Kotbah yang dipersiapkan dengan tenaga asap sangat sulit dibayangkan bisa meresap
PENGANTAR
Kotbah merupakan salah satu bagian terpenting dalam ibadah sepanjang sejarah gereja. Karena itu, usaha untuk mempersiapkan dan menyampaikan kotbah yang baik dan benar merupakan sebuah keharusan.
Homiletika berasal dari bahasa Yunani homilia artinya persekutuan, dan bentuk kata kerja homileo artinya berbicara. Umumnya homiletika diartikan sebagai ilmu berkotbah. Akan tetapi, di sini homiletika kita pahami lebih dari sekadar ilmu. Sebab, ilmu biasanya sesuatu yang diteruskan kepada orang lain, yang bisa saja tidak diterima atau dihidupi oleh yang menyampaikannya. Homiletika dimaksudkan sebagai upaya membangun persekutuan umat percaya melalui penyampaian firman Allah, yang antara lain seturut dengan fungsi Alkitab (mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran, bnd. 2 Timotius 3:16). Disamping itu kotbah berperan untuk menghibur dan meneguhkan orang untuk setia mengikut Tuhan.
Dengan demikian, pertanyaan yang pertama dan terutama bukanlah ‘kotbah yang bagaimana’ melainkan ‘bagaimana pengkotbah’. ‘bagaimana pengkotbah’ mencakup: Spiritualitas: hubungan yang terpelihara baik dengan Tuhan. Kecerdasan emosional; Kecerdasan intelektual; Kecerdasan interaksi; Kesehatan dan kebugaran tubuh. Sedangkan ‘kotbah yang bagaimana’ mencakup kotbah yang ‘benar’ (berakar pada firman Tuhan; ‘baik’ (memperhatikan peristiwa dan situasi tertentu seperti: tahun liturgi, konteks duka, sukacita, perayaan; ‘jelas’ (sistematis dan cara penyampaian yang komunikatif; ‘menarik’ (untuk membantu pendengar mengingat dan menghidupinya).
BAGAIMANA PENGKOTBAH
Berkotbah adalah salah satu tugas pelayanan yang paling sering dilakukan oleh kebanyakan pelayan gereja. Bagi banyak pelayan, barangkali ini juga yang paling sering menekan atau membebani kehidupan. Mereka yang merasa sangat terbeban dan menolak berkotbah biasanya pertama-tama mengajukan pertanyaan ,’apa yang akan saya katakan?’. Itu sebabnya sering kita dengar keluhan bahwa seseorang sudah ‘putus kamus’. Sebab, semua hal sudah pernah dikotbahkan (dan terkadang harus mengatakan ‘seperti yang sudah pernah saya kotbahkan dulu’).
Alkitab menegaskan bahwa Allah berfirman melalui manusia. Karenanya, tugas berkotbah adalah sebuah anugerah. Sebab, mulut pengkotbah menjadi saluran penyampaian firman Allah. Di sini bukan peranan manusia yang terutama melainkan peranan Tuhan sendiri. Itu sebabnya seorang pengkotbah yang benar tidak pernah ‘putus kamus’, sebab Allah terus menerus menyatakan diri dan memperdengarkan suaraNya.
Semakin jelas bahwa pertanyaanya bukan terutama “kotbah yang bagaimana” melainkan “bagaimana pengkotbah”. Jika kita mulai dengan ‘kotbah yang bagaimana’ biasanya setelah membaca ayat Alkitab sesuai perikopen kita mulai dengan mencari “apa yang cocok saya katakan atas dasar ayat Alkitab ini”. Padahal, yang pertama dan terutama, mestinya adalah “apa yang Tuhan katakan dan nyatakan kepada saya dan umatNya melalui ayat Alkitab ini”. Inilah yang dimaksudkan dengan ‘bagaimana pengkotbah’. Di samping itu, tentu kehidupan sehari-hari seorang pengkotbah sangat menentukan juga. Bagaimana kehidupan doanya, emosinya, keteladanannya dan sebagainya.
Semuanya ini hanya dapat terbangun melalui ibadah pribadi dan persiapan diri dalam perenungan yang sungguh-sungguh. Dengan demikian, kotbah dapat menyejukkan, menyentuh hati yang terdalam, membangkitkan iman, meneguhkan ketetapan hati mengikut Kristus dalam kebenaran dan kasih. Pendidikan homiletika tidak terutama bersumber dari buku-buku, penataran dan sebagainya tetapi terutama dalam seluruh kehidupan kita. Di situ Tuhan menuntun dan memperlengkapi kita.
Dapat dicatat pula bahwa kotbah lebih dari waktu persiapan sebelum berkotbah, tetapi merupakan hasil dari seluruh hidup pengkotbah: hidup spiritual, keyakinan moral, pengembangan intelektual melalui bacaan dan refleksi, kesehatan atau kebugaran fisik, bahkan masalah makanan yang dimakan dan minuman yang dimunum. Khusus yang disebut terakhir ini perlu mendapat perhatian karena kalau pengkotbah makan terlalu kenyang, itu mengakibatkan darah lebih aktif bekerja di perut yang seharusnya bekerja di otak dalam mempersiapkan kotbah. Atau kalau seseorang harus minum sedikit alkohol supaya ‘berani’ bediri di mimbar, mungkin saja ia berani tetapi kotbah yang disampaikan pun sulit dibayangkan bisa membangun iman. Tambahan lagi, kotbah yang dipersiapkan dengan tenaga asap, sangat sulit dibayangkan dapat meresap.
Untuk itu seorang pengkotbah sedikitnya perlu melakukan persiapan:
1. Kehidupan doa. Kehidupan doa yang dimaksudkan di sini tidak saja berdoa pada waktu mempersiapkan kotbah saja, melainkan seorang pengkotbah adalah seorang yang memberi waktu setiap hari untuk berdoa dan merenungkan firman Tuhan. Doa pribadi sangat penting bagi seorang pengkotbah, dimana pengkotbah bersyukur, memohon ampun serta memohon hikmat kepada Tuhan. Kita memohon agar Tuhan menguduskan hati kita, agar dari situ terpancar kehidupan. Kita berdoa agar Tuhan berkenan menguduskan jalan pikiran kita, sehingga setiap pemikiran dan penjelasan yang keluar darinya sungguh-sungguh mencerminkan pikiran Tuhan. Kita memohon agar Tuhan menyucikan mulut dan bibir kita, agar kata-kata yang keluar dari situ benar-benar kata-kata yang penuh urapan. Kita ingat misalnya, bagaimana Allah menjamah mulut Yeremia sebelum mewartakan firman Tuhan.
2. Persiapan khusus. Pengkotbah sendiri sebaiknya melakukan persiapan diri dan persiapan kotbah dengan sungguh-sungguh. Pengkotbah perlu membaca dan merenungkan nats kotbah berulang-ulang sambil terus menerus memohon hikmat dari Tuhan. Apa yang Tuhan katakana kepada saya? Apa yang Tuhan kehendaki?
3. Setiap Pengkotbah seharusnya membaca dan merenungkan nats kotbah sedikitnya satu minggu sebelumnya, walaupun ia tidak berkotbah. Setiap pelayan juga berdoa agar pengkotbah setiap minggunya sungguh-sungguh diperlengkapi oleh Tuhan. Dalam hal ini sangat baik kalau ada ‘sermon’ (persiapan kotbah) bersama para pelayan untuk saling berbagi perenungannya kepada sesama pengkotbah.
4. Dalam membaca Alkitab, kita tidak saja belajar tentang Tuhan, melainkan, yang terutama kita sedang berhadapan dan berbicara dengan Tuhan sendiri. Ia berbicara kepada kita. Karena itu dalam persiapan kotbah, Tuhanlah yang seharusnya terlebih dahulu berbicara kepada kita, dan pikiran, analisa, tafsiran kita dibelakangkan. Dalam kaitan itu, kita tidak saja mengetahui tentang Tuhan tetapi juga (dan yang terpenting) kita percaya kepada Tuhan.
PERSIAPAN MATERI KOTBAH
Bertolak dari persiapan pribadi seperti disebut di atas, pengkotbah dapat menyusun materi kotbah sebaik mungkin. Jadinya, kotbah merupakan hasil perenungan dan penghayatan si pengkotbah. Secara sederhana berikut ini ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian seorang pengkotbah dalam mempersiapkan kotbah.
1. Mulai dari yang dimengerti
Dalam membaca nats Alkitab mungkin saja ada yang sulit kita pahami atau bahkan membingungkan kita. Untuk itu mulailah dari yang mudah dipahami. Langkah ini mungkin saja menolong kita memahami yang sulit. Sebaliknya, kalau yang sulit dimengerti kita tonjolkan, maka yang mudah dipahami pun bisa saja menjadi terabaikan.
Untuk menolong kita dalam hal ini kita boleh mengajukan pertanyaan dan menjawab berdasarkan fakta-fakta ayang ada dalam nats Alkitab, seperti:
Siapa: Misalnya, Allah. Apa yang dilakukan Allah? mengasihi, menyertai, memelihara, memperingatkan, menghukum dan lain-lain. Atau mungkin, tentang seseorang ‘tokoh’ yang setia kepada Tuhan, seperti Abraham, Musa, Nabi-nabi, dan sebagainya. Bagaimana hidup, keberimanan dan pekerjaan mereka?
Apa: Tentang apa yang disebut dalan nats? Misalnya: gereja, keluarga, persekutuan, ibadah, persembahan, kehidupan yang kekal, kehidupan pribadi, akhir zazaman, kematian, kebangkitan, dsb.
Sikap hidup kristiani yang bagaimana: pengampun, pengasih, penuh kesabaran, bertahan melawan pencobaan, kesetiaan, keteguhan iman, memberi secara Kristen,
2. Sapaan Tuhan kepada kita sekarang
Kotbah hendaknya menyentuh kehidupan dan pengalaman kita sekarang. Memang, Allah yang berfirman di dalam Alkitab, adalah Allah yang sama yang berfirman kepada kita sekarang. Akan tetapi situasi yang dihadapi oleh orang-orang dulu berbeda dengan kenyataan yang kita hadapi sekarang. Karena itu, kita merenungkan, apa yang Tuhan katakan kepada kita melalui firmanNya yang terdapat di dalam Alkitab.
Kita mengalami banyak hal dalam kehidupan kita baik sukacita maupun berbagai beban kehidupan. Pengalaman-pengalaman kita itu perlu diangkat ke permukaan untuk melihat kehendak Allah yang terkandung di dalamnya, menyadari kecenderungan sikap berpaling dari Allah dan sebagainya. Karena itu, semua masalah kehidupan dapat disinggung dalam kotbah. Dalam hal ini sedapat-dapatnya kita perlu mendengar banyak dari orang, mendengar berita dari sumber-sumber yang ada, bahkan sedapat-dapatnya kita dapat membaca beberapa buku yang berguna.
3. Kotbah yang Benar dan Menarik
Keduanya memang penting, tetapi pusat perhatian utama kita dalam kotbah ialah bahwa isi kotbah itu benar sesuai dengan firman Tuhan. Bicara tentang ‘benar dan menarik’ seumpama dengan ‘isi dan bungkus’. Yang paling penting, tentunya adalah isi bukan bungkus. Apa artinya kalau bungkusnya baik tetapi isinya tidak baik? Lebih baik kalau bungkusnya sederhana, tetapi isinya sangat berharga. Paling baik, adalah baik isi dan bungkusnya baik.
Untuk memudahkan, pengkotbah dapat memberi ilustrasi atau perumpamaan. Tetapi perlu diperhatikan agar ilustrasi atau perumpamaan hanya merupakan ‘alat’ untuk memahami inti kotbah. Janganlah warga jemaat pulang dari gereja hanya mengingat cerita itu saja, tetapi benar-benar memahami dan menghayati firman Tuhan sebagai inti kotbah.
4. Beberapa hal yang perlu dijaga
(1) Hendaknya kotbah tidak disalahgunakan menjadi sarana melampiaskan emosi/ amarah atau menyindir kepada seseorang yang tidak disukai atau dibenci dalam jemaat. Mimbar gereja bukanlah tempat pelampiasan amarah, melainkan tempat menyampaikan firman Tuhan dalam kasih.
(2) Tidak menggunakan kotbah sebagai penonjolan pribadi melalui contoh-contoh keberhasilan diri sendiri. Peran pengkotbah adalah bagaikan sebuah jari yang menunjuk kepada Tuhan. Sebab, hanya Tuhanlah yang layak dimuliakan. Mimbar tempat berkotbah memang lebih tinggi, tetapi peran firman Tuhan itulah yang tinggi.
(3) Penggunaan waktu yang tepat supaya tidak terlalu bertele-tele sehingga yang mendengarkan kehilangan perhatian. Lebih baik menekankan beberapa pokok penting dengan penjelasan secukupnya.
(4) Pada saat menyampaikan kotbah, kita harus tetap dalam hubungan dengan Tuhan. Kita tidak sendirian di situ. Allah ada di situ. Karena itu, dalam berkotbah, bukan kita yang terutama menyapa warga jemaat, tetapi kita semua –termasuk pengkotbah—sedang disapa oleh Tuhan.
(5) Setelah selesai berkotbah, kita perlu hati-hati dengan dua godaan. Pertama, merasa tegang atau tertekan karena merasa gagal menarik perhatian umat. Kedua, menjadi sombong karena merasa kotbah yang disampaikan bagus, hebat, dikagumi orang dan sebagainya. Hendaklah kita bersyukur sambil menghayati firman Tuhan yang kita sampaikan.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.