Sunday, February 27, 2011

KENIKMATAN YANG BERKENAN KEPADA TUHAN

RENUNGAN MINGGU KE-9
27 Pebruari-5 Maret 2011
(Baca terlebih dahulu Pengkotbah 9:7-10)

Kita menemukan beberapa kali kata ‘kesia-siaan’ dalam kitab Pengkhotbah. Hal ini tidak mengatakan bahwa kehidupan di dunia ini tidak penting. Sebenarnya, inti Kitab Pengkotbah adalah: segala sesuatu adalah sia-sia tanpa hubungan dengan Tuhan.

Khusus dalam ay 7-10 kita diundang untuk bersukacita dan dengan hati yang senang dalam empat hal:

1. Menikmati makanan

Dalam ay 7 dikatakan, “ Mari makanlah rotimu dengan sukaria”. Saat ini banyak orang menganggap makan sebagai kewajiban, mereka terburu-buru atau sambil menonton TV, membaca dan sebagainya. Mereka tidak menikmati makanan. Sebaliknya, ada juga yang menganggap makan sebagai tujuan hidupnya. Mereka hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup. Keduanya tidak benar.

Dengan menerima makanan sebenarnya kita mengalami mujizat. Manusia memang berkerja tetapi yang memberi hasil adalah Tuhan sendiri. Karena itu, kita sudah seharusnya menerima makanan dengan syukur dan berbagi makanan dengan yang berkekurangan dengan hati yang rela.

2. Menikmati persekutuan dengan Tuhan

Dalam ay 8 disebut: pakaian selalu putih dan minyak. Orang Yahudi selalu mengenakan pakaian putih pada hari Sabat. Jadi ‘pakaian puttih’ melambangkan kehidupan ibadah atau persekutuan dengan Tuhan yang kita lakukan bukan karena terpaksa atau karena takut melainkan karena kerinduan hati kita dan kita lakukan dengan sukacita. “Minyak” juga melambangkan ‘sukacita. Dalam Mzm 45: 8 disebutkan bahwa “minyak sebagai tanda kesukaan”. Ini berarti kita perlu meninggalkan kemuraman. Biarlah wajah kita berseri dan memancarkan kehidupan.

3. Menikmati hidup keluarga

Ayat 9 mengatakan, “Nikmatilah hidup dengan istrimu yang kau kasihi seumur hidupmu….yang dikaruniakan Tuhan kepadamu. Walaupun yang disebut di sini hubungan suami istri, tetapi kehidupan keluarga lebih luas dari situ. Anak menikmati kehidupan bersama dengan orangtuanya dan sebaliknya. Pada zaman ini ada banyak hubungan yang rusak antara suami-istri, orangtua-anak, dan sesama anak karena masing-masing mengutamakan kesenangan dan kepentingan dirinya. Kehidupan keluarga adalah pemberian Tuhan. Karena itu hendaklah keluarga hidup dalam damai dan sukaria.

4. Bekerja

Bagi orang percaya, bekerja bukanlah hukuman melainkan sebuah panggilan. Hal ini mau menegaskan, supaya jangan hanya pesta pora makan minum tetapi harus bekerja. Tidak hanya beribadah atau berdoa saja, tetapi harus bekerja. Tidak hanya berkumpul bersama keluarga tetapi harus bekerja. Orang yang bekerja dengan terpaksa dan sungut-sungut akan lebih mudah merasa penat. Hendaklah kita bekerja dengan sukaria agar pekerjaan kita menjadi berkat bagi orang lain dan diri kita sendiri.



Sunday, February 20, 2011

ARTI KEHADIRAN SAHABAT

RENUNGAN MINGGU KE-8
20-26 Pebruari 2011
(Baca terlebih dahulu Ayub 2:11-13)

Penderitaan Ayub tidak tanggung-tanggung: (1) Semua anaknya meninggal; (2) Hartanya habis (3) Ia menderita penyakit parah; (4) Istrinya sendiri tidak memberi dukungan yang baik; (5) Kata-kata ’penghiburan’ sahabat-sahabatnya tidak meneguhkan. Ini adalah penderitaan yang luar biasa!

Di tengah musibah berat itu, ketiga sahabatnya berusaha melakukan yang terbaik. Mereka datang dari tempatnya masing-masing (ayat 11), yang mungkin saja dari tempat yang jauh. Yang jelas, mereka datang dengan sengaja dan terencana. Niat mereka murni, yakni: ingin menolong dan menghibur. Kepedulian mereka tinggi. Mereka pun hadir bagi Ayub. Mereka ikut menangis dan mengoyakkan jubah, tanda kedukaan. Tujuh hari lamanya mereka duduk bersama Ayub. Sayangnya, setelah itu mereka tidak tahan. Mulailah mereka menasihati dan menghakimi. Percakapan Ayub dan sahabat-sahabatnya itu cukup panjang (Baca mulai pasal 4). Tetapi, kata-kata sahabatnya itu tidak punya makna bagi Ayub. Ia mengatakan, ”Alangkah hampanya penghiburanmu bagiku! Semua jawabanmu hanyalah tipu daya belaka (21:34).

Untuk menjadi “saudara dalam kesukaran”, kerap yang dibutuhkan bukanlah perkataan hikmat yang memikat. Sahabat kita kadang tidak butuh banyak nasihat. Yang ia butuhkan hanyalah kehadiran dan pendampingan kita. Telinga yang peka mendengar, bukan mulut yang cepat menghakimi atau mempersalahkan yang membuat hidup yang sudah sarat beban bertambah berat. Kita terkadang tergoda membandingkan dengan apa yang pernah kita alami dan apa yang dialami oleh sahabat kita seolah belum apa-apa. Tentu hal seperti ini tidak menolong saudara kita yang sedang mengalami sebuah pergumulan. Yang lebih dibutuhkan adalah hati yang peka dan mengerti atas dasar kasih.

Yang lebih memberatkan adalah kata-kata yang menghakimi bahwa penyakit adalah hukuman Tuhan akibat suatu dosa yang tidak diakui. Juga kata-kata yang justru melemahkan semangat seperti banyak menceritakan tentang penyakit yang kurang lebih sama dengan yang diderita si pasien yang tidak sembuh-sembuh. Yang sakit itu bisa saja menjadi semakin frustrasi dan memperparah penyakitnya.

Doa Fransiskus Asisi berikut ini kiranya menjadi doa dan sikap kita juga:

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damaiMu.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih;
Bila terjadi luka, jadikanlah aku pembawa kesembuhan;
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian;
Bila terjadi keputusasaan, jadikanlah aku pembawa harapan;
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang;
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan.


Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur;
Memahami daripada dipahami;
Mencintai daripada dicintai,
Sebab dengan memberi kami menerima;
Dengan mengampuni kami diampuni.......

Sunday, February 13, 2011

'MENGHAKIMI' ITU APA?

RENUNGAN MINGGU KE-7
13 Pebruari 2011
(Baca terlebih dahulu Matius 7:1-5)


Pernah mendengar vonis di luar ‘sidang’ oleh yang tidak berwe-wenang? “Musibah yang ia alami merupakan balasan dari Tu-han”. “Bencana alam yang menimpa mereka karena tanggal lahir pemimpin adalah angka sial”. Ini bukan keputusan hakim, melainkan tindakan ;menghakimi’.

Kata ‘menghakimi’ berasal dari kata Yunani krino, yang kita temukan beberapa kali di dalam Alkitab. Pengertiannya berbeda-beda, di antaranya: penilaian atau perkiraan biasa (Luk 7:43); memperkarakan dalam pengadilan (Mat 5:40); penghakiman terakhir oleh Yesus (Mat 19:28); penentuan sebuah hukuman sebelum kesalahan seseorang jelas (Yoh 7:51); penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang (Yoh. 5:22; 8:16).

Kedua pengertian terakhir: (1) penentuan sebuah hukuman se-belum kesalahan seseorang jelas dan (2) penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang) ini lebih dekat pengertiannya dengan kata ‘menghakimi’ dalam Mat 7:1-5. Yesus memperin-gatkan murid-murid-Nya dan orang-orang Yahudi pada zaman itu agar tidak menempatkan diri mereka sebagai ‘hakim’ bagi yang lain dan mengumumkan kesalahan orang lain atas nama Allah. Peringatan yang sama juga ditujukan kepada kita yang hidup pada zaman ini, yang juga belum lepas dari kebiasaan menghakimi.

Contoh konkrit yang kita alami sehari-hari, misalnya mengajak orang lain untuk menjaga jarak atau bahkan menyingkirkan se-seorang hanya karena sebuah prasangka bahwa seseorang itu berkelakuan buruk. Hal ini dapat merusak persekutuan dan persaudaraan termasuk dalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat. Yang lebih parah adalah mengatakan bahwa ben-cana yang terjadi kepada sebuah daerah adalah karena huku-man Allah atas dosa-dosa masyarakat setempat. Atau, kalau seseorang mendapat musibah kita dengan mudah mengatakan bahwa itu hukuman dari Allah. Itu termasuk ‘menghakimi’.

Di samping itu, sikap yang lebih cepat dan lebih suka melihat kesalahan orang lain (yang juga tergolong menghakimi) disoroti secara tajam oleh Tuhan Yesus. “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam mata-mu tidak engkau ketahui?” Memang ada orang yang merasa lega dengan membahas kesalahan-kesalahan orang lain, karena langkah itu dianggap bisa mengangkat ‘harga dirinya’. Agar harga diri meningkat, harus merendahkan orang lain! Untuk menghindari diri dari sikap demikian, bernarlah kata-kata bijak yang berbunyi, “dari kesalahan-kesalahan orang lain, orang yang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri”.

Inti masalahnya, yang menghakimi adalah seorang yang ‘munafik’ (7:5). Itu sebabnya Tuhan Yesus selanjutnya memberi perin-tah “keluarkanlah dahulu selumbar itu dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selum-bar itu dari mata saudaramu.” Yang menghakimi tidak dapat menolong orang lain karena mata rohaninya terhalang oleh tiang di matanya sendiri. Selain itu, untuk mengubah orang lain harus dimulai terutama dengan mengubah diri sendiri. Ketika pengikutNya membuang tiang ‘pembenaran diri’, maka ia akan dapat melihat dengan mata kerendahan hati ‘noda’ yang mungkin ada pada sesamanya. Bukan untuk memperalat ‘noda’ orang lain itu untuk menghukumnya, melainkan untuk pemba-haruan hidupnya. Tanda dari persekutuan orang percaya yang sehat adalah adanya tanggung jawab setiap orang untuk meno-long satu sama lain menghilangkan ‘noda’ dosa setiap anggota persekutuan. Tetapi, itu harus mengalir dari kerendahan hati dan hidup pribadi yang sudah diuji (bnd Gal 6:1-5).

Hal ini berpadanan dengan pengajaran Yesus sebelumnya yang menegaskan “Berbahagialah orang yang murah hati (Mat 5:5). Menghakimi adalah kebalikan dari kemurahan hati. Itu juga yang nampak dari bagian doa Bapa Kami: “Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami (Mat. 6:12).

Hanya mengandalkan pengampunan Tuhanlah kita bebas dari segala dosa dan kesalahan kita. Itu yang kita terima dari Tuhan, itu jugalah yang kita berikan kepada orang lain.

Sunday, February 6, 2011

GAMBAR BERHARKAT

RENUNGAN MINGGU KE-6
06-12 Pebruari 2011

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
(Kejadian 1:27-28)


Secara singkat, ada empat hal yang dapat kita renungkan tentang penciptaan kita berdasarkan firman Tuhan ini:

Pertama, kita tidak ikut merencanakan penciptaan kita. Tetapi, Allah menciptakan dan menempatkan kita di dunia ini pastilah dengan suatu tujuan yang baik sesuai dengan kehendak-Nya. Karenanya, kita tidak mungkin menciptakan sendiri tujuan hidup kita. Kita menerimanya dari Tuhan. Tujuan hidup dimaksud tidak terlepas dari keberadaan kita sebagai gambar Allah, yang intinya adalah kualitas keilahian yang Tuhan anugerahkan kepada kita seperti kemampuan berpikir, memiliki hikmat, merasa, bersukacita, mengasihi dan sebagainya.

Kedua, pernahkan kita merenungkan betapa rancangan Allah, Sang Arsitek Agung itu, begitu mengagumkan yang menciptakan bagian-bagian tubuh kita ini sedemikian rupa? Banyak pelajaran yang berharga dari bagian tubuh kita ini. Mengapa dua telinga dan satu mulut? Mendengar lebih banyak dari bicara. Mengapa perut di bawah otak dan hati? Ini salah satu yang membedakan manusia dengan binatang peliharaan yang otak dan perutnya sejajar. Bagi manusia berlaku prinsip “makan untuk kehidupan bukan hidup hanya untuk makan”.

Ketiga, keberadaan dan hubungan laki-laki dan perempuan mesti dilihat dari persamaan dan perbedaannya sebagaimana Tuhan menghendakinya, antara lain:

(1) Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Allah. Hal ini juga mau menegaskan bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan harus dilihat dari segi ‘kepemilikan’ Allah atas laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki memang berbeda tetapi keduanya adalah sederajat (Kej 1). Kodrat perempuan (yang sampai hari ini belum berubah) mengandung, melahirkan dan menyusui anak, tidak dapat digunakan sebagai pembenaran menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki.

(2) Perempuan dan laki-laki adalah sama-sama mewarisi ‘gambar Allah. Sebagai sesama gambar Allah, laki-laki dan perempuan mewarisi sifat-sifat Allah yang mampu mengasihi, berbuat baik, bertanggung jawab dan sebagainya.

Keempat, keberadaan manusia sebagai gambar Allah bukanlah terutama ‘hak istimewa’ tetapi ‘tanggung jawab istimewa’, yang di antaranya adalah memeliharan dan merawat ciptaan Allah.

Kita seharusnya mensyukuri kelahiran dan kehadiran kita di dunia ini. Pekerjaan Tuhan tidak berhenti sesudah kita alahir, tetapi pemeliharaan-Nya terus berlangsung kepada kita hingga hari ini sampai ke masa yang akan datang.



ShoutMix chat widget