Sunday, November 29, 2009

BERTOBAT ATAU KIAMAT

REFLEKSI SENIN KE-48
30 NOPEMBER 2009


Hari-hari ini kita dihentakkan oleh pemberitaan media akan ancaman musibah yang bakal terjadi sebagai akibat dari pemanasan global seperti perubahan cuaca, kenaikan permukaan laut, dan aneka bencana alam sebagai konsekuensinya. Di samping tanggung jawab negara-negara untuk mengurangi tingkat pencemaran, sebenarnya setiap warga bumi ini harus mengambil bagian dalam suatu perubahan radikal, khususnya dalam hal gaya hidup.

Keadaan lingkungan hidup semakin menguatirkan terutama karena dua penyebab (1) Pertambahan penduduk dunia, yang sampai saat ini berkisar 6,5 miliar, dan (2) Konsumsi berlebihan sebagian orang. Sekiranya, semua manusia hidup atas dasar ‘kebutuhan’, sebenarnya bumi ini masih mampu menghasilkannya. Mahatma Gandhi benar ketika ia berkata, “bumi ini cukup menyediakan untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk ketamakan setiap orang”.

Celakanya, justru ketamakanlah yang kian kuat merasuk dan merusak kehidupan pada azaman ini. Menurut pengamatan Simmel, begitu kelas bawah mulai mengenakan busana tertentu, yang tadinya hanya dimiliki kelas atas, mereka menghancurkan perbedaan antara kelas-kelas. Kemudian, kalangan atas membuang pakaian lama dan memakai mode baru untuk mempertahankan perbedaan. Begitulah terus berjalan tanpa ujung.[1] Di Negara-negara kaya seperti Amerika, Jerman, Singapura dan lain-lain kita dapat menyaksikan begitu banyak barang-barang yang sebenarnya masih layak pakai (tempat tidur, sofa, pakaian, peralatan olahraga, alat-alat elektonik, mainan anak-anak) di depan rumah atau di pinggir jalan, atau ditumpuk di tempat penampungan yang disediakan oleh gereja Salvation Army (Bala Keselamatan). Di salah satu tempat penampungan barang-barang bekas di Salvation Army, Singapura, mereka mengangkut sedikitnhya satu truk setiap hari. Kemudian, pihak Salvation Army menjualanya dengan harga murah. Orang-orang berpenghasilan pas-pasan pun mengenakan pakaian bermerk yang dibuang oleh orang-orang kaya.

Bagaiamana barang-barang mewah merusak alam? Sombart mengemukakan beberapa alasan mengapa barang-barang mewah diproduksi untuk kelas atas. Satu faktor terletak pada sifat dari proses produksi itu sendiri. Sebagian besar bahan baku berasal dari negara lain, sehingga waktu dan biaya harus diinvestasikan untuk mengimpornya. Pembuatan barang-barang mewah itu juga umumnya lebih rumit, memakan waktu lama, dan singkatnya mahal: membutuhkan keahlian dan spesialisasi tingkat tinggi para pekerja. Fator lain adalah sifat distribusi dan penjualan barang-barang yang eksklusif. Perdagangan mewah tidak hanya tergantung pada tetapi juga sangat rentan terhadap perubahan dalam mode. Untuk bisa sukses diperlukan modal untuk bertahan hidup di tengah pasar yang berubah-ubah dan fleksibilitas dalam menyesuaikan proses produksi agar sesuai dengan perubahan permintaan pasar.[2] Jadi, mulai dari proses pembuatan, import bahan baku dan ekspor bahan jadi, hingga pembuangannya yang masih dalam kondisi layak pakai, menguras enerji yang sangat banyak dan menghasilkan polusi.

Sebagai umat beriman, sikap hormat kita kepada Allah mestinya ampak dari sikap hormat kita kepada kehidupan. Sikap hormat kita kepada ciptaan Allah dan sesama manusia. Hal ini hendaknya nampak sedikitnya dalam dua perubahan radikal.

Pertama, pola pikir. Erich Fromm pernah mengatakan, “Jika aku adalah apa yang kumiliki, siapakah aku kalau yang kumiliki hilang?”[3] Kita hendaknya tidak mengidentifikasikan diri dengan apa ayang kita miliki, tetapi siapa Pemilik kita, yaitu Allah sendiri. Dalam hal ini, sudah saatnya kita lebih berpaling ke dalam hati nurani untuk membeli dan melakukan sesuatu, yang semuanya pasti berdampak terhadap kelestarian alam ciptaan Tuhan. Kita tidak perlu terlalu banyak menggunakan “pikiran orang lain” soal barang yang kita pakai. Saatnya ‘gengsi’ harus dikaji dan diuji. Sebab, tidak jarang terjadi, atas nama ‘tampil kren’, seseorang memakasa diri. Ada orang yang penghasilnanya pas-pasan, ingin terlihat seperti orang kaya. Ini terjadi karena ada suatu pemahaman keliru bahwa harga diri diukur berdasarkan jenis dan harga barang yang digunakan. Agaknya tidak berlebihan mengatakan tidak logis dan tidak etis seorang yang tidak memiliki pekerjaan, tetapi menggunakan handphone seharga Rp. 4 juta rupiah, dan belum dua tahun sudah ‘dipaksa’ oleh iklan untuk ditinggalkan.

Kedua, pola hidup. Setiap orang mesti menyadari dan terutama mengurangi apa yang disebut dengan carbon footprint.Carbon Footprint sama dengan jumlah total karbon dioksida (CO2) dan gas-gas pemicu pemanasan global lainnya yang dihasilkan oleh suatu produk atau jasa. Misalnya, jika kita membeli sepasang pakaian, carbon footprintnya dihitung mulai dari memproduksi bahan baku pakaian, menjahit, mengemas, mengangkutnya ke toko atau mall, memajang di toko yang membutuhkan listrik, dan seterusnya. Demikian juga untuk barang-barang lain yang kita pakai seperti sepatu, perlengkapan mandi, alat-alat masak, alat-alat kantor, komputer, kendaraan dan lain-lain.

Mereka yang mampu membeli segala sesuatu, justru membutuhkan pertobatan radikal. Tidak sedikit orang kaya yang merasa malu memiliki sepuluh pakaian mewah, tas mewah, sepatu mewah (dan merasa malu memakainya tiga kali berturut-turut), ditambah lagi lima mobil mewah. Tanpa ada niat untuk mengurusi harta kekayaan mereka yang kaya, mereka perlu ditolong untuk bisa menjadi orang kaya yang bertanggungjawab. Saat ini, kelihatannya orang-orang sederhana lebih hormat kepada orang-orang kaya bukan karena apa yang mereka punyai tetapi dengan apa yang mereka sumbangkan untuk kebaikan sesama manusia. Sikap seperti ini perlu ditumbuh-kembangkan oleh setiap orang.


Doa:
Bapa Kami yang di sorga, berikanlah kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan, dan ketika kami memiliki lebih dari cukup kami dapat mengendalikan diri dan menolong mereka yang berkekurangan.





[1] Ulrich Lehmann, Tigersprung. Fashion in Modernity, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2000, p. 169.
[2] Ulrich Lehmann, Tigersprung, p. 170.
[3] Cited by Stan J. Katz and Aimee E. Liu, Success Trap: Rethink your ambitions to achieve greater personal and professional fulfillment, New York: Ticknor & Fields, 1990, p. 185

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget