Thursday, October 4, 2007

KEPUTUSAN TANPA KEPUTUSASAAN (2)

BAYI DEWASA

Kebahagiaan membuat orang miskin merasa kaya,
dan ketidakbahagiaan membuat orang kaya merasa miskin
.[1]
(Benjamin Franklin)

Berikut ini ada dua ilustrasi yang kiranya dapat kita petik maknanya:

HUKUM HAK MILIK A LA ANAK-ANAK

Jika saya menyukainya, itu adalah milikku
Jika berada di tangan saya, itu adalah milikku
Jika saya dapat mengambilnya dari tanganmu, itu adalah milikku
Jika saya sudah pernah memegangnya sebelumnya, itu adalah milikku
Jika itu punyaku, itu tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara apa dan bagaimana pun.
Jika saya membentuk atau membangun sesuatu, setiap keping bahan-bahannya adalah milikku
Jika kelihatan seperti punyaku, itu adalah milikku
Jika saya pikir itu milikku, itu adalah milikku
Jika itu punyamu dan berhasil kucuri, itu adalah milikku
Jika rusak, itu adalah milikmu

BAYI DAN BENDA-BENDA[2]

Kulihat seorang bayi dan pengasuhnya.
Pengasuh bayi itu pergi sejenak.
Si bayi berusaha merangkak ke mana-mana.
Tangannya menggapai-gapai.
Segala yang dipegangnya dimasukkan mulut,
mulai dari yang lunak sampai yang keras,
belum mampu memilih benda itu baik atau jelek.

Kulihat juga seorang dewasa.
Ia sudah bisa lari dan mengurus diri,
namun tidak beda dengan bayi tadi.
Segala yang ada diambil dan dimilikinya.
Sayang ia tidak tahu mana yang penting bagi hidupnya.

Berapa banyak ‘bayi’ seperti ini sekarang? Tidak ada sensus resmi dari PBB. Tetapi, jumlahnya pasti banyak. Mereka mampu mengenakan dasi sendiri. Lihat, mereka banyak di jalan raya dan di kota dan mampu mengendarai mobil (bukan mobil mainan). Mereka ada di restoran-restoran tanpa pengasuh. Mereka ada di mall dan supermarket bukan di dalam ‘kereta dorong’ tetapi mendorong 'kereta dorong'. ‘Bayi-bayi’ seperti itu ada di bandar udara dengan 5 koper besar di bagasi. Tidak semua memang yang di kota, di jalan raya, di mall, di restoran itu ‘bayi’, tetapi jumlahnya lumayan banyak.

Kebutuhan vs Keinginan

Iman kristiani sebenarnya amat menekankan orientasi kebutuhan. Hal ini sangat jelas dari ajaran dan anjuran Tuhan Yesus, Rasul Paulus dan yang lain. Tetapi, zaman ini agaknya sudah dikendalikan oleh ‘keinginan’ yang biasanya identik dengan kerakusan. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan kehidupan di dunia ini. Sebab, semangat untuk mengumpul, menumpuk barang-barang atau materi yang lain dan melahap makanan melampaui batas kebutuhan harus dibayar dengan ketidakpedulian terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan Tuhan. Untuk memenuhi keinginan yang tanpa batas itu, manusia tidak sungkan mencuri, korupsi, merampas bahkan hingga mengorbankan nyawa orang lain.

Mungkin ada yang berkata bahwa tidak semua penumpukan itu hasil pencurian. Bisa saja. Harta milik dan barang-barang yang ditumpuk mungkin diperoleh secara legal, meskipun tidak pantas secara moral.

Contohnya? Seseorang yang memiliki 25 pasang sepatu, 3 lemari penuh pakaian, dua gudang penuh barang-barang yang mahal tetapi tidak dipakai, mampu membeli banyak makanan –semuanya diperoleh dari hasil kerja keras. Legal, tentu. Hanya saja, perlu ditekankan bahwa ‘legalitas’ bukanlah satu-satunya norma kehidupan. Kita masih memerlukan hati nuranai dan kaidah-kaidah moral.

Dua puluh lima pasang sepatu, misalnya, menurut saya bukanlah kebutuhan. Penumpukan seperti itu menguras uang dan perhatian pemiliknya sekaligus menghalangi orang lain memiliki sepasang kasut yang dibutuhkannya dan alam ini menanggung penderitaan ketika sepatu terlalu banyak. Demikian juga soal makanan. Dari sudut pandang legalitas, seseorang bebas melahap makanan hasil ‘jerih payahnya’ hingga kelebihan berat badan. Polisi tidak pernah menangkap seseorang dengana kasus ‘kelebihan berat badan’. Tetapi secara moral, kita bertanggungjawab untuk peduli pada orang yang kekurangan makanan dan memelihara keseimbangan alam. Lebih dari 1 miliar penduduk bumi ini menderita (bahkan banyak yang mati) karena kurang manakan sementara 600 juta orang di dunia ini ‘menderita’ karena kelebihan berat badan karena melahap makanan terlalu banyak. (Mohon tidak disalah mengerti, tidak semua yang kelebihan berat badan karena kelebihan makanan, ada juga karena masalah hormonal).

Semangat mengumpul harta dan barang-barang biasanya disertai dengan beragam persoalan. Pemiliknya bisa terhalang bergerak karena begitu terpikat dan terikat oleh apa yang dimilikinya. Mereka bisa menjadi kesepian di tengah menara yang mereka bangun sendiri. Jadinya, mereka bisa menjalin keakraban dengan kucing dan anjing mewah dengan biaya hidup yang wah pula. Konon, konsumsi protein kucing di dunia Barat lebih tinggi ketimbang konsumsi protein kebanyakan orang miskin di seluruh dunia.

Memahami Keberadaan Kita di Dunia ini
Tuhan Yesus menghendaki kita untuk memiliki pikiran yang aktif, seperti anak-anak yang memiliki banyak pertanyaan. Yesus mengajar dengan menggunakan perumpamaan, cerita-cerita sederhana yang dimengerti bahkan oleh anak-anak. Inilah salah satu alasan mengapa Ia mengamanatkan kita harus seperti anak-anak agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga –sebab seorang anak masih mau dan mampu belajar.[3] Di samping itu, anak-anak sepenuhnya ‘tergantung’ pada pemeliharaan orangtuanya, menggambarkan ketergantungan kita sepenuhnya pada Tuhan. Jadi, ‘seperti anak-anak’ dalam pengajaran Yesus sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah pengumpulan mainan dan barang-barang yang tidak diperlukan.

Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa kita ditempatkan Tuhan di atas bumi ini tidak untuk mengumpulkan “mainan” tetapi antara lain untuk menjalani hidup sebagaimana Tuhan anugerahkan, untuk menjadi garam dan terang dunia dan untuk membuahkan buah-buah Roh.
Filsuf Marcus Aurelius dengan tepat mengatakan bahwa, “hanya sedikit yang dibutuhkan untuk membuat hidup kita bahagia”. Bloch mengaitkannya dengan firman Tuhan, “Manusia tidak hanya hidup dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”.[4]
Tuhan Yesus mengajarkan kita berdoa sekaligus menjadikannya sebagai gaya hidup kita, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Hal ini juga berarti “Berikanlah kepada kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan”. Kehidupan di dunia ini akan jauh lebih baik, damai dan sejahtera bagi semua umat manusia ketika doa ini menjadi acuan kehidupan.

[1] Douglas Bloch, Mendengarkan Suara Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 50
[2] Yoh Rohmadi Mulyono, Dialog Hati: dalam Beningnya Keheningan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 49
[3] J. Matthew Sleeth, Serve God, Save the Planet: A Christian Call to Action (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 62
[4] Douglas Bloch, opcit., 49

1 comment:

  1. Pengambilan keputusan ternyata tidak hanya memperhatikan keinginan diri sendiri tetapi juga kebutuhan orang lain dan terutama kehendak Tuhan.

    ReplyDelete

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget