Friday, September 28, 2007

MEWUJUDKAN HKBP YANG TERBUKA DAN DIALOGIS


A. PENGANTAR

Keberadaan Gereja saat ini merupakan post Biblical development (perkembangan sesudah zaman Alkitab). Artinya, kehidupan Gereja seperti liturgi, jabatan gerejawi, struktur, Tata Gereja dan sebagainya tidak persis sama seperti yang berlaku dalam Gereja mula-mula sebagaimana disebutkan di dalam Alkitab. Hal ini terjadi karena Gereja dalam perjalanannya hidup, bertumbuh dan berkembang pada zaman dan konteks yang berbeda. Namun demikian, esensi Gereja tidak pernah berubah. Di antara yang esensi ialah keberadaan Kristus sebagai kepala gereja; Gereja adalah persekutuan umat percaya sebagai persekutuan milik Allah; Gereja menerima tugas panggilan mewujudkan missio Dei di dunia ini, dan sebagainya.

Sifat dan sikap terbuka dan dialogis Gereja bukanlah merupakan post Biblical development, melainkan suatu yang esensi. Keterbukaan gereja bukanlah sesuatu yang ditambahkan kemudian melainkan sesuatu yang inheren dalam dirinya sendiri. Dasarnya amat jelas, yakni: Allah terbuka bagi setiap dan semua orang. Dengan demikian, gereja yang setia kepada Allah adalah gereja yang terbuka kepada Allah dan pada saat yang sama juga terbuka bagi setiap orang.

Atas dasar itu, penggunaan kata ‘mewujudkan’ dalam judul di atas merupakan pilihan yang tepat. Allah sudah dan sedang melakukannya dan Gereja terpanggil untuk seirama denganNya. Ruang dan peluang untuk mewujudkan gereja yang terbuka dan dialogis telah disediakan oleh Allah. Dalam hal ini Gereja perlu memahami ulang tugas panggilannya di bidang marturia, koinonia dan diakonia.

B. KESAKSIAN MELALUI ORTODOKSI DAN ORTOPRAKSIS

Tidak jarang tugas panggilan Gereja di bidang marturia dipahami dalam arti sempit sebagai penginjilan kepada non-Kristen. Tetapi merujuk pada makna marturia dalam Perjanjian Baru, penginjilan hanyalah salah satu bagian dari marturia. Tugas panggilan marturia mencakup kesaksian dalam dan melalui ortodoksi (ajaran yang benar) dan ortopraksis (tindakan yang benar –yang mengacu pada firman Tuhan). Sehubungan dengan itu, dapat ditegaskan bahwa kesaksian tidak pernah mengandung pemaksaan tetapi selalu menghormati kemanusiaan dan kebebasan orang lain.

(1) Terbuka Pada Kehidupan

Secara konkret, marturia juga menyangkut tanggung jawab menyatakan dan memberlakukan perdamaian, kebenaran dan keadilan. HKBP sudah pernah mencanangkan upaya pewujudan marturia seperti itu sebagaimana secara eksplisit dirumuskan dalam Garis-garis Besar Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan HKBP (GBKPP HKBP) yang berbunyi: “Marturia adalah menyampaikan Injil yaitu berita tentang pertobatan, pengampunan dosa dan keselamatan (Luk 24:47) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan damai sejahtera kepada segala bangsa dan segala makhluk (Mrk 16:15)”[1]

Cakupan marturia seperti itu juga mengacu pada amanat Tuhan Yesus tentang keberadaan orang percaya sebagai garam dan terang dunia. Yesus tidak mengatakan pengikutNya sebagai ‘garam gereja dan terang gereja’. Keterbukaan Gereja dalam hal ini dapat diuji berdasarkan komitmennya memperbaiki keadaan masyarakat yang diwarnai oleh aneka bentuk kejahatan, kekerasan, ketidakpedulian dan sebagainya. Gereja memberi cita rasa yang baik dan mencegah ‘pembusukan’ dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat merasakan kehadiran gereja yang sungguh-sungguh merawat kehidupan.

Keberadaan Gereja sebagai ‘garam’ tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya sebagai ‘terang’ yaitu menyatakan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Akan tetapi Gereja harus dengan rendah hati menyadari bahwa terang Tuhan dapat bercahaya di luar Gereja, sebab Kerajaan Allah lebih luas dari Gereja. Itu sebabnya Gereja menerima dan mendukung perjuangan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga non-Kristen.

Mengacu pada keberadaan yang demikian, maka Gereja hendaknya mengemban misi politis,[2] dalam artian misi yang bertujuan demi kebaikan dan kesejahteraan segenap polis (masyarakat). Misalnya, tanggung jawab Gereja untuk terlibat dalam perjuangan agar masyarakat mendapat udara, air, dan makanan yang bersih dan sehat, mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah, buruh mendapat upah yang layak, kesetaraan perempuan dengan laki-laki, dan lain-lain

Konsekwensi tugas panggilan marturia memang tidak ringan. Gereja sebagai lembaga atau warganya secara perorangan bisa saja menanggung penderitaan sebagai konsekuensinya. Hal serupa sudah dialami oleh para saksi yang menanggung siksa sebagaimana para martir yang mengiringi perjalanan gereja sepanjang sejarah (martir sebagai konsekuensi dari marturia).

(2) Terbuka pada perkembangan sains dan teknologi

Yang kiranya perlu mendapat perhatian serius ialah perlunya keterbukaan Gereja secara posotif-kritis terhadap perkembangan sains dan teknologi yang makin canggih. Zaman ini dicirikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat yang menuntut kajian dan refleksi etis-teologis secara sungguh-sungguh. Teknologi kedokteran, misalnya, telah menampakkan wajah ganda. Di satu segi ia hadir sebagai berkat karena berhasil menyembuhkan berbagai penyakit melalui deteksi awal, analisis penyakit yang lebih akurat, tindakan pencangkokan organ tubuh dan sebagainya. Akan tetapi, di segi lain, teknologi kedokteran menampakkan wajah yang menyeramkan dan menakutkan dengan usaha-usaha rekayasa genetika yang dikuatirkan menempatkan manusia hanya sebagai objek uji coba dan menjadi korban.

Gereja dan orang-orang Kristen harus mampu menempatkan diri dalam posisi critical distance (jarak kritis) terhadap perkembangan dimaksud. Tidak bijaksana (dan tidak kristiani) jika Gereja menilai perkembangan tersebut secara hitam-putih saja. Gereja dapat menerima hal-hal yang positif atas dasar keyakinan bahwa teknologi kedokteran --sejauh diberlakukan untuk kebaikan umat manusia merupakan berkat Tuhan. Sebaliknya, Gereja harus secara tegas menolak proses dan praktek dehumanisasi yang mungkin terjadi dalam perkembangan teknologi kedokteran.

(3) Terbuka pada masa depan

Temuan-temuan yang mengejutkan bisa saja terjadi pada masa yang akan datang. Jika suatu saat para ahli menemukan bumi lain yang didiami ‘manusia lain’, Gereja tidak akan buru-buru memvonis bahwa temuan seperti itu menyesatkan dengan alasan (keliru) bahwa dalam Alkitab disebutkan bahwa Allah menciptakan hanya satu bumi. Padahal, tidak ada pernyataan explisit dalam Alkitab bahwa Allah menciptakan hanya satu bumi. Gerja perlu menghindari diri terjerumus ke dalam tindakan ceroboh seperti yang pernah dilakukan menghadapi para ahli dengan penemuan mereka seperti Galileo, Copernicus dan lain-lain.

Di sini Gereja perlu membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara positif-kritis. Positif, karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang baik adalah anugerah Tuhan. Kritis, karena keberdosaan manusia yang pada gilirannya bisa saja menyalahgunakan sains dan teknologi.

Dengan mempertimbangkan masalah di atas, HKBP (khususnya melalui Departemen Marturia HKBP) dapat mempertimbangkan dan melakukan hal-hal berikut.

· Memahami dan merumuskan ulang makna misi dan kesaksian dalam konteks dunia masa kini
· Melakukan kajian teologis-etis seputar persoalan kehidupan, misalnya masalah perkembangan sains dan teknologi, narkoba, HIV/AID, nilai-nilai keluarga, masalah seks bebas, kloning, euthanasia, pencangkokan organ tubuh dan sebagainya.
· Menyampaikan pesan kenabian kepada masyarakat, Gereja, kelompok agama, pemerintah nasional dan pemerintah bangsa-bangsa.
· Memperlengkapi umat menjadi jemaat misioner


C. PERSAUDARAAN SEJATI

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa daya konstruktif agama sering berubah menjadi kekuatan destruktif. Ada begitu banyak manusia yang korban dan rumah ibadah yang hancur dalam konflik antar umat beragama. Terlepas dari kontroversi seputar faktor pemicu konflik antar umat beragama yang terjadi belum lama ini baik di Indonesia maupun di luar negeri, hal yang jelas ialah rapuhnya rasa kemanusiaan. Fanatisme sempit agama telah mengalahkan ‘fanatisme’ rasa kemanusiaan.

Ketika rasa kemanusiaan mengedepan dalam perjumpaan antar manusia yang berbeda latar belakang agama, maka perbedaan akan dipandang sebagai kekayaan. Tetapi, ketika fanatisme (sempit) agama yang mengemuka, maka masyarakat amat rawan pada konflik bahkan peperangan.

Bagi orang Kristen, yang lebih mempersatukan manusia ialah keyakinan akan penciptaan dan kepemilikan Allah atas seluruh ciptaan dan manusia. Semua dan setiap manusia adalah Imago Dei (Gambar Allah). Jika Allah, mengasihi dan memelihara setiap manusia, apakah alasan manusia memusuhi sesamanya?

Dalam konteks dunia yang pluralistik ini, keterbukaan Gereja merupakan suatu bagian tidak terpisahkan dari keberadaan dan tugas panggilannya. Sebab, Gereja yang menutup diri di dalamnya akan terjadi pembusukan. Gereja yang membuka diri tanpa arah yang jelas dan teologis akan hanyut diterjang ganasnya ombak dunia ini. Gereja terpanggil untuk terbuka pada kebenaran yang Alkitabiah.

Bagi Gereja, upaya amewujudkan persaudaraan sejati di antara umat manusia mengacu pada tugas panggilannya di bidang koinonia dalam arti yang sebenarnya. Umumnya gereja-gereja memahami koinonia sebagai persekutuan orang percaya yang dijabarkan dalam bentuk aktivitas gereja seperti ibadah, kelompok Pemahaman Alkitab (PA), kumpulan koor dan lain-lain. Kemudian, koinonia juga dipahami dalam hubungannya dengan persekutuan gereja-gereja secara ekumenis.

Dewan Gereja Sedunia (DGD) sudah sejak lama menggumuli makna tugas panggilan Gereja di bidang koinonia dalam konteks dunia yang pluralistik. Dalam konferensinya yang secara khusus membahas tentang koinonia di Santiago de Compostela (1993) Komisi Iman dan Tata Gereja DGD dengan sangat tepat merumuskan bahwa Gereja sebagai koinonia terpanggil untuk berbagi bukan hanya di antara anggotanya tetapi bagi semua orang melalui pendampingan, kepedulian terhadap orang miskin, yang kekurangan dan yang terpinggirkan dengan memperjuangkan keadilan dan perdamaian di tengah masyarakat serta tanggung jawab memeliharan ciptaan.[3]

Semangat yang sama sudah sejak lama menggema dalam lingkungan HKBP. Bagi HKBP, sebagaimana tercantum dalam GBKPP, tugas persekutuan (koinonia) ini meliputi persekutuan jemaat, keluarga, oikumene (dalam dan luar negeri) dan hubungan dengan golongan lain dalam masyarakat serta dengan pemerintah.”[4]

Dalam tataran das Sollen, mengacu pada pernyataan ‘hubungan dengan golongan lain dalam masyarakat’ dalam GBKPP tersebut, HKBP sudah melangkah melintas sikap eksklusif kepada sikap yang inklusif. Yang dibutuhkan ialah penerjemahan dan pengejawantahannya, bagaimana HKBP ‘bersekutu’ dengan umat manusia tanpa membedakan latar belakang agama, suku, ras, pandangan politik dan sebagainya.

Di samping itu, dibandingkan dengan Konfesi HKBKP 1951, Konfesi HKBP 1996 sudah menunjukkan pergeseran dari sikap eksklusif ke arah keterbukaan yang kreatif-positif. Dapat dicatat bahwa dalam Konfesi HKBP 1996 tidak dicantumkan lagi mengenai agama dan aliran kepercayaan seperti Katolik, Advent, Pinkster dan lain-lain yang tadinya dipahami sebagai sumber ajaran sesat dan ancaman bagi HKBP.[5]

Ada beberapa hal yang secara eksplisit dan implisit dalam Konfesi HKBP 1996 berkaitan dengan kemajemukan agama, antara lain:
- Pasal 1 menyatakan bahwa “hanya ada satu Allah yang memerintah seluruh umat manusia. Pernyataan ini mengandung makna sebuah panggilan untuk melihat dan memperlakukan sesama manusia (tanpa membedakan latar belakang gama dan ras) dari sudut Allah.
- Pasal 4 berbunyi “HKBP memahami keberadaannya yang hidup dalam konteks pluralitas agama”. Meski tidak diurai secara detail, namun pemahaman seperti itu meunjukkan kesadaran akan kebersamaan dengan penganut agama lain.
- Pasal 13 yang secara tegas mengakui fungsi Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Memang wacana sekitar tinjauan teologis terhadap Pancasila terus berlangsung, akan tetapi pernyataan konfesi tersebut menunjukkan kesediaan HKBP menerima kenyataan bahwa Pancasila dapat mempersatukan warga bangsa yang beraneka ragam latar belakang.

Sehubungan dengan itu, berikut ini dapat disebut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian gereja:

(1) Adanya ‘tempat’ bagi orang lain dalam seluruh gerak pelayanan Gereja, mulai dari liturginya dimana penganut agama lain mendapat tempat dalam doa syafaat, hingga dalam pelayanan Gereja di tengah masyarakat.

(2) Peranan Departemen Koinonia HKBP untuk mengambil inisiatif melakukan dialog dan kerja sama antar umat beragama.

(3) HKBP (warga dan lembaga dalam semua aras pelayanan) terpanggil mewujudkan dialog yang jujur terhadap penganut agama lain, antara lain melalui:

a. Dialog kehidupan

Dialog seperti ini sebenarnya sudah lama berlangsung, yaitu ketika warga jemaat hidup bertetangga dengan penganut agama lain, bekerja dalam lingkungan kerja yang sama, bertransaksi dalam dagang dengan yang berbeda latar belakang agama, suku dan sebagainya. Dalam lingkungan seperti itu orang bertemu tanpa mengedepankan perbedaan melainkan kesamaan sebagai sesama manusia.

b. Dialog Teologis

Dialog teologis terutama melibatkan para tokoh, ahli, pimpinan agama-agama yang bertemu dan membahas seputar masalah-masalah aktual ditinjau dari sudut pandang masing-masing agama. Di Indonesia terdapat cukup banyak forum seperti ini, dimana HKBP dapat ambil bagian. Di samping itu, HKBP dapat memprakarsai forum dialog teologis yang lain dan lebih intensif.

c. Dialog kerja sama

Di sini pusat perhatian tidak terutama ajaran atau dasar teologis secara formal-ilmiah, tetapi membangun kehidupan bersama, peduli pada permasalah bersama dan bersama-sama berbuat sesuatu untuk kebaikan bersama. Misalnya, penganut-penganut agama yang berbeda bekerja sama di bidang penanggulangan bencana, gotong royong, menjaga keamanan bersama, proyek-proyek kemanusiaan, gerakan peduli lingkungan dan lain-lain. Memang, HKBP harus bergerak dalam hal ini atas dasar iman dan ketaatannya kepada Tuhan.

D. DIAKONIA TRANSFORMATIF

Seruan perlunya pergeseran diakonia karitatif (yang biasanya diibaratkan dengan ‘memberikan ikan’) dan diakonia reformatif (diibaratkan dengan ‘pemberian pancing’) kepada diakonia transformatif (menolong mendapatkan akses ke kolam yang berisi ikan) kian nyaring digaungkan akhir-akhir ini.

Seruan dan perjuangan demikian dapat dimengerti karena diakonia karitatif –meskipun baik dan masih tetap dipertahankan, tetapi tidak cukup. Sebab, pemberian yang sifatnya karitatif akan menciptakan ketergantungan. Sama halnya dengan diakonia reformatif, tidak ada manfaatnya jika keahlian dan ketrampilan seseorang tidak dapat digunakan jika peluang dan akses tidak tersedia baginya.

HKBP memahami tugas panggilannya untuk melayani dunia, bukan dilayani (Mrk 10:45): untuk memerangi kebodohan, keterbelakangan, kelemahan, penyakit, ketidakadilan dalam masyarakat sebagaimana diperbuat oleh Yesus (Mat 4:23; Luk 4:18-19).[6]

Tugas HKBP secara lembaga (khususnya Departemen Diakonia) dan warga jemaat pada umumnya dalam hal ini, antara lain adalah:

Memperlengkapi dan menggerakkan warga HKBP dan jemaat-jemaat terlibat dalam upaya-upaya diakonia transformatif melalui keterlibatannya merawat kehidupan melalui usaha-usaha nyata.
Menjalin hubungan dan kerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya memahami dan mengatasi permasalahan yang ada.
Mempertahankan pelayanan di panti-panti asuhan baik yang dikelola sendiri maupun dengan keikutsertaannya mengupayakan bantuan kepada panti asuhan yang dikelola oleh penganut agama lain.
Menumbuhkan kesadaran serta menggerakkan seluruh komponen masyarakat terlibat merawat dan memelihara alam ciptaan Tuhan di tengah krisis ekologis dewasa ini.
Mengadakan diskusi dan sharing terbuka seputar masalah bersama seperti masalah krisis lingkungan, sistem pendidikan yang memerdekakan, masalah kesehatan, masalah anak jalanan, kehidupan buruh, persoalan gender dan sebagainya.
Pengelolaan Rumah sakit dan Sekolah secara profesional.
Mensinergikan potensi yang ada di departemen marturia dan koinonia.


E. PENUTUP

Tuhan Yesus Kristus mengundang umatnya, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh. 15:4).

Undangan ini juga berlaku bagi Gereja dan orang-orang Kristen pada hari ini. Sebagaimana Kristus terbuka bagi setiap manusia, demikian juga Gereja dan orang Kristen yang tinggal dalam Kristus, akan terbuka terhadap sesamanya. Dialog yang dilakukan oleh Gereja dan orang Kristen yang tinggal di dalam Kristus akan mengalir dari ketaatannya kepada Kristus yang menghendaki kebaikan dan keselamatan semua ciptaan.

















[1] HKBP, Garis-garis Besar Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan HKBP, Tarutung: HKBP,1989. hlm. 12
[2] Untuk menghindari kesalahpahaman, ‘politis’ dalam hal ini dimaksudkan menyangkut kehidupan orang banyak, bukan ‘politik praktis’. Sebab, Gereja seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis.
[3] Thomas F. Best and Gunther Gassmann, On the way to Fuller Koinonia, Official Report of the Fifth World Conference on Faith and Order, Geneva: WCC Publication, p. 275
[4] GBKPP, hlm. 11
[5] Lihat Bagian Pendahuluan Konfesi HKBP 1951.
[6] GBKPP HKBP hlm. 12

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget