Sunday, August 1, 2010

MENGALAMI KEKINIAN

REFLEKSI SENIN KE-31
02 Agustus 2010

Di meja sebelah –di rumah makan itu-- terdengar seorang ibu berkata, “Mereka membeli ikan lele ini cuma Rp. 15.000 per kilogram (delapan ekor satu kilogram), kita bayar Rp. 8.000 ekor. Pemilik rumah makan ini mendapat untung Rp. 65.000”. Bisa saja ibu ini lupa menikmati enaknya lele bakar karena pikirannya melayang ke uang. (Ia juga lupa bahwa pemilik rumah makan harus membayar minyak, listrik, bumbu, gaji karyawan dan harus membelanjai keluarganya dari dagangannya).

Ada contoh lain yang berhubungan dengan makan. Sekelompok sahabat sedang makan malam bersama. Menu yang tersaji ayam goreng klasan. Selagi menyantap makanan percakapan masih berhubungan dengan ayam klasan, tapi melayang ke tempat dan waktu yang sudah lalu. Ada yang bercerita tentang pengalaman makan ayam klasan yang paling enak di kota anu. Ada pula yang bercerita tentang kekecewaannya memesan ayam klasan di suatu rumah makan dengan bayaran mahal tapi tidak enak. Demikianlah percakapan berlangsung dan hanya mengunyah dan menelan makanan secara ‘mekanistis’ –tanpa benar-benar ‘mengalami’ makan.

Ada kalanya (bahkan mungkin saja sering) kita tidak benar-benar 'mengalami' hari ini karena pikiran kita berada di tempat dan waktu yang lain. Tempat yang paling umum pikiran kita ‘berkelana’ adalah masa lalu, masa depan dan angan-angan. Karena perkelanaan seperti itulah mengapa ada orang yang duduk beribadah di gereja pikirannya melayang terus ke bisnis, sahabat-sahabat, musuh-musuh, atau enaknya meneguk kopi hangat. Itu pula yang terjadi kepada para mahasiswa yang duduk tenang dan tatapan ke depan (tapi dengan tatapan kosong) di ruang kuliah tetapi pikirannya 98 persen tertuju pada gadis atau pria idamannya. (Ada juga memang yang duduk bersama dengan orang yang dicintainya tetapi pikirannya berkelana ke perkuliahan atau pekerjaannya. Kata-katanya pun terkadang tidak ‘nyambung’).

Orang-orang seperti itu gagal menangkap misteri dan makna kekinian. Gagal ‘mengalami’ hari ini, dengan segala keindahan dan tantangannya. Bukan berarti kita tidak boleh mengingat masa lalu, memikirkan masa depan dan berimajinasi. Semuanya sah sejauh tidak merampas kekinian. Untuk segala sesuatu ada waktunya, kata Pengkotbah. Maka, keseimbangan hidup itu perlu, dengan lima “si” : meditasi (kehidupan doa), kreasi, aksi, rekreasi, dan reflkesi.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget