Friday, October 19, 2007

APA YANG KAMU CARI?

Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup.
(Amos 5:6).

Tanyakan diri Anda: “Berapa banyak waktu yang saya gunakan mengagumi ciptaan Allah; dan berapa banyak waktu yang saya habiskan mengagumi harta milik saya?”
(J. Matthew Sleeth[1])
*********************************

Ini bukan pertanyaan saya kepada Anda, melainkan pertanyaan Yesus kepada saya dan Anda saat ini. "Apakah yang kamu cari?" (Yoh 1:38). Kita mesti dengan jernih mengenali apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini. Sebab, apa yang kita cari amat mempengaruhi seluruh gerak hidup kita.

Jika yang kita cari dan perjuangkan adalah apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita, pasti kita akan menjalani hidup ini dengan hati damai, penuh ceria dan bebas dari ketegangan yang tidak perlu. Tetapi jika kita berusaha mengejar cita-cita yang kita ciptakan sendiri atau yang orang lain ‘paksakan’ kepada kita, maka ‘sukses’ (kalau itu ada) akan dibarengi rasa tidak damai dan tanpa kegembiraan bagi diri kita dan orang lain. Keadaan ini terjadi karena untuk mencapai target yang kita kejar kita mungkin saja terjatuh menghalalkan segala cara, melawan kebenaran, berlomba tidak sehat, bekerja ekstra keras, memaksa diri lembur malam. Hidup kita pun menjadi tegang, gampang tersulut amarah, bermusuhan, curiga, tidak peduli pada orang dan sebagainya.[2]

Fakta menunjukkan bahwa “kesuksesan” sering membelenggu banyak orang saat ini. Kita ambil Amerika sebagai contoh, karena tidak sedikit orang di dunia ini yang ingin mencapai kemakmuran ekonomi setingkat orang-orang Amerika.

84% pebisnis di AS bekerja lebih dari 45 jam/ minggu. 81% mengalami stress, 48% stress setiap hari. 89% membawa pekerjaan ke rumah mereka. 65% tetap bekerja lebih dari satu weekend setiap bulan. 42% tidak memberi waktu membaca kepada anak-anak. 53% meluangkan waktu kurang dari 2 jam seminggu bersama anaknya. Pasangan mereka bertanya, “mengapa tidak ada waktu bersama untuk kita?” Mereka menjawab, “Masalahnya bukan engkau sayang, masalahnya adalah saya yang sendiri sudah tidak tahu bagaimana tidak bekerja.”

Berbagai persoalan kehidupan lainnya sedang menimpa banyak rakyat Amerika. Misalnya, diperkirakan ada 19 juta pil tidur yang diminum orang setiap malamnya di sana.[3] Begitu banyak orang yang menderita insomnia. Harga tempat tidur mereka ribuan dollar, tetapi tidak ‘sanggup’ memberi tidur nyenyak, karena berbagai pikiran berarak dan saling tabrak dalam benak. Di samping itu, sekitar 50% keluarga Amerika bercerai.[4] Orang tidak sedikitpun merasa malu mengatakan bahwa status mereka bercerai.

Saya tidak mengatakan bahwa Amerika sudah berubah menjadi ‘neraka’ kecil. Banyak orang di sana yang masih setia kepada Tuhan, berpikiran jernih, mempertahankan moral kristiani, peduli pada sesama yang menderita dan lain-lain. (Harapan kita bahw saudara-saudara kita warga HKBP di AS masuk dalam kelompok yang jernih ini). Tetapi kita tidak bisa mengabaikan kenyataan yang membelenggu sebagian saudara-saudara kita di sana. Dapat ditambahkan di sini bahwa antara 1958 dan 2005 orang-orang Amerika membelanjakan uangnya 27% untuk perawatan kesehatan[5] --yang merupakan jenis pengeluaran tertinggi sesudah rumah dan transportasi. Orang Amerika sendiri mengakui persoalan yang mereka hadapi seperti terungkap dalam pernyataan berikut:

“Jika kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam kepemilikan barang-barang dan dalam kemampuan memanjakan diri dengan memiliki apa saja yang kita inginkan, mengapa kebanyakan dari kita di Amerika kehilangan kegembiraan dan kebahagiaan yang amat parah? Orang-orang yang sudah memiliki banyak terus berusaha untuk mendapat lebih banyak lagi. Angka perceraian, bunuh diri, depresi, kekerasan terhadap anak amat tinggi dan berbagai persoalan pribadi dan sosial yang begitu banyak jumlahnya. Semuanya ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak ditemukan dalam kepemilikan semua yang kita inginkan dan dalam kemampuan kita untuk mendapatkan lebih banyak lagi”.[6]

Mencermati kenyataan seperti itu, jika kita berkeinginan dan berjuang untuk mencapai kemakmuran setingkat orang-orang Amerika, kita perlu memikirkan ulang niat kita. Kita akan capek mencapainya dan kita bisa sengsara karena terpenjara oleh pencapaian kita sendiri dan sekaligus menyengsarakan saudara-saudara dan keluarga kita.

Ada satu ironi yang menggejala dan mengganjal pada zaman ini. Penemuan-penemuan yang memudahkan pekerjaan manusia memang sudah banyak tersedia, akan tetapi aneka kesulitan tetap melilit hidup umat manusia. Bagi sebagian orang timba sumur sudah diganti pompa air listrik dan mesin cuci listrik. Pekerjaan gigi mengunyah makanan dibantu oleh blender dan juicer. Kendaraan tanpa roda dua (jalan kaki) diganti sepeda motor dan mobil. Mesin ketik diganti komputer. Kurir berita diganti layanan surat express, telepon seluler dan internet. Mesin-mesin makin banyak, tetapi manusia jadi ikut-ikutan seperti mesin. Mana lebih sibuk dan lebih capek orang dulu dan orang sekarang? Siapakah yang lebih ceria?

Sedikitnya dua hal penting yang kiranya perlu mendapat perhatian kita secara serius dalam menapaki perjalanan hidup kita dalam era hyper-konsumerisme ini, yakni menyangkut ‘nilai kebersamaan’ dan ‘nilai waktu’.

1. Kebersamaan versus Mainan dan ‘Voucher’

Banyak orang yang sudah menggantikan hubungan dengan sesama manusia dengan mobil, komputer, VCD dan rekening bank.[7] Untuk anak-anak misalnya, para orangtua memberi banyak mainan sebagai ganti ‘kasih’ dan ‘kebersamaan’. Anak-anak lebih akrab dengan mainannya ketimbang orangtuanya. Apalagi, mainannya kebanyakan yang berbau kekerasan seperti pesawat tempur, pistol, senjata laras panjang, spiderman, pasukan baja hitam dan sebagainya, yang semuanya ini bisa saja mempengaruhi kepribadiannya sejak kecil. Ketika ayahnya pulang kerja, ia disambut anaknya dengan dor…dor… sambil menodongkan ‘pistolnnya’. Suami memberikan ‘voucher’ belanja ke mall kepada istrinya sebagai kompensasi kebersamaan dan kemesraan.

Keadaan seperti ini mendorong banyak orang menganut apa yang disebut oleh Storkey sebagai Orientasi Konsumsi Kini (OKK) dan Orientasi Konsumsi Nanti (OKN).[8]

Orientasi Konsumsi Kini (OKK):
Ini dapat disebut hedonisme, yang mencari kenikmatan maksimum untuk saat ini. Model ini menarik masa depan ke masa kini. Apa yang menyenangkan saya sekarang lebih penting dari apa yang akan terjadi nanti. “Masa depan” dipinjamkan kepada “masa kini”. Konsekuensinya, ‘hutang’ menjadi pilihan utama. Hutang memberi saya ‘sekarang’ apa yang saya bayar ‘nanti’. Karena kenikmatan adalah yang utama, maka perencanaan, tujuan, pengembangan dan konsekuensi menjadi tidak penting. Makan, minum, dan beli apa yang engkau inginkan dan tidak ada perhatian pada akibatnya.

Orientasi Konsumsi Nanti (OKN):
Dalam pandangan ini, bekerja berarti untuk konsumsi masa depan. Orang menjadi gila kerja dan memaksa produksi yang dibayangkan dapat dinikmati pada masa depan. “Masa kini” dipinjamkan kepada “masa depan” Kita didorong ke depan, kepada hadiah konsumsi masa depan: rumah yang lebih besar, pekerjaan yang lebih baik yang berarti gaji yang lebih tinggi, mobil yang lebih mulus, liburan yang lebih banyak, cruise, gaji pensiun yang baik, dan acara pemakaman yang lebih ‘terhormat’. Tekanan terhadap masa depan begitu kuat, sehingga tidak ada ruang yang tersedia untuk saat ini. Berkaiatan dengan ini kita bisa bandingkan dengan ungkapan Indonesia “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Masalahnya, jika terlalu ekstrim maka yang terjadi adalah “bersakit-sakit dahulu, tewas kemudian”.

Konsumerisme (mengkonsumsi dan memiliki lebih dari yang dibutuhkan) begitu kuat merasuki kehidupan umat manusia pada zaman ini. Storkey mengatakan bahwa 20% - 50% apa yang diproduksi sekarang ini hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak ada nilainya bagi hidup manusia. Hidup kita lebih baik tanpa rokok, alkohol, fast food, senjata, narkotik, mobil berkemampuan cepat tetapi lambat di jalan, iklan, kosmetik, security systems, lotere dan masih banyak produk lain yang dijual. Semuanya itu membawa dampak buruk, ketidakpedulian atau sekadar sampah yang membuat manusia menjadi miskin,[9] tidak saja secara finansial tetapi juga secara emosional dan moral.

Ternyata, kekosongan jiwa manusia tidak bisa diisi dengan segudang mainan atau voucher belanja. Itu sebabnya rasa frustrasi sering menghinggapi banyak orang meskipun mereka tidak kekurangan secara materi. Dengar apa kata O.J. Simpson tentang masalah kehidupannya dan masyarakatnya: “saya duduk di rumah saya dan kadang-kadang amat kesepian. Saya memiliki istri yang menakjubkan, anak-anak yang baik, uang dan kesehatan –dan saya kesepian dan bosan….Saya sering bertanya mengapa begitu banyak orang kaya yang bunuh diri. Uang tidak menyelesaikan segalanya”.[10]

Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada yang salah jika kita makmur secara materi asal kita senantiasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan. Kehendak Tuhan menjadi kehendak kita. Hendaknyalah kemakmuran makin membawa kebersamaan dan keakraban –kepada orang lain dan terhadap diri sendiri. Ada begitu banyak orang yang tidak ramah dan ‘bersahabat’ dengan dirinya sendiri karena memaksa diri untuk mencapai keinginan. Apakah artinya harta kalau itu memisahkan kita dari keluarga, sahabat, sesama manusia dan diri kita sendiri? Kerja tanpa kasih hanyalah buang-buang tenaga.

2. Time is….(Waktu adalah…)

Awalnya, jam diciptakan di biara Benedictine pada abad ke-12 dan ke-13 untuk membantu para rahib memelihara jam-jam doa secara teratur. Dengan kata lain, jam diciptakan sebagai alat atau sarana untuk memperdalam kesalehan dan berguna dalam pelaksanaan ibadah. Tetapi, sayangnya, saat ini jam tidak banyak digunakan berkaitan dengan ibadah kepada Tuhan atau memperkokoh iman kita, tetapi untuk menolong kita lebih efisien dalam pekerjaan kita. Dalam berbagai hal, jam membuat manusia hidup dengan anggapan seolah-olah tidak ada Allah. Waktu sering diasosiasikan dengan pemenuhan keinginan ketimbang respon kepada Allah, sesama dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen.[11]

Justru karena kegagalan kitalah memahami dan menerima ‘waktu’ sebagai anugerah yang membuat orang sering menghidupkan handphone dan pagernya selama beribadah atau terus saja berbicara di teleponnya pada saat menikmati waktu bersama dengan keluarganya seperti ketika jalan-jalan ke taman atau rekreasi. Orang-orang seperti ini gagal menangkap misteri dan nilai berharga dari ‘waktu’ dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini Padovano mengatakan, “Kita merasa sukar saling berbagi waktu dan kehadiran apabila hidup kita produktif dan berhasil. Betapa ironisnya!”[12]

Kita mesti memahami bagaimana kita mengalami waktu, bukan sebagai “konsumer” tetapi sebagai orang yang mengasihi Allah dan sesama. Dunia berkata time is money tetapi kita percaya: time is grace (waktu adalah anugerah) dan time is love (waktu adalah kasih) –keduanya tidak bisa diuangkan dan tidak dapat dibeli dengan uang.

Apa yang Anda cari? Firman Tuhan berkata:
“Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup” (Amos 5:6).
“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).

Seruan ‘carilah’ di sini berarti ‘kembalilah’. Sebab, Allah dan Kerajaan-Nya sudah ada. Ia ada di tengah-tengah kita. Itu berarti bahwa sesungguhnya tidak ada yang perlu kita cari. Kita hanya perlu menjalaninya. Dalam perjalanan itulah kita menemukan segala keindahan. Kita mencari Tuhan, karena Dia lebih dulu menemukan kita. Kita membutuhkan keheningan untuk bertanya dan menemukan rencana dan kehendak Tuhan dalam hidup kita.

Dalam hal ini kita mungkin saja perlu mengubah cara pandang dan sikap kita terhadap pekerjaan kita bahwa pekerjaan bukan hanya sekadar ‘mata pencaharian atau cari nafkah’ tetapi juga sebagai tugas panggilan dan pelayanan kita di dunia ini. Atau, yang jauh lebih berat, mungkin saja kita perlu mengubah pekerjaan itu sendiri jika itu bukan pekerjaan yang baik dan tepat bagi kita. Untuk kasus seperti ini barangkali kita membutuhkan peritimbangan dalam suasana doa yang sungguh-sungguh. Mengubah pekerjaan dengan penghasilan yang berkurang tetapi dengan kualitas hidup yang lebih baik disertai kebahagiaan adalah lebih ‘sukses’ ketimbang mendapat upah yang lebih melimpah tetapi memenjarakan hidup.

Kini, mohon luangkan waktu sejenak untuk mengikuti nasihat Padovano berikut ini:

Dengan merasakan kehadiran Allah, mohonlah penerangan dan rahmat agar dapat bertekad bulat untuk mengikuti panggilan yang diberikan oleh Allah kepada Anda untuk menjadi diri Anda sendiri. Kita perlu merenungkan bagaimana kita dapat mengalahkan atau mengatasi kelemahan dan kekurangan kita, tetapi terlebih dahulu marilah kita bersyukur kepada Allah atas apa atau siapa diri kita sebagaimana adanya.[13]




[1] J. Matthew Sleeth, Serve God, Save the Planet: A Christian Call to Action (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 42
[2] Alkitab memberi pelajaran kepada kita dalam hal ini. Kejatuhan manusia pertama, Adam dan Hawa, sudah membuktikan hal itu. Orang-orang membangun menara Babel untuk ‘mencari nama’ (Kej. 11:4). Perumpamaan tentang anak yang meminta warisan dari ayahnya dan hidup berfoya-foya (Luk. 15), juga menyatakan apa yang dicari orang dan bagaimana akibatnya.
[3] Florence Wedge, Mengatasi Rasa Cemas, terj. (Jakarta: Obor, 1989).
[4] http://www.divorcerate.org/, diakses 16/9/2007
[5] Robert J. Shiller, “Good News –The World is Getting Richer”, dalam The Strait Times, Singapore October 19, 2006”, 27.
[6] Michael P. Green (ed.), 1500 Illustrations for Biblical Preaching (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 183.
[7] John F. Kavanaugh, Following Christ in a Consumer Society (Maryknoll: Orbis Books, 2006), 8
[8] Allan Storkey, “Postmodernism Is Consumption”, in Craig Bartholomew and Thorsten Moritz (eds.), Christ and Consumerism (Carlisle, Cumbria: Paternoster Press, 2000), 110
[9] Ibid., 103
[10] Michael P. Green (ed.), opcit., 249.
[11] Robert M. Solomon, Fire for the Journey: Reflection for a God-guided Life (Singapore: Genesis Book, 2002), 78
[12] Anthony T. Padovavno, Tujuh Hari Bersama Thomas Merton: Menjadi Diri Sendiri (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 34
[13] Ibid., 51.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget