Tuesday, September 18, 2007

M E M O R I A


(Pengingatan dengan Perenungan Mendalam)[1]

Nama Pilatus tidak mungkin diabaikan dalam peristiwa penyaliban Kristus. Sebagai seorang wali negeri, ia mempunyai peranan yang amat menentukan dalam penyaliban Yesus. Keputusan atas tuduhan dan tuntutan massa berada di tangannya.

Tuduhan terhadap Yesus tidak tanggung-tanggung. Ia dituduh menghujat Allah, dan karena itu Ia divonis menodai kesucian agama. Ia juga dituduh menentang kebijakan Kaisar, karena itu Ia dianggap pantas menyandang “cap” subversif. Tuduhan-tuduhan inilah yang akhirnya menghantarkan Yesus ke hadapan penguasa setempat sebagai terdakwa.

Bagaimana sikap Pilatus? Ia mempunyai pilihan yang amat sulit. Bukan karena perkaranya yang pelik, tetapi karena adanya pertarungan dahsyat antara nurani dan taktik politik. Pilatus mengaku bahwa ia tidak mendapati kesalahan apapun untuk menghukum Yesus. Ia tahu persis kehadiran para pemuka agama dan massa yang membawa Yesus adalah karena kedengkian mereka. Bahkan, Pilatus mempunyai hasrat untuk membebaskan Yesus.

Apa yang terjadi? Satu kalimat membuat Pilatus gusar tidak kepalang. “Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar,” demikian teriakan massa (Yohanes 19 : 12). Apakah istilah “takut” ada dalam kamus kekuasaan? Oh, tentu. Lihat saja pada Pilatus. Sebabnya sangat logis walaupun amat tidak etis. Soalnya, posisinya dipertaruhkan di sini. Jabatan dan tentu, penghasilan turut memberi andil membuat hatinya gelisah. Membebaskan Yesus memang tindakan jujur, tetapi konsekuensinya sangat mahal: tergusur atau bahkan bisa hingga menganggur.

Demi survive (bertahan hidup dan bertahan posisi) akhirnya Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan. Biar ia tidak jujur asal bisa “mujur”. Tidak hanya sampai disitu, demi memuaskan hati umat ia membebaskan Barabas seorang pelaku pembunuhan dan pemberontakan. Penjahat boleh bebas berkeliaran tetapi Yesus dikamabinghitamkan sebagai penjahat.

Semangat serupa memang merupakan suatu mode kekuasaan ketika itu. Lihat saja Herodes misalnya, yang tidak sungkan terlibat dalam pembangunan Bait Suci, dengan bantuan finansial dan dukungan moril! Namun ia tidak merasa enggan juga menumpas lawan-lawan politiknya dengan tentaranya yang kuat. Ia menampilkan kedermawanan yang sungguh-sungguh munafik.

Dengan santainya, Pilatus mencuci tangan sambil dengan ringannya berkata “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini. Itu urusan kamu sendiri!” Dengan gagah berani ia mengampuni kesalahannya sendiri dengan mencuci tangan dan bukan mencuci hati dan pikirannya. Dengan kekuasaannya ia menganggap dirinya memiliki kuasa melempar kesalahan. Kekuasaan mencari kambing hitam!

Akhirnya, Yesus harus menempuh jalan salib. Yesus memikul salibNya dan berjalan menuju Golgata di tengah olokan dan penghinaan. Di samping itu, perjalananNya juga diiringi deraian air mata banyak perempuan. Tetapi jangan terburu-buru memandang air mata ini sebagai pertanda kelemahan kaum perempuan. Ia malah bisa merupakan anugerah Allah untuk menunjukkan kepekaan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan kaum perempuan. Air mata ini juga dapat merupakan simbol perjuangan menolak segala bentuk kesewenang-wenangan.

Yesus tidak meremehkan tangisan itu. Hanya saja, Ia mengarahkan tangisan para perempuan itu kepada yang lain. Dengar apa yang Ia katakan “hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” Kata “anak-anakmu” di sini, mungkin saja menunjuk pada mereka yang dengan mata merah menyerukan penyaliban Yesus, pemuka-pemuka agama, penguasa atau para penonton.

Peristiwa di atas hadir sebagai hasil dari memoria jemaat mula-mula dan para rasul. Memoria artinya “pengingatan yang disertai dengan perenungan mendalam.” Peristiwa di sekitar penghukuman Yesus, yang diingat dan direnungkan oleh jemaat mula-mula dan disaksikan itu akhirnya menjadi memoria umat Kristen pada zaman ini. Memoria ini memungkinkan seseorang melihat keberadaan diri dan realitas dunia sekitarnya dengan penglihatan Kristus sendiri.

Memoria seperti ini tidak gampang bahkan ia mengandung dan mengundang risiko. Yaitu menangisi diri dan menangisi “anak zaman ini.” Menangisi diri, karena mungkin kita sedang memerankan Pilatus atau orang yang berada di sekeliling ‘Pilatus’ dan tidak bisa berbuat apa-apa. Di sini, mungkin saja kita kehilangan sesuatu. Tetapi, bukankah kehilangan sesuatu jauh lebih baik daripada kehilangan segala sesuatu?

Memoria bisa mencurahkan “hujan air mata” menangisi “anak zaman” ini. Menangisi orang-orang yang dengan mudah dan teganya mengorbankan manusia demi kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Tangisan yang mengantar perjuangan pemanusiaan manusia dengan segala tantangannya.

Memoria demikian bisa terjadi jika keselamatan yang Yesus perbuat tidak dipandang hanya sekedar keselamatan jiwa-jiwa. Tetapi keselamatan jasmani dan jiwa secara utuh. Keselamatan yang menyentuh sendi-sendi totalitas kehidupan. Ya, kehidupan bergereja, ya kehidupan bermasyarakat. Kehidupan rohani dan kehidupan jasmani. Sebab, Yesus adalah Juruselamat kehidupan jasmani dan rohani secara utuh. Itu juga yang Ia pelihara hingga hari ini dalam kehadiranNya di dunia yang konkret ini.

Jangan lupa, memoria penderitaan Kristus juga mengandung pengingatan dan perenungan akan perkataan Yesus yang penuh pengampunan. “Ya Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu yang mereka perbuat.” Pengampunan ini berlaku juga pada saat kebangkitan-Nya dan hingga hari ini.

Dengan demikian, memoria dapat menghantar setiap umat percaya mengimani kasih Allah, menyadari keberadaan diri, melihat kenyataan dunia ini, mendorong pengampunan serta menggerakkan aksi seiring dengan pekerjaan Tuhan. Sebab, Ia hidup dan berkarya kini dan di sini.
[1] Pernah dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget