Sunday, October 11, 2009

DARI MATAKU KE MATANYA

REFLEKSI SENIN KE-41
12 Oktober 2009


Pernah mendengar vonis di luar ‘sidang’ oleh yang tidak berwewenang? “Musibah yang ia alami merupakan balasan dari Tuhan”. “Bencana alam yang menimpa mereka karena tanggal lahir pemimpin adalah angka sial”.

Kata ‘menghakimi’ berasal dari kata Yunani krino, yang kita temukan beberapa kali di dalam Alkitab. Pengertian berbeda-beda, i antaranya, penilaian atau perkiraan biasa (Luk 7:43); memperkarakan dalam pengadilan (Mat 5:40); penghakiman terakhir oleh Yesus (Mat 19:28); penentuan sebuah hukuman sebelum kesalahan seseorang jelas (Yoh 7:51); penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang (Yoh. 5:22; 8:16).

Kedua pengertian terakhir: (1) penentuan sebuah hukuman sebelum kesalahan seseorang jelas dan (2) penentuan akhir dan mutlak akan nasib seseorang) ini lebih dekat pengertiannya dengan kata ‘menghakimi’ dalam Mat 7:1-5. Yesus memperingatkan murid-murid-Nya dan orang-orang Yahudi pada zaman itu agar tidak menempatkan diri mereka sebagai ‘hakim’ bagi yang lain dan mengumumkan kesalahan orang lain atas nama Allah. Peringatan yang sama juga ditujukan kepada kita yang hidup pada zaman ini, yang juga belum lepas dari kebiasaan menghakimi.

Contoh konkrit yang kita alami sehari-hari, misalnya mengajak orang lain untuk menjaga jarak atau bahkan menyingkirkan seseorang hanya karena sebuah prasangka bahwa seseorang itu berkelakuan buruk. Hal ini dapat merusak persekutuan dan persaudaraan termasuk dalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat. Yang lebih parah adalah mengatakan bahwa bencana yang terjadi kepada sebuah daerah adalah karena hukuman Allah atas dosa-dosa masyarakat setempat. Atau, kalau seseorang mendapat musibah kita dengan mudah mengatakan bahwa itu hukuman dari Allah. Itu termasuk ‘menghakimi’.

Di samping itu, sikap yang lebih cepat dan lebih suka melihat kesalahan orang lain (yang juga tergolong menghakimi) disoroti secara tajam oleh Tuhan Yesus. “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Memang ada orang yang merasa lega dengan membahas kesalahan-kesalahan orang lain, karena langkah itu dianggap bisa mengangkat ‘harga dirinya’. Agar harga diri meningkat, harus merendahkan orang lain! Untuk menghindari diri dari sikap demikian, bernarlah kata-kata bijak yang berbunyi, “dari kesalahan-kesalahan orang lain, orang yang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri”.

Inti masalahnya, yang menghakimi adalah seorang yang ‘munafik’ (7:5). Itu sebabnya Tuhan Yesus selanjutnya memberi perintah “keluarkanlah dahulu selumbar itu dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” Yang menghakimi tidak dapat menolong orang lain karena mata rohaninya terhalang oleh tiang di matanya sendiri. Selain itu, untuk mengubah orang lain harus dimulai terutama dengan mengubah diri sendiri. Ketika pengikutNya membuang tiang ‘pembenaran diri’, maka ia akan dapat melihat dengan mata kerendahan hati ‘noda’ yang mungkin ada pada sesamanya. Bukan untuk memperalat ‘noda’ orang lain itu untuk menghukumnya, melainkan untuk pembaharuan hidupnya. Tanda dari persekutuan orang percaya yang sehat adalah adanya tanggung jawab setiap orang untuk menolong satu sama lain menghilangkan ‘noda’ dosa setiap anggota persekutuan. Tetapi, itu harus mengalir dari kerendahan hati dan hidup pribadi yang sudah diuji (bnd Gal 6:1-5).

Hal ini berpadanan dengan pengajaran Yesus sebelumnya yang menegaskan “Berbahagialah orang yang murah hati (Mat 5:5). Menghakimi adalah kebalikan dari kemurahan hati. Itu juga yang nampak dari bagian doa Bapa Kami: “Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami (Mat. 6:12).

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget