Sunday, September 21, 2008

MASALAH 'MEMBERI KESAN'


Sebongkah batu besar dan kokoh tidak akan goyah oleh hembusan angin sepoi-sepoi maupun tiupan angin kencang. Demikianlah orang berhikmat tidak akan bergerak karena pujian maupun celaan.



Ketika kita melihat ke dalam diri kita untuk mengetahui siapakah diri kita, seringkali yang pertama kita temukan adalah ‘kecurigaan’ yang akhirnya menimbulkan aneka pertanyaan. Kita menemukan bahwa motivasi kita sering tidak semurni yang kita harapkan.Apakah saya penderma? Saya memberi bantuan ke panti asuhan, kepada panitia pembangunan gereja dan sebagainya. Tetapi, apakah saya memberinya sebagaimana adanya, atau apakah saya memberinya supaya mereka yang memintanya tidak mengganggu saya? Apakah saya memberi sebanyak yang saya mampu dan seharusnya, atau apakah saya memberikannya untuk memberi kesan dan memoles reputasi saya? Apakah saya memberi lebih banyak kali ini karena saya ingin meningkatkan reputasi saya di mata orang lain dan saya dapat berbicara dengan orang lain untuk memberi kesan positif tentang diri saya?Kehidupan bergereja kita juga perlu kita periksa dengan seksama. Apakah saya rajin bergereja terutama untuk menjaga citra saya terhadap sesama warga gereja? Kita takut Tuhan tidak akan memenuhi permintaan saya kalau tidak rajin beribadah? Kita merasa tidak enak kalau orang lain mencap kita bukan warga gereja yang baik? Apakah saya terus berkeliling mencari gereja yang menyediakan nyanyian, tata ibadah, khotbah dan sebagainya yang cocok dengan selera saya atau saya bergereja di sini karena saya percaya Tuhan menepatkan saya di sini tidak terutama untuk kepentingan saya tetapi untuk menjadi saksi-Nya?

Dari pengalaman kita bisa belajar bahwa intropeksi terhadap motivasi yang ada di balik sikap dan tindakan-tindakan kita memberi lebih banyak ketidakpastian ketimbang kepastian. Kita selalu dapat bertanya terhadap diri sendiri, tetapi kita tidak akan dapat yakin apakah kita sungguh-sungguh mengenal diri kita sendiri.
.
Salah satu hal yang perlu kita periksa adalah mata rantai kehidupan kita sekarang dengan masa lalu yang mungkin tanpa sadar amat mempengaruhi kehidupan kita saat ini. Misalnya, ada banyak anak yang dibesarkan dalam mental ‘hadiah’ atau ‘hukuman’. Jika anak menyenangkan, memenuhi selera orang tua maka ia akan mendapat hadiah. Jika tidak memenuhi selera orangtua (tidak peduli apakah salah atau benar) anak mendapat celaan, ‘cap negatif’ hingga mendapat hukuman. Pola itu terus melekat hingga seseorang itu dewasa. Itu sebabnya ada orang yang tidak pernah ‘menjadi dirinya sendiri’, tetapi selalu bergerak berdasarkan ‘rayuan’ maupun ‘ancaman’ dari luar dirinya. Itu juga bisa menimbulkan semangat persaingan, kecemburuan, iri hati dan sejenisnya. Itu juga mengakibatkan seseorang tidak siap menerima keberadaan diri sendiri dan sekaligus tidak berbahagia melihat keberadaan dan keberhasilan orang lain. Adakah ikatan masa lalu kita membelenggu hidup kita hari ini?
.
Dalam hal ini kita membutuhkan evaluasi diri, bukan untuk benci diri apalagi menghukum diri melainkan untuk kembali ke tujuan hidup kita sebagaimana Tuhan kehendaki. Tuhan mengenal kita lebih baik ketimbang kita mengenal diri sendiri. Mohonlah pertolonganNya untuk memperkenalkan diri kita kepada diri kita sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita ajukan dan jawab dengan sadar. Bagaimana perasaan saya ketika orang memuji saya? Bagaimana perasaan saya ketika orang mengkritik saya? Sejauh mana perasaan-perasaan itu menentukan sikap dan tindakan kita sehari-hari?
.
Jika jawaban Anda jernih terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, maka Anda tidak akan memberi perhatian serius pada pujian orang karena bakat Anda, prestasi yang Anda raih dalam berbagai bidang, kebaikan hati Anda, penampilan fisik Anda. Demikian halnya kalau ada orang yang mencela Anda, Anda akan memikirkannya ala kadarnya saja. Janganlah terlalu serius dengan semua itu. Mengapa? Sebab, baik orang yang memuji maupun mencela kita lebih mencerminkan suasana hati mereka. Jika Anda menerima pujian orang lain, sesungguhnya Anda menyerahkan diri dikontrol atau dikendalikan oleh orang lain. Anda akan berusaha menjaga citra, penampilan dan ide sebagaimana diharapkan orang lain. Anda akan menyesuaikan diri dalam banyak hal terhadap selera orang yang memuji Anda. Anda akhirnya terpenjara oleh pujian itu sendiri.

Jadi, kalau orang lain memuji Anda katakanlah dalam hati, "orang ini memuji saya sesuai dengan suasana hatinya." Ketika orang lain memuji kita, kita seharusnya lebih menikmati persahabatan kita ketimbang pujian itu sendiri. Sebaliknya, kalau orang lain mengkritik atau mencela Anda, lihat ke dalam diri sendiri. Kalau kritik itu benar, syukurilah karena itu merupakan obat bagi Anda meskipun rasanya pahit. Jika celaan orang itu hanyalah mengungkapkan keadaan diri mereka yang serba negatif atau karena cemburu, iri hati, sombong dan sebagainya, merekalah yang mempunyai masalah. Karenanya, jangan bereaksi berlebihan, apalagi menjadi berang sambil membalas. Perlu kita sadari bahwa emas yang dilemparkan ke dalam kotoran sapi pun, tidak akan berubah kadar keemasannya. Janan peduli dengan 'nama baik' menurut ukuran dunia ini, yang seringkali mengutamakan pemolesan dari luar. Hidup kita pun akan bebas dan apa adanya. Kita tidak dikendalikan oleh orang lain, tetapi digerakkan oleh Roh Tuhan yang mendiami inti kemanusiaan kita.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget