Sunday, May 30, 2010

MEMINTA DAN MENERIMA MAAF

REFLEKSI SENIN KE-22
31 Mei 2010

Pengalaman menunjukkan bahwa manusia sulit meminta maaf. Mengapa? Sedikitnya ada tiga kemungkinan. (1) Seseorang benar-benar bersalah tetapi ‘merasa’ tidak bersalah. Dalam hal ini seseorang perlu lebih sadar diri baik melalui usaha sendiri maupun dengan keterbukaan pada orang lain. (2) Merasa bersalah tetapi mengganggap tidak terlalu masalah. Mungkin ada perasaan bahwa kesalahan yang sama dilakukan oleh orang lain. Bahkan, orang lain yang mempunyai kesalahan jauh lebih besar dan tidak meminta maaf. (3) Sadar bersalah tetapi sengaja tidak mengaku bersalah dan tidak mau meminta maaf.

Apa pun di balik ketidaksediaan meminta maaf, yang jelas semuanya tidak dapat dibenarkan. Permohonan maaf atas suatu kesalahan merupakan keharusan. Agaknya, rasa ‘harga diri’ yang keliru merupakan penghalang besar untuk meminta maaf atas suatu kesalahan. Ada semacam sikap alamiah bagi banyak orang bahwa mengaku bersalah dan meminta maaf itu menurunkan harga diri. Apalagi bagi seseorang yang terpandang menurut ukuran dunia seperti karena kedudukan atau jabatan, kekayaan dan sebagainya. Sekadar contoh, ada satu ungkapan dalam bahasa Batak: Mardasar mardosor, tutungon porapora. Na sala i gabe sintong, molo hata ni na mora. (Yang salah menjadi benar, jika yang mengatakannya orang kaya).

Cara yang paling umum bagi orang yang mengagungkan ‘harga diri’ untuk menutupi kesalahan dan menolak meminta maaf adalah: mencari kesalahan orang dan mencari kambing hitam. Hal ini bukan pengalaman yang asing bagi kita di lingkungan masyarakat, pemerintahan, bahkan –sedihnya—di lingkungan agama juga. Padahal, kebesaran seseorang nampak saat ia menyadari kekurangan dan kelemahannya yang disertai dengan usaha perbaikan diri secara terus-menerus.

Meminta maaf atas suatu kesalahan adalah sebuah keharusan. Caranya bisa secara langsung atau melalui orang lain (karena kondisi tertentu). Selain itu, meskipun kurang sempurna, permintaan maaf tanpa kata juga dapat dilakukan, yaitu dengan memperbaiki kesalahan dan menunjukkan perbaikan diri. Meski kata maaf tidak terucap, tetapi perubahan hidup seseorang telah mencerminkan permintaan maaf. Cara ini jauh lebih baik ketimbang kata maaf yang terlontar yang hanya memenuhi persyaratan tertentu atau karena desakan dari luar tanpa disertai perubahan hidup.

Memang, usaha permintaan maaf tidak selalu mulus, meskipun bertolak dari hati yang tulus. Bisa saja korban atau sasaran suatu kesalahan menolak memaafkan atau bahkan menjadi mengeras. Tetapi, di samping kita sudah menunaikan tanggung jawab, kita juga harus memaafkan orang-orang yang tidak menerima permohonan maaf kita. Lebih dari itu, ada kalanya kita menanggung akibat sebuah kesalahan.

Bagaimana sikap menerima permintaan maaf? Sedikitnya ada dua sikap yang salah. Pertama, menolak. Alasannya bisa beragam. Ada yang membenarkan penolakan memberi maaf karena kesalahan seseorang itu terlalu menyakitkan. Tetapi, jika dirunut hingga ke akarnya, penolakan memberi maaf bisa juga karena ada perasaan cemburu, iri hati, semangat pembalasan dendam atau motif negatif lain. Dalam keadaan seperti ini, kesalahan orang lain menjadi sebuah ‘kebutuhan’ untuk merendahkan orang lain sambil mendongkrak harga diri.

Kedua, memberi syarat. Kata-kata, “saya akan memaafkanmu jika……” menunjukkan hal ini. Kata “jika” biasanya diisi dengan syarat seperti menuntut perubahan terlebih dahulu, kompensasi tertentu, melakukan sesuatu terlebih dahulu (seperti mengumumkan secara publik) dan lain-lain. Ada faktor ‘menguasai’ dalam hal ini, yang tidak sehat dalam membangun hubungan.

Bagaimana seharusnya? Memberi maaf, diminta atau tidak diminta. Ketika kita berada pada posisi korban kesalahan orang lain, pengampunan adalah keharusan bagi kita. Kita harus mengampuni yang bersalah apakah ia minta maaf atau tidak. Dari perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15) kita dapat mengetahui bahwa pengampunan sudah terjadi sebelum anak yang hilang itu kembali. Zakheus berubah setelah ia tahu bahwa Yesus menolak dosanya tetapi menerima dirinya (Lihat Lukas 19). Apa yang Tuhan berlakukan dan lakukan kepada kita, itu juga yang seharusnya kita hidupi.

“Wah ini sulit. Kita masih di dunia!”, Anda berkata. Benar, ini sulit. Bahkan, sangat sulit. Tetapi tidak mustahil. Benar juga bahwa kita masih di dunia. Tetapi, pengampunan hanya berlaku di dunia nyata ini. Di sorga manusia tidak berdosa lagi dan tidak perlu meminta atau memberi maaf lagi. Di dunia ini sudah terlalu banyak kebencian, kita tidak perlu menambahnya lagi.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget