Thursday, September 6, 2007

SPIRITUALITAS DAN EKOLOGI 2




ECO-SPIRITUALITY DALAM KONTEKS ASIA



Ketika Allah menciptakan manusia pertama,Ia membawa mereka mengelilingi Taman Eden dan berkata,“Lihatlah ciptaan-Ku! Lihatlah betapa baiknya semuanya! …Jangan rusak dunia milik-Ku; sebab jika kamu merusaknya tidak akan ada yang memperbaikinya.”


(Midrash Ecclesiastes Rabbah )

AKHIR ZAMAN SUDAH DEKAT?

Akhir-akhir ini hampir semua media massa (cetak dan elektronik) dipenuhi dengan berita dan ulasan seputar bahaya dampak global warming (pemanasan global) yang amat mengancam dan mencekam kehidupan di planet ini. Salah satu dampak naiknya suhu bumi adalah semakin berkurangnya luas dan ketebalan es di kutub bumi (dan ini sudah terjadi). Konsekuensi logisnya adalah naiknya permukaan laut. Para pakar memperkirakan dalam beberpa puluh tahun ke depan akan banyak daerah pantai yang akan berubah menjadi laut.

Jika semua warga bumi ini tidak dengan sungguh-sungguh mengubah pola berpikir, pola hidup dan pola bertindak khususnya terhadap alam ini, maka akhir zaman bukan lagi sebagai sesuatu yang kita nantikan sebagai pemberian Tuhan melainkan karena ‘rampasan’ manausia yang merusak alam dan segala isinya.

Meski diakui bahwa penyebab kerusakan alam ini tidak sederhana, namun dapat disebut beberapa di antaranya sebagai penyebab utama sebagai berikut:

(1) Gaya Hidup Hiper-Konsumserisme

Kondisi alam ini kian memburuk karena konsumsi berlebihan sebagian manusia. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, dan Jepang disebut-sebut sebagai pelahap terbesar sumber daya alam. Amerika Serikat saja, yang penduduknya hanya 5% dari populasi dunia, mengontrol 60% kekayaan dunia[1] dan melahap 40% sumber daya dunia setiap tahunnya.Lebih rinci, berikut ini adalah laporan PBB bidang Human Development (1998) yang memperkirakan:[2]·
  • Total biaya pendidikan dasar untuk tingkat dunia US$6 miliar per tahun (sementara di Amerika Serikat saja US$8 miliar dibelanjakan hanya untuk kosmetik setiap tahunnya).·

  • Biaya instalasi air dan sanitas sejumlah $9 miliar ($11 miliar dibelanjakan untuk es krim di Eropah).

  • Biaya kesehatan dan gizi dasar sebesar $13 miliar ($17 miliar per tahun dibelanjakan untuk makanan binatang peliharaan di Eropah dan Amerika; $50 miliar untuk rokok di Eropah; $105 miliar untuk minum alkohol di Eropah; $400 miliar untuk narkotika di seluruh dunia dan $780 miliar untuk persenjataan.
Meski angka-angka di atas sebagai estimasi, namun angka-angka tersebut dapat menunjukkan (1) Manusia hidup dalam era hiper-konsumer, (2) Manusia membelanjakan uangnya dengan jumlah raksasa untuk hal-hal yang merusak dan mematikan, (3)Perikemakhlukan secara keliru menggeser perikemanusiaan. Sebab, bagaimana mungkin seseorang begitu teganya mengeluarkan biaya untuk kebutuhan binatang peliharaannya, sementara begitu banyak orang yang tidak memperoleh makanan? (4) Yang lebih menanggung penderitaan adalah alam semesta ini. Karena untuk memenuhi hasrat dan keinginan seperti itu tidak ada pilihan lain kecuali mengeksploitasi alam.

(2) Perusakan Hutan Secara Masif

Para pakar dengan gamblang menjelaskan mengapa global warming terjadi dan apa dampaknya bagi kehidupan. Pemanasan global juga terkait dengan penebangan dan perusakan hutan secara besar-besaran. Setiap tahunnya hutan dunia ditebang dan dirusak mengalami seluas dua pertiga wilayah Korea Selatan. Setengah dari hutan dunia sudah rusak.[3] (Uraian dan data-data lebih rinci tentang kondisi hutan dalam konteks Asia dibahas dalam bagian “Agama-agama Asia vs Kepentingan Ekonomi” dalam tulisan ini).

(3) Limbah Industri dan Kendaraan Bermotor

Amerika Serikat dan China adalah dua negara penyebab utama rusaknya ekosistem, karena kedua negara inilah yang paling banyak melepas karbondioksida yang mengakibatkan rusaknya lapisan ozon dan memperparah pemanasan global. Tujuh atau lebih dari sepuluh kota terpolusi di dunia terdapat di China. Di antara semua bangsa, Amerika Serikat bertanggungjawab atas emisi karbondioksida sekitar 25% dari total green house (rumah kaca) yang berasal dari kenderaan bermotor, industri, system pemanas dan pendingin dan sebagainya.[4] Namun tidak adil kalau hanya meletakkan kesalahan ini pada Amerika dan China. Kota Jakarta pun termasuk “tiga besar” kota terpolusi di dunia.

(4) Pertambahan Penduduk

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2005, penduduk dunia berjumlah 6.453.628. Dari jumlah ini, 3.917.508 adalah penduduk Asia.[5] (Penduduk Asia Tenggara berjumlah sekitar 500 juta.[6]) Diperkirakan, pada tahun 2050 penduduk Asia akan berjumlah 5 miliar.[7] Itu berarti bahwa sampai sekarang lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di Asia.Van Dyke mengajukan pertanyaan sederhana tetapi amat menantang untuk dijawab tentang mandat alkitabiah untuk memenuhi bumi, “Bagaimana kita mengetahui kapan bumi penuh?” Dalam kaitan itu ia menegaskan bahwa Alkitab tidak berbicara tentang masalah-masalah pertumbuhan penduduk dan ukuran maksimal penduduk bumi. Tidak diberitahukan kepada kita kapan alam ini penuh. Yang ditekankan Alkitab adalah agar kita memiliki hikmat.[8] Salah satu makna ‘berhikmat’ di sini adalah mendukung pelaksanaan Keluarga Berencana (KB).

AJARAN AGAMA-AGAMA ASIA versus KEPENTINGAN EKONOMI

Pada 29 Septeber 1986 diadakan suatu pertemuan antar-iman di Franciscan Basilica, Italia, yang menegaskan hubungana esensial antara agama dan alam. Inilah pertama kali dalam sejarah dimana lima agama secara bersama-sama mendeklarasikan tanggung jawab etis manusia terhadap alam[9]Pada dasarnya wilayah Asia memiliki tradisi kegamaan dan kearifan-kearifan lokal yang menekankan penghormatan terhadap alam ciptaan Tuhan. Tetapi, sayangnya, semuanya kurang memiliki pengaruh signifikan. Beberapa contoh dapat disebut sebagai berikut:

(1) Filipina, yang merupakan berpenduduk mayoritas Kristen, sedang mengalami kerusakan alam dan akan menjadi gurun permanen jika tidak ada usaha-usaha bersama oleh berbagai institusi, khususnya pemerintah.[10] Pada tahun 1900, 70% wilayah Filipina adalah hutan dan yang tersisa sekarang hanya 16%.[11]

(2) Thailand yang tadinya kaya sumber alam seperti hutan, air, dan tanah subur, tetapi sudah diambang kepunahan.[12] Padahal 90 % penduduk Thailand menganut agama Buddha –agama yang sangat menekankan penghargaan alam semesta.

(3) India juga mengalami masalah kerusakan alam yang parah. (Kota Mumbay, misalnya, termasuk salah satu kota terpolusi di dunia). Mayoritas penduduk India adalah beragama Hindu, yang juga sangat menekankan penghormatan terhadap makhluk dan alam semesta. Mahatma Gandhi, misalnya, dengan sangat tepat mengatakan, “Bumi cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang.”[13]

(4) Indonesia sudah sejak lama mengalami kerusakan alam yang amat parah. Negara ini merupakan Negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dr Abdullah Oma Nassaf, Sekretaris Jenderal Muslim World League pernah mengatakan:

“Esensi ajaran Islam adalah bahwa seleuruh alam semesta adalah ciptaan Allah. Bagi Muslim, peran manusia di bumi adalah sebagai seorang khalifa. Kita adalah penatalayan dan agen perubahan di bumi ini. Bumi ini bukanlah milik kita dan melakukan apa yang kita inginkan. Kesatuan, kepenatalayanan dan pertanggungjawaban adalah tiga konsep dasar etika lingkungan hidup Islam.”[14] Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan, “Bumi ini hijau dan indah dan Allah telah mengangkat engkau untuk merawatnya. [15]

Bersama-sama dengan muslim, penganut agama lain pun hidup di Indonesia, yang secara doktrin juga mengakui tanggung jawab manusia untuk merawat ciptaan Allah. Di samping itu ada begitu banyak ‘kearifan lokal’ yang sangat santun pada alam seperti terdapat dalam budaya tradisional Dayak, Papua, Jawa, Batak dan sebagainya.

Akan tetapi faktanya alam Indonesia telah mengalami kerusakan berat. Hutan tropis Indonesia yang merupakan 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa juga sudah mengalami tingkat perusakan tertinggi di dunia dengan penebangan atau perusakan sekitar 3,8 juta hektar setiap tahun –80% di antaranya merupakan penebangan ilegal (dikutip dari South China Morning Post, 5 Pebruari 2004).[16]

(5) Malaysia (yang juga berpenduduk mayoritas Islam) mengalami kerusakan hutan. Hampir semua hutan Sabah atau Malaysia Timur telah berubah menjadi perabot orang-orang kaya di Negara-negara seperti Jepang, China, Hongkong, Eropah dan Amerika Serikat dalam 20 tahun terakhir ini.[17]

Uraian di atas menyatakan bahwa ajaran agama dan kearifan lokal yang benar-benar menghargai alam ciptaan Tuhan tidak menjamin terawatnya bumi ini, terutama karena kepentingan ekonomi telah mendominasi seluruh dunia. Kenyataan ini hendaknya tidak membuat orang-orang Kristen berputus asa dan menyerah. Keadaan seperti itu tidak memberi jalan keluar, malahan akan memperparah keadaan yang sudah begitu buruk. Gereja dan orang-orang Kristen bersama-sama dengan saudara-saudaranya penganut agama dan kepercayaan lain tetap dapat berbuat sesuatu dalam iman dan pengharapan akan pemeliharaan Tuhan yang terus menerus dalam alam ciptaan dan milik-Nya ini.

ECO-SPIRITUALITY

Istilah "eco-spirituality" membawa perhatian pada kosmos sebagai suatu tempat di mana Allah menyatakan diri-Nya. Eco-spirituality berbicara tentang hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan kosmos dalam totalitasnya.[18] Dalam hal ini orang-orang Kristen perlu mengkaji ulang pemahamannya akan hubungan manausia dengan ciptaan Tuhan.

Benar bahwa manausia memiliki keistimewaan dibandingan seluruh ciptaan Allah. Dalam Alkitab, disebut bahwa manusia adalah gambar Allah. Dalam perjalanan sejarah gereja, keberadaan manusia sebagai gambar Allah sering dipahami sebagai “hak Istimewa”, yang bahkan disalahgunakan untuk mengeksploitasi alam secara berlebihan. Secara teologis, keberadaan manusia sebagai gambar Allah bukanlah terutama sebagai “hak istimewa” melainkan lebih merupakan “tanggung jawab istimewa” sebagaimana Allah percayakan kepada manusia untuk merawat ciptaan-Nya.

Dorr memahami adanya kaitan erat antara spiritualitas dengan ekologi.[19] Itu berarti bahwa spiritualitas Kristen bukanlah hanya masalah interior life tetapi mencakup seluruh kehidupan jasmani dan rohani dan menyangkut hubungan dengan ciptaan Tuhan. Secara teologis manusia dan makhluk hidup memiliki beberapa persamaan, di antaranya:

(1) Mereka adalah sama-sama ciptaan Allah (Kej. 1).
(2) Segala sesuatu yang bernafas memuji Tuhan (Mzm.150:6).
(3) Mereka sama-sama milik Allah dan menerima kehidupan dari Allah yang sama (Kol 1:16-17).

Manusia bukanlah pusat dan pemilik ciptaan. Kita adalah bagian dari ciptaan Allah. Bryan Sirshio dengan indah mengungkapkan “Kita lebih merupakan milik bumi ketimbang kita sebagai pemilik bumi.”[20] Allah mengajar manusia melalui alam dan bahkan makhluk hidup (bnd. Ayb 12:7-10).

Eco-spirituality bukan hanya masalah percakapan intelektual tetapi juga (dan terutama) masalah aksi konkret. Salah satu contoh yang sangat baik untuk ini adalah kehidupan Santo Fransiskus dari Asisi. Kita tidak mendapat tulisan pembahasan teologis atau reflekti teologis yang mendalam dari Santo Fransiskus tentang alam. Hal itu bukanlah pusat perhatiannya. Tetapi, sebagai a man of action, Fransiskus menghargai ciptaan Allah dalam kehidupan konkretnya setiap hari. Bagi Fransiskus alam dan segala isinya adalah tanda kasih dan kemurahan Allah. Kaena itu, semua ciptaan sangat istimewa baginya.[21]

Manusia mesti memahami dirinya sebagai “keluarga” komunitas makhluk hidup ciptaan Allah. Hal ini sama sekali tidak dimaksudkan pengabaian perikemanusiaan atas nama perikemakhlukan. Beberapa waktu lalu harian Strait Times Singapura memuat Berita Turut Berukacita atas meninggalnya seorang anggota keluarga. Yang ganjil (inilah pertama kali saya membaca hal demikian) adalah nama binatang peliharaannya pun dituliskan di bawah nama-nama keluarga yang meninggal tersebut sebagai yang turut berduka. Banyak orang dewasa ini yang mengeluarkan biaya untuk memelihara anjing dan kucing padahal begitu banyaknya manusia yang mati karena kurang makanan dan kurang gizi.

Secara konkret, berikut ini ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh Gereja dan orang-orang Kristen sebagai bagian integral dari eco-spirituality:

1. Tempat Ciptaan Allah dalam Hidup Bergereja

Apakah ciptaan Allah mendapat tempat dalam ibadah-ibadah gereja? Sejauh ini, sayangnya, mereka belum mendapat tempat. Memang CCA sudah mencanangkan merayakan Mingggu Ekologi setiap tahun pada bulan Juni, namun setahu saya belum ada gereja yang melakukannya.

Gereja-gereja, khususnya anggota CCA, membutuhkan a new way of seeing, thinking, worshipping, and acting dalam menghadapi dan mengatasi aneka persoalan ekologis dewasa ini. Hal ini dapat diwujudkan melalui seluruh kehidupan bergereja, di antaranya:

(1) Dirumuskannya sikap teologis dan tugas panggilan gereja secara eksplisit dalam pengakuan Iman (Konfessi) Gereja untuk merawat ciptaan Tuhan.
(2) Dimasukkannya tema ekologi dalam kurikulum pengajaran Sekolah Minggu, pengajaran sidi dan dalam kelompok-kelompok Pemahaman Alkitab (PA).
(3) Mengkhotbahkan tanggung jawab memelihara alam dalam ibadah pada peristiwa-peristiwa tertentu, atau ketika nats kotbah berbicara tentang hal itu.
(4) Perlunya lagu-lagu gerejawi yang mengandung penghargaan terhadap ciptaan Tuhan.
(5) Arsitektur dan penataan gedung gereja yang ‘bersahabat’ dengan alam.
(6) Mengagendakan pembahasan tentang tema ekologi dalam persidangan resmi gereja.
(7) Bekerjasama dengan gereja, agama lain, lembaga swadaya masyarakat dalam rangka memelihara alam.(
8) Menyajikan mata kuliah “Etika Ekologi” dalam sekolah-sekolah pendidikan Teologi.
(9) Menyampaikan masukan dan seruan kepada pemerintah dan pemilik industri untuk bertindak bijaksana dalam usaha-usaha pembangunan ekonomi.

2. Meditasi

Dari sekian banyak bentuk doa, Laurence Freeman mengelompokkannya menjadi tiga, yakni: berkata-kata, mendengarkan, dan berada (being).[22] Dalam ketiga bentuk doa ini, alam ciptaan Tuhan layak mendapat tempat. Doa dengan berkata-kata, misalnya, adalah dalam bentuk pujian kepada Tuhan atas ciptaan-Nya yang baik. Doa ini juga dapat merupakan permohonan akan perlindungan Tuhan atas seluruh ciptaan-Nya. Dalam bentuk “doa mendengarkan”, menurut Freeman, kita harus mendengarkan Tuhan melalui Alkitab, melalui hidup orang-orang, dalam kemiskinan dan penderitaan. Selanjutnya, ia mengatakan,

“We must be able to see God in the present concern about the integrity of the earth, in the face of the destruction of the ecology that our generation is perpetrating.”[23]

Dalam hal ini kita tidak saja berdoa untuk bumi dan segala isinya, tetapi kita berdoa dengan mendengar Tuhan melalui berbagai cara yang Ia lakukan, termasuk melalui ciptaan-Nya.

Berbeda dengan kedua bentuk doa seperti disebut di atas, meditasi yang dimaksudkan di sini tidak terutama dengan suara atau mendengarkan, tetapi hanya dengan “berada” (being). Aktivitas tubuh dan pikiran beralih ke aktivitas “hati”. Tidak ada permohonan, tidak memikirkan rencana ke depan, tidak melakukan evaluasi masa lalu, tetapi duduk dengan tenang di hadapan Tuhan. Dari sejarah kita ketahui bahwa orang-orang Kristen yang melakukan meditasi yang sesungguhnya[24] secara teratur, mereka adalah orang-orang yang hidupnya benar-benar menghargai ciptaan Tuhan dalam berbagai bentuknya. Sebab, kedamaian hati seseorang (yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari meditasi) amat menentukan hidup dan perilakunya terhadap sesama manusia dan ciptaan Tuhan.

Sayang sekali gereja-gereja di Asia sudah kurang memelihara (kalau tidak sama sekali meninggalkan) meditasi. Manusia sudah begitu terkontaminasi dengan slogan menyesatkan time is money. Bagi kebanyakan orang, meditasi merupakan tindakan membuang-buang waktu dan dengan demikian membuang uang. Sudah saatnya orang-orang Kristen menghidupkan kembali tradisi meditasi yang akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap pemeliharaan alam ciptaan Tuhan.

3. Kebahagiaan dalam Hidup Sederhana

Seperti sudah disinggung, salah satu penyebab utama kehancuran alam ini adalah karena konsumsi berlebihan sebagian manusia. Banyak orang yang berlomba untuk mengumpulkan harta dan barang-barang sebanyak-banyaknya, membangun rumah-rumah besar dan mewah, memiliki lebih dari satu mobil, megemas makanan dan minuman dalam wadah sekali pakai dan sebagaianya. Kalau sekitar 20% saja penduduk bumi ini hidup dengan gaya hidup seperti ini sudah mengancam kehidupan bumi ini, maka dapat dibayangkan kalau 6,5 miliar manusia sekarang ini dengan keinginan dan gaya hidup seperti itu, dunia ini akan berakhir sebelum waktunya. Kita belum berbicara bagaimana seratus tahun ke depan.

Secara kristiani, kebahagiaan di sini tidak berarti ‘pemenuhan keinginan’, yang biasanya tidak pernah ada putus-putusnya. Bisakah gereja-gereja menawarkan pola hidup alternatif? Seharusnsya, ya! Kita memiliki landasan yang amat kokoh secara Alkitabiah untuk hidup sederhana. Yesus sendiri mengajarkan Doa Bapa Kami dimana permohonan “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” dan “berikanlah kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan”[25] juga mengandung sikap etis dan gaya hidup kristiani. Hal senada kita temukan dalam Amsal 30:7-9 di antaranya mengatakan “biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku…” (tidak melahap bagian orang lain yang hidup sekarang dan bahkan yang menjadi bagian generasi yang akan datang).

“Simple Living” (mungkin satu-satunya website di Internet) yang dengan sangat mengesankan menyajikan renungan setiap hari sepanjang tahun akan pentingnya pola hidup sederhana yang dapat dijemaatkan sebagai perenungan gereja dan warga jemaat di dalam keluarga atau perenungan pribadi.[26]

PENUTUP

Mungkin saja ada orang yang tergoda mengatakan, “Seberapa besar dampaknya kepada alam ini kalau saya boros, kalau sampah saya setengah kilogram sehari? Pasti tidak berdampak banyak!” Masalahnya adalah kalau semua yang 6 miliar lebih warga bumi ini yang mengatakan dan melakukan hal yang sama, maka bumi ini akan di ambang kehancuran. Tanggung jawab gereja-gereja Asia dan orang-orang Kristen bersama-sama dengan semua umat manusia amat dibutuhkan untuk penyembuhan bumi yang sudah mengerang kesakitan ini.

1] Jim Wall, Faith at Works: Lessons on Spirituality and Social Action (London: SPCK, 2002), h. 58
[2] Ibid, h. 58-59
[3] Per Larson, Your Will Be Done on Earth: Ecological Theology for Asia. An Ecumenical Textbook for Theological School, (Hong Kong: CCA, 2004), h. 16
[4] Ibid., h. 16-17
[5] http://en.wikipedia.org/wiki/World_populationDiakses 13/2/2007
[6] Roland Chia, Hope for the World: The Christian Vision (Leicester: IVP, 2006), h. 12
[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Asian_Century, Diakses 13/2/2007
[8] Fred van Dyke, Redeeming Creation. The Biblical Basis for Environmental Stewardship (Downess Grove, Illinois: Intervarsity Press, 1996), h. 103
[9] R.F. Fuggle, “Convergence between religion and conservation: A Review of the Asisi celebration” dalam W.S. Vorster (ed.), Are We Killing God’s Earth? Ecology and Theology (Pretoria: University of South Africa, 1987), h. 4
[10] Nathan and Martha Knol, eds., Church, Environment and Development in Asia: A Report of the Workshop on Environment and Development: Church Response to Environment in Asia (Shatin, Hongkong: CCA, 1995), h. 30
[11] Per Larson, op.cit., h. 13
[12] Natan and Martha Knol, op.cit., h. 17
[13] Victor Tinambunan, Gereja & Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP, 2006), h. 54
[14] Natan and Martha Knol, op.cit., h. 34
[15] Stephen Bede Scharper and Hilary Cunningham, The Green Bible (New York: Lantern Books, 2002), p. 88
[16] Per Larson, op.cit., h. 13
[17] Ibid
[18] Charles Cummings, “Exploring Eco-Spirituality,” http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/894113cummings.html, Diakses 7/2/2007
[19] Ibid.[20] http://www.eco-spirit.org/Index.html, Diakses 01/2/2007
[21] Ken Gnanakan, God’s World: A Theology of the Environment (London: SPCK, 1999), h. 92[22] Laurence Freeman, “Ways of Prayer”, audio dalamhttp://www.wccm.org/splash.asp?pagestyle=default, Diakses 25/1/2007
[23] Ibid
[24] Disebut sebagai “meditasi yang sesungguhnya” karena sekarang ini ada berbagai bentuk meditasi yang sudah diperjualbelikan sebagai obat stress dan alat rileksasi.
[25] Terjemahan yang lebih tepat dalam bahasa Indonesia dari bahasa Yunani adalah: Berikanlah kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan”.
[26] Lihat http://www.simpleliving.org/, diakses 11/1/2007

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget