Sunday, May 16, 2010

MEMIMPIN DAN DIPIMPIN DENGAN HATI

Reflkesi Senin ke-20
17 Mei 2010

Semua kita terkait dengan kepemimpinan. Ada kalanya kita memimpin (seperti dalam sebuah kelompok kecil hingga organisasi besar) dan selama hidup kita berada di bawah kepemimpinan orang lain. Uraian berikut menjawab dua pertanyaan yaitu, “pemimpin yang bagaimana” dan “pengikut yang bagaimana”.

Berkaitan dengan ‘pemimpin yang bagaimana’, ada dua kelebihan utama seorang pemimpin: (1) Karakter dan integritasnya lebih tinggi dari bakat atau keahlian memimpin. (2) Karakter dan integritas atau kualitas hidupnya lebih tinggi dari kehidupan rata-rata yang dipimpin.

Kebanyakan kekacauan sebuah organisasi terjadi karena yang ada adalah kebalikan dari kedua kelebihan seeorang pemimpin tersebut di atas.

1. Karakter dan integritas lebih tinggi dari bakat atau keahlian memimpin

Ada yang mengatakan bahwa ikan, yang pertama busuk adalah kepalanya. Kemudian, menjalar ke badannya. Bagaimana dengan sebuah organisasi duniawi dan gereja? Ada kalanya hal yang sama terjadi. Pemimpin yang busuk membuat organisasi dan yang dipimpin menjadi busuk.

Karakter adalah cerminan dari ‘siapa kita di tempat tersembunyi atau tidak terpantau orang lain’. Integritas berarti ‘menyatunya kata dan perbuatan’. Jadi, karakter dan integritas merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pemimpin yang mengajarkan disiplin adalah yang berdisiplin juga, dilihat atau tidak dilihat orang lain. Pemimpin yang mengajarkan dan menganjurkan kejujuran adalah yang jujur juga, di semua tempat dan di semua waktu. Pemimpin yang mengagungkan kasih dalam perkataan-perkataannya adalah yang mengasihi juga. Singkatnya, kepemimpinan adalah masalah keteladanan. Sebab, karakter dan integritas seorang pemimpin akan secara langsung menentukan pengaruhnya.

Dengan demikian, kepemimpinan bukanlah terutama masalah teknik. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Tidak sedikit pemimpimpin yang benar-benar memiliki bakat dan kemampuan luar biasa dalam memimpin yang gagal karena tidak memberi keteladanan. Albert Schweitzer mengatakannya begini, “Keteladanan bukanlah syarat utama dalam mempengaruhi orang lain --ia adalah satu-satunya.”

Bayangkan seorang bapak berkata kepada anak-anaknya, "lakukan apa yang saya katakan", bukan "lakukan apa yang saya teladankan". Anaknya mungkin 'patuh', bukan karena wibawa ayahnya tapi karena kuasanya. Dalam hal ini, seorang bapak dihormati dan ditakuti karena kuasanya, bukan karena wibawa dan kualitas pribadinya.

Hal yang sama bisa juga terjadi dalam suatu persekutuan. Pemimpin yang ditakuti biasanya dikelilingi oleh orang-orang munafik dan penjilat. Pemimpin seperti ini mungkin masih dihormati, tetapi ia dihormati karena jabatannya, bukan karena kualitas hidupnya. Padahal, lebih baik berhak mendapat kehormatan dan tidak memilikinya, ketimbang memiliki kehormatan tetapi tidak layak memilikinya (Mark Twain). Pemimpin sejati adalah pemimpin yang dihormati bukan karena jabatan atau posisinya, melainkan karena kualitas hidup, karakter dan inegritasnya.

Bukan berarti keahlian memimpin tidak penting. Hanya saja ia tidak menempati tempat utama. Justru karena penempatan keahlian memimpin inilah pada tempat terpenting, persoalan timbul dalam sebuah organisasi. Saat ini banyak yang dengan mudah dapat menjadi ‘ahli dalam teknik memimpin’. Kini buku-buku bertemakan ‘teknik’ kepemimpinan membanjir.

Tetapi, yang lebih dibutuhkan adalah pembangunan karakter. Pohon yang tumbuh tinggi punya akar yang dalam. Ketinggian tanpa kedalaman besar berbahaya. Para pemimpin besar dunia ini seperti St Fransiskus, Gandhi, dan Martin Luther King, Jr, - semua orang yang hidup dengan ketenaran publik, pengaruh, dan kekuasaan dalam sebuah cara yang sederhana karena akar spiritual mereka yang mendalam. Tanpa akar yang dalam dan kuat dengan mudah kita membiarkan orang lain menentukan siapa kita. Ketika kita berakar dalam kasih Allah, hidup kita dan kepemimpinan kita akan dipimpin oleh Allah.

2. Kualitas hidup lebih tinggi dari kehidupan rata-rata yang dipimpin

Kualitas hidup seorang pemimpin nampak sedikitnya dalam empat hal. Pertama, kerendahan hati. “Semakin dewasa seorang pemimpin, semakin rendah hati pula mereka”, demikian kata-kata dari Maxwell. Kerendahan hati ini mewujud dari kemauan dan kemampuan seorang pemimpin mengekang dirinya dari godaan menempatan diri, pengalaman dan pencapaiannya sebagai yang paling istimewa sambil merendahkan orang lain. Salah satu alat ukurnya adalah menyikapi pujian tanpa melekat pada pujian itu sendiri. Kerendahan hati juga nampak dari rasa hormatnya kepada semua dan setiap orang terlepas dari kemampuan dan latarbelakangnya.

Kedua, kata-katanya yang membangun dan meneguhkan. Seorang pemimpin tidak saja dilihat tetapi didengarkan. Kata-katanya sering menjadi acuan dalam berpikir, berskap dan bertindak. Lisa Kirk pernah berkata, “Seorang penggossip adalah ia yang berbicara padamu tentang orang lain. Seorang pembual adalah ia yang berbicara padamu tentang dirinya sendiri. Seorang pembicara handal adalah ia yang berbicara padamu tentang dirimu.” Hal ini perlu direnungkan oleh seorang pemimpin agar ia terhindar dari kebiasaan mengedarkan gossip dan membual, tetapi mengatakan kebenaran dengan cara-cara yang benar pula.

Ketiga, menghargai perbedaan. Jika kita mengharapkan kebersamaan hanya dengan orang-orang yang kita sukai, kita harus berada di 'planet' lain, bukan di bumi ini. Seorang pemimpin, bahkan kita semua, tidak akan pernah berhenti belajar bagaimana membangun 'jembatan'. Yang menyedihkan adalah hadirnya para pemimpin yang justru menciptakan jurang atau tembok pemisah di antara yang dipimpinnya. Hal ini biasanya terjadi demi kepentingan pribadi si pemimpin.

Keempat, moralitas. Bagaimana mungkin seorang pembohong, tukang korupsi, pelaku pelecehan seksual dan sebagainya layak memimpin? William Makepeace Thackeray benar sekali ketika ia berkata, “orang-orang berkelakuan buruk bagaikan jendela kaca yang kotor, mereka menghalangi cahaya matahari bersinar ke dalam ruangan.” Dunia membutuhkan para pemimpin dengan moralitas teruji.

Benar, bahwa tidak ada orang yang sempurna. Tidak ada pula pemimpin yang sempurna. Keadaan ini hendaknya tidak menjadi alasan pembenaran diri, tetapi menjadi pengingat bagi seorang pemimpin untuk tetap rendah hati dan membaharui diri agar kepemimpinan seseorang itu layak dijalani.

Memimpin pemimpin

Bagaimana kalau kita sedang dipimpin oleh seorang pemimpin yang karakter, integritas dan kualitas hidupnya rendah? Kita terpanggil untuk ‘memimpin sang pemimpin’, tidak dengan mengambil alih kepemimpinan dengan halus maupaun dengan ‘kudeta’, melainkan dengan karakter, integritas dan kualitas hidup teruji pula. Sebab, jika kata-kata, sikap dan kehidupan Anda memberi inspirasi kepada orang lain untuk berbuat yang terbaik, Anda adalah pemimpin sejati meskipun Anda tidak punya jabatan. Jadi dalam hal ini, yang terpenting bukan seberapa tinggi posisi yang kita tempati (dan komisi yang kita kantongi!), melainkan seberapa dalam kasih kita kepada Pencipta dan ciptaanNya yang dipercayakan kepada kita.

Dengan karakter, integritas dan kualitas hidup yang teruji itu pula kita dapat memberi masukan bahkan kritik membangun kepada seorang pemimpin, baik secara langsung maupun dengan cara yang lain yang lebih sesuai.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget