Tuesday, October 30, 2007

MENGHADAPI KEKUASAAN YANG LALIM


Belajar dari Sikap Sadrakh, Mesakh dan Abednego[1]
(Bacaan: Daniel 3:13-23)

NEBUKADNEZAR DAN PARA PENGUASA ZAMAN INI

Kekuasaan seringkali diidentikkan dengan “hak istimewa” dan bahkan dimerosotkan ke dalam kesewenang-wenangan. Hal ini amat jelas dalam sikap Raja Nebukadnezar, yang dalam berbagai segi mencerminkan perilaku penguasa bangsa-bangsa hingga pada awal abad ke-21 ini.

Berikut ini adalah sikap Nebukadnezar yang menempatkan kuasanya di atas segala-galanya dan bagaimana hal itu mewarnai perilaku penguasa hingga awal milenium ke-3 ini :

(1) Memerintah dengan Marah dan Geram

Sosok raja yang tampil di sini adalah seorang raja yang ditakuti, bukan yang disegani. Raja tampil sebagai monster haus darah yang menyeramkan, bukan raja yang penuh hikmat dan wibawa yang mengayomi dan yang pantas dihormati. Padahal dunia ini membutuhkan lebih banyak pemimpin yang disegani, bukan yang ditakuti. Disegani, karena wibawa, ketulusan, bersih dari segala kecurangan, dan yang sungguh-sungguh mengusahakan keadilan dan damai sejahtera bagi setiap dan semua orang.

Yang amat menyedihkan ialah bahwa kemarahan dan kegeraman para penguasa tidak selalu tampak melalui raut wajah yang menyeramkan. Justru seringkali kemarahan dan kegeraman dibungkus rapi dengan senyuman yang sangat menawan, tetapi dengan berbagai cara melumpuhkan yang mengkritiknya dan melenyapkan orang-orang yang tidak disukainya.

(2) Menghakimi Menurut Kemauan Sendiri

Di sini Nebukadnezar bertindak sebagai jaksa dan hakim sekaligus. Keputusan mutlak ada di tangan raja, tanpa membutuhkan alasan, pembelaan atau nasihat orang lain. Raja menjadi pusat segala sesuatu keputusan.

Dalam dunia modern ini memang pengadilan berlangsung melalui lembaga peradilan. Tetapi lembaga tersebut seringkali bekerja berdasarkan skenario yang sudah digariskan oleh sang “sutradara” yang berada di balik pengadilan itu. Dalam pengadilan seperti itu biasanyan keputusan sudah tersedia sebelum proses pengadilan berlangsung. Keputusan yang menguntungkan mereka yang berkuasa dan mengorbankan orang-orang lemah!

Dunia ini akan jauh lebih indah dan layak huni kalaua manusia berhasil memenangkan perang terhadap egoisme (pementingan diri sendiri) dan menghormati kemanusiaan sesama manusia sebagai yang berharkat dan berharga di hadapan Allah.

(3) Menghabisi Nyawa Manusia yang Menolak Perintah Raja

Di hadapan raja hanya ada dua kelompok manusia: kawan atau lawan. Kawan adalah mereka yang taat, yang harus tunduk dan menuruti semua titah raja. Untuk kelompok ini biasanya raja memberi hadiah (Contohnya, lihat Daniel 2 : 48). Sama seperti banyak penguasa pada zaman ini, yang tidak segan mengobral “berbagai piagam penghargaan” atau medali kepada mereka yang tunduk, membeo, dan menjilat. Tetapi tidak sungkan melenyapkan dan menghabisi nyawa mereka yang berbeda pendapat dengan penguasa. Pelenyapan tersebut bahkan seringkali dilakukan terorganisasi secara rapi tanpa bekas. Yang dianggap membangkang dilenyapkan baik secara sadis dan tragis – terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
KETIDAKTAATAN YANG BERTANGGUNGJAWAB

Hukuman kepada Sadrakh, Mesakh, dan Abednego sudah jelas: akan dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala. Hukuman yang bukan main dan bukan main-main! Tetapi mari kita simak apa yang mereka katakan: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (ay 17 – 18).


Raja membuat keputusan atas dasar kuasanya sendiri, sedangkan ketiga orang ini membuat keputusan atas kepasrahan dan ketaatan kepada Allah. Hanya dengan demikian mereka tidak terjerumus ke dalam tindakan bodoh dan ceroboh dengan menuruti perintah raja yang sombong dan kejam itu.

Ketaatan kepada Allah dan menolak raja yang lalim memang mengandung dan mengundang risiko yang tidak ringan. Nyawa dipertaruhkan di sini! Tetapi lebih baik mati “terhormat” dalam kesetian kepada Tuhan daripada hidup menuruti kemauan raja yang sesat.

Kalau para murid Yesus mengatakan “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kisah 5 : 29), hal itu sudah dilakukan oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego jauh sebelumnya.

Baik ketiga orang ini dan para murid Yesus menunjukkan sikap “ketidaktaatan yang bertanggungjawab.” Tidak taat kepada kekuasaan yang lalim karena ketaatan dan tanggung jawab kepada Allah. Ketidaktaatan yang bertanggung jawab mesti kita lakukan ketika penguasa atau siapa pun juga di dunia ini memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Tetapi perlu kita ingat dan teladani bahwa Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tidak mencari-cari “hukuman” tetapi ketika menghadapinya harus siap dengan iman dan kesetiaan kepada Allah. Jangan mentang-mentang kita percaya kepada Allah yang Mahakuasa, lantas kita dengan pongah mencari lawan dengan keyakinan bahwa Allah akan melakukan mujizat asal kita percaya. Ini bukan kesetiaan kepada Allah melainkan kesesatan dan tindakan “mencobai” Tuhan. Pencobaan seperti inilah yang dihadapi dan dikalahkan oleh Yesus ketika Ia dicobai di padang gurun.

Alkitab menyaksikan bahwa “salib” harus kita pikul dalam mengikut Yesus. Salib sebagai simbol penderitaan karena kebenaran dan yang mengantar kita kepada kemenangan.




[1] Pernah dimuat dalam Majalah Berita Oikumene, PGI, Jakarta

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget