Sunday, May 2, 2010

ADA KEKUATAN DI DALAM AIR MATA

REFLEKSI SENIN KE-18 2010
03 Mei 2010

Tetesan bahkan deraian air mata sudah biasa terjadi di depan mata kita. Penyebabnya beragam. Ada yang tidak terhindari karena rasa sakit (sakit gigi, jari terjepit pintu), perpisahan yang menyakitkan dan sebagainya. Ada pula air mata yang sebenarnya tidak perlu, yang hanya sekadar senjata untuk menggolkan keinginan. Hal ini tidak saja dilakukan oleh anak-anak ketika sangat menginginkan sesuatu (yang tidak perlu) dari orangtuanya, tetapi juga dari kalangan orang dewasa. Itu sebabnya ada istilah ‘air mata buaya’ –air mata kepura-puraan. Air mata tempat bersembunyi.

Ada yang mengatakan bahwa kaum perempuan lebih mudah mencucurkan air mata ketimbang kaum laki-laki. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa dua senjata perempuan utama adalah ‘kosmetik’ dan ‘air mata’. Jika ada laki-laki yang gampang menangis ia dianggap memiliki ‘keibuan’. Tetapi, seandainya pun dapat dibuktikan bahwa umumnya perempuan lebih mudah menangis dibandingkan dengan laki-laki, itu bukan suatu pertanda bahwa perempuan lebih lemah ketimbang laki-laki. Tidak selamanya air mata itu tanda kelemahan. Tuhan sendiri tidak menolak tangisan atau air mata. Hanya saja Ia menghendaki penggerak dan tujuan yang benar. Misalnya, dalam perjanalanNya ke Golgata menuju penyalibanNya banyak perempuan yang menangisi dan meratapi Dia (Luk 23:27). Bagaimana Yesus menyaksikan tangisan mereka? Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: “Hai putri-putri Yerusalem,janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” Menganisi diri dan anak-anak mereka! (ayat 28).

Salah menangis? Tidak! Masalahnya adalah bahwa tangisan para perempuan itu salah alamat. Yesus tidak perlu ditangisi. Yesus tidak perlu dihibur atau ditopang. Mereka tidak berjasa kepada Tuhan melalui deraian air mata mereka. Yang perlu mereka tangisi ada dua: diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Mengapa? Peristiwa penyaliban itu sendiri adalah karena dosa-dosa mereka dan anak-anak mereka. Dengan demikian tangisan mereka mestinya berisi suatu pengenalan diri, pengakuan dosa disertai komitmen pembaharuan hidup pribadi, keluarga dan masyarakat.

Tangisan demikian kita butuhkan saat ini. Tangisan laki-laki dan perempuan! Jika kita jujur, sesungguhnya kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa kita telah mendukakan Roh Tuhan. Kita lihat bagaimana kehidupan kita bergereja di mana keakuan dan pementingan diri begitu kuat merasuki dan merusak kebersamaan kita. Gereja-gereja kita dipenuhi oleh intrik-intrik duniawi untuk mencari hormat dan keuntungan, baik dengan cara yang amat halus, hingga yang sangat kasat mata. Beberapa gereja digerakkan oleh orang-orang yang menempatkan diri sebagai tuhan-tuhan kecil bahkan melampaui wewenang Tuhan, sang Pemilik Gereja. Tanda-tandanya? Kata-kata yang tersembunyi maupun terlontar adalah, “Saya pemimpin di sini!” “Kami yang menentukan di sini!” “Kalau terima silahkan, tidak menerima silahkan angkat kaki!” Sikap demikian juga terkadang sampai mengabsahkan berbagai kebohongan. Keadaan ini diperkeruh dengan munculnya orang-orang yang ‘doyan’ penampilan alias pamer diri. Padahal, gereja bukanlah panggung tempat pamer diri. T.S. Eliot benar ketika ia berkata, “Kebanyakan persoalan di dunia ini disebabkan oleh keinginan manusia menjadi orang penting.” Seharusnya, Gereja adalah alat di tangan Tuhan untuk mewujudkan keadilan, kebenaran, dan damai sejahtera, bukan alat pencapaian pribadi dan kelompok atau sarana pamer dan penonjolan diri.

Keadaan semakin runyam dengan adanya kecenderungan yang sangat memprihatinkan saat ini dengan munculnya orang-orang yang dengan bebas atau sesuka hati mengatakan “apa saja”, tentang “siapa saja”, “di mana saja”, “kepada siapa saja.” Pantaslah sampai ada perintah untuk tidak bergaul dengan orang yang “bocor mulut” (Amsal 20:19). Terkadang kita sulit menemukan mana yang membedakan sebuah gereja dengan organisasi duniawi lainnya. Yang menyedihkan ialah, justru organisasi profan jauh lebih baik dalam artian tertentu dibandingkan dengan beberapa jemaat.

Keprihatinan yang sama terjadi dalam kehidupan kita bermasyarakat, di mana sebagian warga masyarakat memiliki ketegaan ekstra memangsa sesamanya. Rakyat kecil semakin terpuruk, sementara yang kaya dan berkuasa semakin leluasa dan kelihatan kian jaya. Pencuri ayam masuk penjara sementara koruptor miliaran bebas berkeliaran, atau paling digajar bulanan. Bumi Indonesia sangat kaya, tetapi kebanyakan rakyatnya miskin. Hutang luar negeri semakin mengerikan dan tak terperikan. Orang yang belum lahir pun sudah ikut menanggung hutang luar negeri. Untuk membayarnya, pasti dengan mengeksploitasi alam secara besar-besaran yang pada akhirnya akan menciptakan kesengsaraan.

Menyakasikan keadaan kehidupan bergereja dan bermasyarakat seperti itu, jika kemanusiaan kita ‘normal’ dan punya hati, kita patut menangis: dengan atau tanpa air mata. Yang kita tangisi ada dua. Pertama, diri kita sendiri. Dengan kemanusiaan kita yang terbatas ini, sadar atau tidak, kita ikut menyumbang terhadap keadaan gereja-gereja, bangsa dan masyarakat kita. Hidup kita belum sepenuhnya berpadanan dengan kehendak Tuhan. Tangisan dan air mata kita dapat merupakan bagian dari pengenalan kita atas diri kita dan hendaknya berisi tekad pembaharuan hidup. Dalam niat yang baik pun ada kalanya kita justru melukai orang lain dan menimbulkan perselisihan, apalagi jika sikap dan perilaku kita nyata-nyata menjadi sumber permasalahan. Karena air mata dapat mempimpin kita kepada pengenalan diri yang lebih baik dan semangat perubahan hidup di masa datang, tangisan kita dapat memberi buah yang sangat berharga. Mungkin kita tidak bisa mengubah seluruh dunia, tetapi kita dapat mengubah diri sendiri, yang pada akhirnya dapat mengubah dunia di sekitar kita. Daripada menambah masalah dengan aneka tingkah dan ulah serakah, lebih baik mengaku salah, berubah dan memulai langkah baru. Damai pun akan bersemi kembali.

Kedua, menangisi anak-anak jaman ini, termasuk yang dekat dengan kita maupun yang tidak kita kenal, yang karena sikap dan perilaku mereka keadaan gereja dan masyarakat kita kian memburuk dan terpuruk. Tangisan seperti ini sekaligus berisi komitmen kita untuk memberi keteladanan, sikap menerima setiap orang meskipun kita menolak bahkan membenci perilakunya, serta menegur mereka berdasarkan kemampuan dan kesempatan yang kita punyai. Dengan sikap demikian, kita tidak menarik diri atau mengasingkan diri. Tangisan ini juga berisi doa, “Ya Tuhan, ampunilah mereka, sebab mereka tidak mengetahui apa yang mereka perbuat. Jika mereka mengetahuinya dan sengaja melakukannya, kehendakMulah yang jadi”. Pembalasan bukan tugas kita!

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget