Sunday, October 21, 2007

CORAM DEO




(Di hadapan Allah)[1]

Bangsa Indonesia seolah tak henti-hentinya digempur berbagai gelombang kehidupan. Dampak langsung beberapa kali kenaikan harga kebutuhan pokok pasti akan disusul oleh aneka permasalahan sosial. Harga sembako kian melangit, dan orang-orang miskin makin terjepit dan menjerit.

Memang pantas disyukuri karena masih ada orang kaya yang memiliki kepedulian terhadap sesama yang menderita dan berkekurangan. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang berpunya yang makin pelit dan suka berkelit. Makin pelit, karena mungkin kuatir akan krisis susulan yang mungkin manjamah atau bahkan menjarah rekening bank mereka. Karena itu, atas nama “penghematan” kepedulian terhadap sesama jadinya terabaikan. Sebagian orang berkelit, dengan anggapan (keliru) bahwa semua bentuk kemiskinan adalah karena kemalasan. “Orang miskin tidak perlu diberi hati, sebab mereka miskin karena kemalasan mereka!”, demikian mereka berdalih. Padahal, kemiskinan lebih sering disebabkan oleh faktor ketidakadilan dan ketiadaan kesempatan.


Pertanyaan pun menyambar benak, “di manakah Allah?” Anda mempunyai pertanyaan yang sama? Anda tentu tidak sendirian. Tetapi baiklah kita terlebih dulu melihat dengan jernih konteks di mana kita sedang hidup. Kemudian, dengan nurani yang jernih pula serta dengan rahmat pengasihan Allah, kita boleh mengimani dan merasakan kehadiran-Nya.

Amat jelas bahwa di satu pihak kita hidup di tengah aneka kemajuan, tetapi di pihak lain kita juga hidup di tengah berbagai kemunduran. Kita menyaksikan begitu pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang membawa berbagai kemudahan. Hasil teknologi telah memperpendek jarak tempuh satu wilayah ke wilayah lain melalui transportasi dan teknologi komunikasi ultra canggih. Sampai di sini, ia membawa berkat.

Tetapi perlu dicatat dan direnungkan bahwa ia juga membawa berbagai kesulitan. Hasil penemuan-penemuan baru di bidang iptek tidak mampu menghidupkan dan memanusiakan orang-orang yang sudah terlanjur gugur tergilas oleh dampak buruk iptek itu sendiri. Teknologi tidak mampu menyembuhkan luka-luka batin banyak orang yang terluka parah oleh “efek samping” dan “efek dalam” (inheren) iptek tersebut. Iptek juga tidak mampu menyembuhkan penderitaan alam yang tersiksa oleh polusi dan tindakan destruktif manusia.

Sikap destruktif (merusak) terhadap sesama manusia dan alam semesta sebenarnya mempunyai akar yang amat kuat pada egoisme manusia. Lihatlah sekeliling kita: persaingan telah merasuk dan merobek persekutuan umat manusia. Kehidupan kita kesehariannya dipenuhi oleh begitu banyak kisah tanpa kasih persaudaraan.

Kita hidup di tengah hiruk-pikuk pengilahan harta dan tahta. Memang, kenyataannya harta dapat menjadi tiket merebut tahta dan mereka yang bertahta amat mudahnya dapat meraup harta yang bukan miliknya. Ungkapan yang mengatakan bahwa “mendapat harta di dunia ini ibarat minum air laut; semakin diminum akan semakin harus”, mendapat lahan yang amat suburnya di planet bumi ini. Yang menyedihkan ialah, bahwa rasa tidak puas seringkali diikuti oleh sikap buas. Buas terhadap sesama dan buas terhadap mahluk dan alam ciptaan Tuhan. Sejarah telah bersaksi kepada kepada kita bahwa bangsa-bangsa seringkali memangsa sesamanya. Para pengurus negara acap berubah menjadi penguras harta negara.

Daftar keprihatinan yang melanda dunia dewasa ini masih sangat panjang. Masalahnya adalah, begitu banyaknya orang yang bertindak sebagai ‘tuhan’ kecil terhadap sesamanya dan terhadap bumi milik Allah ini. Yang terjadi adalah kebebasan tanpa tanggung jawab. Konsekuensinya: merajalelanya pola hidup liar bernafaskan hukum rimba the survival of the fittest (siapa kuat, ia menang).

Di manakah Allah? Mengajukan pertanyaan seperti ini tidak salah. Ia adalah pertanyaan yang sah, apalagi kalau ia lahir dari kerinduan akan Allah, yakni: kerinduan untuk melihat pintu rahmat Tuhan di tengah segala macam pergumulan hidup ini. Kita belajar dari Alkitab bahwa para tokoh Alkitab juga tidak jarang mengajukan pertanyaan senada. Elia, misalnya, pernah merasa sendirian di tengah tantangan yang membentang di hadapannya. Ia tidak melihat rahmat Allah yang jauh melampaui nalarnya. Elia berkata kepada Tuhan, “hanya aku seorang dirilah yang masih hidup…” Tetapi Allah berkata, “Aku akan meninggalkan tujuh ribu orang yang tidak sujud menyembah Baal dan yang mulutnya tidak mencium dia’ (selengkapnya, baca 1Raj 19;9-18). Satu perbandingan angka yang sangat signifikan bukan? Allah berkarya di luar perhitungan dan pengetahuan kita!

Reaksi kita menangapi persoalan-persoalan dunia ini bisa beraneka ragam. Mungkin ada yang menempuh jalur mencari kambing hitam. Mereka begitu tajam melihat sumber persoalan pada orang lain. Ada juga yang lebih senang dengan merasionalisasi dengan prinsip bahwa semuanya itu “wajar-wajar saja”, karena kita masih manusia (bukan malaikat) dan kita masih di dunia. Atau, ada orang yang meledakkan amarah dalam tindakan destruktif. Sikap-sikap demikian lebih merupakan pintu gerbang menuju persoalan dan penderitaan yang lebih parah ketimbang jalan keluar dari persoalan.

Coram Deo, artinya “di hadapan Allah.” Allah mengambil inisiatif menghidupkan kesadaran kita, menyentuh bagian hidup kita yang terdalam (inner life). Ia menyegarkan kesadaran kita akan kehadiran-Nya melalui pelayanan, penderitaan dan kemenangan Kristus. Proses penyelematan dan pemeliharaan Tuhan itu masih sedang dan akan berlangsung. Hal ini dapat terjadi melalui pelayanan orang-orang yang mengikut Kristus, atau mereka yang tidak percaya pun. Hanya dengan pengakuan dan kesadaran seperti inilah yang memungkinkan kita beranjak dari rasa frustrasi kepada kehidupan yang berpengharapan.


Coram Deo! Kita berhadapan dengan Allah yang pengasih dan pengampun. Bukankah menjadi murid Kristus berarti menjadi pengasih dan pengampun? Ketika amarah menghajar dan melumpuhkan kesabaran, semangat kasih dan pengampunan akan mampu meredam dendam dan sekaligus menyuburkan rasa persaudaraan. Ketika sikap pesimis dan sinis memborgol kemauan kita, karya dan keteladanan Kristus menyemangati perjuangan kita.

Apakah Anda merasa amat ‘kecil’ menghadapi mega permasalahan dunia ini? Perasaan demikian memang ada baiknya sejauh berperan sebagai rem untuk mencegah diri dari kepongahan atau kesombongan, bahwa segala sesuatu ada di bawah kendali kita. Tetapi perasaan seperti itu akan melumpuhkan inisiatif dan aksi kasih kalau ia mendapat dorongan dari rasa frustrasi berbaur pesimisme. Satu hal yang pasti adalah ini: Allah jauh lebih besar dari segala permasalahan dunia ini. Allah selalu dapat menjangkau kita di manapun kita berada. Perkataan, “carilah dan kamu akan menemukan” (Yer 31:3) harus kita pahami bahwa kita sudah terlebih dahulu ditemukan oleh Allah. Persoalannya ialah, apakah kita bersedia untuk selalu berada di mana Allah menghendaki kita seharusnya berada?

Juga, kiranya tidak terluput dari kesadaran kita bahwa Tuhan memberikan yang terbaik tepat waktu. Simaklah misalnya yang dikemukakan Yesus dalam Mat 7:9-11, “Adakah seorang daripadamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Karena itu, sungguh tidak tepat kalau para pemimpin negara-negara di dunia ini memberi pidato ketika masyarakat dunia meminta sembako. Sebab, pidato tidak penah mengenyangkan perut yang lapar. Dunia haus akan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan yang dapat dinikmati jika para penguasa bertindak adil.

Coram Deo mengimplikasikan tanggung jawab umat beriman untuk menanggapi panggilan Allah menjadi teman sekerjaNya. Singkatnya begini, di dalam doa kita bertemu dengan Kristus yang menanggung penderitaan dunia ini dan di dalam kehidupan dan pelayanan kita bertemu dengan orang-orang yang di tengah-tengah mereka Kristus hadir. Tuhan memimpin perjalanan hidup kita dan perjalanan dunia ini pada milenium ini.

[1] Pernah dimuat dalam Majalah Immanuel, HKBP.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget