Ada saja yang terasa agak aneh dalam kehidupan keseharian kita. Sebut saja soal ‘kehebatan’ dan ‘kejagoan’ yang terkadang diidentikkan dengan ‘keberanian’ melawan tatanan kehidupan yang baik atau aturan yang berlaku. Di beberapa kota di Indonesia, mereka yang ‘berani’ naik sepeda motor tanpa menggunakan helm pengaman sambil bonceng tiga dan menerobos lampu merah pula, justru dianggap orang atau menganggap diri sendiri ‘hebat’ atau ‘jago’. Saya jadi teringat ‘cerita’ Ayub Yahya tentang seseorang yang menerobos lampu merah di jalan raya. Ketika polisi menghentikan dan bertanya, “Mengapa Anda menerobos lampu merah? Anda tahu apa artinya merah?” Dengan entengnya si pengendara sepeda motor menjawab, “Tahu Pak Polisi. Merah artinya “berani”.
Kita juga dapat melihat bagaimana keanehan serupa terjadi dalam hubungan jabatan dan kekayaan. Jarang sekali --kalau tidak mau dikatakan sama sekali tidak ada-- pejabat negara yang kaya di Indonesia yang menjadi kaya kalau bukan karena korupsi. Tetapi, anehnya (lebih tepat celakanya) justru mereka itu yang dianggap hebat dan berhasil. Mereka pun disambut meriah, didaulat sebagai orang terhormat dalam berbagai kegiatan masyarakat. Tidak heran mengapa banyak orang yang ingin seperti mereka. Tetapi jangan kita membenci mereka. Kita boleh membenci perilaku buruk atau kekurangan orang lain, tetapi kita mesti tetap mengasihi dan menghormati orangnya. Kita perlu membantu mereka dengan mendoakan, menegur dengan cara hormat dan bersahabat.
Selain dalam konteks kehidupan masyarakat dan bernegara, baik juga kalau kita melihat diri sendiri sebagai gereja. Kecenderungan serupa juga bukan pengalaman asing dalam kehidupan bergereja. Sepanjang sejarah gereja kita menemukan orang-orang yang membelokkan ayat-ayat Alkitab untuk mengabsahkan konsep, sikap dan perbuatan tertentu yang justru bertentangan dengan kehendak Tuhan. Tidak sedikit orang yang membusungkan dada tatkala berhasil melanggar tata gereja tanpa merasa risih apalagi bersalah. Kita tidak perlu menguras tenaga membahas itu semua. Cukup bagi kita melihat fakta-fakta itu tanpa mengingkarinya sambil melangkah dalam menapaki kehidupan, menekuni pekerjaan dan pelayanan keseharian dalam pimpinan Tuhan dan dalam semangat pertobatan. Ketika kita disebut berhasil dalam melakukan yang baik pun kita bukanlah orang hebat, apalagi kalau ‘keberhasilan’ kita justru mengaburkan dan menguburkan kebenaran demi pengejaran kepentingan kita. Sesungguhnya, Tuhanlah yang hebat, kita dipanggil untuk menjadi berkat.
Thursday, September 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.