Sunday, December 13, 2009

KATOLIK DAN HKBP

REFLEKSI SENIN KE-50
14 DESEMBER 2009

Berikut ini adalah salah satu cerita bijak dari Yustinus Sumantri,[1] yang agaknya relevan juga untuk direnungkan oleh gereja-gereja reformasi, termasuk HKBP.

Suatu hari, seorang Uskup didatangi sekelompok umat yang ternyata para anggota dewan sebuah paroki. Mereka menyatakan tak tahan lagi dengan pastor paroki mereka. “Kami mohon, Bapak Uskup,” kata mereka, “memindahkannya ke tempat lain.”

Dengan penuh perhatian Bapak Uskup mendengarkan macam-macam alasan yang mereka kemukakan. Lalu ia berkata, “Kalau nanti saya mengirim seorang imam untuk menggantikannya, sifat-sifat seperti apa yang Anda-Anda harapkan darinya?”

“Kami mengharapkan ia arif, ramah, terbuka, dan suka mendengarkan,” kata seorang bapak yang tampak paling tua di antara mereka.

“Kalau bisa imam yang tidak pilih kasih!” seorang yang lain menimbrung.

Pendapat lain menyusul cepat, “Jangan imam yang suka marah dan membentak-bentak.”

“Kami mengharapkan pastor yang tidak birokratis dan punya empati kepada kaum lemah,” ucap seorang yang tampak termuda di antara mereka dengan penuh semangat.

Suara lirih seorang ibu menyambung, “Monsinyur, beri kami gembala yang tindak-tanduknya mencerminkan tingkat kerohanian yang tinggi.”

Setelah diam sesaat, ada lagi yang mengacungkan tangan seraya berkata, “Di zaman sekarang ini diperlukan imam yang bisa menjadi motivator, organisator, dan inspirator hidup menggereja.”

“Juga tolong, Bapak Uskup, beri kami romo yang kotbahnya tidak membosankan,” cetus seorang yang lain.

Uskup mengangguk-angguk mendengarkan umatnya yang kaya ide tentang imam yang ideal.

Seorang Bapak tampak ragu-ragu sebentar. Akhirnya terucap dari bibirnya, “Harapan kami….,” katanya agak terbata-bata, “harapan kami, paroki kami nanti mendapat imam yang dapat menjaga diri dalam bergaul dengan umat, sehingga tidak tergelincir….”

Semua diam. Terdengar ada yang batuk-batuk kecil.

Bapak Uskup memandangi mereka satu per satu, “Sudah semua?”

Tak seorang pun menjawab.

Akhirnya, Uskup berkata, “harapan Anda sekalian bagus. Sebaiknya para pastor kita mempunyai kualitas seperti itu. Namun, saya khawatir, saya tidak mempunyai imam yang dapat memenuhi semua harapan tersebut.”

Hening. Dari luar terdengar sayup-sayup kenderaan di jalan raya.

“Bagaimana? Kalian tetap mau agar pastor kalian saya pindah, sementara tak ada penggantinya yang sesuai dengan tuntutan kalian?”

Para anggota dewan paroki itu saling pandang. Kemudian yang seorang berbisik kepada yang lain. Tampak mereka sedang mencari kesepakatan.

Selang beberapa menit mereka menyampaikan kepada Bapak Uskup keputusan mereka. Mereka tidak jadi menuntut agar pastor paroki mereka dipindah ke tempat lain.

Dari kisah tersebut (menurut penulisnya) setidaknya dua hal bisa kita petik. Pertama, betapapun besar rahmat dan anugerah Allah yang diterima oleh seorang imam berkat tahbisan imamatnya, ia tetap seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Karenanya, umat juga harus toleran terhadap kelemahan-kelemahan yang ada pada gembalanya. Kedua, kisah tersebut dapat menjadi suatu peringatan bagi para pastor untuk menjaga jangan sampai dirinya menjadi batu sandungan bagi umatnya.

Apa relevansinya bagi HKBP? Mohon komentar Anda. Yang jelas, masalah mutasi pendeta merupakan salah satu persoalan klasik di HKBP.


[1] Yustinus Sumantri, Litani Serba Salah Pastor. 100 Cerita Bijak, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget