Saturday, November 14, 2009

TEDUH DI TENGAH KEBISINGAN DUNIA

REFLEKSI SENIN KE-46
15 NOPEMBER 2009



Tingkat kebisingan dunia sekitar kian meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan konsentrasi penduduk di perkotaan (yang diperkirakan dalam waktu tidak lama 80% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan). Deru mesin kendaraan, alat-alat berat konstruksi, mesin penyapu jalan, sirene polisi, pemadam kebakaran, ambulans dan sebagainya mengusik keteduhan. Belum lagi orang-orang yang tidak berperikemakhlukan yang dengan sengaja merombak knalpot mobil atau sepeda motornya hingga membuat tekanan darah meninggi. Kebisingan juga mucul dari musik ‘hard rock’ dan sejenisnya yang mewarnai pertelevisian dan media elektronik lain. Tidak diragukan, kebisingan tengah mengitari, bahkan menggempur, kehidupan keseharian kita.

Di samping itu, kebisingan yang tidak kalah dahsyatnya adalah kebisingan dalam diri kita: apa yang menjejali pikiran dan hati kita. Ia bisa dalam bentuk obsesi atau hasrat ekstra-kuat untuk mencapai sesuatu; keinginan kuat untuk menggenggam atau mempertahankan sesuatu agar tidak lepas seperti jabatan, tempat tinggal, pendapat, dan harta. Itu juga bisa dalam bentuk kebencian dan sakit hati menahun kepada orang, situasi, tempat, atau apa saja.

Kita tidak dapat berbuat banyak terhadap kebisingan luar. Kebanyakan kebisingan itu di luar kendali kita. Tetapi, kita dapat mengurusi kebisingan yang ada dalam diri kita. Untuk itu kita perlu meluangkan waktu untuk ‘hening’ atau berdiam diri. Di sini, diam tidak saja berarti tanpa kata-kata, tetapi seperti yang dikatakan oleh van Kaam "diam atau hening spiritual adalah mengosongkan diri dalam rangka memberi ruang kepada Allah dalam hidup ini”. Menyadari kehadiran dan pekerjaan Allah kini dan di sini. Hanya dengan demikian, kita dapat melihat kehidupan ini dengan penglihatan Tuhan sendiri dan menapaki perjalanan dengan pimpinan-Nya. Sebab, sadar atau tidak, seringkali hidup, aktivitas, dan pola berpikir kita berada di luar pimpinan Tuhan. Semuanya telah dipandu oleh TV, mall, keinginan orang lain, dan keinginan diri sendiri. Inilah yang membuat hidup menjadi amat berat atau malah hampa tanpa makna serta kehilangan pengharapan.

Jalan menuju keheningan batin adalah ‘meditasi Kristen’. Duduk dengan tegak tetapi rileks; percaya dan menyadari kehadiran Tuhan kini dan di sini; mengatakan kata doa seperti ‘Imanuel’ (Allah beserta kita) secara teratur dan berulang-ulang, sekaligus menolong kita mengatasi pelanturan pikiran yang biasanya berkelana ke tiga tempat (1) masa lalu, (2) masa depan, (3) angan-angan atau ilusi. Dalam meditasi kita tidak berkata-kata, tidak meminta kepada Tuhan, tetapi ‘berada bersama Tuhan’.

Barangkali pertanyaan yang paling umum mengemuka adalah: “APA YANG SAYA DAPAT DARI MEDITASI?” Hal ini dapat kita mengerti karena orang-orang pada zaman ini sudah terbiasa menggunakan kalkulator. Semua dihitung berdasarkan pertimbangan ‘untung-rugi’. Celakanya, cara yang sama juga diterapkan dalam hal kehidupan spiritual atau bergereja. Cara itu mestinya tidak berlaku untuk meditasi Kristen. Ia tidak alat untuk rileksasi, bukan pula alat untuk mendapat kebahagiaan (walaupun itu semua penting dan bisa saja datang dari meditasi). Kita hendaknya meninggalkan 'mental hadiah' ketika kita berhadapan dengan Allah, Bapa kita yang sempurna. Yang kita dapat dalam meditasi adalah: ALLAH ITU SENDIRI. Dan kita tahu, jika kita memiliki Allah, kita memiliki segala sesuatu yang Ia kehendaki. Jadi, kita fokus pada Sang Pemberi, Allah kita, bukan pada pemberian-Nya.

Hidup di dalam dan bersama Tuhan itulah menentukan seluruh cara hidup, pola berpikir, sikap, reaksi, tindakan kita bergerak. Kita akan melihat pekerjaan dan kehendak Tuhan dalam setiap situasi yang kita hadapi. Menerima apa yang tidak bisa kita ubah. Perjumpaan kita dengan orang lain akan jauh berbeda. Kita akan lebih toleran karena kita menghargai semua dan setiap manusia. Kita akan lebih tabah menghadapi beban yang perlu dan mampu membuang beban yang bukan salib. Hidup menjadi apa adanya, tanpa dipaksa dan memaksa.

Saya teringat pada sebuah kata-kata bijak, “Siapa menjual masa mudanya untuk sebuah kekayaan, ia harus bersiap-siap menjual kekayaannya untuk kesehatan, yang belum tentu berhasil.” Syukur kepada Tuhan, kita dimungkinkan hidup dalam kerajaan Allah, meskipun kita masih di dunia ini. Kerajaan Allah, di mana, semuanya berjalan seturut rancangan Allah, bukan rekayasan manusiawi.

“Bapa, datanglah kerajaan-Mu, di bumi dan dalam diri kami, seperti di sorga.” Amin

1 comment:

  1. Matur nuwun, Mauliate Amang Pandita. Sangat menguatkan. Saya akan lakukan (lagi) meditasi secara rutin. Tuhan memberkati Amang sekeluarga.
    Salam dan doa,
    Sigit Triyono.

    ReplyDelete

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget