Sunday, May 23, 2010

R E M

REFLEKSI SENIN KE-21
24 Mei 2010

Sebuah mobil membutuhkan pedal gas untuk bisa maju dan pedal rem untuk tidak melaju. Pengendara mobil yang hanya menginjak pedal gas sepanjang perjalanan akan berakhir dengan nasib tragis. Mencelakakan si pengemudi dan penumpang mobil, menghancurkan mobil itu sendiri, dan mencelakakan siapa saja yang mungkin tertabrak. Begitu juga hidup ini. Kita membutuhkan ‘rem’ agar kita tidak mencelakakan diri sendiri, orang-orang yang bersama dengan kita, lingkungan di mana kita hidup dan orang lain yang kita temui sepanjang perjalanan kita, baik yang kita kenal maupun yang tidak tidak.

Di tengah zaman ini dengan segala hiruk-pikuknya, kita membutuhkan rem pakem khususnya dalam tiga hal.

Pertama, rem kata. “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya”, demikian diregaskan dalam Yakobus 1:26. Firman Tuhan ini dapat kita kaitkan dengan kata-kata bijak dari Jean Pierre Camus: "Hikmat mengandung pengetahuan kapan dan bagaimana berbicara serta kapan dan di mana berdiam diri.”

Rem kata ini secara khusus kita butuhkan dalam hal: (1) Jumlah kata. Terlalu banyak kata-kata biasanya menjadi penghalang bagi orang lain menangkap inti pesannya. (2) Arah kata. Semakin banyak seseorang berbicara tentang dirinya, semakin kurang berminat dia mendengarkan orang lain berbicara. Jadi, rem kata dibutuhkan untuk membatasi kata-kata tentang diri sendiri dan ‘gas’ untuk berbicara yang membangun tentang orang lain. (3) Suasana hati sebelum kata. Apa yang kita katakan kepada orang lain hari ini bisa saja membekas dalam hatinya seumur hidup. Karenanya, di samping kita perlu memikirkan dengan matang kata-kata, kita juga perlu memeriksa suasana hati kita. Ketika kita dalam keadaan gundah, curiga, kecewa berat, marah, bad mood, kita perlu menunda mengeluarkan pernyataan. Sebab, kata-kata kita sangat dipengaruhi apa yang ada di dalam hati kita. Jika yang di dalam hati adalah damai dan kesejukan, maka damai dan kesejukan pula kata-kata kita.

Kedua, rem kerja. Memang, bekerja adalah suatu tugas panggilan. Ia adalah suatu keharusan. Rasul Paulus memperingatkan, “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes 3:10). Yang menjadi masalah adalah kecenderungan banyak orang yang ‘gila kerja’ pada zaman ini. Pepatah Denmark "Membakar sebuah lilin dari kedua ujungnya, membuatnya tidak dapat bertahan lama", sangat cocok menggambarkan keadaan saat ini. Banyak orang yang mengorbankan kesehatannya demi kekayaan yang kemudian mencoba mengorbankan kekayaannya untuk kesehatan, yang belum tentu berhasil. Banyak orang beranggapan bahwa kesibukannya bekerja adalah demi keluarga, padahal keluarganya terlantar karena tidak ada waktu bersama.

Rem kerja ini perlu ditekan khususnya di tengah teknologi yang kian melaju. Agaknya, saat ini lebih sulit memperlambat ketimbang melesatkannya. Laju perkembangan teknologi saat ini bagaikan kuda yang menuntun dan menentukan tujuan penunggangnya: teknologi menunggang manusia, bukan sebaliknya.

Rem kerja atau istirahat adalah perintah Tuhan juga. Jadi, hidup seimbang itu perlu, dengan lima "si": meditasi, kreasi, aksi, rekreasi, dan refleksi.

Ketiga, rem konsumsi. Kita hidup di tengah kondisi bumi yang menderita demam alias pemanasan global. Akar masalahnya adalah manusia, khususnya karena konsumsi berlebihan. Rem konsumsi atau penguasaan diri atas keinginan kita butuhkan secara khusus di tengah gempuran konsumerisme yang merasuki dan merusak kehidupan kita dan alam ciptaan Allah. Manusia cenderung membelanjakan uangnya pada hal-hal yang kurang berguna bahkan merusak kehidupan itu sendiri ketimbang yang membangun kehidupan. Sekadar untuk mencelikkan kita, sebuah laporan PBB bidang Human Development belum lama ini mencatat:

• Total biaya pendidikan dasar untuk tingkat dunia US$6 miliar per tahun (sementara di Amerika Serikat saja US$8 miliar dibelanjakan hanya untuk kosmetik setiap tahunnya).
• Biaya instalasi air dan sanitas sejumlah $9 miliar ($11 miliar dibelanjakan untuk es krim di Eropah).
• Biaya kesehatan dan gizi dasar sebesar $13 miliar ($50 miliar untuk rokok di Eropah; $105 miliar untuk minum alkohol di Eropah; $400 miliar untuk narkotika di seluruh dunia dan $780 miliar untuk persenjataan

Manusia cenderung ‘kehilangan rasa’. Akibatnya, banyak orang yang berusaha mencari ‘rasa’ pada makanan. Mereka mengkonsumsi makanan selahap-lahapnya hingga kelebihan berat badan. Kemudian, mereka mengikuti klub fitness atau membeli alat treadmill untuk membakar kalori. Mengapa? Agar mereka kembali dapat melahap makanan lebih banyak agi. Demikian berputar-putar. ‘Siklus’ ini seirama dengan iklan-iklan di berbagai media. Misalnya, di sampul belakang majalah ditawarkan jenis makanan lezat dan di belakangnya dipromosikan obat-obatan atau peralatan pelangsing tubuh.

Ada pula yang berusaha meraih keglamouran sebagai upaya mendongkrak harga diri. Ada orang yang mengidentifikasi dirinya dengan apa yang dimilikinya. Dalam hal ini, Erich Fromm benar ketika ia berkata, “Jika aku adalah apa yang kumiliki, siapakah aku kalau yang kumiliki hilang?” Mungkin keglamouran enak dipandang mata (ada juga memang yang menyilaukan), tetapi kesederhanaan jauh lebih indah, tidak layu oleh terpaan sinar matahari, dan tidak lapuk oleh guyuran hujan.

Sesungguhnya, rem tersebut di atas kita butuhkan demi kebaikan hidup kita sendiri, demi merawat hubungan sehat dengan sesama, dan demi lestarinya alam ciptaan Tuhan. Salah satu dari buah-buah Roh adalah ‘penguasaan diri’ (Gal 5”23). Ini salah satu yang sangat sulit tetapi suatu keharusan bagi orang percaya. Mengandalkan kuat kuasa Roh Tuhan, kita dapat menguasai diri. Membiarkan diri sepenuhnya dikuasai oleh Roh Tuhan. Jadinya, penguasaan diri lebih merupakan pekerjaan Roh Tuhan dalam hidup kita ketimbang sebagai prestasi yang kita raih.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget