Tuesday, October 30, 2007

MENGHADAPI KEKUASAAN YANG LALIM


Belajar dari Sikap Sadrakh, Mesakh dan Abednego[1]
(Bacaan: Daniel 3:13-23)

NEBUKADNEZAR DAN PARA PENGUASA ZAMAN INI

Kekuasaan seringkali diidentikkan dengan “hak istimewa” dan bahkan dimerosotkan ke dalam kesewenang-wenangan. Hal ini amat jelas dalam sikap Raja Nebukadnezar, yang dalam berbagai segi mencerminkan perilaku penguasa bangsa-bangsa hingga pada awal abad ke-21 ini.

Berikut ini adalah sikap Nebukadnezar yang menempatkan kuasanya di atas segala-galanya dan bagaimana hal itu mewarnai perilaku penguasa hingga awal milenium ke-3 ini :

(1) Memerintah dengan Marah dan Geram

Sosok raja yang tampil di sini adalah seorang raja yang ditakuti, bukan yang disegani. Raja tampil sebagai monster haus darah yang menyeramkan, bukan raja yang penuh hikmat dan wibawa yang mengayomi dan yang pantas dihormati. Padahal dunia ini membutuhkan lebih banyak pemimpin yang disegani, bukan yang ditakuti. Disegani, karena wibawa, ketulusan, bersih dari segala kecurangan, dan yang sungguh-sungguh mengusahakan keadilan dan damai sejahtera bagi setiap dan semua orang.

Yang amat menyedihkan ialah bahwa kemarahan dan kegeraman para penguasa tidak selalu tampak melalui raut wajah yang menyeramkan. Justru seringkali kemarahan dan kegeraman dibungkus rapi dengan senyuman yang sangat menawan, tetapi dengan berbagai cara melumpuhkan yang mengkritiknya dan melenyapkan orang-orang yang tidak disukainya.

(2) Menghakimi Menurut Kemauan Sendiri

Di sini Nebukadnezar bertindak sebagai jaksa dan hakim sekaligus. Keputusan mutlak ada di tangan raja, tanpa membutuhkan alasan, pembelaan atau nasihat orang lain. Raja menjadi pusat segala sesuatu keputusan.

Dalam dunia modern ini memang pengadilan berlangsung melalui lembaga peradilan. Tetapi lembaga tersebut seringkali bekerja berdasarkan skenario yang sudah digariskan oleh sang “sutradara” yang berada di balik pengadilan itu. Dalam pengadilan seperti itu biasanyan keputusan sudah tersedia sebelum proses pengadilan berlangsung. Keputusan yang menguntungkan mereka yang berkuasa dan mengorbankan orang-orang lemah!

Dunia ini akan jauh lebih indah dan layak huni kalaua manusia berhasil memenangkan perang terhadap egoisme (pementingan diri sendiri) dan menghormati kemanusiaan sesama manusia sebagai yang berharkat dan berharga di hadapan Allah.

(3) Menghabisi Nyawa Manusia yang Menolak Perintah Raja

Di hadapan raja hanya ada dua kelompok manusia: kawan atau lawan. Kawan adalah mereka yang taat, yang harus tunduk dan menuruti semua titah raja. Untuk kelompok ini biasanya raja memberi hadiah (Contohnya, lihat Daniel 2 : 48). Sama seperti banyak penguasa pada zaman ini, yang tidak segan mengobral “berbagai piagam penghargaan” atau medali kepada mereka yang tunduk, membeo, dan menjilat. Tetapi tidak sungkan melenyapkan dan menghabisi nyawa mereka yang berbeda pendapat dengan penguasa. Pelenyapan tersebut bahkan seringkali dilakukan terorganisasi secara rapi tanpa bekas. Yang dianggap membangkang dilenyapkan baik secara sadis dan tragis – terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
KETIDAKTAATAN YANG BERTANGGUNGJAWAB

Hukuman kepada Sadrakh, Mesakh, dan Abednego sudah jelas: akan dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala. Hukuman yang bukan main dan bukan main-main! Tetapi mari kita simak apa yang mereka katakan: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (ay 17 – 18).


Raja membuat keputusan atas dasar kuasanya sendiri, sedangkan ketiga orang ini membuat keputusan atas kepasrahan dan ketaatan kepada Allah. Hanya dengan demikian mereka tidak terjerumus ke dalam tindakan bodoh dan ceroboh dengan menuruti perintah raja yang sombong dan kejam itu.

Ketaatan kepada Allah dan menolak raja yang lalim memang mengandung dan mengundang risiko yang tidak ringan. Nyawa dipertaruhkan di sini! Tetapi lebih baik mati “terhormat” dalam kesetian kepada Tuhan daripada hidup menuruti kemauan raja yang sesat.

Kalau para murid Yesus mengatakan “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kisah 5 : 29), hal itu sudah dilakukan oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego jauh sebelumnya.

Baik ketiga orang ini dan para murid Yesus menunjukkan sikap “ketidaktaatan yang bertanggungjawab.” Tidak taat kepada kekuasaan yang lalim karena ketaatan dan tanggung jawab kepada Allah. Ketidaktaatan yang bertanggung jawab mesti kita lakukan ketika penguasa atau siapa pun juga di dunia ini memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Tetapi perlu kita ingat dan teladani bahwa Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tidak mencari-cari “hukuman” tetapi ketika menghadapinya harus siap dengan iman dan kesetiaan kepada Allah. Jangan mentang-mentang kita percaya kepada Allah yang Mahakuasa, lantas kita dengan pongah mencari lawan dengan keyakinan bahwa Allah akan melakukan mujizat asal kita percaya. Ini bukan kesetiaan kepada Allah melainkan kesesatan dan tindakan “mencobai” Tuhan. Pencobaan seperti inilah yang dihadapi dan dikalahkan oleh Yesus ketika Ia dicobai di padang gurun.

Alkitab menyaksikan bahwa “salib” harus kita pikul dalam mengikut Yesus. Salib sebagai simbol penderitaan karena kebenaran dan yang mengantar kita kepada kemenangan.




[1] Pernah dimuat dalam Majalah Berita Oikumene, PGI, Jakarta

Sunday, October 21, 2007

CORAM DEO




(Di hadapan Allah)[1]

Bangsa Indonesia seolah tak henti-hentinya digempur berbagai gelombang kehidupan. Dampak langsung beberapa kali kenaikan harga kebutuhan pokok pasti akan disusul oleh aneka permasalahan sosial. Harga sembako kian melangit, dan orang-orang miskin makin terjepit dan menjerit.

Memang pantas disyukuri karena masih ada orang kaya yang memiliki kepedulian terhadap sesama yang menderita dan berkekurangan. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang berpunya yang makin pelit dan suka berkelit. Makin pelit, karena mungkin kuatir akan krisis susulan yang mungkin manjamah atau bahkan menjarah rekening bank mereka. Karena itu, atas nama “penghematan” kepedulian terhadap sesama jadinya terabaikan. Sebagian orang berkelit, dengan anggapan (keliru) bahwa semua bentuk kemiskinan adalah karena kemalasan. “Orang miskin tidak perlu diberi hati, sebab mereka miskin karena kemalasan mereka!”, demikian mereka berdalih. Padahal, kemiskinan lebih sering disebabkan oleh faktor ketidakadilan dan ketiadaan kesempatan.


Pertanyaan pun menyambar benak, “di manakah Allah?” Anda mempunyai pertanyaan yang sama? Anda tentu tidak sendirian. Tetapi baiklah kita terlebih dulu melihat dengan jernih konteks di mana kita sedang hidup. Kemudian, dengan nurani yang jernih pula serta dengan rahmat pengasihan Allah, kita boleh mengimani dan merasakan kehadiran-Nya.

Amat jelas bahwa di satu pihak kita hidup di tengah aneka kemajuan, tetapi di pihak lain kita juga hidup di tengah berbagai kemunduran. Kita menyaksikan begitu pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang membawa berbagai kemudahan. Hasil teknologi telah memperpendek jarak tempuh satu wilayah ke wilayah lain melalui transportasi dan teknologi komunikasi ultra canggih. Sampai di sini, ia membawa berkat.

Tetapi perlu dicatat dan direnungkan bahwa ia juga membawa berbagai kesulitan. Hasil penemuan-penemuan baru di bidang iptek tidak mampu menghidupkan dan memanusiakan orang-orang yang sudah terlanjur gugur tergilas oleh dampak buruk iptek itu sendiri. Teknologi tidak mampu menyembuhkan luka-luka batin banyak orang yang terluka parah oleh “efek samping” dan “efek dalam” (inheren) iptek tersebut. Iptek juga tidak mampu menyembuhkan penderitaan alam yang tersiksa oleh polusi dan tindakan destruktif manusia.

Sikap destruktif (merusak) terhadap sesama manusia dan alam semesta sebenarnya mempunyai akar yang amat kuat pada egoisme manusia. Lihatlah sekeliling kita: persaingan telah merasuk dan merobek persekutuan umat manusia. Kehidupan kita kesehariannya dipenuhi oleh begitu banyak kisah tanpa kasih persaudaraan.

Kita hidup di tengah hiruk-pikuk pengilahan harta dan tahta. Memang, kenyataannya harta dapat menjadi tiket merebut tahta dan mereka yang bertahta amat mudahnya dapat meraup harta yang bukan miliknya. Ungkapan yang mengatakan bahwa “mendapat harta di dunia ini ibarat minum air laut; semakin diminum akan semakin harus”, mendapat lahan yang amat suburnya di planet bumi ini. Yang menyedihkan ialah, bahwa rasa tidak puas seringkali diikuti oleh sikap buas. Buas terhadap sesama dan buas terhadap mahluk dan alam ciptaan Tuhan. Sejarah telah bersaksi kepada kepada kita bahwa bangsa-bangsa seringkali memangsa sesamanya. Para pengurus negara acap berubah menjadi penguras harta negara.

Daftar keprihatinan yang melanda dunia dewasa ini masih sangat panjang. Masalahnya adalah, begitu banyaknya orang yang bertindak sebagai ‘tuhan’ kecil terhadap sesamanya dan terhadap bumi milik Allah ini. Yang terjadi adalah kebebasan tanpa tanggung jawab. Konsekuensinya: merajalelanya pola hidup liar bernafaskan hukum rimba the survival of the fittest (siapa kuat, ia menang).

Di manakah Allah? Mengajukan pertanyaan seperti ini tidak salah. Ia adalah pertanyaan yang sah, apalagi kalau ia lahir dari kerinduan akan Allah, yakni: kerinduan untuk melihat pintu rahmat Tuhan di tengah segala macam pergumulan hidup ini. Kita belajar dari Alkitab bahwa para tokoh Alkitab juga tidak jarang mengajukan pertanyaan senada. Elia, misalnya, pernah merasa sendirian di tengah tantangan yang membentang di hadapannya. Ia tidak melihat rahmat Allah yang jauh melampaui nalarnya. Elia berkata kepada Tuhan, “hanya aku seorang dirilah yang masih hidup…” Tetapi Allah berkata, “Aku akan meninggalkan tujuh ribu orang yang tidak sujud menyembah Baal dan yang mulutnya tidak mencium dia’ (selengkapnya, baca 1Raj 19;9-18). Satu perbandingan angka yang sangat signifikan bukan? Allah berkarya di luar perhitungan dan pengetahuan kita!

Reaksi kita menangapi persoalan-persoalan dunia ini bisa beraneka ragam. Mungkin ada yang menempuh jalur mencari kambing hitam. Mereka begitu tajam melihat sumber persoalan pada orang lain. Ada juga yang lebih senang dengan merasionalisasi dengan prinsip bahwa semuanya itu “wajar-wajar saja”, karena kita masih manusia (bukan malaikat) dan kita masih di dunia. Atau, ada orang yang meledakkan amarah dalam tindakan destruktif. Sikap-sikap demikian lebih merupakan pintu gerbang menuju persoalan dan penderitaan yang lebih parah ketimbang jalan keluar dari persoalan.

Coram Deo, artinya “di hadapan Allah.” Allah mengambil inisiatif menghidupkan kesadaran kita, menyentuh bagian hidup kita yang terdalam (inner life). Ia menyegarkan kesadaran kita akan kehadiran-Nya melalui pelayanan, penderitaan dan kemenangan Kristus. Proses penyelematan dan pemeliharaan Tuhan itu masih sedang dan akan berlangsung. Hal ini dapat terjadi melalui pelayanan orang-orang yang mengikut Kristus, atau mereka yang tidak percaya pun. Hanya dengan pengakuan dan kesadaran seperti inilah yang memungkinkan kita beranjak dari rasa frustrasi kepada kehidupan yang berpengharapan.


Coram Deo! Kita berhadapan dengan Allah yang pengasih dan pengampun. Bukankah menjadi murid Kristus berarti menjadi pengasih dan pengampun? Ketika amarah menghajar dan melumpuhkan kesabaran, semangat kasih dan pengampunan akan mampu meredam dendam dan sekaligus menyuburkan rasa persaudaraan. Ketika sikap pesimis dan sinis memborgol kemauan kita, karya dan keteladanan Kristus menyemangati perjuangan kita.

Apakah Anda merasa amat ‘kecil’ menghadapi mega permasalahan dunia ini? Perasaan demikian memang ada baiknya sejauh berperan sebagai rem untuk mencegah diri dari kepongahan atau kesombongan, bahwa segala sesuatu ada di bawah kendali kita. Tetapi perasaan seperti itu akan melumpuhkan inisiatif dan aksi kasih kalau ia mendapat dorongan dari rasa frustrasi berbaur pesimisme. Satu hal yang pasti adalah ini: Allah jauh lebih besar dari segala permasalahan dunia ini. Allah selalu dapat menjangkau kita di manapun kita berada. Perkataan, “carilah dan kamu akan menemukan” (Yer 31:3) harus kita pahami bahwa kita sudah terlebih dahulu ditemukan oleh Allah. Persoalannya ialah, apakah kita bersedia untuk selalu berada di mana Allah menghendaki kita seharusnya berada?

Juga, kiranya tidak terluput dari kesadaran kita bahwa Tuhan memberikan yang terbaik tepat waktu. Simaklah misalnya yang dikemukakan Yesus dalam Mat 7:9-11, “Adakah seorang daripadamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Karena itu, sungguh tidak tepat kalau para pemimpin negara-negara di dunia ini memberi pidato ketika masyarakat dunia meminta sembako. Sebab, pidato tidak penah mengenyangkan perut yang lapar. Dunia haus akan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan yang dapat dinikmati jika para penguasa bertindak adil.

Coram Deo mengimplikasikan tanggung jawab umat beriman untuk menanggapi panggilan Allah menjadi teman sekerjaNya. Singkatnya begini, di dalam doa kita bertemu dengan Kristus yang menanggung penderitaan dunia ini dan di dalam kehidupan dan pelayanan kita bertemu dengan orang-orang yang di tengah-tengah mereka Kristus hadir. Tuhan memimpin perjalanan hidup kita dan perjalanan dunia ini pada milenium ini.

[1] Pernah dimuat dalam Majalah Immanuel, HKBP.

Friday, October 19, 2007

APA YANG KAMU CARI?

Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup.
(Amos 5:6).

Tanyakan diri Anda: “Berapa banyak waktu yang saya gunakan mengagumi ciptaan Allah; dan berapa banyak waktu yang saya habiskan mengagumi harta milik saya?”
(J. Matthew Sleeth[1])
*********************************

Ini bukan pertanyaan saya kepada Anda, melainkan pertanyaan Yesus kepada saya dan Anda saat ini. "Apakah yang kamu cari?" (Yoh 1:38). Kita mesti dengan jernih mengenali apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini. Sebab, apa yang kita cari amat mempengaruhi seluruh gerak hidup kita.

Jika yang kita cari dan perjuangkan adalah apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita, pasti kita akan menjalani hidup ini dengan hati damai, penuh ceria dan bebas dari ketegangan yang tidak perlu. Tetapi jika kita berusaha mengejar cita-cita yang kita ciptakan sendiri atau yang orang lain ‘paksakan’ kepada kita, maka ‘sukses’ (kalau itu ada) akan dibarengi rasa tidak damai dan tanpa kegembiraan bagi diri kita dan orang lain. Keadaan ini terjadi karena untuk mencapai target yang kita kejar kita mungkin saja terjatuh menghalalkan segala cara, melawan kebenaran, berlomba tidak sehat, bekerja ekstra keras, memaksa diri lembur malam. Hidup kita pun menjadi tegang, gampang tersulut amarah, bermusuhan, curiga, tidak peduli pada orang dan sebagainya.[2]

Fakta menunjukkan bahwa “kesuksesan” sering membelenggu banyak orang saat ini. Kita ambil Amerika sebagai contoh, karena tidak sedikit orang di dunia ini yang ingin mencapai kemakmuran ekonomi setingkat orang-orang Amerika.

84% pebisnis di AS bekerja lebih dari 45 jam/ minggu. 81% mengalami stress, 48% stress setiap hari. 89% membawa pekerjaan ke rumah mereka. 65% tetap bekerja lebih dari satu weekend setiap bulan. 42% tidak memberi waktu membaca kepada anak-anak. 53% meluangkan waktu kurang dari 2 jam seminggu bersama anaknya. Pasangan mereka bertanya, “mengapa tidak ada waktu bersama untuk kita?” Mereka menjawab, “Masalahnya bukan engkau sayang, masalahnya adalah saya yang sendiri sudah tidak tahu bagaimana tidak bekerja.”

Berbagai persoalan kehidupan lainnya sedang menimpa banyak rakyat Amerika. Misalnya, diperkirakan ada 19 juta pil tidur yang diminum orang setiap malamnya di sana.[3] Begitu banyak orang yang menderita insomnia. Harga tempat tidur mereka ribuan dollar, tetapi tidak ‘sanggup’ memberi tidur nyenyak, karena berbagai pikiran berarak dan saling tabrak dalam benak. Di samping itu, sekitar 50% keluarga Amerika bercerai.[4] Orang tidak sedikitpun merasa malu mengatakan bahwa status mereka bercerai.

Saya tidak mengatakan bahwa Amerika sudah berubah menjadi ‘neraka’ kecil. Banyak orang di sana yang masih setia kepada Tuhan, berpikiran jernih, mempertahankan moral kristiani, peduli pada sesama yang menderita dan lain-lain. (Harapan kita bahw saudara-saudara kita warga HKBP di AS masuk dalam kelompok yang jernih ini). Tetapi kita tidak bisa mengabaikan kenyataan yang membelenggu sebagian saudara-saudara kita di sana. Dapat ditambahkan di sini bahwa antara 1958 dan 2005 orang-orang Amerika membelanjakan uangnya 27% untuk perawatan kesehatan[5] --yang merupakan jenis pengeluaran tertinggi sesudah rumah dan transportasi. Orang Amerika sendiri mengakui persoalan yang mereka hadapi seperti terungkap dalam pernyataan berikut:

“Jika kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam kepemilikan barang-barang dan dalam kemampuan memanjakan diri dengan memiliki apa saja yang kita inginkan, mengapa kebanyakan dari kita di Amerika kehilangan kegembiraan dan kebahagiaan yang amat parah? Orang-orang yang sudah memiliki banyak terus berusaha untuk mendapat lebih banyak lagi. Angka perceraian, bunuh diri, depresi, kekerasan terhadap anak amat tinggi dan berbagai persoalan pribadi dan sosial yang begitu banyak jumlahnya. Semuanya ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak ditemukan dalam kepemilikan semua yang kita inginkan dan dalam kemampuan kita untuk mendapatkan lebih banyak lagi”.[6]

Mencermati kenyataan seperti itu, jika kita berkeinginan dan berjuang untuk mencapai kemakmuran setingkat orang-orang Amerika, kita perlu memikirkan ulang niat kita. Kita akan capek mencapainya dan kita bisa sengsara karena terpenjara oleh pencapaian kita sendiri dan sekaligus menyengsarakan saudara-saudara dan keluarga kita.

Ada satu ironi yang menggejala dan mengganjal pada zaman ini. Penemuan-penemuan yang memudahkan pekerjaan manusia memang sudah banyak tersedia, akan tetapi aneka kesulitan tetap melilit hidup umat manusia. Bagi sebagian orang timba sumur sudah diganti pompa air listrik dan mesin cuci listrik. Pekerjaan gigi mengunyah makanan dibantu oleh blender dan juicer. Kendaraan tanpa roda dua (jalan kaki) diganti sepeda motor dan mobil. Mesin ketik diganti komputer. Kurir berita diganti layanan surat express, telepon seluler dan internet. Mesin-mesin makin banyak, tetapi manusia jadi ikut-ikutan seperti mesin. Mana lebih sibuk dan lebih capek orang dulu dan orang sekarang? Siapakah yang lebih ceria?

Sedikitnya dua hal penting yang kiranya perlu mendapat perhatian kita secara serius dalam menapaki perjalanan hidup kita dalam era hyper-konsumerisme ini, yakni menyangkut ‘nilai kebersamaan’ dan ‘nilai waktu’.

1. Kebersamaan versus Mainan dan ‘Voucher’

Banyak orang yang sudah menggantikan hubungan dengan sesama manusia dengan mobil, komputer, VCD dan rekening bank.[7] Untuk anak-anak misalnya, para orangtua memberi banyak mainan sebagai ganti ‘kasih’ dan ‘kebersamaan’. Anak-anak lebih akrab dengan mainannya ketimbang orangtuanya. Apalagi, mainannya kebanyakan yang berbau kekerasan seperti pesawat tempur, pistol, senjata laras panjang, spiderman, pasukan baja hitam dan sebagainya, yang semuanya ini bisa saja mempengaruhi kepribadiannya sejak kecil. Ketika ayahnya pulang kerja, ia disambut anaknya dengan dor…dor… sambil menodongkan ‘pistolnnya’. Suami memberikan ‘voucher’ belanja ke mall kepada istrinya sebagai kompensasi kebersamaan dan kemesraan.

Keadaan seperti ini mendorong banyak orang menganut apa yang disebut oleh Storkey sebagai Orientasi Konsumsi Kini (OKK) dan Orientasi Konsumsi Nanti (OKN).[8]

Orientasi Konsumsi Kini (OKK):
Ini dapat disebut hedonisme, yang mencari kenikmatan maksimum untuk saat ini. Model ini menarik masa depan ke masa kini. Apa yang menyenangkan saya sekarang lebih penting dari apa yang akan terjadi nanti. “Masa depan” dipinjamkan kepada “masa kini”. Konsekuensinya, ‘hutang’ menjadi pilihan utama. Hutang memberi saya ‘sekarang’ apa yang saya bayar ‘nanti’. Karena kenikmatan adalah yang utama, maka perencanaan, tujuan, pengembangan dan konsekuensi menjadi tidak penting. Makan, minum, dan beli apa yang engkau inginkan dan tidak ada perhatian pada akibatnya.

Orientasi Konsumsi Nanti (OKN):
Dalam pandangan ini, bekerja berarti untuk konsumsi masa depan. Orang menjadi gila kerja dan memaksa produksi yang dibayangkan dapat dinikmati pada masa depan. “Masa kini” dipinjamkan kepada “masa depan” Kita didorong ke depan, kepada hadiah konsumsi masa depan: rumah yang lebih besar, pekerjaan yang lebih baik yang berarti gaji yang lebih tinggi, mobil yang lebih mulus, liburan yang lebih banyak, cruise, gaji pensiun yang baik, dan acara pemakaman yang lebih ‘terhormat’. Tekanan terhadap masa depan begitu kuat, sehingga tidak ada ruang yang tersedia untuk saat ini. Berkaiatan dengan ini kita bisa bandingkan dengan ungkapan Indonesia “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Masalahnya, jika terlalu ekstrim maka yang terjadi adalah “bersakit-sakit dahulu, tewas kemudian”.

Konsumerisme (mengkonsumsi dan memiliki lebih dari yang dibutuhkan) begitu kuat merasuki kehidupan umat manusia pada zaman ini. Storkey mengatakan bahwa 20% - 50% apa yang diproduksi sekarang ini hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak ada nilainya bagi hidup manusia. Hidup kita lebih baik tanpa rokok, alkohol, fast food, senjata, narkotik, mobil berkemampuan cepat tetapi lambat di jalan, iklan, kosmetik, security systems, lotere dan masih banyak produk lain yang dijual. Semuanya itu membawa dampak buruk, ketidakpedulian atau sekadar sampah yang membuat manusia menjadi miskin,[9] tidak saja secara finansial tetapi juga secara emosional dan moral.

Ternyata, kekosongan jiwa manusia tidak bisa diisi dengan segudang mainan atau voucher belanja. Itu sebabnya rasa frustrasi sering menghinggapi banyak orang meskipun mereka tidak kekurangan secara materi. Dengar apa kata O.J. Simpson tentang masalah kehidupannya dan masyarakatnya: “saya duduk di rumah saya dan kadang-kadang amat kesepian. Saya memiliki istri yang menakjubkan, anak-anak yang baik, uang dan kesehatan –dan saya kesepian dan bosan….Saya sering bertanya mengapa begitu banyak orang kaya yang bunuh diri. Uang tidak menyelesaikan segalanya”.[10]

Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada yang salah jika kita makmur secara materi asal kita senantiasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan. Kehendak Tuhan menjadi kehendak kita. Hendaknyalah kemakmuran makin membawa kebersamaan dan keakraban –kepada orang lain dan terhadap diri sendiri. Ada begitu banyak orang yang tidak ramah dan ‘bersahabat’ dengan dirinya sendiri karena memaksa diri untuk mencapai keinginan. Apakah artinya harta kalau itu memisahkan kita dari keluarga, sahabat, sesama manusia dan diri kita sendiri? Kerja tanpa kasih hanyalah buang-buang tenaga.

2. Time is….(Waktu adalah…)

Awalnya, jam diciptakan di biara Benedictine pada abad ke-12 dan ke-13 untuk membantu para rahib memelihara jam-jam doa secara teratur. Dengan kata lain, jam diciptakan sebagai alat atau sarana untuk memperdalam kesalehan dan berguna dalam pelaksanaan ibadah. Tetapi, sayangnya, saat ini jam tidak banyak digunakan berkaitan dengan ibadah kepada Tuhan atau memperkokoh iman kita, tetapi untuk menolong kita lebih efisien dalam pekerjaan kita. Dalam berbagai hal, jam membuat manusia hidup dengan anggapan seolah-olah tidak ada Allah. Waktu sering diasosiasikan dengan pemenuhan keinginan ketimbang respon kepada Allah, sesama dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen.[11]

Justru karena kegagalan kitalah memahami dan menerima ‘waktu’ sebagai anugerah yang membuat orang sering menghidupkan handphone dan pagernya selama beribadah atau terus saja berbicara di teleponnya pada saat menikmati waktu bersama dengan keluarganya seperti ketika jalan-jalan ke taman atau rekreasi. Orang-orang seperti ini gagal menangkap misteri dan nilai berharga dari ‘waktu’ dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini Padovano mengatakan, “Kita merasa sukar saling berbagi waktu dan kehadiran apabila hidup kita produktif dan berhasil. Betapa ironisnya!”[12]

Kita mesti memahami bagaimana kita mengalami waktu, bukan sebagai “konsumer” tetapi sebagai orang yang mengasihi Allah dan sesama. Dunia berkata time is money tetapi kita percaya: time is grace (waktu adalah anugerah) dan time is love (waktu adalah kasih) –keduanya tidak bisa diuangkan dan tidak dapat dibeli dengan uang.

Apa yang Anda cari? Firman Tuhan berkata:
“Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup” (Amos 5:6).
“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).

Seruan ‘carilah’ di sini berarti ‘kembalilah’. Sebab, Allah dan Kerajaan-Nya sudah ada. Ia ada di tengah-tengah kita. Itu berarti bahwa sesungguhnya tidak ada yang perlu kita cari. Kita hanya perlu menjalaninya. Dalam perjalanan itulah kita menemukan segala keindahan. Kita mencari Tuhan, karena Dia lebih dulu menemukan kita. Kita membutuhkan keheningan untuk bertanya dan menemukan rencana dan kehendak Tuhan dalam hidup kita.

Dalam hal ini kita mungkin saja perlu mengubah cara pandang dan sikap kita terhadap pekerjaan kita bahwa pekerjaan bukan hanya sekadar ‘mata pencaharian atau cari nafkah’ tetapi juga sebagai tugas panggilan dan pelayanan kita di dunia ini. Atau, yang jauh lebih berat, mungkin saja kita perlu mengubah pekerjaan itu sendiri jika itu bukan pekerjaan yang baik dan tepat bagi kita. Untuk kasus seperti ini barangkali kita membutuhkan peritimbangan dalam suasana doa yang sungguh-sungguh. Mengubah pekerjaan dengan penghasilan yang berkurang tetapi dengan kualitas hidup yang lebih baik disertai kebahagiaan adalah lebih ‘sukses’ ketimbang mendapat upah yang lebih melimpah tetapi memenjarakan hidup.

Kini, mohon luangkan waktu sejenak untuk mengikuti nasihat Padovano berikut ini:

Dengan merasakan kehadiran Allah, mohonlah penerangan dan rahmat agar dapat bertekad bulat untuk mengikuti panggilan yang diberikan oleh Allah kepada Anda untuk menjadi diri Anda sendiri. Kita perlu merenungkan bagaimana kita dapat mengalahkan atau mengatasi kelemahan dan kekurangan kita, tetapi terlebih dahulu marilah kita bersyukur kepada Allah atas apa atau siapa diri kita sebagaimana adanya.[13]




[1] J. Matthew Sleeth, Serve God, Save the Planet: A Christian Call to Action (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 42
[2] Alkitab memberi pelajaran kepada kita dalam hal ini. Kejatuhan manusia pertama, Adam dan Hawa, sudah membuktikan hal itu. Orang-orang membangun menara Babel untuk ‘mencari nama’ (Kej. 11:4). Perumpamaan tentang anak yang meminta warisan dari ayahnya dan hidup berfoya-foya (Luk. 15), juga menyatakan apa yang dicari orang dan bagaimana akibatnya.
[3] Florence Wedge, Mengatasi Rasa Cemas, terj. (Jakarta: Obor, 1989).
[4] http://www.divorcerate.org/, diakses 16/9/2007
[5] Robert J. Shiller, “Good News –The World is Getting Richer”, dalam The Strait Times, Singapore October 19, 2006”, 27.
[6] Michael P. Green (ed.), 1500 Illustrations for Biblical Preaching (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 183.
[7] John F. Kavanaugh, Following Christ in a Consumer Society (Maryknoll: Orbis Books, 2006), 8
[8] Allan Storkey, “Postmodernism Is Consumption”, in Craig Bartholomew and Thorsten Moritz (eds.), Christ and Consumerism (Carlisle, Cumbria: Paternoster Press, 2000), 110
[9] Ibid., 103
[10] Michael P. Green (ed.), opcit., 249.
[11] Robert M. Solomon, Fire for the Journey: Reflection for a God-guided Life (Singapore: Genesis Book, 2002), 78
[12] Anthony T. Padovavno, Tujuh Hari Bersama Thomas Merton: Menjadi Diri Sendiri (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 34
[13] Ibid., 51.

Tuesday, October 16, 2007

KHOTBAH DAN PENGKHOTBAH (1)

PENGKHOTBAH


Setelah lama berkhotbah,
aku rindu duduk menjadi pendengar.
Awalnya agak sulit, lama-kelamaan terbiasa.
Kubuka telingaku dan kurasakan makna kata per kata.

Kuikuti sabda Tuhan dan uraiannya,
dengan hati yang pasrah tanpa prasangka.
Ternyata kedamaian mulai merasuki diriku.
Kekuatan baru mengalir, bahagia dan hidup.


Aku mulai curiga dengan khotbah-khotbahku.
Selalu kukumpulkan ilmu dan dasar-dasar teologi.
Kucari contoh-contoh selaras zaman.
Kuselipkan humor penyegar suasana.
Mereka kagum padaku, pada kehebatanku.
Arsip-arsip khotbahku diminta, bahkan direkam,
mereka terbantu oleh khotbah-khotbahku.
Namun mengapa aku menjadi lelah dan kering.
Kekaguman orang tak membuatku lebih damai.

Aku menjadi sadar,
lebih mudah berbicara tentang Tuhan,
dibanding duduk membiarkan diri mendengar Tuhan.
Berbicara tentang Tuhan menghasilkan kehampaan,
sedang mendengarkan Tuhan memberikan kedamaian.

Aku perlu menjadi pengkhotbah
yang mendengarkan.[1]



[1] Yohanes Rohmadi Mulyono, Dialog Hati:Dalam Beningnya Keheningan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 118.

Thursday, October 4, 2007

KEPUTUSAN TANPA KEPUTUSASAAN (2)

BAYI DEWASA

Kebahagiaan membuat orang miskin merasa kaya,
dan ketidakbahagiaan membuat orang kaya merasa miskin
.[1]
(Benjamin Franklin)

Berikut ini ada dua ilustrasi yang kiranya dapat kita petik maknanya:

HUKUM HAK MILIK A LA ANAK-ANAK

Jika saya menyukainya, itu adalah milikku
Jika berada di tangan saya, itu adalah milikku
Jika saya dapat mengambilnya dari tanganmu, itu adalah milikku
Jika saya sudah pernah memegangnya sebelumnya, itu adalah milikku
Jika itu punyaku, itu tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara apa dan bagaimana pun.
Jika saya membentuk atau membangun sesuatu, setiap keping bahan-bahannya adalah milikku
Jika kelihatan seperti punyaku, itu adalah milikku
Jika saya pikir itu milikku, itu adalah milikku
Jika itu punyamu dan berhasil kucuri, itu adalah milikku
Jika rusak, itu adalah milikmu

BAYI DAN BENDA-BENDA[2]

Kulihat seorang bayi dan pengasuhnya.
Pengasuh bayi itu pergi sejenak.
Si bayi berusaha merangkak ke mana-mana.
Tangannya menggapai-gapai.
Segala yang dipegangnya dimasukkan mulut,
mulai dari yang lunak sampai yang keras,
belum mampu memilih benda itu baik atau jelek.

Kulihat juga seorang dewasa.
Ia sudah bisa lari dan mengurus diri,
namun tidak beda dengan bayi tadi.
Segala yang ada diambil dan dimilikinya.
Sayang ia tidak tahu mana yang penting bagi hidupnya.

Berapa banyak ‘bayi’ seperti ini sekarang? Tidak ada sensus resmi dari PBB. Tetapi, jumlahnya pasti banyak. Mereka mampu mengenakan dasi sendiri. Lihat, mereka banyak di jalan raya dan di kota dan mampu mengendarai mobil (bukan mobil mainan). Mereka ada di restoran-restoran tanpa pengasuh. Mereka ada di mall dan supermarket bukan di dalam ‘kereta dorong’ tetapi mendorong 'kereta dorong'. ‘Bayi-bayi’ seperti itu ada di bandar udara dengan 5 koper besar di bagasi. Tidak semua memang yang di kota, di jalan raya, di mall, di restoran itu ‘bayi’, tetapi jumlahnya lumayan banyak.

Kebutuhan vs Keinginan

Iman kristiani sebenarnya amat menekankan orientasi kebutuhan. Hal ini sangat jelas dari ajaran dan anjuran Tuhan Yesus, Rasul Paulus dan yang lain. Tetapi, zaman ini agaknya sudah dikendalikan oleh ‘keinginan’ yang biasanya identik dengan kerakusan. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan kehidupan di dunia ini. Sebab, semangat untuk mengumpul, menumpuk barang-barang atau materi yang lain dan melahap makanan melampaui batas kebutuhan harus dibayar dengan ketidakpedulian terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan Tuhan. Untuk memenuhi keinginan yang tanpa batas itu, manusia tidak sungkan mencuri, korupsi, merampas bahkan hingga mengorbankan nyawa orang lain.

Mungkin ada yang berkata bahwa tidak semua penumpukan itu hasil pencurian. Bisa saja. Harta milik dan barang-barang yang ditumpuk mungkin diperoleh secara legal, meskipun tidak pantas secara moral.

Contohnya? Seseorang yang memiliki 25 pasang sepatu, 3 lemari penuh pakaian, dua gudang penuh barang-barang yang mahal tetapi tidak dipakai, mampu membeli banyak makanan –semuanya diperoleh dari hasil kerja keras. Legal, tentu. Hanya saja, perlu ditekankan bahwa ‘legalitas’ bukanlah satu-satunya norma kehidupan. Kita masih memerlukan hati nuranai dan kaidah-kaidah moral.

Dua puluh lima pasang sepatu, misalnya, menurut saya bukanlah kebutuhan. Penumpukan seperti itu menguras uang dan perhatian pemiliknya sekaligus menghalangi orang lain memiliki sepasang kasut yang dibutuhkannya dan alam ini menanggung penderitaan ketika sepatu terlalu banyak. Demikian juga soal makanan. Dari sudut pandang legalitas, seseorang bebas melahap makanan hasil ‘jerih payahnya’ hingga kelebihan berat badan. Polisi tidak pernah menangkap seseorang dengana kasus ‘kelebihan berat badan’. Tetapi secara moral, kita bertanggungjawab untuk peduli pada orang yang kekurangan makanan dan memelihara keseimbangan alam. Lebih dari 1 miliar penduduk bumi ini menderita (bahkan banyak yang mati) karena kurang manakan sementara 600 juta orang di dunia ini ‘menderita’ karena kelebihan berat badan karena melahap makanan terlalu banyak. (Mohon tidak disalah mengerti, tidak semua yang kelebihan berat badan karena kelebihan makanan, ada juga karena masalah hormonal).

Semangat mengumpul harta dan barang-barang biasanya disertai dengan beragam persoalan. Pemiliknya bisa terhalang bergerak karena begitu terpikat dan terikat oleh apa yang dimilikinya. Mereka bisa menjadi kesepian di tengah menara yang mereka bangun sendiri. Jadinya, mereka bisa menjalin keakraban dengan kucing dan anjing mewah dengan biaya hidup yang wah pula. Konon, konsumsi protein kucing di dunia Barat lebih tinggi ketimbang konsumsi protein kebanyakan orang miskin di seluruh dunia.

Memahami Keberadaan Kita di Dunia ini
Tuhan Yesus menghendaki kita untuk memiliki pikiran yang aktif, seperti anak-anak yang memiliki banyak pertanyaan. Yesus mengajar dengan menggunakan perumpamaan, cerita-cerita sederhana yang dimengerti bahkan oleh anak-anak. Inilah salah satu alasan mengapa Ia mengamanatkan kita harus seperti anak-anak agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga –sebab seorang anak masih mau dan mampu belajar.[3] Di samping itu, anak-anak sepenuhnya ‘tergantung’ pada pemeliharaan orangtuanya, menggambarkan ketergantungan kita sepenuhnya pada Tuhan. Jadi, ‘seperti anak-anak’ dalam pengajaran Yesus sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah pengumpulan mainan dan barang-barang yang tidak diperlukan.

Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa kita ditempatkan Tuhan di atas bumi ini tidak untuk mengumpulkan “mainan” tetapi antara lain untuk menjalani hidup sebagaimana Tuhan anugerahkan, untuk menjadi garam dan terang dunia dan untuk membuahkan buah-buah Roh.
Filsuf Marcus Aurelius dengan tepat mengatakan bahwa, “hanya sedikit yang dibutuhkan untuk membuat hidup kita bahagia”. Bloch mengaitkannya dengan firman Tuhan, “Manusia tidak hanya hidup dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”.[4]
Tuhan Yesus mengajarkan kita berdoa sekaligus menjadikannya sebagai gaya hidup kita, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Hal ini juga berarti “Berikanlah kepada kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan”. Kehidupan di dunia ini akan jauh lebih baik, damai dan sejahtera bagi semua umat manusia ketika doa ini menjadi acuan kehidupan.

[1] Douglas Bloch, Mendengarkan Suara Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 50
[2] Yoh Rohmadi Mulyono, Dialog Hati: dalam Beningnya Keheningan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 49
[3] J. Matthew Sleeth, Serve God, Save the Planet: A Christian Call to Action (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 62
[4] Douglas Bloch, opcit., 49

ShoutMix chat widget