Wednesday, April 22, 2009

DARI ‘MELAYAT POLITIK’ HINGGA ‘KEBAKTIAN POLITIK’

Sebelum pemilu legislatif yang baru saja berlalu, tanpa direncanakan saya pernah berbincang-bincang dengan calon legislatif untuk satu Propinsi. (Saya mendengar beliau masuk menjadi anggota legislatif). Meskipun beliau seorang calon legislatif, dia sendiri amat prihatin melihat keanehan-keanehan para calon legislatif memperkenalkan diri dan menarik perhatian masyarakat pemilih. Dia mengatakan berkembangnya program “melayat politik”, “kebaktian politik” dan “makan politik”

‘Melayat Poltik’, adalah mereka yang mengirimkan ‘bunga papan’ kepada keluarga yang berkabung dengan menulis nama, caleg partai mana, lengkap dengan nomor urut berapa. Anehnya, ada pula di antara yang mengirim papan bunga tersebut yang sama sekali tidak ada pertalian kekeluargaan atau hubungan dekat apa pun dengan orang yang meninggal tersebut.

“Kebaktian Poltik”, adalah pihak partai atau caleg yang gencar mengunjungi gereja-gereja dengan mengikuti kebaktian dan memberi sumbangan (yang di antaranya juga menyebutkan nama partainya). Mereka diberi kesempatan berbicara di sela-sela ibadah, lengkap dengan 'Jaket Partai'. Dan ada ‘pesan sponsor’ supaya calon tersebut didoakan dalam doa syafaat.

“Makan Politik”, adalah mereka yang memberi makan warga masyarakat, baik secara langsung mapun membagi-bagi sembako yang kemudian sang caleg diberi kesempatan berpidato.

Setelah pemilu usai, berbagai komentar bermunculan dari hampir semua kalangan masyarakat seperti tukang ojek, tukang pangkas, pengunjung tetap warung kopi hingga kantor-kantor pemerintah bahkan konsistori gereja. Tentu, sudah pasti komentar-komentar seru dari para caleg yang menang, apalagi yang kalah.

Seorang teman mengirimkan email kepada saya yang berisikan keluhan seorang calon legislatif sebagai berikut:

“Saya juga punya pengalaman yang menyedihkan melihat para pemilih, rakyat Indonesia yang miskin ini. Mereka menerima semua orang, bahkan mengundang untuk datang ke kampungnya, minta ini dan itu, dengan janji akan memberi suara untuk kita. Saya mengunjungi lebihdari 60-70 komunitas untuk memperkenalkan diri, memperkenalkan visi dan misi. Tetapi ternyata mereka banyak yang membohongi saya, dan memilih orang lain yang memberi uang belakangan dan lebih banyak. Termasuk gereja-gereja meminta-minta uang dari banyak calon legislatif (caleg), tapi juga tidak memilihnya. Keadaan Indonesia telah kacau, tidak bermoral lagi, mungkin oleh budaya kemiskinan. Penghitungan suara belum selesai, tapi saya pessimis bisa duduk di DPRD....... Biarlah, saya serahkan saja pada Tuhan.”

Biarlah ini menjadi pelajaran pendewasaan bagi seluruh rakyat Indonesia, para calon legislatif dan lembaga keagamaan.

(1) Calon legislatif hendaknya lebih mengedepankan kualitas diri dan komitmen untuk perbaikan bangsa. Seorang teman mengatakan kepada saya perlunya setiap pribadi ‘berkaca diri’ sebelum mencalonkan diri untuk menjadi anggota legislatif, bupati, gubernur dan lain-lain.
(2) Kepada gereja-gereja: Gereja tidak hidup karena uang tetapi Gereja yang hidup pasti punya uang yang cukup untuk pelayanan. Karena itu, Gereja seharusnya tidak menyelewengkan keberadaannya sebagai lembaga gerejawi tidak menjadi ajang politik praktis.
(3) Masyarakat pemilih hendaknya “memilih dengan hati dan secara hati-hati”. Pilihan masyarakat ikut menentukan masa depan bangsa.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget