilan’ yang kita capai.

Sunday, January 2, 2011

PENILAIAN TUHAN DAN PENILAIAN MANUSIA

RENUNGAN MINGGU PERTAMA
02-08 Januari 2010

(Baca terlebih dahulu Bilangan 12:1-6)

Banyak orang Kristen yang tidak melupakan kenyataan bahwa Musa tidak memasuki tanah Kanaan, tetapi melupakan bahwa Musa memiliki kualitas kehidupan yang teruji di hadapan Tuhan. Dalam Bilangan 12 ini kita menemukan sedikitnya tiga hal penting menyangkut kualitas kehidupan dimaksud, sekaligus menjadi perenungan bagi kita dalam menjalani kehidupan yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

Pertama, Musa adalah seorang yang sangat lembut hatinya (ayat 3). Peranan ‘hati’ memang sangat menentukan dalam setiap gerak hidup kita. Dalam Amsal 4:23 misalnya, dikatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan”. Kita perlu mengembangkan sikap kelemah-lembutan. Hal ini sejalan dengan ‘ucapan bahagia’: 'berbahagi-alah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki Bumi’ (Matius 5) dan salah satu buah Roh sebagaimana disebutkan dalam Gal 5:22-23. Kelemah-lembutan penting sekali, karena itu dibutuhkan dalam hubungan dengan Tuhan dan se-sama manusia. Ada sebuah doa indah yang berbunyi, “Ya Tuhan jadikanlah hati kami lemah lembut supaya kami dapat menjadi kuat”. Kelemahlembutan bukanlah kelemahan. (Meekness is not a weakness). Kelemahlembutan adalah kekuatan yang mampu mengubah.

Kedua, Musa adalah hamba Allah yang setia (ayat 7). Kesetiaan kepada Allah ditandai dengan kehidupan yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan, mendengar dan mengikuti kehendakNya serta mengutamakan yang Ia utamakan. Ketika kita lemah lembut dan setia kepada Tuhan, yang terpenting bagi kita adalah 'penilaian' Tuhan, bukan pujian atau celaan manusia. Manusia sering memberi penilaian sesuai dengan suasana hati dan kepentingannya. Mengembangkan kesetiaan kepada Tuhan dapat dimulai dari perkara kecil. Dalam hal ini amat penting meluangkan waktu mendengar Tuhan melalui doa dan merenungkan firmanNya. Kita tidak perlu membela diri, karena Tuhan sendiri yang membela kita.

Ketiga, Tuhan berhadap-hadapan dengan Musa berbicara, bukan melalui penglihatan atau mimpi (ayat 8). Kenyataan ini mau menegaskan bahwa pengalaman perjumpaan Musa dengan Allah sangat konkret, karenanya tidak pantas digugat.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, sebenarnya Harun dan Miryam tidak pantas 'mengata-ngatai' Musa. Musa benar di hadapan Tuhan. Apa yang Harun dan Miryam katakan memang ada benarnya, yaitu: Tuhan tidak saja berfirman melalui Musa (ayat 2). Tuhan juga berfirman melalui mereka dan orang lain. Tuhan juga berfirman kepada kita. Tetapi, bukti bahwa kita menerima firman Tuhan adalah dengan menghargai orang lain dan tidak menganggap diri paling benar. Kita tidak gampang mempersalah-kan orang lain.

Akhirnya, Harun mengakui kesalahannya (ayat 11). Ia tidak berkeras dalam kesalahannya. Kita juga perlu senantiasa terbuka memeriksa diri dan mengakui kesalahan kepada Tuhan dan sesama. Ada kalanya kita jatuh mulai dari kesalahan-kesalahan yang nampaknya kecil seperti ‘mengata-ngatai orang’. Seolah orang lain itu salah, padahal justru kesalahan ada dalam diri kita sendiri. Kalau kita melihat langit mendung, kita perlu memastikan apakah kita tidak memakai kaca mata hitam. Sebab, bisa saja langit terlihat mendung, bukan karena mau hujan tetapi karena kita belum membuka sunglasses kita.

Kita kembali melihat kelemahlembutan Musa. Ia memohon agar Tuhan menyembuhkan penyakit kusta Miryam. Meskipun Miryam bersalah terhadap Musa, tetapi Musa mengasihinya. Musa tidak mengatakan, “syukurlah kau mendapat penyakit itu. Tahankanlah, biar tahu rasa kau!” Musa menghendaki kesembuhan Miryam. Barangkali inilah salah satu yang sangat sulit dalam kehidupan kita. Kita bisa saja tergoda untuk bergembira kalau yang membenci kita menderita atau mendapat celaka Tetapi firman Tuhan ini mengingatkan kita agar kita tetap mengasihi orang lain, meskipun mereka berbuat yang tidak kita sukai. Hidup ini pun akan lebih indah, damai dan bahagia.



Ulangan 12:1-6

12:1 Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush.


12:2 Kata mereka: "Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" Dan kedengaranlah hal itu kepada TUHAN.

12:3 Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.

12:4 Lalu berfirmanlah TUHAN dengan tiba-tiba kepada Musa, Harun dan Miryam: "Keluarlah kamu bertiga ke Kemah Pertemuan." Maka keluarlah mereka bertiga.

12:5 Lalu turunlah TUHAN dalam tiang awan, dan berdiri di pintu kemah itu, lalu memanggil Harun dan Miryam; maka tampillah mereka keduanya.

12:6 Lalu berfirmanlah Ia: "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi.



ShoutMix chat widget