Renungan 63 Tahun Republik Indonesia
Agustus 1945-Agustus 2008
Kata ‘dan’ dalam judul di atas perlu mendapat perhatian kita secara khusus. Ada kalanya kata ‘dan’ berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang amat bertolak belakang seperti madu dan racun. Ia juga menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain seperti iman dan pekerjaan baik, suami dan istri, dan sebagainya.
Allah dan Indonesia menunjukkan sesuatu yang tidak terpisahkan sedikitnya dengan tiga alasan utama dalam terang iman kristiani. Pertama, ketika Allah menciptakan langit dan bumi (seperti disebut dalam Kej. 1) bumi Indonesia termasuk di dalamnya. Meskipun Indonesia terbilang ‘tertinggal’ dalam berbagai hal, itu tidak berarti bahwa Allah menciptakannya di kemudian hari atau terpisah dari belahan bumi yang lain. Kedua, orang-orang Indonesia adalah ciptaan Allah juga. Setiap warga bangsa Indonesia –terlepas dari perbedaan suku bangsa, ras, agama, partai politik-- berasal dari nenek moyang yang sama: Adam dan Hawa, yang diciptakan oleh Allah. Itu berarti bahwa tidak ada alasan pembenaran rasa superioritas yang satu terhadap yang lain. Sesungguhnya kita semua adalah satu keluarga dan sesama saudara di dalam Allah, Pencipta dan Bapa kita. Ketiga, pemeliharaan Allah tidak pernah berhenti sejak penciptaan. Kehidupan yang ada di bumi Indonesia dan kehidupan setiap warga bangsa Indonesia adalah bukti nyata bahwa pemeliharaan Allah masih terus berlangsung hingga hari ini. “Bumi dan segala isinya adalah milik Allah” (Mzm. 24:1).
Dengan demikian, ‘Allah dan Indonesia’ mengandung pesan: ingat Indonesia, ingat penciptaan, pemeliharaan dan pemilikan Allah atas Indonesia. Dengan kesadaran demikian, sebagai orang yang percaya kepada Allah kita hendaknya seirama dengan gerak Allah yang mengasihi dan memelihara kehidupan bangsa Indonesia dengan segala sesuatu yang Tuhan percayakan kepada kita.
Pertanyaan yang mungkin mengemuka ialah, “Kalau Allah adalah pemilik Indonesia dan Ia mahakuasa, mengapa Ia membiarkan penderitaan dan aneka persoalan kehidupan silih berganti menerpa Indonesia?” Pertanyaan yang salah! Yang benar adalah jawaban kita atas pertanyaan Allah kepada kita semua, “Mengapa persoalan kehidupan melilit bangsa Indonesia, padahal Aku telah menganugerahkan pengetahuan, kemampuan dan berkat melimpah untuk Indonesia?” Artinya, daripada ‘menggugat’ Allah, mestinya kita dengan rendah hati memeriksa hidup kita.
Yang merusak, yang menghujat, yang menyakiti, yang mengkambinghitamkan Indonesia sudah lumayan banyak. Kita tidak perlu menambahnya lagi. Yang dibutuhkan adalah lebih banyak yang memberi harapan, dukungan dan pertolongan nyata. Dengan pertolongan Tuhan, mari kita lakukan sesuatu memberi uluran hati dan uluran tangan dengan apa yang kita miliki, seperti waktu (mendoakan, melakukan studi, mengunjungi), bakat atau talenta (menjadi tenaga sukarela, menyumbangkan tulisan-tulisan yang mencerahkan), memberi bantuan materi (beasiswa kepada mereka yang terancam putus sekolah, yang menderita kelaparan). Singkatnya, bagaimana agar hidup kita secara pribadi maupun persekutuan jemaat menjadi garam dan terang bagi bangsa Indonesia.
Saat ini, di hadapan Tuhan, mohonlah pimpinanNya untuk mengetahui pelayanan apa yang hendaknya Saudara lakukan sebagai wujud pemberitaan Injil khususnya untuk bangsa Indonesia. Mohon pastikan juga bahwa itu bukan ambisi, sekadar hobbi atau keinginan ego kita untuk memamerkan kesalehan dan kedermawanan, tetapi benar-benar merupakan panggilan Tuhan. Marilah kita nyatakan janji kita di hadapanNya untuk melakukannya demi kebaikan sesama dan demi kemuliaanNya. Semua itu kita lakukan dengan sukacita. Sebab, kita percaya bahwa Tuhan yang mengutus kita untuk melayani, Ia juga yang tetap menyertai kita bahkan sampai akhir zaman. Amin.
Allah dan Indonesia menunjukkan sesuatu yang tidak terpisahkan sedikitnya dengan tiga alasan utama dalam terang iman kristiani. Pertama, ketika Allah menciptakan langit dan bumi (seperti disebut dalam Kej. 1) bumi Indonesia termasuk di dalamnya. Meskipun Indonesia terbilang ‘tertinggal’ dalam berbagai hal, itu tidak berarti bahwa Allah menciptakannya di kemudian hari atau terpisah dari belahan bumi yang lain. Kedua, orang-orang Indonesia adalah ciptaan Allah juga. Setiap warga bangsa Indonesia –terlepas dari perbedaan suku bangsa, ras, agama, partai politik-- berasal dari nenek moyang yang sama: Adam dan Hawa, yang diciptakan oleh Allah. Itu berarti bahwa tidak ada alasan pembenaran rasa superioritas yang satu terhadap yang lain. Sesungguhnya kita semua adalah satu keluarga dan sesama saudara di dalam Allah, Pencipta dan Bapa kita. Ketiga, pemeliharaan Allah tidak pernah berhenti sejak penciptaan. Kehidupan yang ada di bumi Indonesia dan kehidupan setiap warga bangsa Indonesia adalah bukti nyata bahwa pemeliharaan Allah masih terus berlangsung hingga hari ini. “Bumi dan segala isinya adalah milik Allah” (Mzm. 24:1).
Dengan demikian, ‘Allah dan Indonesia’ mengandung pesan: ingat Indonesia, ingat penciptaan, pemeliharaan dan pemilikan Allah atas Indonesia. Dengan kesadaran demikian, sebagai orang yang percaya kepada Allah kita hendaknya seirama dengan gerak Allah yang mengasihi dan memelihara kehidupan bangsa Indonesia dengan segala sesuatu yang Tuhan percayakan kepada kita.
Pertanyaan yang mungkin mengemuka ialah, “Kalau Allah adalah pemilik Indonesia dan Ia mahakuasa, mengapa Ia membiarkan penderitaan dan aneka persoalan kehidupan silih berganti menerpa Indonesia?” Pertanyaan yang salah! Yang benar adalah jawaban kita atas pertanyaan Allah kepada kita semua, “Mengapa persoalan kehidupan melilit bangsa Indonesia, padahal Aku telah menganugerahkan pengetahuan, kemampuan dan berkat melimpah untuk Indonesia?” Artinya, daripada ‘menggugat’ Allah, mestinya kita dengan rendah hati memeriksa hidup kita.
Yang merusak, yang menghujat, yang menyakiti, yang mengkambinghitamkan Indonesia sudah lumayan banyak. Kita tidak perlu menambahnya lagi. Yang dibutuhkan adalah lebih banyak yang memberi harapan, dukungan dan pertolongan nyata. Dengan pertolongan Tuhan, mari kita lakukan sesuatu memberi uluran hati dan uluran tangan dengan apa yang kita miliki, seperti waktu (mendoakan, melakukan studi, mengunjungi), bakat atau talenta (menjadi tenaga sukarela, menyumbangkan tulisan-tulisan yang mencerahkan), memberi bantuan materi (beasiswa kepada mereka yang terancam putus sekolah, yang menderita kelaparan). Singkatnya, bagaimana agar hidup kita secara pribadi maupun persekutuan jemaat menjadi garam dan terang bagi bangsa Indonesia.
Saat ini, di hadapan Tuhan, mohonlah pimpinanNya untuk mengetahui pelayanan apa yang hendaknya Saudara lakukan sebagai wujud pemberitaan Injil khususnya untuk bangsa Indonesia. Mohon pastikan juga bahwa itu bukan ambisi, sekadar hobbi atau keinginan ego kita untuk memamerkan kesalehan dan kedermawanan, tetapi benar-benar merupakan panggilan Tuhan. Marilah kita nyatakan janji kita di hadapanNya untuk melakukannya demi kebaikan sesama dan demi kemuliaanNya. Semua itu kita lakukan dengan sukacita. Sebab, kita percaya bahwa Tuhan yang mengutus kita untuk melayani, Ia juga yang tetap menyertai kita bahkan sampai akhir zaman. Amin.
Katon, Goukakyu no jutsu.
ReplyDelete